"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin.
"Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia.
"Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan.
Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas.
Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyandang gelar kehormatan misalnya anak dari seorang, jaksa, hakim, pengacara, polisi, tentara maupun gelar kehormatan lainnya.
Kasta ketiga, diberikan pada anak-anak dari komite sekolah, anak dari guru pengajar, maupun anak-anak dari para staff umum di sekolah.
Kasta keempat, atau yang paling rendah, diberikan kepada anak-anak terpilih yang mempunyai inteligensi tinggi, untuk diberikan beasiswa selama masa pendidikan.
Dan alasan Dipsha jarang mengobrol dengan Billa tentu saja mudah ditebak, jika Dipsha berasal dari Kasta pertama, maka Billa berasal dari Kasta keempat.
Dan itulah fakta yang terjadi meski mereka hidup bersosialisasi dalam kelas yang sama, namun masih saja ada dinding tidak terlihat yang memisahkan mereka.
Meski Dipsha sebenarnya juga tidak pernah membully Billa, karena terlalu segan dengan segala prestasi yang pernah diraih Billa. Namun gengsi adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Dipsha.
"Oh yang tadi? iya gue lagi nagih kas, bukan ke Braga kok, tapi ke Orion dia nunggak enam bulan," jawab Billa yang tangan kirinya tampak sibuk dengan kalkulator dan tangan kanannya sibuk mencatat pembukuan uang kas kelas.
"Ehm, Bill lo lagi nggak deketkan? Sama Braga?" tanya Dipsha harap-harap cemas, dan sedikit curiga dengan Billa.
"Apa? Deket? Ya enggaklah Sha, mana berani gue kaya gitu, gue juga sadar diri, gue ini siapa, dia itu siapa," ucap Billa hampir tidak bisa menahan tawanya, ia meletakkan polpennya, dan menatap selebgram populer di depannya ini, yang sedang terlihat galau.
"Lagian dia itukan pacar lo, seisi Labschool Bina Persada juga tahu itu." Billa menambahkan.
Setahu anak-anak di sekolah memang Dispha dan Braga mereka berpacaran karena kedekatannya, dan fakta bahwa sebenarnya, tidak ada yang tahu, jika dia telah menjadi tunangan Arkan.
"Lo kesini nggak buat labrak gue kan?! Gara-gara lo tadi lihat Braga ambil daun yang nyelip di rambut gue?!" tanya Billa was-was, wajar orang sekelas dia, tentu saja tidak ingin mencari masalah dengan anak-anak kasta pertama, seperti Braga dan Dipsha karena mereka adalah pemegang spotlight dan power center di sekolah, Billa patut merasa resah jika bersinggungan dengan orang-orang seperti mereka, karena jika bermasalah di sekolah, orang tua mereka yang crazy rich itu pasti akan menghentikan pemberian beasiswa untuk murid-murid seperti dirinya.
"Ya enggaklah lah Bill, lo pikir gue akan sejahat itu, gue kan juga temen sekelas lo, masa masalah begini saja main labrak-labrakan," ucap Dipsha terkekeh yang melihat raut kekhawatiran di wajah Billa.
"Lagi pula Braga juga bukan cowok gue, gue sudah jadi punya Arkan sekarang," batin Dipsha.
Braga diikuti anak-anak Badblood masuk ke kelas dengan rusuhnya, mereka tertawa terbahak yang suaranya bisa terdengar hingga tiga kelas berikutnya. Ada saja yang jadi bahan tertawaan mereka.
"Oiii Bil!! dapat salam dari Orion!" teriak Braga pada sang bendahara kelas, padahal cowok itu memanggil Billa hanya supaya Dipsha yang lagi ngobrol sama Billa menoleh kearahnya, dan memperhatikannya, benar sekali, tampaknya Braga sedang caper ke Dipsha.
