Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja.
Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas.
Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk.
Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya.
"Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu mendengar suara yang tidak asing itu, terlebih saat ia mengatakan salah naik angkot.
"Titania?!" gumam Braga, Dipsha yang duduk di samping Jingga menoleh kearah Braga karena mendengar gumaman cowok tersebut.
"Perkenalkan nama saya Titania Rodrigues, saya pindahan dari Bali, kalian bisa panggil saya Star, salam kenal," ucap Titania memperkenalkan dirinya.
Braga melihat wajah Titania agak pucat, mungkin karena ini masih hari pertamanya, jadi cewek itu merasa gugup, begitu pikir Braga. Ia lantas kembali menyahut PR Alastair untuk ia salin, temannya yang jenius saingan berat Arkan itu, juara umum sekolah yang selalu mereka perebutkan, jika Arkan di posisi satu maka Alastair ada di posisi kedua, begitu juga sebaliknya. Hanya mereka yang mendominasi di tingkat dua belas ini.
Ia tidak lagi mempedulikan keberadaan Titania di depan kelas. Braga baru sadar saat cewek itu berjalan di lorong bangku sebelahnya.
BRUKK!
Titania ambruk di lorong bangku tak jauh dari Braga, cowok itu memutar tubuhnya karena kaget melihat Titania jatuh pingsan di dekat kakinya.
"HEYYY! BRAGA KAMU BANTU ITU TITANIA, JANGAN CUMA DILIHATIN, MAU NILAI KAMU BAPAK MERAHKAN!!!" teriak Pak Randu dari depan kelas.
"I.. iya Pak..." ucap Braga yang menutup buku Alastair lantas jongkok dan mengangkat tubuh Titania.
Dipsha terlihat kesal saat Braga bersedia menolong Titania, dia menghempaskan polpennya begitu saja dan mencelat entah kemana, bodoamat polpen dia ada selusin di dalam kotak pensilnya
"Cantik ya Titania." puji Jingga tepat di samping telinga Dipsha. Gadis tersebut menggeram tidak suka atas pujian Jingga pada Titania barusan.
"Ehmt, masih cantikan lo kok Sha." ralat Jingga yang tidak mau jatah voucher kuota internetnya seret dari Dipsha.
Moment tersebut terekam jelas di mata Arkan bagaimana dia melihat Disha yang cemburu pada Titania
***
Braga merebahkan Titania dengan hati-hati di ranjang UKS. Dokter Volunteer yang sedang bertugas segera memeriksa kondisi Titania.
"Sepertinya dia pingsan karena tadi pagi belum sarapan, dan harus berjalan jauh." terang dokter tadi pada Braga.
"Kamu teman sekelasnya kan? memangnya rumah dia dimana sih? Kok luka di tumitnya sampai seperti itu? Dia pakai jalan jauh itu mungkin juga berlari, sebentar biar saya kasi plester luka tumitnya." dokter volunteer itu bermonolog, karena Braga tidak menyahut sama sekali.
"Sarapan pagi Titania mie kuah tadi emang gue yang makan, tadi di rumah Mama juga dia tidak ikut sarapan karena menyusul Dipsha keatas untuk bercerita tentang tragedi Barbie yang sepertinya hanya dia saja yang ingat dan gue juga yang nurunin dia di tengah perjalanan ke sekolah, karena lagi kesel, dia naik angkot yang salah kemungkinan Titania ga bawa uang lebih, makanya memilih untuk berlari ke sekolah untuk mengejar waktu." pikir Braga. Ia mengusap keringat dingin di kening Titania menggunakan telapak tangannya.
"Bentar Dok, saya mau ke kantin dulu ya, buat beliin dia sarapan, tolong jagain temen saya," ucap Braga, luar biasanya Braga dokter di sekolah saja dia suruh-suruh --anak sultan mah bebas--
Lima menit kemudian Braga telah kembali sambil membawa bubur ayam yang terbungkus foam. Lantas meletakkannya di nakas samping ranjang Titania. Ia kembali duduk, sambil mengamati Titania.
"Pacar nya ya?" tanya dokter tadi pada Braga, yang terlihat cemas menatap wajah Titania yang pucat itu, jika mamanya tahu tamunya sedang pingsan gara-gara ulah dirinya pasti Mamanya akan sedih.
"Bukan," jawab Braga singkat.
"Lagi nih, dokter sokab banget sih sama gue," gerutu Braga dalam hati.
"Tapi cocok kok, wajah kalian berdua mirip." sahut dokter tadi tak mau kalah.
"Ugh!" Titania tampak bergerak pelan memegangi kepalanya yang sedikit benjol karena pingsan dengan posisi tengkurap tadi di kelas.
"Titania, lo udah sadar?" tanya Braga, menghela nafas lega.
"Sorry ya yang tadi," ucap Braga yang terlihat gengsi untuk meminta maaf.
Titania tidak menyahut perkataan Braga mengedarkan pandangannya, ia baru sadar jika dirinya sedang berada di UKS karena mencium aroma antiseptik yang menguar di seisi ruangan.
Dan perutnya tiba-tiba bunyi, membuat dokter yang lagi duduk meja seberang menoleh kearah Titania. Cewek itu hanya meringis salah tingkah.
Titania mencoba bangun, dan Braga membantunya menyangga belakang punggung Titania menggunakan tangannya.
"Nih udah gue beliin sarapan, lo makan dulu ya," ucap Braga menyerahkan sekotak bubur pada Titania.
"Suapin donk Mas," sahut dokter dengan nada genit menggoda Braga. Cowok ganteng itu terlihat rikuh mendengar ucapan dokter barusan.
"Ga perlu Ga, biar aku makan sendiri saja, di beliin sarapan aja udah syukur banget," ucap Titania berterima kasih.
"Aku udah nggak apa-apa Ga, kamu bisa balik lagi ke kelas," ucap Titania dengan mata berbinar menatap bubur ayam di pangkuannya. Namun Braga terlihat enggan beranjak dari kursinya, bagaimana tidak di kelas sedang ada Matematika dan itu adalah musuh terbesarnya setelah Roxy.
"Di kantin sini nggak ada jual gorengan?" tanya Titania tiba-tiba. Sambil mengaduk buburnya.
"Adalah," jawab Braga singkat.
"Kok nggak sekalian beliin gorengan tadi," ucap Titania tanpa beban.
"Astaga kamu ini Dek! udah Mas kasih hati minta jantung pula." tukas dokter genit menggoda Titania.
"Iya lo habisin dulu buburnya habis ini gue beliin gorengannya," jawab Braga. Mengulas senyum, karena ucapan dokter barusan.
Namun Dipsha yang rupanya berada di depan UKS untuk sengaja mengikuti Braga kesal sendirinya. Kenapa Braga yang sekarang seolah tidak peduli lagi dengannya dan justru bersikap hangat pada Titania.
"Braga..."
Begitu melihat Dipsha berdiri di depan pintu UKS, Braga segera menghampiri cewek itu, dia terlihat melirik kearah Titania yang sedang makan bubur.
"Ada apa Sha?" tanya Braga begitu berdiri berhadap-hadapan dengan Dipsha.
"Lo nggak balik ke kelas?" tanya Dipsha random, sambil memilin-milin ujung rambutnya.
"Istri muda merajuukk, kembali ke istri tuaa," dokter tadi tiba-tiba menyanyi dengan nyaring di mejanya, membuat Braga, Dipsha dan TitaniamTitania
"Dokter itu kenapa sih?" bisik Dipsha.
"Udah biarin aja, emang kaya gitu orangnya, iya lo balik ke kelas aja dulu, ntar gue juga balik kok." Braga mengusir Dipsha secara halus.
"Gak Ga, gue perlu ngomong," ucap Dipsha menarik lengan Braga meninggalkan UKS.
Titania dari ranjangnya tak mau ambil pusing, rasa bubur di kantin yang Braga beliin terlalu gurih dan kurang asin, tapi berhubung dirinya sedang kelaparan, habis juga tak bersisa.
"Lo suka ya sama Titania?" tanya Dipsha, saat ini mereka sedang berada di koridor agak menjauh dari UKS.
"Sha, Arkan itu sepupu gue, dia kakak gue, kalau lo masih menghargai hubungan kita sebagai teman, lo harus ikhlas terima dia," ucap Braga.
"Gue nggak lagi ngomongin Arkan, Ga, yang gue tanya cewek itu," ucap Dipsha meninggi sambil tangannya menunjuk kearah UKS.
"Namanya Titania, bener apa yang lo bilang, gue suka sama dia," bohong Braga. Dia hanya tidak ingin Dipsha gagal move on darinya dan demi menjaga perasaan Arkan.
"Apa sih yang lo lihat dari gue Sha? kenapa lo nggak bisa nerima Arkan? Wajah kita mirip, bahkan dia jauh lebih baik daripada gue, dia siswa berprestasi di SMA kita," urai Braga.
"Tapi gue maunya lo Ga, oke wajah kalian mirip, tapi hati gue selalu milih lo, yang orang bilang bahwa cinta itu buta, nggak berlaku buat gue," jawab Dipsha sendu.
"Sha, Tante Anna dan Om Romy orang tua lo itu, sukanya bukan sama gue, tapi sama Arkan hormati keputusan orang tua lo Sha, gue ke kantin dulu," pamit Braga.
"Lo nggak balik ke kelas Ga?" tanya Dipsha dari balik punggung Braga.
"Nanti, gue mau ke kantin." jawab Braga singkat.
"Kamu lapar? Kok masih pagi udah ke kantin?" tanya Dipsha lagi kepo.
"Beli gorengan, buat Titania, dia tadi minta," jawab Braga melangkah menjauh.
"Titania lagi... Titania lagi..." Dipsha kesal menendang-nendangkan kakinya ke udara.
"Sorry Sha, gue nyakitin lo, bukan berarti gue nggak merasa sakit juga." gumam Braga yang enggan menoleh, karena dia tahu Dipsha pasti masih menatapnya.
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Braga, Orion, Rigel dan Alastair sedang bermain basket di jam istirahat ini, mereka berempat menjadi pemandangan yang paling indah bagi siswi-siswi Labschool Bina Persada, empat cowok tampan, yang masa depannya sudah terprogam sejak orok bahwa mereka nantinya akan menjadi generasi penerus pemimpin di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Cewek-cewek halu yang menatap mereka dari pinggir lapangan maupun di sepanjang koridor sekolah selalu berangan-angan jika mereka bisa memacari salah satu diantara pasukan inti geng Badblood itu, sudah bisa dipastikan maka masa depan mereka akan tenang, secara lahir dan batin karena ketampanan dan kemapanannya. Namun apa boleh buat, mereka sadar serbuk berlian tidak akan pernah setara dengan rontokan pisgor --pisang goreng--. Terlebih saat mereka tahu bahwa Arkan si Jenius sepupu Braga di jodohkan dengan Dipsha si selebgram cantik nan populer yang sama-sama berasal dari keluarga
Saat ini pelajaran Matematika sedang berlangsung, Pak Randu tampak menuliskan beberapa rumus njelimet di papan tulis, membuat kepala Braga semakin pusing saja. Namun tiba-tiba pintu kelas berderit dan menampakkan Bu Dina wali kelas mereka masuk menemui Pak Randu guru Matematika yang sedang mengajar di depan kelas. Bu Dina dan Pak Randu terlihat sedang bisik-bisik sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke seusia kelas, memastikan mereka tidak gaduh. Tak lama kemudian Pak Randu manggut-manggut, dan Bu Dina tiba-tiba berseru mempersilakan siswi di depan pintu kelas itu untuk masuk. Mata Dipsha seketika melotot, cewek yang ia lihat pagi ini datang ke rumah Braga, ternyata masuk di kelas ini. Mereka akan menjadi teman sekelas. Ini sangat menjengkelkan baginya. "Maaf Pak, saya terlambat, tadi saya salah naik angkot," ucap Titania, Braga mengangkat wajahnya begitu me
Malam ini Titania terjaga dari tidurnya, hari pertamanya tinggal jauh dari kedua orang tua, membuatnya overthingking. Gadis tersebut beringsut membuka selimut karena merasa haus, ia membuka pintu kamar dan matanya menyipit begitu keluar dari ruangannya. Braga rupanya tertidur dengan lampu dan TV yang masih menyala, ia mengabaikannya dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. Sesuai dengan tujuannya. Titania membawa gelasnya yang telah berisi air putih dingin, berjalan menuju ruang tengah, ia mengambil remote TV dari genggaman tangan Braga. Ia tekan tombol power dan TV menghitam. "Dasar cowok aneh, aku yang baru perjalanan jauh Bali-Jakarta, kena jetlag, harusnya aku yang lelah malah dia yang kelihatan lelah," ucap Titania lantas meneguk air dalam gelas di tangannya, sambil mengamati Braga yang tidur pulas dengan mulut sedikit terbuka. Titania kembali ke dapur mele
Braga malam ini sedang berpacu di lintasan, dia harus tiba di garis finish lebih dulu, Braga tidak mau jika sampai dia dan teman-temannya harus bertekuk lutut di bawah naungan Roxy yang angkuh dan licik itu. Dia melewatkan satu ritual penting sebelum balapan, yaitu mengecek kondisi lintasan, entah untuk sekedar melihat infrastruktur jalan, ataupun kemungkinan sabotase dari kubu lawan. Malam ini Braga tidak sempat melakukannya karena harus menjemput Titania di Bandara tadi, dia pun juga datang paling akhir ke lokasi. Satu tikungan lagi dia akan tiba di garis finish, dari kejauhan Braga telah melihat lampu-lampu motor anak-anak Badblood dan juga anak-anak Enemy Coffin yang berpendar. Saat ia sedang fokus melihat kedepan, tepatnya kearah Orion dan Rigel yang sedang menyemangatinya --Alastair tidak pernah ikut diacara seperti ini dia lagi sibuk menghafal rumus-- Tiba-tiba sebuah balok kayu terbang melayang kearah tengkukn
"Malam ini?! Jam berapa?!" tanya Braga setengah berbisik, sambil mendekatkan handphone di telinganya, ia sedang menerima telepon dari Rigel masalah tantangan Roxy waktu itu. "Jam 11 Boss, di lintasan kemarin, Roxy sudah siap katanya," jawab Rigel di seberang telepon dengan cukup jelas "Oke," ujar Braga singkat, sambil melirik kearah jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Masih ada waktu satu jam lagi. "Gue butuh bantuan lo," imbuh Braga lagi. "Bantuan apa Boss?" respon Rigel cepat. "Lo jemput gue! Bilang ke nyokap kalau kita mau ngerjain tugas, ok?" Braga memberikan instruksi. "Siap Boss, yakin berhasil?" ucap Rigel di seberang telepon sedikit ragu. "Berhasil atau nggak, mending lo datang dulu ke rumah, sisanya biar gue yang urus." Braga langsung mematikan sambungan telepon. 
"Bill," Dipsha sedang memanggil Billa sang bendahara kelas yang baru saja berlalu. Ia menyusul cewek itu kembali ke kelas, setelah melihat pemandangan yang meresahkan hatinya tadi di kantin. "Hmm? Iya Sha, kenapa?" tanya cewek berwajah oriental tersebut. Nabilla Azkia. "Eng, enggak ada apa-apa sih, itu, gue cuma mau tanya, tadi lo nagih uang kas ya ke Braga dan anak-anak Badblood yang lain?" tanya Dipsha basa-basi, ya tentu saja, itu terjadi karena dia jarang dan bahkan hampir tidak pernah ngobrol sama Billa, sebagai informasi, di SMA Labschooll Bina Persada ini ada sistem hirarki yang tidak kasat mata, yaitu pembentukan kasta yang sudah terjadi turun-temurun dari berbagai angkatan. Kasta pertama, disandang oleh anak-anak para donatur sekolah, yang terdiri dari anak para pengusaha kaya dan anak para pesohor seperti artis papan atas. Kasta kedua, diberikan kepada anak-anak penyand
Dipsha meneguk segelas susu cokelat sambil memainkan hp, memeriksa notifikasi terbaru media sosialnya. Mamanya juga bilang, "Dipsha bisa sarapan pakai apa saja, asalkan lauknya hp." Dipsha adalah seorang selebgram remaja yang terkenal di kota ini, tawaran endorse-an selalu datang menghampirinya, setiap hari. Jadi hampir semua model pakaian, cemilan, skincare, makeup, produk tas dan sepatu terkini sudah masuk semua ke koleksi Dipsha, berkat endorse, tanpa harus meminta pada orang tuanya. Namun karena dia tidak menggeluti secara serius bidang itu, makanya, semua Dipsha handle sendiri tanpa merekrut asisten dan sebagainya, mulai dari menjawab email endorse, melakukan photoshoot produk, hingga posting ia tangani sendiri. Begitu rutinitas sarapan paginya, selalu sibuk memeriksa email, namun pagi ini berbeda, ia sedang menunggu balasan chat dari Braga semalam, yang tak kunjung muncul di layarnya. "Dipsha
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan kelembapan udara yang semakin menurun, tidak melunturkan semangat gerombolan remaja, usia sekolah itu untuk melakukan aksinya. "Braga!! Braga!! Braga!!" "Come on Ga, You must be a winner tonight!!!" teriakan-teriakan penyemangat dan pengecoh mental kubu lawan semakin kencang terdengar dari pinggir lintasan. Dan menguar begitu saja bersama hembusan angin malam. Sekelompok geng motor yang menasbihkan dirinya sebagai geng 'Bad Blood' tengah berada dalam event kebanggaan mereka, apalagi jika bukan balap liar, dan tentu saja bersama musuh besarnya geng 'Enemy Coffin'. Gelaran event terlarang itu meraka laksanakan di kawasan tol yang masih dalam tahap loading proses pembangunan. Mereka dengan sengaja mengecoh petugas developer tol demi menghindari razia dan kejaran polisi lalu lintas. Putaran demi putaran ajang balap liar sel