Markas tugas perbatasan timur.
Di ruang depan rumah tugas, Sutasena kedatangan dua orang tamu, semuanya laki-laki bertampang gagah. Dari pakaian dan perawakannya mencirikan mereka dari kalangan pendekar.Kedua pendekar ini sama kekar, tingginya rata-rata orang biasa saja. Yang satu kulitnya agak gelap, wajahnya terlihat kasar ditambah rambut yang tergerai tanpa ikat kepala membuat orang ini terkesan urakan."Terima kasih atas kesediaan Tuan Pendekar berdua memenuhi undangan saya, Pendekar Cakar Naga," Sutasena menjura kepada orang ini. "Dan Kampala Si Kaki Besi!" Kemudian Sutasena juga menjura kepada lelaki satunya.Kampala Si Kaki Besi tampilannya lebih bersih dan rapi dari pada Pendekar Cakar Naga. Rambutnya tersisir rapi dikuatkan oleh ikat kepala bercorak batik. Kulitnya juga lebih terang.Sebagai ciri khas dan sesuai dengan julukannya, kedua kaki Kampala mulai dari telapak sampai di bawah lutut terbungkus kain hitam yang dililit dengPertarungan dua senapati melawan dua pendekar pendukung Sutasena. Secara tenaga dalam, kedua pendekar itu lebih unggul dibandingkan dua perwira kerajaan Galuh ini. Namun, senapati Gandara dan Jayana pantang mundur.Prabarini berdiri di dekat Ki Dirah, dia telah memberi tahu prajurit di tempat itu sebelumnya agar tidak ikut campur urusan atasan mereka dengan menjelaskan bahwa Sutasena hendak memberontak. Jadi dari pada dicap pemberontak lebih baik berdiam diri saja."Pergilah tangkap dia!" kata Ki Dirah. Nada suaranya berbeda dari biasanya. Sikapnya juga seperti bukan orang biasa. Lalu dia mengawasi pertarungan dua senapati, tetapi tangannya tampak memberikan sesuatu kepada Prabarini.Gadis ini menerima benda itu lalu langsung menelannya, setelah itu segera bergegas masuk mengejar Sutasena.Sesuai dengan julukannya, Kampala lebih sering menggunakan kedua kaki untuk menyerang lawannya. Meski begitu Senapati Jayana tidak mau kecolongan karena sewaktu
"Mohon ampun Gusti Senapati, hamba terpaksa membawa Putri Prabarini mengungsi dari desa. Karena tidak diduga sekelompok orang bertopeng datang merampok dan membantai seluruh warga. Kami mengungsi ke daerah wetan karena lebih aman."Hamba ingat ada ciri khusus pada gerombolan perampok itu dan lebih dipertegas oleh si pemimpin yang ternyata seorang wanita bernama Citrasari. Wajahnya sangat mirip dengan Gusti Putri dan ternyata dia adalah Putri Prabu Gandacitra dari kerajaan Kawunghilir yang telah musnah beberapa tahun yang lalu."Setelah diselidiki ternyata mereka sedang menyusun kekuatan untuk menggempur Galuh. Lebih parah lagi Citrasari tahu wajahnya mirip dengan Prabarini. Maka, hamba harap Gusti Senapati berhati-hati akan kedatangan Citrasari yang menyamar sebagai Gusti Putri, karena mereka akan menuju ke kota raja."Orang-orangnya akan selalu mencari Gusti Putri, menghalangi atau bahkan membunuhnya. Maka hamba segera membawa Gusti Putri mengungsi ke tem
"Masih ada cara lain kalau kau ingin meraih cintamu," kata Ki Dirah alias Prabu Gandacitra."Berarti Ayah tidak akan membunuhnya?" Ada setitik harapan dalam benak Prabarini. Perasaannya memang sudah begitu mendalam terhadap Danurwenda."Asal kau lanjutkan perjuangan!" pinta sang ayah."Bagaimana caranya?""Untuk sekarang ini biarlah dia tidak tahu siapa kita. Nanti, setelah kita menduduki istana Galuh, baru kau mencarinya, menariknya ke istana!"Bola mata Citrasari mendadak berbinar, wajahnya tidak lagi sayu, berubah cerah dan seperti memancarkan harapan. Kalau dia dan ayahnya sudah berkuasa di Galuh, tidak mungkin Danurwenda akan menolaknya."Baiklah, aku akan melanjutkan perjuangan membangkitkan kembali Kawunghilir!""Aku akan mencegah Danurwenda mendekatimu untuk sementara sampai perjuangan kita berhasil. Berjaga-jaga agar dia tidak mengetahui kita yang sebenarnya,""Dan Ayah harus berjanji, tidak akan beruba
Dua orang berkuda ini tidak lain Senapati Jayana dan Gandara, sedangkan orang yang diikat dibawa di atas kuda tunggangan Senapati Jayana adalah Sutasena.Kedua senapati ini langsung turun begitu sampai di depan Raden Jatnika. Mereka menjura bersama."Lapor, Gusti. Kami membawa pengkhianat yang hendak melakukan makar," kata Senapati Jayana setelah menjura lalu menunjuk ke Sutasena yang melintang di atas punggung kuda."Aku sudah tahu!" ujar Raden Jatnika. Kedua senapati langsung memandang ke arah Danurwenda, mengira pemuda itu pasti sudah memberi tahu."Tapi, yang lebih berbahaya bukan dia," lanjut Raden Jatnika membuat kedua senapati saling pandang tidak mengerti.Yang mereka tahu putra sulung Raja ini memiliki kesaktian yang linuwih, seperti manusia setengah dewa yang bisa weruh sedurung winarah. Akhirnya Gandara dan Jayana menunggu penjelasan lebih lanjut."Kalian melihat seorang lelaki tua bersama Prabarini?" tanya Raden Jatni
Citrasari menjadi tegang ketika kereta kuda tiba-tiba berhenti. Gadis ini segera melihat ke depan. Sementara Ki Dirah tampak tenang saja. Salah seorang prajurit berkuda menghampiri dari sisi kereta."Kira-kira dua puluh tombak di depan sana ada empat orang menghadang di tengah jalan, salah satunya Danurwenda," lapor si prajurit.Citrasari langsung terkejut, hatinya jadi berdebar-debar. Empat orang? Siapa tiga orang lainnya?Sang ayah melihat jelas kecemasan di mata putrinya. "Kamu tenang saja," katanya, "maju terus!" perintahnya kepada prajurit tadi. Kereta pun melaju lagi."Dia sudah tahu siapa kita sebenarnya," lanjut Ki Dirah atau Prabu Gandacitra."Bagaimana dan dari mana dia bisa tahu?""Kau masih ingat ketika dia aku jebak dengan kematian Senapati Mandura?" tanya Prabu Gandacitra mengingatkan.Prabarini palsu mengangguk pelan. "Dia hendak memberikan sebuah benda titipan dari seorang bekel,""Aku menduga dan kemungkinan be
Sebelum keluar tadi Prabu Gandacitra sudah yakin dan bulatkan tekad. Dia mampu mengalahkan Raden Jatnika. Di sisi lain dia tidak ingin mengambil resiko kegagalan akibat sikap putrinya.Makanya dia memasukan ramuan pembangkit kesaktian dengan dosis tinggi ke dalam tubuh putrinya. Dengan ramuan tersebut, bukan hanya akan membuat putrinya menjadi sakti untuk sementara waktu, tapi juga bisa mengendalikan pikirannya. Semacam ilmu gendam sehingga bisa menuruti apa yang diperintahkan.Akhirnya dalam keadaan tidak sadar Citrasari mengikuti perintah ayahnya untuk membunuh Danurwenda.Sekarang dia sudah berhadapan dengan Raden Jatnika. Dari awal pertempuran memang sudah dimulai sejak dua hawa sakti saling bertemu.Pasukan yang berada di belakang Prabu Gandacitra sampai menjauh mundur beberapa tindak supaya tidak terkena imbas pertarungan hawa sakti ini.Prajurit asli dari Galuh merasa heran kenapa lelaki yang dipercaya Prabarini itu malah bertarung dengan pu
Sinar merah pada mata Citrasari padam, mulutnya terbuka lebar tetapi tidak mengeluarkan suara. Lehernya menegang kaku dan semakin merah. Gadis ini seperti sedang tercekik sangat kuat sampai tak bisa bersuara.Lebih terkejut lagi sekujur tubu Citrasari tiba-tiba menjadi panas menyengat. Danurwenda segera salurkan hawa sakti guna mendinginkannya."Bertahanlah! Kau harus selamat!"Danurwenda membopong gadis itu ke tempat yang lebih nyaman. Di bawah sebuah pohon besar dan rindang, diletakkan Citrasari dengan posisi duduk menyandar ke pohon.Dari samping, Danurwenda menempelkan telapak tangan ke pundak dan bahu gadis itu. Pemuda ini terus menyalurkan hawa sakti guna mengembalikan keadaan gadis yang dicintainya itu seperti semula."Aku akan memohon pengampunan untukmu agar tidak dihukum. Kau hanya dimanfaatkan ayahmu saja. Aku tahu kau mencintaiku, begitu juga aku. Tidakkah kau ingin hidup bersamaku selamanya."Kau memang bukan Prabari
Rasa tegang melanda dalam diri Prabu Gandacitra. Dia tidak menyangka menghadapi anak sulungnya saja sudah sangat kuat seperti ini. Sungguh di luar dugaan.Apalagi menghadapi Prabu Wretikandayun langsung. Dia menjadi tidak yakin dan terlalu cepat bertindak walaupun sudah dengan rencana yang sangat matang.Sialnya kenapa harus bertemu putra raja ini sebelum sampai ke Karang Kamulyan?Bekas raja bawahan ini mulai khawatir usahanya selama ini akan sia-sia saja. Dia sempat melirik ke tempat putrinya bertarung tadi, sudah tidak ada di sana.Dugaannya sekuat apa pun ramuan sakti yang dia masukkan ke dalam tubuh Citrasari, tidak akan mampu menandingi kesaktian Danurwenda."Biarlah dia mati sekalian begitu pengaruh ramuan hilang!"Rasa ciut nyali mulai merayap. Keraguan melanda. Akankah dia teruskan perjuangan atau menyerah saja? Atau mundur dulu untuk membangun kekuatan yang lebih kuat?Semuanya sudah terlambat, Raden Jatnika pa