"Katanya ntar pulang sekolah lo diajak makan bakso di warung pojok deket lampu merah," sahut Rigel menambahkan. Sementara Orion yang jadi objek pembicaraan hanya tersenyum kecut, tidak mampu membalasnya.
"Nggak usah makasih, dan lo Orion, daripada lo ngajakin gue ngebakso, mending duit lo ditabung aja buat bayar kas, biar nggak nunggak lagi! Kalau cuma soal bakso semangkuk aja, gue bisa beli sendiri." tolak Billa tegas, padahal anak-anak Badblood hanya sedang bercanda.
"Iya nih, suka heran sama Orion, masa katanya anak sultan, tapi bayar kas aja nunggak." Alastair yang sedari tadi hanya menyimak, ikutan memojokkan Orion.
"Dianya aja yang nggak nagih ke gue, guekan jadi lupa, banyak yang gue pikirin soalnya," keluh Orion kesal.
"Cewek aja kan yang lu pikirin," tukas Rigel.
"Nah itu lo tau!" gerutu Orion.
"Kok lo nggak nagih ke Orion si Bill, ke kita-kita aja lo paling banter." protes Braga tidak terima.
"Soalnya gue nggak berani nagih Orion, dia kan omes, otak mesum. Gue takut diapa-apain sama dia," jawab Billa cuek.
Seketika tawa meledak diantara anak-anak Badblood. Orion hanya memberengut kesal. Bisa-bisanya Billa membongkar aibnya begitu saja.
"Kasihan gue, sama nasib cewek lo ntar, tiap hari lo usuk-usuk," ucap Rigel masih meroasting teman sebangkunya ini.
"Njirr!! Mana ada? Gue berani begituan?!" protes Orion.
"Wkwkwk soalnya diantara kita cuma lo aja yang koleksi video JAV nya bejibun, sampe menuhin hardisk laptop lo." lagi-lagi tanpa sadar aib Orion yang lain terbongkar oleh Braga, parahnya lagi Braga melakukannya tanpa rasa bersalah.
"Dipsha!" suara yang berat yang identik dengan suara Braga itu membuat kelas seketika hening. Arkan masuk kelas dan langsung menarik tangan Dipsha keluar, mereka terlibat pembicaraan yang serius di balik jendela kelas.
"Sudah sabar saja ya Boss! Dia sudah menjadi milik sepupu lo, move on, iklaskan saja, masih banyak ikan di laut," ucap Rigel sok bijak.
"Ikan di laut memang masih banyak, tapi kan gue gak lagi berlayar!" ketus Braga.
"Yaelaah Boss nggak gitu konsepnya! Jangan lo artikan secara harfiah juga kali," gerutu Rigel. Braga hanya nyengir saja menanggapinya.
***
Arkan yang baru saja keluar dari ruang Osis dikejutkan oleh kehadiran Dipsha yang sudah menunggunya untuk makan siang bareng di kantin. Arkan ini entah kenapa sifatnya cenderung dingin, dan cuek, segala kebalikan dari semua sifat Braga, yang berisik, berengsek, tukang ribut juga tukang tawuran.
"Kok kamu disini? Aku masih lama ada bahasan untuk acara pensi nanti, kamu ke kantin duluan aja," usir Arkan secara halus pada Dipsha.
Seketika wajah Dipsha memerah karena malu, akibat perlakuan Arkan barusan, ia berkata cukup keras hingga beberapa pengurus Osis yang masih ada disana menoleh kearah Dipsha semua.
"Aku mau makan bareng sama kamu Arkan, di kantin ada Braga sama temen-temennya, ntar aku digodain sama mereka memang kamu mau?!" pancing Dipsha, dia ingin membuat Arkan bersikap lebih hangat dan peduli kepadanya.
"Bukannya kamu kesenengan kalo di godain Braga?!" cetus Arkan merapikan map file di tangannya.
