Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya.
Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya.
Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam.
"Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka.
Titania kembali ke dapur meletakkan gelas ke tempat cuci piring, lalu kembali masuk ke dalam kamar ia meraih selimut di dalam lemari dan menentengnya ke ruang tengah. Selimut tersebut ia bentangkan keatas tubuh Braga.
"Dia seperti anak yang susah diatur, tapi kenapa bisa takut sama hantu? Dasar cemen!" ucap Titania menarik pegas lampu ruang tengah dan ruangan seketika menggelap. Ia balik ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.
***
Alarm HP Titania berbunyi nyaring, jam menunjukkan pukul lima pagi, ia bangun dari tidurnya dengan kepala masih agak pusing, gadis itu lantas membongkar bagian kopernya yang lain untuk mengeluarkan peralatan sekolah. Ia juga memasak mie untuk sarapan, tak ada apa pun di dalam kulkas apartemen ini, mie itu juga yang dia bawa dari rumahnya.
"Braga nggak bangun?!!" teriak Titania dari arah dapur, sambil meniriskan mie nya.
"Hmmm..." terdengar Braga bergumam tidak jelas dari ruang tengah. Sambil mengucek matanya, dengan rambutnya yang berdiri acak-acakan.
"Katanya mau balik pagi, takut dicariin tante Amel," teriak Titania lagi.
"Jam brapa sekarang?" tanya cowok itu dengan suara parau, matanya belum juga terbuka. Dia masih menggeliat malas dari balik selimutnya.
"Bau apa ini?" tanyanya lagi.
"Jam lima sekarang, bau mie, aku lagi bikin mie, kamu mau?" tanya Titania, membawa semangkuk mie kuah lengkap dengan irisan sosis dan gulungan telur itu ke meja ruang tengah.
Braga bangkit dari tidurnya, aroma MSG dari kuah mi itu menguar menusuk hidungnya. Seumur hidup dia belum pernah mencicipi makanan itu --maklum anak sultan-- hanya sekedar tahu bahwa produk-produk itu memenuhi rak minimarket. Koki-koki di rumah di bawah pengawasan Mamanya tidak mengijinkan ada stok mie instan di dapur. Karena makanan itu tidak menyehatkan, kata mamanya.
"Mau?" tawar Titania, cewek itu meniup-niup kuah mie, dalam ceruk sendoknya.
"Enak?" tanya Braga dengan jakunnya naik-turun, dia sepertinya ingin sekali mencicipi makanan yang mendapatkan julukan sebagai makanan kebangsaan anak kost itu.
"Enggak, ntar gue sakit perut," tolak Braga, ia berdiri menuju kamar mandi. Yang lokasinya tidak jauh dari dapur.
"Gue mau mandi duluan."
"Btw lo pindah ke sekolah mana?" tanya Braga dari balik kamar mandi.
"Aku lupa namanya, bentar aku ambil brosurnya dulu," teriak Titania meninggalkan mangkuk mie nya begitu saja berlari ke kamar untuk menacari brosur yang di cetakkan mamanya dari situs web sekolah yang akan dia datangi.
Braga yang rupanya cuma mandi bebek (cuci muka, tangan dan kaki) karena udara masih dingin, sudah keluar dari kamar mandi, matanya terpaku pada semangkuk mie dengan asap mengepul di depannya. Melihat mangkuk mie sendirian tanpa penjagaan si empunya, Braga segera menyuapkan sesendok ke mulutnya.
"Hahaha, ketahuan kan lagi nyolong mie aku," seru Titania lantang, yang baru saja keluar dari kamarnya sambil memegang brosur di tangan kirinya.
"Cwuma dwikit dwoank," ucap Braga sambil mengunyah mie di mulutnya. Ia menyahut brosur tersebut dari tangan Titania lantas dengan rasa kepo yang meningkat ia mulai membacanya.
"SMA LABSCHOOL BINA PERSADA? itukan sekolah gue," ucap Braga sedikit mendelik.
"Lo udah tau lokasinya?"
"Lokasi apa?" Titania balik bertanya.
"Lokasi pasar! Ya lokasi sekolah-lah! Gimana sih lo," gerutu Braga.
"Belum." Titania menggelengkan kepalanya gemas.
"Yaudah lo mandi, ntar berangkat bareng gue, tapi balik kerumah dulu, gue ganti baju seragam," perintah Braga.
"Gitu ya, oke deh." Titania bergegas meninggalkan ruang tengah mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Melupakan semangkuk mie tadi yang langsung disikat habis oleh Braga.
***
Titania turun dari motor Braga ia merapikan rambutnya yang berantakan karena tiupan angin, ia mengenakan sweater pink dan bawahannya adalah rok abu-abu khas anak SMA Negeri.
Cewek itu berdiri termangu di samping motor Braga memandangi rumah bertingkat lima dengan gaya Tudor bercat putih di depannya.
"Di Bali tidak ada bangunan setinggi ini Braga," gumam Titania tanpa sadar.
"Serius lo?" tanya Braga mau tak mau jadi menanggapi ucapan Titania, karena itu adalah sebuah fakta yang baru saja dia dengar.
"Iya, di Bali rumah tingkat dua masih boleh, lebih dari itu nggak boleh, ijinnya juga susah, karena tinggi bangunan nggak boleh melebihi bangunan Pura," jawab Titania tanpa membalas tatapan Braga dan masih asyik memandangi rumah cowok itu.
"Sumpah gue baru tahu lo, tapi gue waktu kesana dulu nginep di hotel yang tinggi kok seingat gue dulu," ujar Braga.
"Ahh itu pasti hotel Hilton, ya cuma itu satu-satu gedung tertinggi di Bali," terang Titania.
"Ini rumah bokap sama nyokap gue cuma lima lantai, apartemen yang kita pakai tidur semalem tingginya 38 lantai lo, lo nggak nyadar?" tanya Braga, menarik tangan Titania mengajaknya masuk ke rumah.
"Masa?? aku nggak nyadar soalnya sudah malam," jawab Titania, mengikuti langkah kaki Braga.
Langkah Braga terhenti di ruang makan, Titania yang masih mengamati seisi rumah, menabrak punggung Braga, karena cowok itu berhenti mendadak.
"Aduh." mendengar Titania mengaduh sambil memeganging keningnya, mereka yang sedang berada di meja makan menoleh keasal suara.
"Pagi Om, Tante," sapa Titania yang kini sadar dirinya jadi pusat perhatian.
Mata Braga dan Dipsha bertemu, sepagi ini Dipsha sudah ada di rumahnya dan ikut sarapan, apa semalam dia menginap disini? Braga bertanya-tanya.
"Pagi Titania sayaaang, kamu sudah datang? Gimana perjalanan kamu? Semuanya baik-baik saja?" Amel menyambut Titania dan mengajaknya duduk di salah satu bangku yang masih kosong.
"Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan ngomong ke Om sama Tante ya," sahut Rama, sambil melipat surat kabar di meja dan fokus pada Titania.
"Braga ayo sini sarapan dulu." lanjut Rama menoleh kearah Braga yang masih berdiri di tempatnya.
"Tadi udah makan Pa, sarapan Titania, Braga yang habisin," sahut Braga menolak.
"Braga mau ganti baju dulu," ucap Braga berlalu.
"Kamu semalam nggak pulang Braga! Kemana?" tegas Amel.
"Braga nemenin Titania Tante," potong Titania begitu saja, dia ingat Braga tidak ingin mamanya tahu dia baru saja mengalami kecelakaan saat balapan.
Dipsha menatap tajam kearah Titania, begitu juga Braga.
"Benar Braga?" Amel memastikan.
"Iya Ma, maaf lupa nggak kasih kabar." Braga selalu jujur pada mamanya.
"Tapi kalian tidur terpisahkan?" sahut Arkan penasaran.
"Iya aku tidur di kamar, sedangkan Braga tidur di ruang tengah," jawab Titania. Dipsha sedikit menghela nafas lega.
"Dipsha udah selesai Tante, makannya makasi ya," ucap Diosha berdiri dari kursi nya ia berlari menyusul Braga. Sementara di meja makan Arkan tampak mengernyitkan dahinya.
"Cewek tadi namanya Dipsha tante?" tanya Titania dengan mata berbinar.
"Iya, kenapa Tan?" tanya Amel.
"Dulu kita pernah ketemu, waktu masih kecil, aku susulin dia ya tante siapa tahu Dipsha juga ingat sama Titania," pamit Titania pada Amel. Rama tampak mengurut keningnya.
"Ma aku nggak ingin terjadi satu hal yang tidak penting." bisik Rama.
"Kenapa sih Pa?" tanya Amel membalas berbisik.
"Ya itu tadi, anak-anak..." desis Rama karena Amel tidak begitu peka.
"Braga nggak akan jadi sebarbar kamu dulu Pa, sudah tenang saja." Amel mengulas senyum berusaha menepis rasa kekhawatiran suaminya.
***
"Kenapa? Kamu cemburu sama Titania?" tanya Arkan yang sedang fokus menyetir.
"Eng... enggak kok, kata siapa?" elak Dipsha menatap punggung Braga yang sedang membonceng Titania di depan sana.
"Kata siapa?! Oke, emang nggak ada yang bilang, tapi kamu udah nunjukin dengan sendirinya," ucap Arkan serius.
"Aku akan setia nunggu kamu Sha, sampai kamu benar-benar bisa move on dari Braga dan bisa sayang sama aku," ungkap Arkan.
"Bu-bukan gitu Arkan, aku sama Braga nggak ada apa-apa kok," Dipsha mengkonfirmasi hubungannya dengan Braga.
"Yang selalu ada, akan kalah dengan yang istimewa ya," ucap Arkan mengakimi Dipsha.
Seketika Dipsha membeku mendengar ucapan Arkan, sanggahan tak akan berguna lagi saat ini, jujur dia memang masih suka pada Braga dan rasa itu sudah tumbuh bertahun-tahun tidak akan mungkin bisa hilang dalam waktu sekejap.
Sementara itu diatas motor Braga. Titania tampak sedang berpikir keras, kenapa hanya dirinya saja yang mengingat moment Barbie di bandara waktu itu. Dipsha yang Barbie nya dia pinjam pun mengatakan tidak ingat kenangan itu.
"Braga." Titania menoel lengan cowok yang sedang fokus menyetir itu.
"Hmmm..." cowok itu berdehem tanpa menoleh.
"Kenapa Dipsha kaya nggak suka ya lihat aku, dari kecil dulu juga begitu, masa aku bilang pinjam Barbie punya dia, Dipsha bilang aku mau rebut Barbienya," ucap Titania random pagi ini.
"Titania, lo mau nggak jadi pacar bohongan gue?" tanya Braga tiba-tiba.
"Pacar bohongan?" ulang Titania tidak mengerti.
"Aku nggak ngerti," lanjut Titania, Braga menggeleng samar, cewek yang di boncengannya ini beneran polos, lemot atau bego, masa segitu saja harus Braga jelaskan detilnya.
"Kalau di depan Dipsha, lo jadi pacar gue trus kalau Dipsha nggak ada kita temenan kaya sekarang ini gimana?" urai Braga.
"Kamu mau bikin Dipsha benci sama kamu?" tanya Titania.
"Iya, biar dia bisa lupain gue," jawab Braga.
"Aku nggak mau jadi pacar bohongan kamu, aku juga cewek nggak bisa aku sakitin perasaan Dipsha." mendengar penolakan Titania barusan, Braga segera meminggirkan motornya.
"Turun lo!!!" perintah Braga tegas.
"Ke-kenapa kan belum sampai?" tanya Titania agak terkejut.
"Gue mau lo turun! Lanjut dari sini ke sekolah jalan kaki aja lo," ucap Braga ketus.
Braga benar-benar kesal dengan Titania, cewek itu ternyata memang polos, bisa-bisanya dia menolak untuk diajak kerja sama. Usai Titania turun dari motor cowok itu segera melesat jauh meninggalkan gadis tersebut.
Titania kebingungan, dia tidak tahu menuju ke sekolah harus naik apa dan kearah mana. Ini hari pertama nya tiba di Jakarta. Begitu ada angkot berhenti di depannya, tanpa pikir panjang ia langsung naik saja.
Dan itu adalah angkot menuju arah sebaliknya, bukan menuju ke SMA Labscool Bina Persada. Titania belum mengetahuinya.
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel