“Jalan keluarnya... apa kau bisa membantu menunjukkan jalan keluarnya?” pintaku setengah merengek, berharap Xaferius melepaskan tubuhku dari dekapannya.
“Tentu saja, lagi pula tempat ini bukan untuk manusia. Berbahaya.”
“Berbahaya?” ulangku, perasaan takut kembali merayapi diriku.
“Lebih berbahaya dari yang kau bayangkan, Anna.”
“Dari yang kubayangkan?” lagi-lagi aku membeo.
Xaferius melonggarkan dekapannya dari balik pinggangku, “Kita harus bergegas pergi sebelum matahari terbenam.”
“Terima kasih.”
“Terima kasih?”
Aku mengangguk, “Kau menolongku. Aku sangat berterima kasih untuk itu.”
Xaferius mendengus, “Tidak perlu dipikirkan, menjadi pahlawan sama sekali bukan cita-citaku.”
“Tetap saja—”
“Berhati-hatilah dengan pikiranmu, Anna. Aku penyelamat bagimu sekarang, tetapi kau tidak tahu siapa aku. Tidak ada yang menjamin aku selalu menjadi… baik.”
Perutku terpilin. Ada sebuah sinyal peringatan yang tersirat dalam ucapannya. Pria itu benar, aku tidak boleh mengambil penilaian terlalu cepat.
“Ka-kau benar.”
Xaferius bergerak mengitariku, langkahnya pelan dan teratur. Tatapannya tidak berubah, masih tetap seintens semula. Penuh dengan api, siap membakarku kapan saja. Aku menjilat bibirku, menghilangkan perasaan gugup yang melingkupi diriku. Dia menyipitkan sepasang matanya, kemudian gerakannya berhenti. Kedua tangannya terlipat di dada, menumpahkan seluruh perhatiannya padaku—atau bibirku. Aku tidak tahu yang mana, tetapi dia terus menyoroti titik itu dengan keras.
“Apa kau takut padaku?”
“Ta-takut? Tidak. Mengapa aku harus takut padamu? Maksudku, kau terlihat seperti were—um, orang baik,” kilahku, berusaha tersenyum, tetapi justru lebih mirip dengan cengiran.
“Benarkah?”
“Uh-huh,” sahutku lagi sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket bomberku.
“Itu mengejutkan, most people find me intimidating.”
“Um, mungkin itu karena suaramu.”
“Suaraku?” balasnya, sorot matanya tampak penasaran.
“It’s really deep and your tone is confident too.”
“Ah, benarkah?”
Aku lagi-lagi mengangguk, “Tentu saja.”
“Aku terkesan dengan sikap tenangmu, Anna. Kau tidak berteriak atau bahkan berlari, luar biasa.”
Kau tidak tahu, Tuan Manusia Serigala. Aku membeku—tidak, lebih dari itu. Aku nyaris mengencingi celana panjangku.
“Er—terima kasih?”
Xaferius hanya menanggapi dengan senyum, dia mengembuskan napas; kasar dan… entah—frustrasi? Apa aku menyinggungnya? Aku masih ingin bertanya lebih banyak, tetapi tiba-tiba suara lolongan serigala lain terdengar dari kejauhan, bertepatan dengan hawa ganjil yang datang bersama tiupan angin. Para kawanan serigala di belakang Xaferius terlihat gelisah, beberapa di antaranya bahkan menggeram dan melolong dengan balasan nada yang lebih tinggi. Apa yang terjadi?
“Mereka melewati perbatasan. Bersiaplah, jumlahnya tidak banyak,” desis Xaferius pada para kawanan itu, dia berusaha menahan emosinya agar tidak meledak di dekatku.
“Apa mereka baik-baik saja?”
Xaferius berbalik dan memandangku dengan tatapan serius, “Mereka baik-baik saja, hanya—”
“Apa?” selaku, tidak sabar.
“Kau harus pergi dari sini, Anna. Para vampir sedang menuju ke area perbatasan.”
Aku tercekat, ada sensasi globus yang mengganjal di tenggorokanku. Perasaan itu membaur menjadi satu dan membuatku tidak nyaman. Di sisi lain, aku bangga pada diriku sendiri karena masih bisa berdiri, tidak kehilangan kesadaran.
Vampir.
Makhluk pengisap darah.
Aku melafalkan julukan makhluk itu dengan peluh yang membasahi kening. Pertama, Paman Scott. Kedua, para manusia serigala. Ketiga, para vampir. Mengapa keberuntungan selalu menjauhiku? Namun, bukankah aku hanya harus terbangun agar mimpi buruknya berakhir?
“Anna? Anna?” panggil Xaferius, dia menyentak tubuhku berkali-kali.
“Eh?”
“Apa kau mendengarku? Kau tidak boleh bersamaku. Naiklah ke punggung Shaunn dan pergi menjauh dari sini,” desisnya padaku, sepasang matanya terlihat berkilat khawatir.
“Shaunn?”
“Sekarang,” hardiknya sambil mendorong tubuhku ke arah para kawanan serigala yang sedang mengatur barisan.