"Iya itu dulu, sekarang kan aku udah ada kamu." ucap Dipsha dengan nada tertahan, antara kecewa dan ingin marah, dia masih bisa menjaga intonasinya, demi agar ucapannya barusan tidak terdengar oleh anggota Osis yang lain.
"Tapi aku masih lama Sha! Kamu nggak lihat file-file ini? Butuh diurus! Dikerjain! Nggak akan selesai kalau cuma dilihatin," tegas Arkan.
"Ok! Makan tuh pensi, gue sering bertanya-tanya kenapa bukan Braga saja yang dijodohin sama gue, kenapa justru lo?!" Dipsha terlihat kesal menghentakkan kakinya, dan berlalu dari hadapan Arkan, nada Aku-Kamunya juga, sekarang bergeser jadi Lo-Gue.
"Sha, Sha, bukan gitu Sha, tapi ini juga penting, kamu makan dulu nanti aku susulin," ucap Arkan yang repot meminta maaf karena telah membuat Dipsha kesal. Arkan sebenarnya juga sangat menyukai sama Dipsha. Tapi dia hanya kesulitan mengekpresikannya, dan untuk ukuran cowok jenius dia bisa dibilang bego urusan cewek, apalagi jika harus bersikap dengan Dipsha.
Dan dia akan kesal jika nama Braga keluar dari mulut Dipsha, karena ia tahu jika Dipsha sebenarnya suka pada Braga.
Arkan berbalik masuk lagi ke ruang Osis, file yang sedianya akan dibawa ke sie kesiswaan olehnya tadi, dia banting saja ke meja, ia dengan terburu-buru langsung menyusul Dipsha, membuat anggota OSIS yang lain menjengit kaget, saat map file tersebut menumbuk meja.
"Sha! Tungguin Sha! Maksud aku tadi nggak gitu, kamu kan bisa makan bareng sama Jingga dan Mitha." Arkan berusaha mensejajari Dipsha, cewek itu sibuk membuang mukanya karena sisa rasa kesalnya.
"Gue emang nggak penting, lebih penting pensi itu." ketus Dipsha. Sampai detik ini Dipsha masih belum ada perasaan apa-apa pada Arkan, dia hanya mencoba menjalankan peran sebagai tunangan lelaki tersebut.
"Hidup orang-orang kaya memang ribet ya." komentar Jingga saat melihat Arkan sedang menyusul Dipsha masuk ke kantin. Di sudut belakang tak jauh dari tempat duduknya, Jihan dan Mitha tadi, sudah ada Braga dan anak-anak Badblood, yang sedang makan banyak seperti sedang kendurian.
"He'em masih sekolah udah harus dijodohin, biar apa?! Biar harta mereka nggak diporotin sama pasangan yang salah." komentar Mitha.
"Kakek gue jodohin mereka nggak ada unsur harta ya, keluarga besar gue dan Arkan memang sahabatnya keluarga Dipsha!" sahut Braga yang tiba-tiba memotong keghibahan Jingga dan Mitha.
Mitha yang ucapannya disangkal langsung oleh Braga mendadak pias, Braga memang terkenal sebagai penguasa tunggal kawasan Labschool Bina Persada secara ilegal, karena secara legalnya adalah Arkan sebab Arkan adalah ketua Osis.
"So-sorry Ga, gue nggak ada maksud ghibahin lo kok, serius," ucap Mitha.
Braga mengabaikan ucapan Mitha, dan berdiri menghampiri Dipsha yang tengah di kejar oleh Arkan. Matanya yang tajam, menatap liar kearah sepupunya, Arkan.
"Kalau nggak mau jangan di paksa!" ucap Braga datar, menghadang laju Arkan yang mengejar Dipsha.
Arkan menatap tajam kearah Braga, sementara Dipsha yang mendengar suara Braga uang sedang ribut, segera menoleh berbalik kebelakang, dua bersaudara, bermagra Tanuwijaya tersebut tengah berdiri berhadap-hadapan dengan tatapan saling mengintimidasi.
