Aku terus berlari menyusuri hutan belantara. Bertanya-tanya dalam ketidakpastian, apakah mereka—orang-orang suruhan paman Scott masih mengejarku di belakang? Berapa lama lagi aku harus berlari? Sepuluh menit? Dua puluh menit? Aku tidak mungkin mampu berlari selama itu. Aku mengatur napas sebelum kembali memaksakan diri untuk berlari, membiarkan oksigen mengisi kantong paru-paruku.
Saat suara kicau burung nuthatch tidak lagi terdengar, aku menyadari suasana hening yang ganjil menyelimuti pemandangan di sekitar. Hanya ada sekelompok pohon beech berukuran besar dengan banyak cabang; rantingnya berkelok-kelok membentuk jebakan, tumbuh dengan jarak yang rapat satu sama lain. Daun-daunan lebatnya menciptakan kanopi alami sebagai pelindung dari sinar matahari untuk menembus masuk. Semuanya berwarna hijau, terlalu asing untuk ukuran sebuah planet. Apa aku tersesat?
Aku buta arah, tidak ada petunjuk dan tidak yakin harus pergi ke utara atau selatan. Namun, diam di tempat juga bukan pilihan yang tepat. Tidak peduli betapa takutnya aku, pelarian harus tetap berlanjut. Saat kaki kiriku tidak sengaja menyandung akar yang mencuat membentuk setengah lingkaran, tubuhku tersungkur di atas permukaan tanah lembap. Luka gores dan memar menciptakan rasa nyeri yang ikut menambah daftar panjang kesulitan yang sedang kualami.
Setelah berjuang cukup jauh menyeret sepasang kakiku ke tempat lebih aman, aku berhenti di ceruk yang mirip dengan portal. Sekelilingnya ditumbuhi lumut porellales dan sulur tanaman ipomoea, seolah-olah menjadi lorong penghubung ke dunia lain. Tempat persembunyian yang sempurna. Aku memutuskan untuk melangkah lebih jauh, tetapi atmosfer secara tiba-tiba berubah, pengap oleh ketegangan magis yang menggantung di udara. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan di tempat mana pun.
“Eh? Ap-apa...”
Aku terkesiap, mundur, sebelum akhirnya jadi hilang keseimbangan dan terjerembap ke belakang. Dua ekor rusa dengan warna yang tidak lazim muncul, entah dari mana. Mereka berlari dalam kecepatan luar biasa. Hewan herbivor itu melompat dan menembus semak-semak, kemudian menghilang. Suara gemeresik daun-daunan kering yang terinjak menyusul muncul, mengalihkan takjubku.
Sesuatu yang berbulu, tangguh, dan setinggi delapan kaki; taring runcing di antara moncongnya tampak berkilau mengerikan, berdiri mengawasi. Dua pasang mata berwarna kuning itu mengerjap-ngerjap sebelum berubah menyipit, memicing dengan sikap siaga. Ekor mereka terangkat, menunjukkan sifat agresif yang diekspresikan. Suara geraman bernada rendah dari salah satunya terdengar seperti sebuah peringatan yang sengaja ditujukan padaku.
Serigala yang mempunyai bulu berwarna merah maju mendekat, kepalanya terteleng ke samping sambil melemparkan geraman tertahan. Sementara serigala lain yang berwarna cokelat mengawasi di belakang. Mereka terlihat lapar, siap untuk menerkam, mencabik, atau menelanku bulat-bulat.
“Serigala?” bisikku pada diri sendiri, setengah tidak percaya.
Serigala merah itu kembali menggeram, lebih keras dari sebelumnya. Hidungnya yang basah dan besar bergerak mengendus-endus udara kosong di antara kami. Aku menelan ludah dengan susah payah, bingung sekaligus takut.
Apa yang harus kulakukan? Lari? Lagi? Tidak, itu ide yang buruk. Tubuh para serigala itu berukuran seperti kuda, bukan anjing. Dengan kaki-kakinya yang panjang, aku adalah mangsa yang terlalu mudah untuk ditangkap. Aku bergidik membayangkan diriku terseok-seok, tidak tahu arah, dan berakhir dengan cara yang menyedihkan.
Belum hilang dari syokku, sesuatu yang berukuran jauh lebih besar kembali muncul. Aku terkesiap, tidak siap untuk kejutan yang lain. Satu, dua, tiga, empat, lima... aku terus menghitung. Mereka adalah kawanan, jelas. Jumlahnya hampir selusin dengan warna-warni bulu yang juga beraneka ragam.
Aku menahan nafas, berusaha menjaga kewarasan yang makin lama makin kupertanyakan. Serigala yang bertubuh lebih kecil dibandingkan yang lain di barisan belakang maju, keempat kaki kurusnya menapaki permukaan tanah yang setengah berlumpur. Sorot matanya yang sayu mengerjap-ngerjap, menyimpan keingintahuan.
Dari sepuluh ekor, ada satu yang mengundang perhatianku, dia tampak berbeda. Serigala hitam itu tetap berdiri tenang di barisan paling depan, tidak melolong atau bersikap agresif seperti yang lain. Sorot matanya tajam, seolah-olah ada sekotak misteri dalam sepasang bola matanya yang indah. Ukuran tubuhnya lebih besar beberapa inci, ditutupi surai tebal yang menjuntai dari lehernya. Tidak diragukan lagi, dia adalah seekor Alpha—pemimpin dalam kawanannya.
“Ja-jangan...” cicitku, kehilangan pita suara.
Sekujur tubuhku menggigil, pasrah. Sang Alpha mendengus sebelum punggungnya bergetar, lantas berubah menjadi sosok yang lain. Seekor... tidak, dia bukan seekor lagi, tetapi seorang—dia menjelma sebagai manusia.
Demi Tuhan, apa yang baru saja kulihat? Werewolf? Apa aku bermimpi? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Pria jadi-jadian itu sedang berjalan menuju ke arahku dengan sorot mata yang sama, dingin dan menusuk.
Lari, perintah suara dalam kepalaku.
Sekarang.
Se-ka-rang.
Aku tidak bisa melakukannya, balasku. Bagaimana caranya melarikan diri, jika tubuhku terlanjur membeku? Sial, selamat tinggal dunia!
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya suara bariton itu dengan aksen Glaswegian-nya yang kental.
Aku tercengang, tidak ada kesan menghakimi atau mengintimidasi dalam nadanya, meskipun ekspresi wajahnya terlihat sebaliknya. Apa yang kulakukan di sini? Aku tersesat, aku tidak datang ke tempat antah-berantah secara sukarela.
“Apa kau mengerti yang kukatakan?”
Aku tidak menyahut. Otakku sibuk mencerna serangkaian peristiwa tidak masuk akal yang terjadi. Aku mengambil spekulasi sementara, skizofrenia—penyakit gangguan mental dengan tingkat morbiditas tinggi yang menyebabkan pengidapnya berhalusinasi. Aku membutuhkan penanganan psikiater untuk berobat. Siapa yang akan percaya, jika aku sudah bertemu dengan para makhluk yang hanya eksis dalam cerita dongeng?
“I... I was lost,” jawabku sambil beringsut mundur ke samping.
Namun, pria itu membuat gerakan yang jauh lebih cepat. Salah satu tangannya terulur menarik pinggangku, sementara tangannya yang lain meraih rahangku. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai menggoda, memangkas jarak di antara kami. Aku bahkan bisa merasakan embusan panas dari napasnya yang menciptakan degup aneh di dadaku seperti pijar yang membara.
“Apa berdekatan denganku membuat ritme jantungmu menjadi lebih cepat dari biasanya?” bisik pria berambut karamel itu.
Aku benci mengakuinya, tetapi sebagai manusia normal, tubuh pasti memberikan reaksi, “Aku hanya—”
“Hanya apa?” potongnya, sepasang mata almonnya yang simetris menyipit, iris birunya menyorot wajahku dengan tatapan intens.
Aku mengalihkan pandangan, tidak tahan. Pria itu terlihat rupawan, tampan dengan garis rahang tegas, tulang hidung panjang dan runcing. Kulitnya sehalus beledu, cokelat seperti padang pasir. Dada telanjangnya terlalu mengundang untuk diabaikan. Otot-otot biseps dan pecs yang besar itu dihiasi rajah tato. Celana ripped jeans-nya menjerit karena ukuran yang tidak pas. Tipikal lawan jenis yang hanya bisa kau temukan dalam iklan majalah fesyen, bergaya memamerkan arloji Richard Mille atau tas Hermes edisi terbatas. Dia terlalu sempurna untuk ukuran seorang monster, bukan?
“Aku dikejar oleh tiga orang pria. Mereka ingin melelangku ke rumah bordil, jadi aku lari dan sampai di sini... dan tersesat... dan tidak menemukan jalan keluar,” akuku, tidak berani membalas tatapannya.
“Kau terluka.”
Aku mengerutkan kening, itu bukan sebuah nada untuk pertanyaan, “Ba-bagaimana kau tahu?”
“I can smell your blood from miles away. Apa mereka melukaimu?"
Aku menggeleng, “Tidak, aku terjatuh.”
“Kau tidak boleh berada di sini. Siapa namamu?”
“Anna.”
“Anna? Hanya Anna?”
“Um, ya. Anna. Anna Ortiz.”
Apa dia mempunyai nama? Apa kawanannya yang lain juga bisa berubah seperti dirinya? Berapa jumlah total mereka seluruhnya? Ratusan? Ribuan? Yang terpenting, apa makanan mereka? Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab, tetapi aku tidak cukup berani untuk menyuarakan semuanya.
“Xaferius. Xaferius Black,” bisiknya dengan suara serak yang membuat bulu kudukku meremang, seolah-olah mampu membaca pikiranku.
Xaferius. Namanya juga indah dan tidak biasa, kecuali marga umum yang terletak di belakangnya. Mengapa aku merasa ada keterikatan familier dengannya? Apa aku pernah bermimpi tentang werewolf sebelumnya?
***
“Jalan keluarnya... apa kau bisa membantu menunjukkan jalan keluarnya?” pintaku setengah merengek, berharap Xaferius melepaskan tubuhku dari dekapannya.“Tentu saja, lagi pula tempat ini bukan untuk manusia. Berbahaya.”“Berbahaya?” ulangku, perasaan takut kembali merayapi diriku.“Lebih berbahaya dari yang kau bayangkan, Anna.”“Dari yang kubayangkan?” lagi-lagi aku membeo.Xaferius melonggarkan dekapannya dari balik pinggangku, “Kita harus bergegas pergi sebelum matahari terbenam.”“Terima kasih.”&n
Anna. Nama yang diberikan dad padaku, artinya cantik; baik hati; karunia Tuhan—sesuai dengan diriku, katanya. Gen dari dad mewarisi ciri-ciri fisikku lebih banyak. Tinggiku hanya seratus-enam-puluh-dua senti, kecuali warna mata dan rambut yang gen dari mom sumbangkan untukku. Rambutku selalu cokelat, kadang-kadang memerah diterpa sinar matahari, serupa dengan iris mataku. Aku suka memasak. Kegiatan itu membuatku tenang, melepaskan penat dan melupakan rindu yang terus-menerus datang. Aku masih berusia tujuh tahun, manja dan suka membuang sayur-sayuran—terutama brokoli, dari piringku, saat d
Aku tidak pernah merasa istimewa, aktivitas keseharianku juga selalu datar dan monoton. Aku mengalami masa-masa sulit dengan tujuan hidup yang tidak lagi kupunya saat Dad dan Mom pergi, tetapi—secara ajaib, aku berhasil melewatinya. Bukti bahwa takdir masih tetap memegang kendali atas diriku. Setelah semua peristiwa panjang yang terjadi, aku harus memulai kehidupan baru. Jauh dari keluargaku yang lain.Saat Xaferius menanyakan alamat tujuanku, aku terenyak—sadar jika aku sebatang kara dan menyedihkan, tidak mempunyai apa pun. Pria itu menawarkan kemurahan hatinya, dia mengizinkan aku tinggal untuk sementara di rumahnya. Dengan syarat, aku harus tutup mulut pada orang-orang, pada dunia, tentang eksistensi para
Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan.Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit.Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa s
Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.“Iya, seperti yang kau lihat.”“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.“Namanya Anna, Aldrich.”
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.“Apa yang kau katakan?”Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”“Tentu saja
Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya.Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya.“Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya.Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de