Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.
“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.
“Iya, seperti yang kau lihat.”
“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.
“Namanya Anna, Aldrich.”
“Apa si Anna ini teman ranjangmu atau kau mulai mengubah gaya hidup dengan menyantap darah manusia juga?” selidik Aldrich yang masih enggan mengalihkan pandangannya dari sekujur tubuhku.
“Jaga bicaramu, sialan,” bentak Xaferius.
“Kupikir—”
“Tutup mulutmu. Ini...” Xaferius melemparkan kantong-kantong darah itu pada Aldrich yang seketika menangkapnya dengan sigap. “Masukkan saja ke dalam lemari pendingin.”
Aku menyisir rambutku dengan jemari, berusaha menghilangkan perasaan gugup yang mendadak menyergapku. Werewolf lain... bagaimana caraku mengatasinya? Apa aku harus menyapa dan melambai padanya?
“Kemarilah, Anna. Apa kau baik-baik saja?” tanya Xaferius yang tampak khawatir, kedua alisnya yang tebal bertaut padaku.
“Iya, tentu saja. Aku hanya... um, sedikit tidak enak badan,” kilahku.
“Kau tahu kau tidak pintar berbohong, tetapi masih sering melakukannya. Lucu juga,” komentarnya.
“Aku baik-baik saja.”
“Beristirahatlah di kamar, Anna.”
Aku menurut, selain tidak ingin berdebat, aku juga ingin segera pergi dari hadapan Aldrich yang selalu mengawasi setiap langkah dan gerak-gerikku. Caranya memandang membuatku risi. Apa ada yang salah dari penampilanku? Aku mengecek pakaian yang sedang kukenakan, lengkap. Tidak ada kotoran atau robekan apa pun, semuanya masih wajar. Jadi, apa masalahnya?
“Aku... aku pergi ke kamar sekarang,” pamitku pada Xaferius sambil menyunggingkan senyum yang dipaksakan.
Xaferius mengedipkan kedua matanya sebagai balasan untuk ‘iya’. Dia memperhatikanku naik, kemudian beralih pada Aldrich yang masih tetap memberiku tatapan mengerikan itu. Aku bergidik membayangkan apa yang sedang pria itu pikirkan sekarang.
Darahmu, sela suara dalam kepalaku.
Tidak semua, tetapi sebagian besar dari golongan yang bertaring menggemari itu, bukan? Apa itu juga ada kaitannya dengan aroma tubuhku seperti yang Xaferius katakan tadi? Jika itu benar, aku dalam bahaya sekarang.
Setelah kaki kananku berpijak di anak tangga keempat, Aldrich bergerak dalam kecepatan luar biasa—tubuhnya melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya, dia menerkam punggungku. Aku terpental dari railing, tubuhku menghantam permukaan lantai marmer dan terguling ke sudut dinding. Semuanya terjadi begitu cepat seperti sebuah film yang dibuat dalam mode fast forward. Namun, anehnya, aku tidak merasa sakit sama sekali. Sesuatu yang seharusnya kurasakan saat jatuh atau membentur benda keras.
Xaferius. Dia lagi-lagi menyelamatkanku. Tubuhnya yang besar menghalangi tubrukan parah yang dapat terjadi, jika dia tidak bergerak lebih cepat untuk melindungiku. Aku tidak bisa melukiskan kata-kata yang cocok atas semua kecepatan yang mereka punya, kecuali mustahil.
“Apa kau terluka?” semburnya lewat sela giginya yang bergemeletuk nyaring.
Aku hanya mampu menggeleng, berusaha menormalkan degup jantung yang memukul dadaku. Apa yang terjadi? Mengapa Aldrich bertindak sekasar itu padaku? Aku menggulir sepasang mataku ke depan, tetapi justru mendapati pemandangan yang benar-benar tidak ingin kulihat. Aldrich belum berhenti memburuku, dia masih memasang sikap siaga. Tubuhnya condong ke depan, siap untuk menerjang.
Déjà vu. Aku mendadak teringat pada peristiwa pertemuan pertamaku dengan Xaferius dan lainnya. Adaire—pria berambut tembaga ikal itu juga nyaris menerkamku dengan sorot mata yang sama, lapar. Aku memekik, berharap kematian tidak datang secepat ini menjemputku. Aku masih ingin hidup, mewujudkan impian yang tertunda; membuka toko bunga... pergi ke makam Dad dan Mom dengan karangan bunga karyaku sendiri.
“Mundur!” raung Xaferius yang terlebih dahulu menerjang, dia melompat dalam gerakan luwes seketika berubah wujud menjadi serigala hitam.
Aldrich terjerembap ke belakang, tubuhnya membentur lemari yang digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pecah belah itu, menimbulkan suara debam yang memenuhi seantero ruangan. Dia balas meraung, lantas bangkit dan bertransformasi seperti yang Xaferius lakukan sebelumnya. Tubuh pria itu bergetar, berganti menjadi sosok lain dalam sekejap.
Serigala putih.
Serigala putih itu—Aldrich, surainya sedikit lebih pendek, tetapi indah. Potongannya rapi, menjuntai dari arah dagu ke tengkuk. Ukuran tubuhnya sama besar dengan Xaferius, garang dan tegap. Sorot matanya dikuasai obsesi. Ciri-ciri yang hanya dimiliki oleh seekor Alpha, persis seperti yang kulihat dalam diri Xaferius.
Hewan berkaki empat itu mendengking dan menghancurkan nyaris semua jenis perabotan hanya dengan satu lompatan dari tapak kakinya yang lebar. Dia menggeram, siap untuk menyerang. Namun, serigala hitam yang berdiri di hadapanku melancarkan aksi lebih dahulu. Mereka saling merangkul dan menjatuhkan, mengimpit satu sama lain. Pergulatan itu terus berlangsung, tidak terhitung jumlah barang-barang yang hanya tinggal menyisakan jejak serpihan kecil di atas lantai.
Warna bulu yang kontras itu mengingatkanku pada simbol yin-yang; hitam dan putih, dua sisi elemen yang bertentangan. Tidak dapat berdiri sendiri, tanpa didampingi hal lainnya yang bersifat kebalikan. Namun, mereka saling melengkapi dan membentuk aspek dalam kehidupan.
Duo werewolf itu masih bergumul, belum menunjukkan tanda untuk mengakhiri pertarungan. Xaferius terlempar ke meja, disusul suara berdebam yang mengejutkan. Benda berbentuk persegi panjang itu remuk menjadi kepingan. Dia dengan tangkas bergerak membalas, taringnya yang tajam menancap di punggung Aldrich, membuat serigala putih itu melolong kesakitan.
Suasana mendadak berubah mencekam, jika pertempuran itu tidak berhenti juga, maka mereka atau salah satu dari mereka pasti terluka. Apa yang harus kulakukan? Berpikirlah, Anna... pikirkan cara terbaik untuk menyudahi perkelahian ini.
Sepasang kakiku refleks melangkah menuju ke arah Aldrich dan Xaferius yang saling menggigit. Sesuatu yang berisiko, tetapi aku tidak memikirkan konsekuensinya, toh aku telah terlibat dengan kaum immortal. Sejak awal, aku juga mengetahui bahwa emosi para werewolf tidak stabil. Mereka cenderung ceroboh dalam mengelola luapan perasaan, sehingga menyakiti orang-orang atau siapa saja yang berada dalam radius dekat dengannya.
“Xaferius?” panggilku, berharap mereka berhenti.
Serigala hitam itu tersentak, seolah-olah baru menyadari aku masih berada di dalam ruangan yang sama dengannya. Sepasang matanya yang bulat mengerjap-ngerjap, sontak mengalihkan pandangannya dari Aldrich. Punggungnya bergetar, kemudian bertransformasi ke wujud manusia lagi. Dia menghampiriku dengan dua langkah yang panjang, memelukku begitu erat. Aroma parfumnya yang harum menguar melalui pori-pori kulitnya. Bau khas elemen kayu itu berpadu dengan buah apel dan bergamot—membungkus semua kekhawatiran yang menggantung di benakku, membuatnya menguap tanpa bekas.
“Dasar bodoh, seharusnya kau menjauhi area pertempuran. Jika aku benar-benar kehilangan pengendalian diri tadi, kau mungkin saja terluka karena kami. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri,” tandas Xaferius sambil mengelus puncak kepalaku.
“Aku tidak ingin kau terluka,” akuku.
“Aku tidak akan terluka semudah itu, Anna,” desah Xaferius, suaranya parau.
“Aku tahu, tetapi—”
Suara dengking lewat moncong serigala putih itu menyela, punggungnya ikut bergetar seiring dengan pandangan yang menyiratkan emosi dari balik pupil sempit matanya. Dia kembali menjelma menjadi sosok manusia yang menawan. Model rambutnya yang ditata ala undercut man bun itu sedikit berantakan, cepolnya miring ke kiri dan membuat sebagian helainya keluar dari jalur. Namun, gaya itu justru memberi kesan badass yang pas sebagai visual lengkap dari dirinya. Sepasang iris hijaunya yang serupa batu peridot mengerling pada kami—jernih, tetapi berbahaya. Kulitnya tampak mengilap diterpa sinar matahari yang masuk melalui celah jendela. Warnanya bukan cokelat, cenderung kuning, seperti buah-buahan daerah tropis yang ideal dan sesuai untuk figurnya yang sarat dengan kebebasan. Singkat kata, pria itu juga mempunyai daya tarik yang dapat memorak-porandakan fokusmu—fokusku juga. Tanpa cela, sempurna.
Aku bertanya-tanya, apa wajah seperti mereka memang umum dalam dunia immortal atau hanya berlaku untuk beberapa kaum tertentu saja?
“Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu, manusia,” bisik Aldrich yang masih berdiri mematung di posisinya.
Dia mengusap-usap tengkuknya, canggung. Bibirnya berkedut-kedut membentuk seringai yang tidak bisa kutebak maknanya. Menyesal atau mengejek, aku tidak tahu.
“Anna,” koreksi Xaferius dengan nada kasar. “Apa yang kau pikirkan, bodoh? Apa kau ingin membunuhnya?”
“Aku tidak ingin membunuhnya,” kilah Aldrich. “A-aku... well, aku kehilangan pengendalian diri. Aroma tubuhnya membuatku gila. Aku tidak pernah mencium bau sekuat itu sejak sembilan puluh tahun terakhir, kecuali seseorang yang kukenal di sekolah dahulu.”
“Jadi, kau menyerangnya berdasarkan alasan konyol itu? Kau seorang Alpha dalam pack-mu, tetapi kau bahkan tidak bisa mengontrol dirimu sendiri. Kau memalukan,” cecar Xaferius.
Aldrich menggertakkan giginya, “Dan atas dasar apa kau mencercaku, hah?”
“Atas dasar nyawa yang ada di belakangku ini,” tunjuk Xaferius ke wajahku. “Kau bertindak sembrono! Jika sampai terjadi sesuatu pada Anna, aku benar-benar tidak akan memaafkanmu.”
“Aku sudah meminta maaf padanya, bukan? Itu tidak sengaja.”
“Pergilah dari sini, Aldrich.”
“Apa kau mengusirku?” tanya Aldrich, dia menatap Xaferius dengan sorot mata tidak percaya.
“Aku tidak mengusirmu,” seru Xaferius yang emosinya terusik lagi.
“Kau mendepakku keluar hanya karena seorang manusia. Apa kau sadar?”
“Jangan coba-coba membuatku marah, Aldrich. Aku harus merapikan semua kekacauan yang kau buat di sini. Pergilah, sekarang,” semburnya, tangan kirinya mengepal kuat-kuat.
Aku tidak sanggup menyaksikan pertarungan yang lain. Aku tidak ingin Aldrich dan Xaferius saling menyakiti. Itu salah, mereka keluarga. Namun, aku lupa, hubunganku dengan Paman Scott juga merupakan kerabat yang dinaungi ikatan bernama keluarga. Keluarga adalah segalanya, tetapi apa itu benar-benar berlaku untuk semua orang? Berapa banyak yang merasa terjebak di dalam keluarganya sendiri, menunggu agar dapat melarikan diri dalam bentuk keajaiban atau bahkan kematian?
“Ja-jangan berkelahi lagi, kumohon,” selaku pada mereka.
“Anna, ya?” komentar Aldrich, pandangannya beralih padaku. “Terus terang, kau tampak begitu... menggoda. Aku suka caramu berbicara dengan sorot mata yang takut. Kau memprovokasi insting lain dalam diriku. Apa kau ingin bergabung dengan pack-ku?”
Keningku mengerut, syok, “A-apa?”
***
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.“Apa yang kau katakan?”Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”“Tentu saja
Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya.Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya.“Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya.Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Aku memekik, terbangun dari mimpi buruk dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhku. Pakaian yang sedang kukenakan terasa lengket, menjiplak di beberapa bagian anggota tubuh tertentu. Aku baru menyadari sepasang tanganku terikat, saat aku bermaksud ingin menyeka bulir yang jatuh meleleh di ujung hidungku. Siapa yang melakukannya?Aku panik, berusaha melepaskan diri dari bebatan itu. Aku meronta-ronta dan menggigitnya dengan gigiku. Namun, hasilnya nihil. Tali itu masih tetap mengekang, membuatku tidak bisa bergerak leluasa.“Ah, rupanya Tuan Putri sudah bangun,” celetuk suara itu dari arah pintu yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuhnya.“Aldrich?”“Ya, ini aku.”
Rabu.Kamis.Jumat.Sabtu.Aku berulang kali memandangi almanak meja di samping tempat tidur, menghitung hari-hari yang terasa panjang. Sesekali menyibak tirai sutra hijau zamrud yang selaras dengan warna cat di dinding, menengok ke arah jalanan yang selalu sibuk. Rumah Aldrich terletak di tepi lembah yang langsung mengarah ke kelompok permukiman, jadi aku sering memperhatikan detail kecil dari diorama kota yang hanya menawarkan sisi metropolis dan hingar bingarnya, melupakan sisi lain kawasan urban yang juga berperan sebagai arena kontestasi. Tidak banyak yang kulihat, selain laju kendaraan memadati lalu lintas. Mereka saling beradu cepat untuk mengklakson dan mendahului, seolah-olah sedang dikejar waktu.
Aku berterima kasih pada suara ketukan di pintu yang—lagi-lagi terdengar seperti garukan, membuyarkan aksi Aldrich yang nekat dan tidak pantas. Aku berkelit dari dekapannya, merapikan posisi pakaianku dengan benar, memastikan tidak ada bagian yang terlipat agar para pelayan itu tidak menyadari perbuatan memalukan kami. Perbuatan majikan mereka—Aldrich, ralatku.Aldrich bergerak ke tepi ranjang, sikapnya masih tetap tenang. Dia merapikan kerah kemeja buntungnya yang berantakan, kemudian berdiri menepuk-nepuk celana jengkinya yang kusut sambil mencuri pandang ke arahku lewat sudut matanya. Aku membuang muka, memandang sebuah tanaman echinocactus grusoni—jenis kaktus yang berasal dari Meksiko, berbentuk gentong, berduri-duri besar, kuat, dan tajam dengan warna kuning emas, di atas rak gantung. Ide untuk melempar wajah pria itu dengan kaktus mendadak muncul, tindakan ya
Aku bolak-balik menoleh ke arah dinding—tempat di mana alat pengukur waktu itu tergantung, benda berbentuk segitiga itu terus berdetak dari detik ke menit, dari menit ke jam. Jarum penunjuknya menuju ke angka enam, tetapi langit masih tetap terang.Aku menunggu, duduk di pinggir jendela geser yang terbuka sambil melongok ke bawah dan mengutuk Aldrich. Mengapa dia harus membangun rumah di area terpencil? Aku telah memperhitungkan jarak untuk melompat—tinggi sekali, aku bahkan tidak yakin kedua kakiku masih dalam kondisi baik-baik saja jika aku nekat melakukannya.Tenanglah, Anna.Pikirkan cara yang lain.Aku menarik napas, mengembuskannya dengan kasar. Apa yang harus kulakukan? Ide untuk melompat ternyata
Lari.Sekarang atau tidak selamanya.Kata itu terus terngiang dalam kepalaku. Aku berhasil kabur melalui jendela dari sambungan beberapa helai kain belacu lama yang tidak terpakai. Aldrich pasti sadar sekarang. Kamarnya yang luas kosong tanpa aku. Aku tidak ingin membayangkan reaksi pria itu—tidak sanggup, lebih tepatnya.Aku tersesat setelah kembali berlari memasuki jantung hutan—hutan rawa yang berkembang di kawasan yang tergenang air tawar secara periodik, bukan jenis hutan belantara seperti tempat pertama kali aku menemukan portal. Daerah itu ditumbuhi oleh vegetasi yang bervariasi, tetapi tetap didominasi warna hijau sejauh mana pun mata memandang—mengembalikan perasaan yang akrab di dalam dada.
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de