Share

Paman yang Jahat

Part 2

Adrina baru saja membuka pintu dan hendak memakai high heels miliknya, namun siapa sangka seseorang yang sudah lama menghilang itu kini kembali. Seketika tangannya yang masih memegang kenop pintu bergetar. Wajahnya sekuat tenaga ia buat baik-baik saja, walau tetap dadanya berdebar setiap bertemu dengan orang itu.

“Hai ponakan, apa kabar?” Lelaki itu berjalan semakin dekat. Pakaiannya terlihat lusuh, kaos putih yang bolong dibeberapa bagian, dilapisi hem kotak-kotak berlengan panjang. Wajah pria itu dihiasi oleh bulu-bulu kasar hampir seluruhnya.

“Apa yang paman lakuin disini? Mau apa?” Adrina bertanya dengan tegas. Tangannya mengepal disamping paha.

“Bertemu ponakanku lah, masa bertemu setan. Nenek mana?”

“Nggak ada,” balasnya singkat.

“Baguslah, kita bisa bicara berdua aja. Lebih enak juga daripada ada nenek tua itu ya ‘kan?”

Firasat Adrina sudah mulai tidak enak, bisa habis dirinya jika memilih untuk berbicara dengan pria itu. Toh kalau pun mereka bicara layaknya paman dan keponakan, ujung-ujungnya Adrina akan diperas seperti yang sudah terjadi berkali-kali.

“Bentar, kita jangan bicara disini.” Adrina pura-pura mengunci pintu, lalu ia sengaja mengenakan sepatu agar memudahkan ia untuk berlari dan kabur dari Pamannya untuk sementara ini.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Adrina berusaha mengatur nafas sepanjang ia berlarian di sekitar komplek yang sempit itu. Untung saja ia sudah survey jalanan komplek ini, sehingga ia bisa tahu kemana jalan untuk jadi pintasan dan beberapa jalan yang memang cocok untuk bersembunyi. Namun, tentu saja Pamannya tidak menyerah dan terus meneriaki Adrina.

“Dasar cewek tengil, Adrina!” sang Paman terus meneriaki, memanggil-manggil namanya. Sementar itu, Cakra yang diminta oleh atasannya untuk mengecek kediaman Adrina, terlihat mengawasi sekitar komplek sempit dan kumuh itu dan tetap berada di dalam mobilnya.

Tidak sengaja, ia melihat Adrina yang berlarian dan dikejar oleh seorang pria. Cakra tentu saja tidak diam, ia seketika keluar dari mobil dan membuntuti mereka berdua.

Adrina memang selalu kalah kalau harus lomba lari dengan Pamannya yang sudah lihai dan sepak terjang didunia kabur-kaburan memang sudah lama digelutinya. Sudah berusaha menghindar sekalipun, lelaki tua itu tetap mampu mengejar dan kini menarik hem bagian belakang lehernya dan seketika membuatnya tercekik.

Paman Adrina melemparkan keponakannya kearah tembok dengan cukup keras dan mampu membuat suara debuman seperti benda terjatuh dari ketinggian lima meter. Adrina mengerang, wajahnya terkena gesekkan tembok tanpa cat itu dan ia pastikan sudah memerah.

“Dasar jalang nakal, kamu mau kabur kemana hah? kamu nggak akan bisa mengelabuiku.”

“Aku nggak punya apa-apa Paman, kami baru aja pindah ke kontrakan. Biaya sewanya mahal.” Adrina langsung membuat alasan, ia menyerah, lebih baik terduduk saja daripada harus dibanting lagi oleh Pamannya yang bernama Tigor itu.

“Bohong, kalian udah hidup makmur ‘kan sekarang? Ah coba akui lihat kartu itu.” Tigor menarik paksa ID Card yang menggantung di leher keponakannya dan betapa terkejutnya saat ia membaca dimana Adrina kini bekerja.

“Ini perusahaan King Of Store itu? yang dia punya hotel, mall dan restoran itu? wah, kamu sekretaris CEO, gimana bisa ponakan? Gimana bisa kamu sejauh ini dan aku nggak tahu. Apa kamu sengaja nutupin ini dari aku agar kamu bisa nikmati uangmu sendirian hah?” Tigor terlihat geram dengan mata yang menyalak kearah Adrina. Tangannya meremas erat kartu itu.

“Kembalikan Paman, kartu itu nggak boleh sampai rusak.” Adrina bangkit berdiri, ia berusaha merebut ID Cardnya yang berharga, bahkan Neneknya sangat suka menatapnya karena katanya merupakan suatu kebanggaan bisa bekerja di perusahaan King Of Store yang memiliki banyak cabang dan sudah tersebar hampir diseluruh Indonesia Raya ini.

Plak!

Satu tamparan berhasil membuat Adrina kembali terhuyung kebelakang. Ia memegang pipinya, kini air matanya sudah tidak bisa dibendung. Predikat kejam untuk lelaki itu memang pantas. Benar-benar manusia yang tidak memiliki perasaan.

“Masih untung aku nggak jual kamu jadi wanita malam, sekarang kamu berlagak sombong mentang-mentang udah kerja di perusahaan besar Adrina? Apa kamu nggak tau balas budi? Aku yang besarin kamu selama ini.” Tigor mengungkit masa lalu, tentang bagaimana ia membesarkan Adrina, padahal ia tidak berkontribusi apapun selain membuat Adrina harus membiayai hutang-hutanya karena judi dan alkohol.

“Aku nggak pernah anggap Paman sebagai keluargaku. Paman hanyalah lintah darat bagi Nenek. Paman yang buat Nenek sakit hingga saat ini. Aku masih nggak nyangka, sifat dan sikap Paman masih sama seperti dulu. Tolong, kali ini berhenti, atau aku bisa memanfaatkan asuransi perusaahaan agar Paman dihukum di kantor polisi. Mulai saat ini, aku nggak akan biarkan Paman bertindak sesuka hati.”

Adrina mencoba mengancam dengan hukum, barangkali Tigor akan bertekuk lutut. Bersyukurnya ia bisa diberi asuransi keamanan oleh perusahaan. Namun, dugaannya meleset Pamannya tidak gentar sama sekali.

“Oh ya? silakan kamu berbuat sesukamu. Tapi, yang jelas aku membawa berita gembira. Aku sudah mendelegasikan utang-utangku atas namamu haha.”

Tigor mengeluarkan sebuah KTP asli yang ternyata milik Adrina yang entah sejak kapan bisa ditangan pria itu. “Paman, itu KTP aku, kenapa bisa ada di Paman?”

Sebenarnya Tigor sudah seminggu mengetahui tempat tinggal Adrina dan Neneknya, ia pernah diam-diam masuk ke dalam dan berhasil mencuri KTP Adrina saat wanita itu sedang mandi.

“Kamu pikir aku nggak bisa lakuin ini? Sejak dulu kamu emang polos Adrina, cepat beri aku uang, jangan pelit mentang-mentang gajimu diatas umr. Aku mau pergi ke Macau dan bersenang-senang di sana.”

Tanpa aba-aba Tigor sudah merebut tas kecil selempang milik Adrina dan mengeluarkan dompetnya. Mengambil tanpa sisa uang milik Adrina. Sementara Adrina, ia berkali-kali merebut tasnya namun tetap kalah, tubuhnya lebih ringkih dari lelaki itu. Bahkan, sebelum lelaki itu pergi sempat menjambak rambutnya sehingga menjadi lebih kusut dan berantakan. Tidak perlu ditanya bagaimana hiasan wajahnya, tentu sudah sangat hancur.

“Gimana aku bisa pergi ke kantor, kalau keadaanku begini.” Adrina bangkit, merapikan rambutnya sendiri, ia kini memeriksa hem yang dikenakannya dan terdapat sobekan dibagian ketiak.

“Mbak Adrina,” panggil Cakra yang berjalan mendekat. Mendengar suara seseorang tentu saja Adrina terkejut, apalagi melihat siapa yang datang dan menatapnya dari atas hingga ke bawah dengan prihatin.

“Pak Cakra, k-kenapa ada di sini? Apa Bapak sengaja ngikutin saya?” tebak Adrina, belum apa-apa dia sudah menduga yang tidak-tidak terhadap asisten pribadi Tuan Dathan itu.

“Ya, sebelumnya saya minta maaf, karena sudah menyaksikan semuanya. Tapi, saya ke sini, karena titah dari Pak Dathan. Saya nggak bermaksud untuk membuntuti.”

“Kenapa CEO meminta Bapak datang ke sini? Apa dia masih mau memaksa saya untuk jadi kekasih palsunya? Apa dia mau memberi tawaran yang lebih besar dari sebelumnya? Katakan tidak padanya, sampai kapanpun saya tidak akan menerima tawarannya.”

“Bukan itu maksud saya kemari, saya cuma diminta memastikan, kalau kamu masih mau bekerja di perusahaan kami.”

“Maksudnya? dia tiba-tiba mau mecat saya, karena saya nggak mau jadi kekasih palsunya?” serobot Adrina, matanya menyorot tajam ke arah Cakra, yang membuat pria itu tersenyum kikuk.

“Bukan begitu Mbak Adrina, saya jemput Mbak ke sini, biar nggak telat datang ke kantor. Apa Mbak lupa perjanjian saat interview? Pak Dathan nggak akan menoleransi pegawai yang sengaja nggak masuk di masa percobaan. Ini nggak ada kaitannya dengan kekasih palsu atau apalah itu.”

Adrina tercenung sejenak, mengingat momen di mana saat dirinya diwawancara, Dathan memang sudah meminta komitmen kepadanya, bahwa Adrina bisa dipercaya dan berjanji akan mentaati aturan masa percobaan menjadi sekretaris. Masuk akal jika Dathan memang benar ingin menjadikannya sekretaris bukan karena ada maksud tertentu, pria itu bahkan tidak pernah mengintimidasinya untuk membayar semua pertolongan yang diberikan oleh pria itu. Ah, entah mengapa Adrina baru sadar hari ini, apa perkataannya kemarin terlalu berlebihan kepada Dathan?

Cakra sudah melaporkan perihal kejadian yang menimpa sekretris kepada Dathan dan pria itu memaklumi dan menyuruh agar Adrina tetap datang ke perusahaan. Bukan karena pria itu tidak memiliki perasaan simpati, tapi ini tentang perusahaan yang harus adil memperlakukan karyawan. Ia tidak bisa membiarkan Adrina sesuka hati tidak masuk kerja, karena alasan pribadi yang tidak terlalu penting. Hanya sebuah kecelakaan kecil menurutnya, tentu saja atas dasar kisah yang ia dengar dari Cakra.

“Kalau dia perlu baju, belikan ke toko kita. Biar dia yang membayar bonnya, nanti dipotong lewat gaji.”

Cakra memberikan jasnya untuk dipakai Adrina hingga mereka masuk ke sebuah pusat perbelanjaan yang ada di Mall milik perusahaan King Of Store. Berulang kali Adrina meminta agar asisten pribadi Dathan mengantarnya saja ke pasar raya, tapi pria itu menolak dengan alasan tidak bisa melanggar titah atasannya.

“Ini harga yang nggak ramah di dompet Pak Cakra, saya nggak bisa. Saya pelit kalau harus belanja di Mall,” protes Adrina sesampainya mereka di parkiran.

“Demi saya Mbak, lakukan demi saya aja. Saya khawatir kena marah. Kalau Mbak takut akan biayanya, saya yang bayar. Mbak tahu, Pak Dathan sangat tidak suka kalau ada kesalahan walau sekecil apapun. Dia tau siapa orang yang bisa di toleransi, sedangkan saya dan tentunya Mbak Adrina, bukan termasuk orang-orang itu.”

“Nggak perlu.” Adrina menjawab dengan sedikit sewot dan berlalu begitu saja dari hadapan Cakra yang menghela nafas berat.

Adrina diikuti oleh Cakra di belakangnya, masuk dengan perasaan tidak menentu. Seharunya, ia hanya dibiarkan langsung bekerja saja, tidak perlu interogasi yang tidak penting. Ia bisa melihat Dathan menatapnya lekat kemudian bergantian ke arah Cakra.

Telepon Adrina yang layarnya sudah pecah karena tasnya dibanting dengan keras oleh Pamannya itu kini berdering. Sedangkan Dathan membisiki asistennya sesuatu

“Kenapa kamu biarin dia dengan keadaan begini? Apa kamu nggak liat mukanya itu? ish.” Dathan merasa tidak nyaman dengan keadaan Adrina yang ternyata lebih berantakan dari yang ia prediksi. Pakaiannya memang terlihat baru, tapi lihat dengan wajahnya yang baret di beberapa bagian itu.

“Maaf Pak, saya tadi nggak terlalu jeli memperhatikan.”

Sedangkan Adrina, usai mengetahui siapa si penelepon, tangannya bergetar, matanya mengedip dengan lama untuk menetralisir perasaan kesal, marah, kecewa dan ingin berteriak. Pamannya memang sangat keterlaluan dan seharusnya ia sejak dulu menjebloskannya ke dalam penjara.

“Hallo, ini dengan siapa ya?”

“Kami dari pusat pegadaian di Thailand. Atas nama nyonya Adrina Bernika Shakira yang memlilki tagihan sebesar seratus juta, dengan bunga 20 persen yang harus dibayar dan tenor pinjaman selama 12 bulan. Tenggat waktu dari sekarang tinggal 6 bulan. Kalau anda tidak melunasi sesuai tenggat waktu yang ditentukan, kami akan langsung mendatangi kediaman Anda dengan membawa notaris dan kuasa hukum, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Demikian, kami informasikan.”

“Apa benar, itu atas nama saya?”

“Nomor identitasnya benar dan terdaftar sebagai kewarganegaraan Indonesia. Kami sudah melakukan pengecekan dengan amat teliti.”

“Tapi, itu bukan saya yang minjem Pak. Itu Paman saya, bukankah ada tanda terimanya? Pasti bukan nama saya yang menerima, Bapak tolong cek lagi.”

“Iya, di sini atas nama Tigor, tapi hanya perantara, alias tangan kedua, sementara yang meminjam resmi atas nama anda nyonya Adrina.”

Ponsel yang sudah retak layarnya itu luruh dan terjatuh ke lantai. Adrina memejamkan mata dan merasa ingin sekali menangis saat itu juga, jika tidak ingat posisinya saat ini sednag di mana dan dengan siapa.

Jangan lupa vote, like and komen

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status