Seorang pria dewasa berjalan dengan langkah penuh percaya diri sambil menyeret koper menuju pintu keluar. Menjadi pusat perhatian bagi semua orang terlebih lagi wanita yang berdecak kagum akan ketampanannya, sekilas mirip seperti Chris Hemsworth. Dengan rahang yang terkesan tegas dan bulu halus di sepanjang rahang, semakin membuat daya tarik tersendiri bagi para wanita. Ditambah lagi dengan setelan mahal yang melekat di tubuh pria itu yang harganya bisa mencekik bagi yang mengetahui mereknya. Tidak jarang wanita melirik dua kali ke arah pria itu.
“Selamat siang, Tuan Sean. Saya Eliandro, asisten Tuan besar untuk menjemput Tuan,” sapa pria paruh baya, Eliandro pada pria itu sembari membuka pintu mobil. Sean, pria itu hanya mengangkat sebelah alisnya sambil menilai Eliandro dengan seksama dari atas hingga bawah. Sementara itu, Eliandro merasa tidak keberatan dengan yang dilakukan Tuan mudanya itu. Tanpa membuang waktu Sean masuk ke dalam mobil tersebut, lalu disusul Eliandro. Pajero hitam itu pun menghilang di tikungan jalan.
Sepanjang perjalanan, Sean hanya diam sambil memperhatikan gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi jalanan Jakarta. Tidak banyak yang berubah semenjak sepuluh tahun silam, pikirnya. Dengan pelan dia mengusap bibir bagian bawah, mengenang masa lalu yang membuat dia dibuang ke luar negeri dan meninggalkan wanita yang sangat dia cintai tanpa wanita itu ketahui.
Kejadian yang berawal dari kebodohannya yang menyebabkan gadis tidak bersalah harus menjadi tumbal karena dirinya. Setelah kepergiannya ke Amerika, Sean berusaha mencari wanita itu agar dapat menebus dosa-dosa yang telah dia lakukan. Namun kabar wanita itu seperti ditutupi oleh orang lain sehingga membuat Sean tidak dapat mengetahui keberadaannya.
“Tuan besar mengatakan bahwa anda akan mulai memimpin perusahaan lusa, Tuan muda,” Ujar Eliandro memecah keheningan di dalam mobil. Sean menatap Eliandro lewat kaca tidak berminat. Persetan dengan perusahaan ayahnya, yang dia pikirkan saat ini adalah untuk mencari wanita yang telah mengisi seluruh ruang di hatinya. Eliandro tersenyum maklum dengan tabiat Tuan mudanya yang sedari kecil sangat dingin. Bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Dirgantara membuat dia paham.
Flashback on
“Nama kamu Vania, kan?” tanya Sean saat itu. Gadis yang asyik membaca buku di perpustakaan itu hanya melirik malas. Dari suaranya, dia tahu bahwa laki-laki itu adalah idola para siswa di sekolah ini.
“Nama aku Sean,” ujar Sean pada Vania, sedangkan gadis itu hanya diam.Tanpa mempedulikan Sean yang mengulurkan tangan mengajak berkenalan, gadis itu melanjutkan membaca yang sempat tertunda. Sementara itu, Sean menggaruk kepalanya kikuk. Belum ada sebelumnya yang menolak dirinya, bahkan guru wanita yang mengajar di sekolah ini saja tergila-gila padanya meski dia dijuluki ‘si tampan yang tidak lulus' tapi banyak yang mengagumi dirinya. Tapi Vania dengan angkuhnya menolak dirinya yang berbaik hati mengajaknya berkenalan secara langsung.
“Vania sedang apa?” tanya Sean di tengah sepinya perpustakaan. Hanya ada penjaga perpustakaan yang sudah tua dan sepasang siswa yang sedang asyik pacaran di pojok sana.
“Kalau kata papa saya, Tuhan menciptakan mata itu untuk melihat sesuatu dengan jelas, terkecuali jika memang ada masalah dengan matanya. Apakah mata kakak ada masalah?” tanya Vania dengan nada sisnis tanpa mengalihkan pandangan dari buku di tangannya. Sean hanya terperangah mendengar jawaban dari adik kelasnya yang baru berumur 15 tahun. Dia tidak menyangka di umurnya yang ke 19 ini ada orang yang berani melawannya, padahal banyak orang yang memilih untuk tidak berurusan dengan Sean karena takut terkena masalah. Meski begitu, Sean itu adalah tipikal pria yang digilai wanita, bahkan banyak wanita yang rela mengemis cinta dari seorang Sean. Tapi Vania, gadis berpotong rambut bob seperti polwan itu dengan berani bahkan dengan terang-terangan menyatakan kebencian padanya. Seketika adrenalin Sean merasa tertantang untuk menaklukkan gadis di hadapannya ini.
“Mata kakak nggak bisa lihat aku lagi apa? Kasihan, masih muda tapi udah rabun,” sindir Vania. Sean semakin terperangah dengan keberanian perempuan ini menyindir dirinya.
“Harus, ya, perkataannya penuh dengan sindiran begitu? Nggak bisa, gitu, seperti perempuan lainnya? Yang lemah lembut dan—“
“Dan penuh dengan desahan yang dibuat-buat di setiap kata yang diucapkan agar membuat kakak senang dan membayangkan hal-hal yang ... tau sendirilah!” sinis Vania dengan lirikan tajam.
Sean berdehem pelan. Bukan salahnya jika dia memikirkan hal-hal yang tidak senonoh jika banyak perempuan yang mendekatinya bahkan setiap tutur katanya diselingi dengan desahan. Salahkan saja para perempuan itu. Tapi yang namanya pria itu selalu salah dan perempuan selalu benar, jadi mau perempuan itu salah tetap saja dia selalu benar.
“Oke, aku salah.” Vania menutup bukunya dengan kesal. Nait hati dengan berbicara ketus dan sinis agar pria satu ini menjauh, malah membuat Vania tidak enak hati karena permintaan maaf dari Sean atas kesalahan yang tidak dia perbuat. Dengan menghela napas lelah, dia bertanya, “Emang kakak punya salah apa sama aku?”
“Iya, punya,” jawab Sean ragu, sedangkan Vania menaikkan sebelah alisnya bingung.
“Kamu ngomong ketus dan sinis gitu sama aku. Jadi aku pikir aku punya salah sama kamu,” lanjut Sean.
Vania menghela napas kesal. Ternyata bukan hanya selalu salah, pria itu juga makhluk yang kurang peka, buktinya saja pria yang duduk di sampingnya ini. Tidak peka ‘kah bahwa Vania berbicara ketus agar pria itu tidak mengganggu dirinya yang sedang belajar untuk persiapan ulangan dari Pak Chandra, guru biologi paling galak seantero sekolah?! Masa Vania harus mengomong begitu pada Sean? Jujur, Vania tidak sudi!Tidak ingin berlama-lama di dekat pria itu, Vania dengan cepat pergi keluar dari perpustakaan. Harapan untuk bisa belajar dengan tenang di perpustakaan, nampaknya belum bisa Vania rasakan. Dengan cepat Vania berjalan di lorong menuju kelasnya. Tampak para teman sekelasnya sedang berpencar mencari tempat untuk belajar.
“Aku beneran minta maaf, loh, Van. Aku nggak ada niat buat—“ Ucapan Sean terhenti begitu Vania berhenti berjalan dan berbalik menghadap dirinya.
“Kakak bisa diem, nggak?! Aku udah pusing dengan ulangan biologi yang bentar lagi akan dimulai, terus kakak minta maaf atas kesalahan yang nggak Kakak perbuat,” jelas Vania kesal.
“O-Oke, maaf.”
“Maaf lagi ... Maaf lagi! Daripada Kakak minta maaf nggak jelas sama aku, mending Kakak masuk kelas dan belajar. Bukan malah keluyuran ngintilin aku kayak aku punya hutang!” ujar Vania, lalu pergi dari hadapan Sean sambil menghentakkan kaki kesal, sedangkan Sean hanya diam di tempat.
Flashback off
“Kita telah sampai, Tuan muda,” ujar Eliandro menyadarkan Sean dari lamunan. Tidak membuang waktu lama, Sean segera keluar dari Pajero putih itu.Tidak ada yang berubah pada rumah di hadapannya setelah sepuluh tahun di ungsikan ke luar negeri. Taman bunga yang selalu dirawat dengan baik oleh tukang kebun, cat rumah yang seolah tampak baru, jalan setapak yang sengaja dibuat, pagar tinggi yang mengelilingi rumah dan jangan lupakan ayunan yang menjadi tempat Sean dan adik-adiknya bermain bersama.
“Sean!” teriak seorang wanita paruh baya dari pintu masuk. Dengan cepat wanita itu berlari ke arah Sean tanpa menghiraukan teguran dari pria di belakangnya.
“Oh, Sayang. Mommy sangat rindu padamu,” ujar wanita itu sambil memeluk Sean erat. Sepuluh tahun dipisahkan dari putra sulung yang sangat dia cintai ini membuat rindu semakin menumpuk tinggi, terlebih lagi dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Dengan cepat dia memandang wajah putra yang sangat dia rindukan. Mengelus dengan pelan dan mengamati hingga dia puas. Tidak, wanita itu tidak pernah puas dengan hanya memandangi wajah sang putra sampai kapan pun!
“Kau seharusnya berhati-hati, Irina. Jika kau terjatuh dan terluka, aku tidak mau menjagamu yang penuh dengan rengekan setiap hari hingga sembuh,” tegur pria oaruh baya yang mengikuti wanita itu dari belakang.
“Diam kau, Pak tua! Kau yang memisahkan antara aku dan anakku! Kerja kau sana dan hasilkan banyak uang! Jangan mengganggu waktu ibu dan anak ini!” hardik Irina, ibu dari Sean sambil menunjuk pria paruh baya itu.
“Ckckckck, sepertinya ini akibat dari bergaul dengan ibu-ibu yang selalu berdandan dan berpenampilan seperti badut itu.”
“Diam kau, Pak Tua Andrew! Itu namanya kumpulan ibu-ibu sosialita, bukan ibu-ibu berdandan badut! Memang kamu, bergaul hanya dengan tumpukan kertas warna-warni dan segala laporan,” sindir Irina.
“Tapi kertas itu bisa membuatmu menghabiskan kumpulan Gucci hingga memenuhi kamar kita,” balas Andrew pada istrinya. Sean memutar mata malas melihat perdebatan antara ayah dan ibunya yang sering terjadi tanpa tahu tempat dan waktu. Terkadang ada saja yang mereka perdebatkan, dimulai dari pakaian apa yang akan dikenakan hingga nama anak kucing yang mereka pungut dari jalanan. Bagai kucing dan anjing, selalu bertengkar dan sulit untuk akur.
“Anggap saja itu bayaran dari perbuatanmu yang memisahkan antara aku dan Sean!” desis Irina. Semenjak kepergian Sean ke luar negeri, Irina seolah-olah ingin membuat perusahaan Andrew bangkrut dengan cara berbelanja sesuka hatinya. Namun bukan kebangkrutan yang dialami suaminya, tapi Irina yang bingung mau diletakkan di mana barang-barang yang dia beli.
“Omong kosong macam apa itu? Terakhir setelah mendengar kepulangan Sean, kamu malah pergi ke mall dan memborong hampir seluruh setelan pria di sana. Aku yakin itu hanya akal-akalanmu saja, kan?”
“Diam kau, Pak tua! Atau kau mau aku ....”
“Sudahlah, Irina. Apakah kau tidak mencium bau gosong dari dalam rumah kita?” tanya Andrew memotong ucapan Irina. Irina tersentak, lalu berteriak panik sambil berlari ke dalam rumah tanpa menghiraukan teguran dari suaminya.
Kini hanya tinggal ada Andrew dan Sean, Eliandro telah masuk ke dalam rumah sambil membawa barang-barang milik Sean. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya saling memperhatikan. Andrew tersenyum terlebih dulu, lalu mendekat ke arah putranya tanpa menghiraukan pandangan memusuhi dari Sean.
“Lihat siapa yang sekarang di depan pria tua ini? Penerus keluarga Dirgantara!” ujar Andrew sambil menepuk bahu Sean dengan penuh bangga. Siapa yang tidak bangga, putra sulungnya yang dulu terkenal nakal dan biang masalah, sekarang telah menjadi orang besar di perusahaan mertuanya di Amerika.
Ternyata waktu telah mengubah segalanya, pikir Andrew sambil menatap Sean dengan penuh bangga. Putranya yang dulu selalu buat onar dan sering kali membuat kepalanya pusing, sekarang telah siap memegang kendali di perusahaan miliknya dan milik mertuanya. Meski Andrew tahu bahwa yang membuat Sean mau melakukan yang dia minta bukanlah demi dirinya atau keluarganya, tapi demi wanita itu.
“Kau tumbuh seperti yang apa yang aku harapkan,” ujar Andrew bangga. Sean menatap sang Ayah dengan tatapan penuh benci.
Seandainya Andrew tidak mengusirnya ke Amerika, sudah pasti dia akan bisa menemui Vania, gadis yang mengisi hatinya dari dulu hingga saat ini. Tapi tanpa rasa bersalah, Andrew bersikap seolah-olah itu adalah permintaan Sean sendiri.“Dan kau tidak melakukan apa yang aku harapkan,” balas Sean tajam, lalu berlalu meninggalkan Andrew yang terdiam di halaman. Tanpa Sean sadari, bahwa Andrew tersenyum kecil mendengar perkataannya.
“Kau mungkin nanti akan bersyukur atas apa yang aku lakukan, Son. Tapi tentu saja tidak sekarang, dan aku tau itu,” gumam Andrew setelah Sean berjalan cukup jauh darinya. Tidak ada yang mendengarnya terkecuali angin yang berhembus. Biarlah ini menjadi kejutan untuk Sean, pikirnya.
Memindahkan Sean ke Amerika bukanlah hal yang mudah. Tidak ada yang mendukungnya, terkecuali ayah mertuanya tentu saja. Tatapan permusuhan dari istri dan anak-anaknya selalu dia dapatkan, tapi hal itu tidak membuat niat Andrew goyah untuk membuat Sean menjadi penerus perusahaannya. Bukan hanya itu saja, alasan sebenarnya adalah dia ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan putranya dahulu.
Dengan santai Andrew berjalan memasuki rumah yang dulu terasa dingin, kini kembali hidup setelah kepulangan Sean. Andrew tersenyum lega begitu mendengar teriakan demi teriakan dari anak-anaknya yang begitu antusias menyambut kepulangan Sean hingga terdengar dari luar rumah.
TBC
Kalbar, 11 September 2021
Berkali-kali Anya berteriak meminta tolong, hingga membuat semua penghuni rumah bangun di tengah malam dan berlari ke dalam kamar wanita itu dengan segera. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi pada putrinya, Andi dengan sigap mendobrak pintu kamar Anya dibantu oleh Aditya. Begitu pintu terbuka, dengan segera mereka memasuki kamar tersebut. Memeriksa adanya bahaya yang menimpa Anya. Tapi yang mereka temui bukanlah hal yang mereka pikirkan, pasalnya Anya berteriak meminta tolong dengan mata masih terpejam dan keringat membasahi seluruh tubuhnya.“Anya! Anya!” panggil Diyah panik, mencoba menyadarkan Anya yang masih berteriak meminta tolong dalam keadaan tertidur. Memukul pipi wanita itu berharap agar lekas tersadar, namun hasilnya nihil. Anya tetap tidur dan berteriak meminta tolong sambil memanggil anggota keluarganya. Diyah semakin panik melihat keadaan putrinya.“Anya! Vania Kananya Bagaskara Putri!” teriak Diyah memanggil nama lengk
Suasana di rumah Dirgantara pagi itu kacau. Sangat kacau. Seluruh penghuni rumah berkeliling rumah menuruti perintah sang tuan rumah yang sedari tadi heboh sendiri. Tidak ada yang membantah perintah dari Nyonya besar yang heboh karena kehilangan putra bungsunya.“Cari Dave sampai ketemu! Atau kalian tidak aku gaji sampai seumur hidup!” ancam Irina pada setiap maid yang lewat di hadapannya untuk mencari Tuan Muda mereka.“Kau tidak perlu sepanik itu, Irina. Mungkin saja Dave sudah pergi ke sekolah bersama teman-temannya sekarang,” ujar Andrew menuruni tangga sembari memasang dasi sendiri. Dia itu tidak ubahnya seperti saat masih membujang, padahal sudah menikah dan memiliki anak. Tapi semuanya dia lakukan sendiri, dimulai dari menyiapkan pakaian hingga memasang dasi, semua Andrew lakukan sendiri. Sedangkan Irina seolah tidak peduli dengan sang suami.Sebenarnya mereka ini adalah korban dari pernikahan bisnis antara
Masa lalu pasti akan terulang kembali. Itu yang ada di pikiran Anya setelah sadar dari pingsannya begitu melihat Sean di antara banyak orang yang mengerubunginya.________________________________________Pingsannya Anya membuat satu kantor heboh, terlebih lagi setelah melihat atasan baru mereka, Sean dengan cepat menggendong Anya tanpa memperbolehkan orang lain melakukannya. Para karyawan hingga Gifa merasa aneh melihat Sean melarang siapa pun menjenguk Anya di ruangannya selain dokter yang dipanggil. Gifa yang notabene telah mengenal Anya dan keluarganya cukup lama merasa penasaran dengan atasan baru mereka itu, tapi dia tahan untuk sementara sambil menunggu Anya sadar dari pingsannya.“Kau seharusnya tidak melakukan itu, Son. Mereka bisa curiga denganmu dan Anya,” celetuk Andrew begitu melihat Sean yang masih menggenggam tangan Anya erat, seolah-olah tidak akan melepaskannya sejengkal saja, sementara Anya m
Setiap wanita pasti akan merasa iri hanya dengan melihat Anya. