"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu.
"Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas
"Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi.
"Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi.
"Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat.
"Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi.
"Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu.
"Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon.
Sebenarnya Braga bisa saja langsung pergi, tanpa perlu meminta bantuan Rigel, tapi saat ini mamanya sedang sakit, dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja tanpa alibi yang jelas.
Braga dengan sigap menyambar jaket kulit warna hitam bertuliskan Badblood dengan lambang pedang berdarah itu dari atas ranjang, lantas mengenakannya dengan terburu-buru. Ia bergegas membuka pintu kamar, ada banyak hal yang harus Braga kerjakan malam ini.
Diantaranya mengecek lintasan yang akan ia gunakan untuk adu kecepatan dengan Roxy, mengatur strategi bersama inti Badblood yakni Rigel, Orion dan Alastair. Mereka harus menang malam ini, karena jika tidak, sesuai kesepakatan pada taruhan kemarin, jika Braga kalah, maka seluruh anggota Badblood harus bergabung dengan geng Enemy Coffin dan dibawah kekuasaan Roxy, itu sama sekali bukan hal yang Braga harapkan.
CEKLEK!
Braga terpaku begitu pintu terbuka, tangannya bahkan masih bertenger di gagang pintu kamar.
Mama Amel dengan mukanya yang pucat tersenyum lembut pada Braga. Cowok itu dengan segera merubah ekspresi terkejutnya menjadi lebih tenang dan perhatian pada mamanya.
"Kamu sepertinya sedang tergesa-gesa Braga, mau kemana?!" tanya Amel.
"Braga akan ada acara Ma, dengan anak-anak Badblood." itulah Braga dia selalu tidak bisa berbohong, dengan Mamanya.
"Balap liar, lagi?" tebak Amel.
"Kali ini penting Ma, bukan sekedar balapan, ada pertaruhan harga diri juga Ma." ucap Braga mencoba meyakinkan Amel.
"Seperti apa?" desaknya lagi.
"Hahh?!" Braga tidak tahu akan menjawab seperti apa.
"Kalau Badblood kalah harus gabung sama Enemy Coffin Ma, Roxy itu anak nggak baik Ma, Braga nggak mau ikut geng dia," jawab Braga meneliti wajah mamanya. Berharap Amel mengijinkan dirinya pergi.
"Siapa tadi namanya? Roxy?! Kamu bilang dia nggak baik, lalu dibandingkan dengan kamu, masih baikan kamu?!" tanya Amel lagi.
"Braga memang tidak sebaik itu Ma, tapi setidaknya Braga nggak pakai narkoba Ma," jawab Braga percaya diri.
"Oke," sahut Amel singkat.
"Braga boleh pergi Ma?" cowok itu memperjelas ucapan mamanya.
"Boleh, tapi sebelum kamu pergi, bisa nggak Mama minta tolong dulu? Mama butuh kamu untuk pergi ke suatu tempat," ucap Amel sesaat setelah menghela nafas tampak berpikir.
"Minta tolong apa Ma? Mama mau Braga anterin Mama kemana?" tanya Braga beruntun.
Amel sangat tahu karakteristik gen dari keturunan Tanuwijaya, yaitu semangat serta harga diri, adalah harga mati, yang tidak bisa digantikan oleh apapun.
Begitu juga dengan acara balap liar malam ini, Amel paham jika Braga ingin mempertahankan harga dirinya sebagai ketua dari geng motor terbesar di kota ini, Badblood.
"Ma kok malah bengong," tegur Braga.
"Mama mau minta tolong apa?" Braga mengulangi pertanyaannya tadi.
"Teman Mama dari Bali, namanya tante Vonnie akan memindahkan anaknya sekolah di sini, dan kebetulan pesawatnya akan mendarat sejam lagi, kamu bisakan menjemputnya di Bandara? Demi Mama?" tanya Amel.
"Papa nggak bisa jemput?" tanya Braga tegas, tapi tidak marah, dia hanya sedang buru-buru. Karena merasa menjemput di Bandara pasti butuh waktu yang lama, sedangkan dia tidak punya waktu selama itu.
"Papa kamu ada perjalanan bisnis saat ini, masih belum pulang, Arkan juga lagi pergi sama Dipsha, kalau kamu tidak bisa, ya sudah biar Mama sendiri yang berangkat," ucap Amel sok kuat.
Braga menghembuskan nafas berat, dia ada acara penting dan genting malam ini, tapi tidak bisa juga, membiarkan Mamanya yang tengah sakit itu berangkat ke Bandara untuk menjemput anak dari tante Vonnie-nya.
"Mama, sudah biar Braga saja yang jemput, lebih baik Mama istirahat saja di kamar." Braga menuntun Amel kembali masuk ke kamarnya. Cowok itu membantu Amel merebahkan dirinya di ranjang.
"Terimakasih Sayang," ucap Amel begitu Braga menyelimuti mamanya sebatas dada.
"Mama beneran nggak apa-apa, kalau Braga tinggal sekarang?" tanya Braga khawatir, melihat kondisi mamanya yang melemah saat ini.
"Pergi saja, Mama baik-baik saja, jangan bikin, anak dari Tante Vonnie menunggu lama," pintanya sambil merapatkan selimut.
"Baik Ma, tapi nanti kalau Mama butuh apa-apa gimana?" Braga kini duduk di tepi ranjang Amel, dan tidak berhenti mencemaskan Mamanya.
"Kan ada embak-embak di rumah, Mama bisa panggil mereka kalau Mama butuh sesuatu." jawab Amel mengelus punggung tangan Braga.
Memang ada setidaknya lima belas pembantu yang bertugas di dalam rumah, dan lima penjaga di luar rumah, jadi tidak ada alasan bagi Braga untuk menghawatirkan Amel.
"Mama harus cepet sembuh ya, Braga nggak bisa, lihat mama sakit kaya gini," ucap Braga sendu.
"Iya Sayang, Mama pasti segera sembuh." Amel menenangkan Braga.
"Kamu harus cepat berangkat, jangan sampai sisipan jalan sama Titania, dia baru tiba di kota ini, takutnya jadi korban tindak kriminal, karena dia belum tahu betul seluk beluk kota ini," pesan Mamanya.
"Titania?" desis Braga.
"Iya dia anaknya tante Vonnie, baik-baik ya sama dia, nanti antarkan dia ke alamat ini, untuk sementara dia akan tinggal disitu, sebelum Tante Vonnie mendapatkan tempat tinggal untuk Titania." Amel mengulurkan sebuah kartu nama bertuliskan sebuah komplek apartemen, yang berada di bawah developer milik keluarga Tanuwijaya.
"Apartemen Miracle Tanuwijaya Group, tower Blesshing, unit 1084." Braga menatap sekilas alamat tadi, lantas memasukkan kartu tersebut ke dalam sakunya.
"Iya itu alamat unit apartemen kamu sayang," sahut Amel.
"Loh, kok ditampung di unit Braga Ma? Kalau sewaktu-waktu Braga pingin bermalam disana gimana?" tanya Braga.
"Titania itu nama cewek kan Ma?" lanjutnya.
"Iya, dia Mama taruh di unit Apartemen kamu, karena lokasinya nggak begitu jauh dari SMA Labschool Bina Persada, lagian juga sementara saja kok Sayang, kamu nggak keberatan kan?" Amel balik bertanya.
"Ya sudah terserah Mama saja."
"Braga berangkat dulu ya Ma, mama baik-baik ya di rumah, kalau Mama ngerasa ada yang sakit lagi atau bagaimana, nanti telpon Braga ya Ma," pamit Braga sambil mencium tangan Mamanya.
Mamanya mengangguk samar. Braga di balik pintu kamar Mamanya segera menelpon Rigel kembali mengatakan jika dia akan datang terlambat malam ini. Dan Rigel tidak perlu datang menjemput ke rumah, ia mengatakan ada kepentingan mendadak.
Braga menyambar sebuah A3 dari meja kerja papanya saat ia melintas, lantas menuliskan sesuatu di kertas tersebut ia menggulungnya.
Rupanya dia sedang membawa kertas untuk membuat Titania me-notice dirinya karena dirinya yang akan menjemput, dan bukan kedua orang tuanya.
Braga berjalan menuruni tangga memutar di rumahnya, di bawah sana ternyata sudah ada Mang Kusno yang telah siap dengan setelan navy khas seragam sopir-sopir pada umumnya.
"Bandara Mang! Terminal kedatangan jangan sampai terlambat!" perintah Braga singkat.
"Siap Tuan!" jawab Mang Kus setengah membungkuk.
"Pak Yono mana?!" tanya Braga lagi.
"Ada di depan Tuan, lagi di posnya," jawab Mang Kus.
"Suruh dia bawa motor saya, buat ikuti mobil kita," titah Braga melemparkan kunci kontak motornya pada Mang Kus. Pria paruh baya tersebut tanpa banyak bertanya segera melakukan apa yang diminta Braga.
***
Mang Kus yang menunggu di dalam mobil di parkiran Bandara sedang manggut-manggut telponan dengan Pak Yono yang menunggu di luar kawasan Bandara masih mengendarai motor mahal Braga.
Sementara dimana Braga? Cowok itu sedang menunggu dengan resah di terminal kedatangan, satu persatu wajah penumpang yang baru keluar dari area check point ia amati, Braga sedang mencari cewek seusia dirinya yang datang sendirian. Karena pasti mudah ditebak bahwa itu adalah Titania.
Braga mengacungkan tinggi-tinggi kertas bertuliskan 'I LOVE U TITANIA, PLEASE COME TO ME' di atas kepalanya, ia menoleh ke kanan dan kiri, sesekali memeriksa jam tangan warna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Seorang cewek dengan sweater pink bergambar burung Flamingo sedang menyeret kopernya meninggalkan area check point, dia langsung bisa melihat seorang cowok yang memegang kertas bertuliskan namanya meski dengan kalimat sedikit iseng. 'I LOVE U TITANIA, PLEASE COME TO ME' gumam Titania membaca kertas di tangan cowok itu.
Titania mulai melangkah menghampiri cowok berjaket hitam dengan pedang berdarah di dada kanannya. Cowok itu terlihat mondar mandir resah, sesekali berbalik memandang kearah lokasi parkir, saat itu ia melihat tulisan Badblood terbordir rapi di bagian belakang jaket cowok tersebut.
"Sorry-sorry nih ya, kebetulan nama aku Titania, apa mungkin itu adalah aku yang kamu maksud?" tanya Titania menunjuk kearah kertas yang diacungkan oleh Braga.
"Gue juga nggak tahu, itu lo apa bukan, soalnya gue cuma dipaksa Papa buat jemput, yang namanya Titania," ucap Braga menatap cewek di depannya. Imut. Kata itu yang mampu Braga deskripsikan untuk Titania saat ini. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya dipaksa Mamanya, kelihatan banget nanti kalau dia anak Mama, Braga tidak suka, orang lain meremehkan rasa sayang nya pada Mamanya.
"Papa kamu mungkinkah Om Rama Tanuwijaya?" tanya Titania mengambil sebuah kartu nama dari dalam dompet nya lantas menunjukkannya ke Braga.
"Iya itu Papa gue, yaudah ayo buruan gue antar lo ke apartemen, nanti gue tinggal bentar ya, gue ada acara penting, nggak lama kok ntar gue samperin lo lagi," ucap Braga tanpa persetujuan menarik koper Titania. Biar lebih cepat.
"Rencananya mama gue bakalan bantuin lo beberes di unit apartemen itu, yang sebenarnya punya gue sih, tapi Mama lagi sakit, dia nggak bisa bantuin lo, makanya gue juga yang repot-repot jemput lo," terang Braga.
"Makasih ya, maaf merepotkan." ucap Titania sungkan.
"Nama kamu siapa? Kita belum kenalan tadi," ucap Titania menoleh pada Braga sambil mengulurkan tangannya.
"Buat apa?!" tanya Braga terlihat tidak nyaman.
"Biar kita kenal, kita kan nantinya bakal jadi teman satu sekolah," ujar Titania masih mengulurkan tangannya.
"Gue udah tahu, nama lo, Titania kan?!" ucap Braga cuek, dia saat ini sedang buru-buru.
"Iya benar, akuTitania, kamu siapa? Masa aku panggil kamu Heyy heyyy!! Gitu?" ucap Tirania dengan mimik lucunya. Namun Braga tetap dingin, dia sedang dalam mood yang kacau, soal pertandingannya by one dengan Roxy malam ini, membuat Titania akhirnya bungkam, Braga terus menarik koper Titania hingga tiba di parkiran.
"Pak Yono mana Mang?" tanya Braga pada Mang Kus saat mereka telah tiba di parkiran.
"Di depan Tuan, lagi nunggu kita, roda dua tidak bisa masuk kearea ini katanya," jawab Mang Kus. Sambil membantu memasukkan koper Titania ke bagasi belakang mobil.
"Anterin ke Pak Yono ya Mang, buruan! setelah itu anterin cewek ini ke apartemen Miracle di daerah Sudirman itu Mang, nanti masuk lewat basemen di bawah tower Blesshing aja, unit nya ada di sisi selatan nomor 1804," titah Braga.
"Siap Tuan Braga," ucap Mang Kus mengangguk dari balik kemudi sambil melirik ke spion tengah, melihat raut wajah anak majikannya yang tengah kalut itu.
"Ooh jadi namanya Braga," batin Titania manggut-manggut berusaha mengingat nama cowok itu.
Mobil mulai melaju meninggalkan pelataran parkir bandara, belum ada sepuluh menit mobil berhenti di samping sebuah motor yang dikendarai oleh seseorang yang berpakaian mirip dengan Mang Kus.
Braga segera melompat turun dari mobil, memakai helm yang baru saja Pak Yono berikan dan lantas memutar motornya, dalam hitungan detik Braga telah melesat jauh meninggalkan mobil mereka.
Kini Pak Yono menggantikan posisi Braga duduk di sebelah Titania. Membuat cewek itu jadi rikuh.
"Tenang Non, kita akan mengantarkan Nona Titania dengan selamat hingga tujuan," ucap Mang Kus yang sepertinya paham apa yang dirasakan oleh Titania.
"Tuan Braga mau balapan, makanya saya disuruh bawain motornya tadi," terang Pak Yono pada Titania, yang menjawab semua pertanyaan yang bercokol di kepalanya.
"Balapan? Dia pembalap?" tanya Titania polos.
"Bukan Non, Tuan Braga hobinya balap liar, buat taruhan, buat seneng-seneng aja," ungkap Pak Yono.
"Hati-hati Pak Yono, kalau bicara nanti kalau salah ngomong, kita bisa kehilangan pekerjaan kita," tegur Mang Kus dari balik kemudi.
"Iya, kira-kira seperti itulah Non," pungkas Pak Yono.
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel