Citrasari menjadi tegang ketika kereta kuda tiba-tiba berhenti. Gadis ini segera melihat ke depan. Sementara Ki Dirah tampak tenang saja. Salah seorang prajurit berkuda menghampiri dari sisi kereta.
"Kira-kira dua puluh tombak di depan sana ada empat orang menghadang di tengah jalan, salah satunya Danurwenda," lapor si prajurit.
Citrasari langsung terkejut, hatinya jadi berdebar-debar. Empat orang? Siapa tiga orang lainnya?
Sang ayah melihat jelas kecemasan di mata putrinya. "Kamu tenang saja," katanya, "maju terus!" perintahnya kepada prajurit tadi. Kereta pun melaju lagi.
"Dia sudah tahu siapa kita sebenarnya," lanjut Ki Dirah atau Prabu Gandacitra.
"Bagaimana dan dari mana dia bisa tahu?"
"Kau masih ingat ketika dia aku jebak dengan kematian Senapati Mandura?" tanya Prabu Gandacitra mengingatkan.
Prabarini palsu mengangguk pelan. "Dia hendak memberikan sebuah benda titipan dari seorang bekel,"
"Aku menduga dan kemungkinan be
Sebelum keluar tadi Prabu Gandacitra sudah yakin dan bulatkan tekad. Dia mampu mengalahkan Raden Jatnika. Di sisi lain dia tidak ingin mengambil resiko kegagalan akibat sikap putrinya.Makanya dia memasukan ramuan pembangkit kesaktian dengan dosis tinggi ke dalam tubuh putrinya. Dengan ramuan tersebut, bukan hanya akan membuat putrinya menjadi sakti untuk sementara waktu, tapi juga bisa mengendalikan pikirannya. Semacam ilmu gendam sehingga bisa menuruti apa yang diperintahkan.Akhirnya dalam keadaan tidak sadar Citrasari mengikuti perintah ayahnya untuk membunuh Danurwenda.Sekarang dia sudah berhadapan dengan Raden Jatnika. Dari awal pertempuran memang sudah dimulai sejak dua hawa sakti saling bertemu.Pasukan yang berada di belakang Prabu Gandacitra sampai menjauh mundur beberapa tindak supaya tidak terkena imbas pertarungan hawa sakti ini.Prajurit asli dari Galuh merasa heran kenapa lelaki yang dipercaya Prabarini itu malah bertarung dengan pu
Sinar merah pada mata Citrasari padam, mulutnya terbuka lebar tetapi tidak mengeluarkan suara. Lehernya menegang kaku dan semakin merah. Gadis ini seperti sedang tercekik sangat kuat sampai tak bisa bersuara.Lebih terkejut lagi sekujur tubu Citrasari tiba-tiba menjadi panas menyengat. Danurwenda segera salurkan hawa sakti guna mendinginkannya."Bertahanlah! Kau harus selamat!"Danurwenda membopong gadis itu ke tempat yang lebih nyaman. Di bawah sebuah pohon besar dan rindang, diletakkan Citrasari dengan posisi duduk menyandar ke pohon.Dari samping, Danurwenda menempelkan telapak tangan ke pundak dan bahu gadis itu. Pemuda ini terus menyalurkan hawa sakti guna mengembalikan keadaan gadis yang dicintainya itu seperti semula."Aku akan memohon pengampunan untukmu agar tidak dihukum. Kau hanya dimanfaatkan ayahmu saja. Aku tahu kau mencintaiku, begitu juga aku. Tidakkah kau ingin hidup bersamaku selamanya."Kau memang bukan Prabari
Rasa tegang melanda dalam diri Prabu Gandacitra. Dia tidak menyangka menghadapi anak sulungnya saja sudah sangat kuat seperti ini. Sungguh di luar dugaan.Apalagi menghadapi Prabu Wretikandayun langsung. Dia menjadi tidak yakin dan terlalu cepat bertindak walaupun sudah dengan rencana yang sangat matang.Sialnya kenapa harus bertemu putra raja ini sebelum sampai ke Karang Kamulyan?Bekas raja bawahan ini mulai khawatir usahanya selama ini akan sia-sia saja. Dia sempat melirik ke tempat putrinya bertarung tadi, sudah tidak ada di sana.Dugaannya sekuat apa pun ramuan sakti yang dia masukkan ke dalam tubuh Citrasari, tidak akan mampu menandingi kesaktian Danurwenda."Biarlah dia mati sekalian begitu pengaruh ramuan hilang!"Rasa ciut nyali mulai merayap. Keraguan melanda. Akankah dia teruskan perjuangan atau menyerah saja? Atau mundur dulu untuk membangun kekuatan yang lebih kuat?Semuanya sudah terlambat, Raden Jatnika pa
"Sebenarnya mau ke mana, sudah sampai belum?"Pancaka terus ngoceh sepanjang kalan, pasalnya Danurwenda mengambil arah yang berlawanan dengan tujuan mereka.Sekarang mereka telah sampai di bawah gunung yang puncaknya merupakan tebing tinggi lurus. Tempat bersemayamnya sepasang rajawali raksasa dan juga menjadi kuburan kedua orang tua Danurwenda.Keduanya datang dengan menunggangi kuda pemberian istana."Sudah sampai," jawab Danurwenda."Tempat apa ini, mau apa kau?""Aku mau ke atas sana," tunjuk Danurwenda ke puncak tebing. "Kau mau ikut?""Memangnya kau bisa terbang? Orang dengan ilmu meringankan tubuh paling tinggi saja tidak akan sanggup naik ke sana, karena tidak ada pijakan untuk melompat. Bagaimana kau bisa ke sana?"Danurwenda tersenyum, tentu saja dia bisa naik ke puncak sana dengan Ilmu Raga Angin. Namun, belum juga menggunakan ilmu tersebut, tiba-tiba angin berkesiur keras dari atas.Dua pemu
Dua pemuda itu sudah pergi meninggalkan gunung tempat sepasang rajawali raksasa berada. Mereka menunggang kuda ke arah timur dengan kecepatan sedang.Pancaka sulit mempercayai kalau Danurwenda anak dari Sepasang Rajawali Sakti yang terkenal lebih dari dua puluh tahun lalu.Akan tetapi dia melihat sendiri dua burung raksasa itu tampak menurut kepada Danurwenda. Di tanah Pasundan ini hanya ada sepasang rajawali raksasa milik pasangan pendekar itu."Sudah lama pasangan pendekar itu menghilang dan mempunyai anak yaitu kamu. Apakah sepasang burung itu tidak memiliki keturunan?"Danurwenda tertawa geli mendengar pertanyaan Pancaka. "Aku hanya melihat mereka berdua saja, tidak ada yang lain!""Ah, mungkin itu burung yang lain. Bukan tunggangan Sepasang Rajawali Sakti, siapa tahu burung raksasa di sini ada banyak dan kau cuma ngaku-ngaku!"Sekali lagi Danurwenda tertawa, lebih keras. "Terserah kau sajalah kalau tidak mau percaya. Kalau m
Si pemimpin tampak geram melihat temannya mudah dikalahkan lawan, tapi dia tidak percaya Pancaka bisa mampu melawannya yang kepandaiannya jauh di atas teman-temannya sehingga dia menjadi pemimpin."Jangan sombong dulu, keparat!"Si pemimpin menerjang sambil menghunus pedang berukuran besar, bentuknya seperti golok. Sambaran pedang besar ini membawa gelombang angin keras yang mampu merobek kulit.Pancaka melompat dari kuda seraya menarik senjata yang terselip di pinggang berupa pedang pendek. Senjata yang jarang dia gunakan, tetapi merupakan senjata pusaka warisan dari gurunya.Wutt!Pedang pendek milik Pancaka mengayun cepat membelah gelombang angin keras yang datang lebih dulu.Trang!Benturan keras dua senjata menimbulkan getaran sangat kuat. Jika dilihat dari bentuk dan ukuran, rasanya mustahil pedang pendek bisa menahan pedang besar.Akan tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaan membuat si pemimpin terkeju
Setelah menendang tubuh si pemimpin yang sudah menemui ajal dan menyarungkan kembali pedang pendeknya, Pancaka langsung melompat ke kuda lalu menggebah kuda tersebut hingga berlari.Danurwenda terbengong melihat tindakan Pancaka tersebut sambil garuk-garuk kepala. Menghempas napas sejenak, menggeleng lalu menyusul si pengawal pribadi Raden Jatnika itu."Ternyata ada orang yang berwatak aneh seperti dia," batin Danurwenda.Dua hari kemudian mereka sampai di pantai selatan. Sepanjang jalan memang tidak menemui hambatan lagi, tapi naluri mereka yang tajam merasakan bahwa sepanjang perjalanan selalu ada yang mengikuti secara diam-diam.Mereka tidak khawatir apalagi takut. Selama tidak menggangu, maka mereka juga tidak akan membuat masalah. Danurwenda dan Pancaka fokus pada tugas yang sedang diemban.Di pantai ini tampak sepi karena bukan merupakan dermaga tempat berlabuhnya kapal dari berbagai wilayah.Karena ini hanya tempat khusus
Melihat Danurwenda yang hanya melumpuhkan lawan saja, tidak sampai membunuh, maka Pancaka juga bertindak serupa.Pancaka tidak menarik senjatanya. Dia menggunakan jurus pertahanan dengan sesekali melakukan serangan balasan. Itu juga hanya untuk merobohkan lawan tanpa membunuh."Kepandaian mereka setingkat senapati, berarti tugas mereka sangat penting!" ujar seseorang yang bersembunyi di balik rimbun pohon, melihat ke arah pertempuran dari jauh."Apa perlu menambah pasukan, Gusti?" tanya satu orang lagi di sebelahnya."Tidak perlu, kita hanya menguji saja. Kebetulan mereka juga tidak ada niat membunuh, padahal mudah saja kalau mau melakukannya,""Jadi bagaimana, Gusti Senapati?""Biarkan mereka masuk, aku akan menyambutnya!"Dengan kualitas belasan penyerang yang rendah, maka pertempuran pun berlangsung singkat. Danurwenda dan Pancaka sudah merobohkan semua lawannya. Mereka berdua sudah semakin masuk ke dalam pulau.