Suara lolongan yang panjang kembali menggema, menimbulkan lonjakan panik dalam ekspresi wajah Xaferius. Dia terlihat membeku, sedetik kemudian, tubuhnya bergetar dengan keras. Posisinya setengah membungkuk dan bertransformasi ke wujud hewan berkaki empat, sama seperti sebelumnya.
Xaferius dalam bentuk serigalanya menoleh padaku, dia memamerkan seringai lebar lewat moncongnya. Kupikir dia sedang berkomunikasi atau memberitahukan sesuatu. Para kawanan serigala pun bergerak maju, membentuk sebuah formasi melingkar yang melindungi diriku. Aku seketika merasa aman sekaligus rapuh di waktu yang bersamaan.
Serigala abu-abu kecil yang tampak berusia lebih muda dari yang lain mengambil jarak lebih dekat denganku. Dia menempelkan kepalanya pada punggungku, lantas mendengus pelan. Aku memekik, terkejut karena tidak pernah berinteraksi sedekat itu dengan serigala sebelumnya. Aku mencoba menerka apa yang ingin makhluk berbulu lembut itu katakan, tetapi tetap saja tidak bisa menangkap maksudnya. Jadi, aku hanya berdiri dengan canggung di sampingnya.
Shaunn.
Nama itu bergaung dalam kepalaku, seiring terpaan angin yang jauh lebih kencang dari arah berlawanan. Apa serigala abu-abu itu sedang mengajakku berkomunikasi? Sejak kapan aku mempunyai kemampuan membaca pikiran? Atau aku memang tidak waras dalam artian yang sebenarnya?
Aku mencuri pandang ke sosok serigala abu-abu yang masih berdiri dengan tenang, tetapi waspada, di sampingku. Dia tidak terlihat sedang berbicara, pandangannya fokus ke depan. Halusinasi, simpulku.
Suara geraman Xaferius yang tiba-tiba, terdengar begitu keras memecah kesunyian dan menyita semua perhatianku pada sesuatu yang sedang mereka tunggu. Suasana temaram mengantarkan tanda, jika senja sudah turun dan hawa ganjil itu kembali muncul bahkan suhu terasa jauh lebih dingin dari sebelumnya. Tubuhku bergetar, saat dua pasang mata yang sorotnya hampir serupa, tajam dan tidak bersahabat itu tampak berkilat haus dari balik batang pepohonan yang panjang. Siluet-siluet mereka bergerak lurus dalam tempo singkat, memperlihatkan dua vampir pria yang mempunyai kulit pucat seperti salju.
Dua sosok itu menyeringai pada Xaferius, salah satu yang berambut pirang dan berjanggut tebal memamerkan taringnya dengan pongah. Sementara yang satu lagi terlihat lebih beradab, dia tidak menunjukkan sikap mengolok-olok atau menantang para kawanan serigala. Kulitnya tidak sepucat si pirang. Rambut abu-abunya dibiarkan tergerai bergelombang ke pundak, begitu pas dengan kontur rahang bentuk perseginya. Irisnya yang cokelat tampak kontras, meninggalkan jejak memesona di setiap gurat wajah aristokratnya. Jika penampilan Xaferius lebih cocok sebagai peragawan, si vampir itu justru terlihat sebaliknya. Posturnya kaku, seolah-olah sedang menderita myalgia—nyeri otot yang disebabkan oleh aktivitas fisik seperti olahraga atau keseleo.
“Apa kalian sedang mengadakan pesta di sini? Aromanya lezat sekali,” tanya si pirang, dia terlihat antusias dan penuh harap.
Aku memang naif, tetapi aku tidak bodoh untuk bisa menangkap apa yang dia maksud. Itu aku. Mereka predator, predator selalu berada di rantai teratas makanan dalam setiap ekosistem.
Xaferius membalas dengan geraman pendek. Dia kembali mengubah wujudnya menjadi manusia dalam sekejap. Para kawanan lain memasang kuda-kuda, siap bertempur, jika itu memang dibutuhkan.
Serigala merah yang pertama kali menemukanku ikut bereaksi dengan mendengking, dia terlihat marah. Bulu punggungnya menegak, siap menerjang. Namun, dua ekor serigala cokelat di dekatnya menggeram, memberi peringatan untuk menunggu. Alpha mereka mendesis, meminta para kawanan tidak bertindak gegabah.
“Dia bersamaku, Gavin. Itu artinya dia milikku.”
“Well, sayang sekali. Kupikir kalian—”
“Aku tidak membagi milikku dengan orang lain. Seharusnya itu cukup jelas untukmu.”
Vampir rupawan yang dari tadi menyaksikan perdebatan mereka memberi simbol untuk tutup mulut pada Gavin—si pirang itu, dia melontarkan pandangan tajam dari tatapannya yang mencerminkan ketegasan dan kelugasan. Sepasang bola matanya memandang penuh arti sebelum berbicara, menengahi pembahasan. Dia bergerak mengambil satu langkah lebih maju, berdiri lebih dekat pada para kawanan serigala.
“Maaf. Kami hanya ingin lewat dan berburu di sekitar sini,” desahnya pada Xaferius, menyesal.
