Share

Panggilan Alay

Part 4

Dathan terkekeh pelan, permintaan yang amat sederhana. Tapi, itu akan jadi masalah besar jika ternyata Adrina belum siap kehilangan Pamannya untuk waktu yang lama. Bukan hal yang sulit bagi Dathan untuk memasukkan pria bernama Tigor ke dalam bui, apalagi dengan mengetahui treck record pria itu sejak dulu hingga saat ini yang akan ia kulik sampai yang paling dasar sekali pun.

“… dan saya minjam uang sebanyak 100 juta dengan tambahan 20 % bunganya, itu jumlah utang yang dilakukan Paman saya atas nama saya, nanti untuk pelunasannya, biarkan gaji saya yang di potong.” Adrina melanjutkan.

Ia sudah bisa memperkirakan jika hanya bermodal gaji, maka ia hampir tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup dalam sebulan, karena angsuran yang akan ia berikan kepada pegadaian di Thailand lebih dari sepuluh juta, sementara tenggat waktu tinggal enam bulan, bagaimana bisa ia melunasi secepat itu? ia harus menombok dalam jumlah banyak.

Sedangkan gajinya dengan masa percobaan ini? Tentu saja belum stabil sebagaimana halnya pegawai tetap. Ah, ia bisa gila memikirkan hutang itu.

“Haha, saya kira permintaanmu sederhana, women memang nggak bisa ditebak.”

“Bisa?”

“Pasti bisa. Asal, kamu nanti mau jadi saksi untuk kasus kekerasan yang dilakuin sama Paman kamu. Jangan lupa foto bagian-bagian lebam di wajah kamu buat nambah bukti. Kita harus melewati jalur hukum secara legal, aku akan sewakan lawyers sekelas Hotman Paris kalau perlu.”

“Itu saya serahkan kepada Bapak, yang penting Paman saya nggak bisa mengganggu keluarga saya, selamanya.”

“Oke saya akan urus semuanya. Oh ya kamu sudah kabari Golden Grup?” Dathan melirik arlojinya, ia kemarin menyuruh Cakra agar menginformasikan kepada Adrina untuk menghubungi dan membujuk Golden Grup agar mau melakukan pertemuan.

“Udah Pak,” jawab Adrina berdebar, untunglah saat perjalanan menuju Mall, ia bisa menghubungi sekretaris dari CEO Golden Grup, walau ia harus minta maaf berkali-kali karena mendadak dan hanya bisa mengundang lewat telepon.

“Bagus. Untuk hidangannya, jangan yang biasa, kamu tau ‘kan Golden Grup perusahaan yang bagaimana? Saya nggak mau denger kalau kamu nggak tau menahu,” ujar Dathan sembari memasang kaca matanya yang terlihat indah bertengger di hidung mancungnya. Pria itu melihat-lihat dokumen di mejanya sembari terus berbicara dengan Adrina.

Meski kesal karena lagi-lagi Adrina selalu dituntut untuk tahu tentang semua perusahaan yang berkerja sama dengan perusahaan, tapi bukan hanya itu makanan yang dimaksud ‘biasa’ itu menurutnya sudah ‘luar biasa’ tapi CEO-nya meminta yang lebih? Ah memang ia harus kembali merepotkan sekretaris lama dengan menelponnya berkali-kali untuk bertanya.

“Iya Pak, siap.”

Adrina keluar dari ruangan CEO dan menghela nafas berkali-kali, kemudian ia melihat obat memar yang diberikan oleh Dathan. Pasti keadaan wajahnya memang sangat kacau hari ini.

“Pak Cakra,” panggil Adrina, saat asisten pribadi Dathan itu baru keluar dari lift dan berjalan melewati meja kerjanya.

“Iya, kenapa?” Cakra berbalik.

“Itu untuk sajian meeting dengan Grup Golden, katanya jangan yang biasa, kita biasa menyajikan makanan dari Flower Bakkery. Kata Mba Elli itu udah langganan. Terus, yang lebih dari itu, apa ya?”

“Mbak Adrina bisa ke Kempi Deli, bisa beli jenis Carbonara tapi dari beef, Spinach Canneloni, sama Delli Double Decker. Orang yang akan datang ke rapat kali ini, CEO, sekretaris dan bagian eksekutif dari perusahaan mereka, kamu pasti bisa memperkirakan untuk kuantitasnya. Kita juga nanti bakal ajak mereka buat ngelihat gladi bersih buat acara wedding pekan ini di hotel King Of Store.”

Mendengar penjelasan dari asisten pribadi Dathan membuat Adrina sampai menganga, karena begitu rinci pria itu menjelaskan, dari mana pula Cakra tahu bahwa yang akan rapat kali ini hanya tiga orang, bahkan ia sendiri tidak memperhatikan detail itu. Ia hanya meminta agar pemimpin Golden Grup bersedia untuk meeting mendadak siang ini.

“Gimana kamu memperkirakan yang datang meeting hanya tiga orang?”

“Emang harus semua jajaran perusahaan ikut meeting buat lebih meyakinkan mereka untuk terakhir kalinya? Itu nggak di perlukan Mbak Adrina, yang penting CEO dan perwakilan lainnya datang. Kita juga sudah yakin, kalau kita hanya perlu step terakhir ini, makanya kita harus lakukan yang terbaik. Mba bisa mengkoordinasikan lagi sama divisi produksi dan pelaksana buat bersiap.”

“Ya, sudah seharusnya kamu lebih tau dari aku Pak Cakra, kamu udah kaya perangko sama Pak Dathan.”

“Haha, begitulah tugasku. Oh ya, sebelumnya terimakasih karena mau kerja sama.”

“Sama-sama, mohon untuk nggak bosen kalau saya tanya-tanya Pak Cakra.”

“Iya Mbak, btw aku masih muda. Panggilan Pak itu kayak… em aku tua banget. Usiaku baru dua puluh empat tahun.”

Adrina tersenyum, ternyata Cakra bisa lebih hangat dan sangat bisa diandalkan. Ia kini mengerti alasan Dathan begitu percaya dan mempekerjakan lelaki itu sejak umurnya belasan tahun. Ia tahu ceritanya karena Dathan bercerita sekilas tentang asisten pribadinya yang udah menemaninya sekitar tujuh tahun di perusahaan dan ketika tahu usianya saat ini, berarti sekitar 18 tahun pria itu memulai karirnya di sini.

Ruang meeting utama kini terlihat tertata rapi, karena sejak satu jam lalu Adrina membereskan semuanya. Sebab tadi pagi tempat ini digunakan oleh departemen personalia dan tidak di kembalikan ke semula keadaaannya. Ia berencana yang akan terjun langsung untuk membeli kudapan ke daerah Tamrin, juga ia tiba-tiba terpikir untuk singgah ke cabang restoran milik King Of Store.

Dathan kembali membicarakan tentang acara weeding yang akan diadakan di hotel King Of Store. Pernikahan dari seorang anak petinggi CEO Golden Grup yang ia pastikan tidak akan mengecewakan, sejak presentasi awal yang perusahaannya lakukan.

“Saya dengar, makanannya terlalu sederhana dan nggak menggambarkan kalangan elit sama sekali? Apa benar?” tanya seorang pria dengan rambut yang sudah beruban. Ia belum sama sekali menyentung hidangan yang tersaji dihadapannya. Dathan menghela nafas, untuk hidangan hotel memang tidak terlalu ia perhatikan, karena terakhir kali ia mencobanya, rasanya baik-baik saja.

“Untuk penampilan dan rasa dari kudapan milik restoran kami memang relatif. Tapi, kalau Bapak minta agar cita rasa dan penampilan sesuai dengan selera keluarga Bapak yang notabenenya cita rasa lidah Chinese, kami akan usahakan.”

“Maksud kamu, saya harus kembali ke sini lagi hanya untuk mencicipi kudapan itu? dan membuang waktu kami yang berharga?”

Adrina yang menyaksikan berjalannya rapat sambil mencatat point penting dari isi rapat itu ikut berdebar, bagaimana dengan Dathan yang wajahnya kini terlihat tidak mengenakkan. Seperti berusaha untuk sabar menghadapi klien yang kemarin sudah percaya kini mulai meragukan.

“Kudapan kami memang cita rasa lidah Indonesia sejak dulu. Nenek saya yang mencetuskan resep hingga ke Ibu saya, nggak pernah merubahnya. Tapi, rumor itu tidak bisa dibenarkan begitu saja, kalau tidak ada bukti yang valid. Bapak harus merasakan sendiri menu yang kami punya, bukan besok atau lusa, tapi hari ini.”

Dathan menatap Adrina, mengisyaratkan agar wanita itu mendekat kepadanya lalu ia membisikiknya. “Gimana bisa menu kudapan kita ada di meja ini?” tanya Dathan yang sebenarnya baru sadar jika ada salah satu menu kudapan dari restoran King OF Store tersaji di meja meeting.

Makanan khas Indonesia yang disebut Lumpur Surga di kemas dengan wadah ramah lingkungan berbahan dari kertas berlapis plastik tipis, namun tidak terlihat kampungan.

“Saya kepikiran Pak, karena menu yang kita punya juga premium. Nggak ada salahnya memperkenalkan pada klien yang emang belum tau rasa yang sebenarnya.”

Pertemuan itu berjalan lancar dan CEO Golden Grup pun memuji betapa unik dan Indonesia sekali rasa dari kudapan yang di olah oleh restoran cabang bakery King Of Store itu. Mereka pun kini bergegas menuju hotel untuk menyaksikan gladi bersih.

“Gimana menurut kamu kalau Adrina belajar nyetir Cakra?” Dathan bertanya, saat mereka sedang berada di perjalanan. Adrina yang terkejut seketika menoleh dan tatapan antata dirinya dan CEO itu bertemu.

“Ide bagus Pak.”

“Kamu pasti seneng, tugasmu jadi lebih senggang, bukan begitu Cakra?” tebak Dathan.

“Apa itu perlu?” Adrina bertanya pelan. Ia sebenarnya masih tidak berani mengemudikan mobil. Ingatan tentang sebuah kecelakaan yang melibatkan mobil dan truk masih menjadi trust issue baginya. Lagi pula, masih ada Cakra sebagai asisten pribadi merangkap supir pribadi Dathan.

“Tentu, masa kalau nggak ada Cakra, saya jadi supirmu? ‘kan lucu Adrina,” balas Dathan seketika membuat Adrina kesal. CEO-nya ini memang ingin selalu enaknya saja. Lagi pula, Cakra akan ke mana? Bukankah pria itu hampir dua puluh empat jam menempel pada lelaki itu.

Akhirnya setelah menemani CEO Golden Grup menyaksikan gladi bersih di hotel, Dathan bisa menghela nafas lega. Ia bisa melihat kini kliennya sudah sangat yakin dan percaya bahwa hotelnya bisa menyediakan dream wedding yang diimpikan oleh anak gadis CEO keturunan Chinese itu.

“Kerja bagus hari ini Adrina.” Kata-kata mengandung pujian itu, membuat Adrina tentu saja senang di dalam hatinya. Baru kali ini Dathan memuji pekerjaannya secara langsung.

“Akhir pekan, kamu harus temani saya ke penikahan di hotel kita. Sementara, aku nggak bakal ungkap dulu status tentang kita dan kamu jangan sampai berbuat kesalahan,” ungkap Dathan saat mereka sudah kembali ke perusahaan dan kini berada di ruangan CEO itu.

“Emang harus ya Pak?”

“Sejak tadi kamu selalu tanya, emang perlu ya? emang harus ya? apa kamu masih nggak paham, kalau kata-kata saya itu jadi titah mutlak Adrina?” Dathan melotot pada sekretarisnya yang menurutnya terlalu banyak bertanya tidak penting.

“Tapi, bukannya itu untuk undangan pribadi ya?”

“Tentu, tapi aku harus mengajak kamu. Kalau kamu jadi kekasih saya, berarti udah masuk ke kehidupan pribadi saya, nanti kita buat kesepakatan dan isi perjanjian kontaknya. Untuk proses hukum Paman kamu, aku udah memilihkan pengacara buat kamu, besok saya beri kamu waktu untuk mengurusnya ke pengadilan, bersama dengan beliau. Sementara ini menurut informasi yang saya dapat, Pamanmu udah ada di Macau, China.”

“Iya dia kemarin bilang sama saya emang mau ke Macau Pak.”

“Kamu tenang aja, prosesnya nggak bakal lama. Pulanglah tepat waktu. Oh ya, aku mau tanya, kamu nggak punya pacar ‘kan?”

Adrina menggeleng saja sebagai jawaban, membuat Dathan mengangguk puas, ia sudah percaya dengan wanita itu.

“Baguslah, pilihan yang bagus. Kalau sampai kamu punya pacar, itu bakal mengganggu dan merusak.”

“Saya tau Pak. Kalau begitu, saya permisi.”

Saat Adrina berbalik dan hendak membuka pintu, Dathan menahan dengan tangannya. “Sayang, kamu udah siap ‘kan pergi ke pesta itu?”

Mata Adrina mendelik, apalagi wajah tampan itu berada sangat dekat. Tubuh Dathan sangat tegap, membuanya bisa mencium lebih banyak aroma yang menguar dari balik jas mahal yang designernya juga pernah membuatkan busana untuk Michael Jakson. Jas yang khusus dibuat untuk orang timur tengah dan sangat limited, namun bisa di dapatkan oleh seorang Dathan.

“M-maksud B-bapak?” Tidak bisa dipungkiri Adrina mendadak gugup.

“Oke, kamu kayaknya nggak pernah pacaran dari lahir Adrina. Ini cuma latihan, jangan bengong begitu. Kamu harus biasa, kalau tiba-tiba saya panggil kamu dengan panggilan ‘alay’ itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status