"Dia hak gue, lo jangan ikut campur," ucap Arkan dingin.
"Oke, gue emang nggak ada hak, apapun, tapi harusnya lo tahu kalau, tindakan lo barusan itu membuat dia nggak nyaman," ucap Braga berusaha mengendalikan dirinya. Dia masih terus mengingat, pesan dan nasihat Mamanya agar tidak berkelahi dengan Arkan. Karena ketakutan Mamanya akan tragedi masa lalu papanya terulang pada dia dan Arkan.
"Jadi lo ngerasa cuma lo saja yang tahu apa mau Dipsha?!" Arkan mulai sinis.
"Enggak gitu, gue nggak ada maksud sok tahu, ataupun menggurui lo, apalagi mencampuri urusan lo sama dia, gue cuma pingin, lo bisa bikin dia merasa nyaman dan aman sama lo." lanjut Keenan.
"Lo pikir dia sama gue nggak nyaman? Nggak aman?" Nada Arkan meninggi karena tidak terima.
"Lo salah paham mulu sama gue, terserah lo, gue cuma ingetin aja." ucap Braga, menyerah menghadapi Arkan dan berniat ingin kembali ke tempat duduknya, melanjutkan acara makannya bersama anak-anak Badblood.
"Heh! Lo gini-in gue, karena lagi caper kan sama Dipsha?! Biar dia baper sama lo kan?!" vonis Arkan masih dengan nada meninggi, agar seisi kantin mampu mendengarnya.
"Gue bengal tapi masih bisa dinasehatin, lo pinter, lo jenius, tapi nggak bisa terima nasihat, lalu apa yang membedakan kita sekarang," ucap Braga skakmat, dia sekarang berhasil membuat Arkan semakin meradang.
Satu pukulan menghantam sudut bibirnya, Braga tidak membalas, ia tahu Arkan hanya sedang tertekan, karena Dipsha belum bisa menyukainya, jika ia memukul balik Arkan hanya akan menambahkan luka pada Braga.
"Arkaan! Hentikan!!" teriak Dipsha saat melihat Arkan akan menghantamkan pukulannya lagi untuk Braga.
Braga menyapu darah yang menyembul dari sela bibirnya, ia pergi meninggalkan Arkan dan Dipsha, kembali ke tempat anak-anak Badblood yang sedang memantaunya dari jauh.
"Boss lo nggak apa kan?" tanya Rigel mengambilkan segelas air untuk Braga minum.
"Kok nggak lo balas aja sih Ga? Dia mukul lo duluan, kalau sampai lo berantem hebat sama dia disini, dan dipanggil ke ruang BK, kita siap jadi saksinya," ucap Orion memanas, ia tidak terima Braga di perlakukan seperti itu oleh si cupu Arkan.
"Jangan kompor lo Orion! Meleduk juga lo ntar kalau sudah panas," sahut Alastair.
"Meskipun gue berengsek, dan jago berantem, tapi apapun yang bakal Arkan lakuin ke gue, gue nggak akan pernah bisa bales, karena gue sudah janji sama Mama," ungkap Braga sambil meneguk air yang diberikan oleh Rigel tadi.
"Gue hanya bisa berdoa semoga lo teguh pendirian ya Ga." Alastair menepuk pundak Keenan.
"Maksud lo apa ngomong kaya gitu?" Braga segera menoleh kearah Alastair.
"Meskipun gue dan anak-anak lain nggak tahu alasan lo buat mengalah, tapi kita berdoa supaya lo tetap konsisten sama omongan lo, mengalah dengan cara seperti itu justru akan memupuk dendam di hati lo, dan jika sudah saatnya, dendam lo meledak, ingatlah, akan selalu ada kita, yang siap mendukung lo, kita anak Badblood, darah yang kotor yang mempersatukan kita sampai sejauh ini." Alastair mengatakan semua apa yang ada di dalam benaknya.
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel