Rasa tegang melanda dalam diri Prabu Gandacitra. Dia tidak menyangka menghadapi anak sulungnya saja sudah sangat kuat seperti ini. Sungguh di luar dugaan.
Apalagi menghadapi Prabu Wretikandayun langsung. Dia menjadi tidak yakin dan terlalu cepat bertindak walaupun sudah dengan rencana yang sangat matang.Sialnya kenapa harus bertemu putra raja ini sebelum sampai ke Karang Kamulyan?Bekas raja bawahan ini mulai khawatir usahanya selama ini akan sia-sia saja. Dia sempat melirik ke tempat putrinya bertarung tadi, sudah tidak ada di sana.Dugaannya sekuat apa pun ramuan sakti yang dia masukkan ke dalam tubuh Citrasari, tidak akan mampu menandingi kesaktian Danurwenda."Biarlah dia mati sekalian begitu pengaruh ramuan hilang!"Rasa ciut nyali mulai merayap. Keraguan melanda. Akankah dia teruskan perjuangan atau menyerah saja? Atau mundur dulu untuk membangun kekuatan yang lebih kuat?Semuanya sudah terlambat, Raden Jatnika pa"Sebenarnya mau ke mana, sudah sampai belum?"Pancaka terus ngoceh sepanjang kalan, pasalnya Danurwenda mengambil arah yang berlawanan dengan tujuan mereka.Sekarang mereka telah sampai di bawah gunung yang puncaknya merupakan tebing tinggi lurus. Tempat bersemayamnya sepasang rajawali raksasa dan juga menjadi kuburan kedua orang tua Danurwenda.Keduanya datang dengan menunggangi kuda pemberian istana."Sudah sampai," jawab Danurwenda."Tempat apa ini, mau apa kau?""Aku mau ke atas sana," tunjuk Danurwenda ke puncak tebing. "Kau mau ikut?""Memangnya kau bisa terbang? Orang dengan ilmu meringankan tubuh paling tinggi saja tidak akan sanggup naik ke sana, karena tidak ada pijakan untuk melompat. Bagaimana kau bisa ke sana?"Danurwenda tersenyum, tentu saja dia bisa naik ke puncak sana dengan Ilmu Raga Angin. Namun, belum juga menggunakan ilmu tersebut, tiba-tiba angin berkesiur keras dari atas.Dua pemu
Dua pemuda itu sudah pergi meninggalkan gunung tempat sepasang rajawali raksasa berada. Mereka menunggang kuda ke arah timur dengan kecepatan sedang.Pancaka sulit mempercayai kalau Danurwenda anak dari Sepasang Rajawali Sakti yang terkenal lebih dari dua puluh tahun lalu.Akan tetapi dia melihat sendiri dua burung raksasa itu tampak menurut kepada Danurwenda. Di tanah Pasundan ini hanya ada sepasang rajawali raksasa milik pasangan pendekar itu."Sudah lama pasangan pendekar itu menghilang dan mempunyai anak yaitu kamu. Apakah sepasang burung itu tidak memiliki keturunan?"Danurwenda tertawa geli mendengar pertanyaan Pancaka. "Aku hanya melihat mereka berdua saja, tidak ada yang lain!""Ah, mungkin itu burung yang lain. Bukan tunggangan Sepasang Rajawali Sakti, siapa tahu burung raksasa di sini ada banyak dan kau cuma ngaku-ngaku!"Sekali lagi Danurwenda tertawa, lebih keras. "Terserah kau sajalah kalau tidak mau percaya. Kalau m
Si pemimpin tampak geram melihat temannya mudah dikalahkan lawan, tapi dia tidak percaya Pancaka bisa mampu melawannya yang kepandaiannya jauh di atas teman-temannya sehingga dia menjadi pemimpin."Jangan sombong dulu, keparat!"Si pemimpin menerjang sambil menghunus pedang berukuran besar, bentuknya seperti golok. Sambaran pedang besar ini membawa gelombang angin keras yang mampu merobek kulit.Pancaka melompat dari kuda seraya menarik senjata yang terselip di pinggang berupa pedang pendek. Senjata yang jarang dia gunakan, tetapi merupakan senjata pusaka warisan dari gurunya.Wutt!Pedang pendek milik Pancaka mengayun cepat membelah gelombang angin keras yang datang lebih dulu.Trang!Benturan keras dua senjata menimbulkan getaran sangat kuat. Jika dilihat dari bentuk dan ukuran, rasanya mustahil pedang pendek bisa menahan pedang besar.Akan tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaan membuat si pemimpin terkeju
Setelah menendang tubuh si pemimpin yang sudah menemui ajal dan menyarungkan kembali pedang pendeknya, Pancaka langsung melompat ke kuda lalu menggebah kuda tersebut hingga berlari.Danurwenda terbengong melihat tindakan Pancaka tersebut sambil garuk-garuk kepala. Menghempas napas sejenak, menggeleng lalu menyusul si pengawal pribadi Raden Jatnika itu."Ternyata ada orang yang berwatak aneh seperti dia," batin Danurwenda.Dua hari kemudian mereka sampai di pantai selatan. Sepanjang jalan memang tidak menemui hambatan lagi, tapi naluri mereka yang tajam merasakan bahwa sepanjang perjalanan selalu ada yang mengikuti secara diam-diam.Mereka tidak khawatir apalagi takut. Selama tidak menggangu, maka mereka juga tidak akan membuat masalah. Danurwenda dan Pancaka fokus pada tugas yang sedang diemban.Di pantai ini tampak sepi karena bukan merupakan dermaga tempat berlabuhnya kapal dari berbagai wilayah.Karena ini hanya tempat khusus
Melihat Danurwenda yang hanya melumpuhkan lawan saja, tidak sampai membunuh, maka Pancaka juga bertindak serupa.Pancaka tidak menarik senjatanya. Dia menggunakan jurus pertahanan dengan sesekali melakukan serangan balasan. Itu juga hanya untuk merobohkan lawan tanpa membunuh."Kepandaian mereka setingkat senapati, berarti tugas mereka sangat penting!" ujar seseorang yang bersembunyi di balik rimbun pohon, melihat ke arah pertempuran dari jauh."Apa perlu menambah pasukan, Gusti?" tanya satu orang lagi di sebelahnya."Tidak perlu, kita hanya menguji saja. Kebetulan mereka juga tidak ada niat membunuh, padahal mudah saja kalau mau melakukannya,""Jadi bagaimana, Gusti Senapati?""Biarkan mereka masuk, aku akan menyambutnya!"Dengan kualitas belasan penyerang yang rendah, maka pertempuran pun berlangsung singkat. Danurwenda dan Pancaka sudah merobohkan semua lawannya. Mereka berdua sudah semakin masuk ke dalam pulau.
Janggala yang tadinya berdiri di dekat pintu, kini sudah duduk di samping permaisuri. Meski di usiannya yang sudah lima puluh tahun, tapi wajahnya masih tampak gagah dengan bulu-bulu tipis.Tatapan Janggala begitu menghujam dalam ke bola mata permaisuri yang juga tengah menatapnya. Ratnacitra seperti melihat satu sosok perkasa yang membuat gairahnya memuncak."Sekarang tumpuan kita hanya putramu, Amoksa. Aku akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk membantunya. Kakang Gandacitra memang gagal, tapi Amoksa tidak akan gagal. Kawunghilir harus bangkit dan menjadi ancaman kuat bagi Galuh!"Ketika berkata tadi, tangan Janggala sudah meraba ke balik kemben permaisuri dan meremas salah satu gunung kembar yang masih tampak kencang dan mulus itu."Oohh ...."Permaisuri mendesah lirik, kedua matanya menyipit, wajahnya mendongak dengan bibir ranum yang merekah. Napasnya menghempas pelan menimpa wajah Janggala.Lelaki gagah perkasa ini tak ku
Danurwenda merasakan energi yang lebih kuat dari sebelumnya, tenaga dalam orang ini bisa dikatakan setara dengan Birawayaksa alias Prabu Gandacitra. Energi ini menyerang dengan tekanan sangat kuat.Segera saja dia gunakan Ilmu Raga Angin, dia merasa belum saatnya menghadapi wanita yang belum jelas wujudnya ini."Gawat, masih ada orang sesakti ini di sini!" Pikiran Danurwenda langsung menduga-duga.Serangan tak kasat mata itu terus mengejarnya, beruntung Ilmu Raga Angin membantunya bergerak lebih cepat, sehingga serangan perempuan itu hanya sia-sia."Gila, gerakannya secepat itu. Aku tidak bisa meraba keberadaannya. Walaupun tidak tahu seberapa tinggi ilmunya, tapi dia cukup berbahaya dan bisa menjadi lawan tangguh!"Wanita setengah baya ini akhirnya tidak meneruskan mengejar Danurwenda. Ada urusan yang lebih penting yang sedang dia tangani. Lalu dia berbalik dan melesat ke atas bukit.Di lereng bukit mendekati puncak terdapat seb
"Baiklah, aku mengerti dan sekarang aku akan memutuskan mengenai isi pesan rajamu," kata Permaisuri Ratnacitra kemudian.Dari tadi Danurwenda tidak pernah mendengar Ratnacitra menyebut nama kebesaran raja, baik itu 'Gusti' atau 'Prabu', wanita ini hanya mengucapkan 'rajamu' saja.Namun, itu tidak jadi masalah bagi Danurwenda, walau sebenarnya mengandung suatu maksud tertentu. Danurwenda menunggu sang tuan rumah melanjutkan bicara."Kami akan memenuhi anjuran raja kalian untuk tinggal di Karang Kamulyan. Kami merasa sangat berterima kasih karena istana sudah memperhatikan kehidupan kami. Tentu ini suatu anugerah bagi kami. Walaupun sudah memberontak, tapi kerajaan masih mau mempedulikan kami,""Gusti Prabu hanya memandang satu orang saja sebagai pemberontak," kata Danurwenda, "sementara keluarganya tidak dianggap terlibat. Makanya Gusti Prabu memberikan kemurahan hatinya, tidak seperti raja lain yang menganggap Gusti Permaisuri sebagai harta rampas