Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya.
Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya.“Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya.Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Aku memekik, terbangun dari mimpi buruk dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhku. Pakaian yang sedang kukenakan terasa lengket, menjiplak di beberapa bagian anggota tubuh tertentu. Aku baru menyadari sepasang tanganku terikat, saat aku bermaksud ingin menyeka bulir yang jatuh meleleh di ujung hidungku. Siapa yang melakukannya?Aku panik, berusaha melepaskan diri dari bebatan itu. Aku meronta-ronta dan menggigitnya dengan gigiku. Namun, hasilnya nihil. Tali itu masih tetap mengekang, membuatku tidak bisa bergerak leluasa.“Ah, rupanya Tuan Putri sudah bangun,” celetuk suara itu dari arah pintu yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuhnya.“Aldrich?”“Ya, ini aku.”
Rabu.Kamis.Jumat.Sabtu.Aku berulang kali memandangi almanak meja di samping tempat tidur, menghitung hari-hari yang terasa panjang. Sesekali menyibak tirai sutra hijau zamrud yang selaras dengan warna cat di dinding, menengok ke arah jalanan yang selalu sibuk. Rumah Aldrich terletak di tepi lembah yang langsung mengarah ke kelompok permukiman, jadi aku sering memperhatikan detail kecil dari diorama kota yang hanya menawarkan sisi metropolis dan hingar bingarnya, melupakan sisi lain kawasan urban yang juga berperan sebagai arena kontestasi. Tidak banyak yang kulihat, selain laju kendaraan memadati lalu lintas. Mereka saling beradu cepat untuk mengklakson dan mendahului, seolah-olah sedang dikejar waktu.
Aku berterima kasih pada suara ketukan di pintu yang—lagi-lagi terdengar seperti garukan, membuyarkan aksi Aldrich yang nekat dan tidak pantas. Aku berkelit dari dekapannya, merapikan posisi pakaianku dengan benar, memastikan tidak ada bagian yang terlipat agar para pelayan itu tidak menyadari perbuatan memalukan kami. Perbuatan majikan mereka—Aldrich, ralatku.Aldrich bergerak ke tepi ranjang, sikapnya masih tetap tenang. Dia merapikan kerah kemeja buntungnya yang berantakan, kemudian berdiri menepuk-nepuk celana jengkinya yang kusut sambil mencuri pandang ke arahku lewat sudut matanya. Aku membuang muka, memandang sebuah tanaman echinocactus grusoni—jenis kaktus yang berasal dari Meksiko, berbentuk gentong, berduri-duri besar, kuat, dan tajam dengan warna kuning emas, di atas rak gantung. Ide untuk melempar wajah pria itu dengan kaktus mendadak muncul, tindakan ya
Aku bolak-balik menoleh ke arah dinding—tempat di mana alat pengukur waktu itu tergantung, benda berbentuk segitiga itu terus berdetak dari detik ke menit, dari menit ke jam. Jarum penunjuknya menuju ke angka enam, tetapi langit masih tetap terang.Aku menunggu, duduk di pinggir jendela geser yang terbuka sambil melongok ke bawah dan mengutuk Aldrich. Mengapa dia harus membangun rumah di area terpencil? Aku telah memperhitungkan jarak untuk melompat—tinggi sekali, aku bahkan tidak yakin kedua kakiku masih dalam kondisi baik-baik saja jika aku nekat melakukannya.Tenanglah, Anna.Pikirkan cara yang lain.Aku menarik napas, mengembuskannya dengan kasar. Apa yang harus kulakukan? Ide untuk melompat ternyata
Lari.Sekarang atau tidak selamanya.Kata itu terus terngiang dalam kepalaku. Aku berhasil kabur melalui jendela dari sambungan beberapa helai kain belacu lama yang tidak terpakai. Aldrich pasti sadar sekarang. Kamarnya yang luas kosong tanpa aku. Aku tidak ingin membayangkan reaksi pria itu—tidak sanggup, lebih tepatnya.Aku tersesat setelah kembali berlari memasuki jantung hutan—hutan rawa yang berkembang di kawasan yang tergenang air tawar secara periodik, bukan jenis hutan belantara seperti tempat pertama kali aku menemukan portal. Daerah itu ditumbuhi oleh vegetasi yang bervariasi, tetapi tetap didominasi warna hijau sejauh mana pun mata memandang—mengembalikan perasaan yang akrab di dalam dada.
Mereka serigala—bukan hanya seekor, melainkan para kawanan. Sepasang mata kecilku yang polos kembali menangkap bayangan lain di antara rerumputan. Serigala hitam dengan sepasang mata birunya yang indah itu balas memandangku. Tunggu, apa serigala memang mempunyai warna mata seperti itu?Aku mengerjap-ngerjap, lantas beralih memungut boneka beruang yang warnanya tidak lagi cokelat di atas tanah—memeluk dan menggendongnya seperti seorang bayi. Hewan buas tiruan itu merupakan satu-satunya peninggalan terakhir dari mendiang orang tuaku. Kami tidak terpisahkan.Aku bertengkar dengan Bibi Hailey—istri Paman Scott, yang selalu mempunyai masalah dengan berat badannya itu tadi. Dia mengata-ngataiku sebagai ‘si pembawa sial’ hanya karena aku tidak menghabiskan sup krim jagung buatannya yang payah.
Suara gerombolan burung bulbul kembali memecah suasana hening sementara di antara kami. Aku tidak mengerti. Mengapa mereka harus bersiul di waktu yang tidak lazim seperti sekarang? Apa itu merupakan sebuah tanda untuk sesuatu?Keadaan malam di hutan rawa tidak sama seperti hutan lain yang pernah kukunjungi—atau tidak sengaja kukunjungi, lebih tepatnya. Kawasannya jauh lebih gelap—kelam yang mencekam, tidak ada sesuatu yang indah di sini, kecuali unicorn dan tupai yang tadi kujumpai. Aku bahkan masih sangsi dengan keberadaan mereka yang benar-benar ada atau hanya halusinasi yang tercipta oleh sang mermaid agar aku teperdaya.“Aldrich?”
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de