Aku bergidik membayangkan cara para vampir berburu; mengoyak leher atau dada mangsanya, kemudian menyedot darah mereka sampai meregang nyawa. Setidaknya, begitu informasi yang sering kubaca di dalam terminologi mengenai para makhluk abadi itu. Apa para werewolf mampu melindungiku? Apa aku boleh mempercayai Xaferius?
“Aku tahu itu, Alexandr,” balas Xaferius tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok vampir yang ukuran tubuhnya hampir sama besar dengan dirinya.
Alexandr. Aku mengeja namanya diam-diam. Dia memiliki sesuatu, sejenis daya pikat yang membuatku tidak tahan untuk tidak melirik, meskipun taring dari balik bibirnya selalu membuatku takut.
“Kau harus menemukan cara untuk menyembunyikan makananmu. Aroma tubuhnya terlalu... harum. Itu akan mengundang makhluk-makhluk lain merebut dan mengambilnya darimu,” kata Alexandr sambil memandangku melalui pundak Xaferius yang lebar dengan liar, tatapannya menelusuri sekujur tubuhku, seolah-olah ingin menilai dan menelanjangi.
Sial, bulu kudukku meremang. Lagi. Alexandr melewati batas, membuatku tertunduk jengah, berusaha menghindari kontak dengannya.
“Kami tidak memburu manusia, kami melindungi mereka,” serunya menegaskan dan memberi penekanan di akhir kalimat. “Dan terima kasih banyak atas saranmu, aku tidak membutuhkannya. Aku tahu caranya menjaga milikku.”
Klaim kepemilikan itu hampir membuatku tersedak, berpikir menjadi tawanan seorang manusia serigala—mungkin, masih lebih baik daripada dibunuh para vampir dan mati sia-sia. Aku berasumsi, menilik dari cara mereka bercakap-cakap, ada sebuah tali pembatas yang membentang di antara dua kaum itu seperti arch-enemy—kadang-kadang mereka ditakdirkan bertarung sampai salah satu di antara atau keduanya juga mati.
“Kita harus pergi sekarang, Gavin.”
Dua vampir pria itu memutuskan pergi dari area perbatasan. Namun, sebelum mereka benar-benar meninggalkan kami, Alexandr berbalik, kembali memandangku lewat sudut matanya. Dia menyunggingkan senyum simpul, menyiratkan perasaan tertarik yang nyata dalam nadanya.
“I guess I’ll see you around, human.”
***
Anna. Nama yang diberikan dad padaku, artinya cantik; baik hati; karunia Tuhan—sesuai dengan diriku, katanya. Gen dari dad mewarisi ciri-ciri fisikku lebih banyak. Tinggiku hanya seratus-enam-puluh-dua senti, kecuali warna mata dan rambut yang gen dari mom sumbangkan untukku. Rambutku selalu cokelat, kadang-kadang memerah diterpa sinar matahari, serupa dengan iris mataku. Aku suka memasak. Kegiatan itu membuatku tenang, melepaskan penat dan melupakan rindu yang terus-menerus datang. Aku masih berusia tujuh tahun, manja dan suka membuang sayur-sayuran—terutama brokoli, dari piringku, saat d
Aku tidak pernah merasa istimewa, aktivitas keseharianku juga selalu datar dan monoton. Aku mengalami masa-masa sulit dengan tujuan hidup yang tidak lagi kupunya saat Dad dan Mom pergi, tetapi—secara ajaib, aku berhasil melewatinya. Bukti bahwa takdir masih tetap memegang kendali atas diriku. Setelah semua peristiwa panjang yang terjadi, aku harus memulai kehidupan baru. Jauh dari keluargaku yang lain.Saat Xaferius menanyakan alamat tujuanku, aku terenyak—sadar jika aku sebatang kara dan menyedihkan, tidak mempunyai apa pun. Pria itu menawarkan kemurahan hatinya, dia mengizinkan aku tinggal untuk sementara di rumahnya. Dengan syarat, aku harus tutup mulut pada orang-orang, pada dunia, tentang eksistensi para
Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan.Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit.Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa s
Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.“Iya, seperti yang kau lihat.”“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.“Namanya Anna, Aldrich.”
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.“Apa yang kau katakan?”Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”“Tentu saja
Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya.Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya.“Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya.Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Aku memekik, terbangun dari mimpi buruk dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhku. Pakaian yang sedang kukenakan terasa lengket, menjiplak di beberapa bagian anggota tubuh tertentu. Aku baru menyadari sepasang tanganku terikat, saat aku bermaksud ingin menyeka bulir yang jatuh meleleh di ujung hidungku. Siapa yang melakukannya?Aku panik, berusaha melepaskan diri dari bebatan itu. Aku meronta-ronta dan menggigitnya dengan gigiku. Namun, hasilnya nihil. Tali itu masih tetap mengekang, membuatku tidak bisa bergerak leluasa.“Ah, rupanya Tuan Putri sudah bangun,” celetuk suara itu dari arah pintu yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuhnya.“Aldrich?”“Ya, ini aku.”
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de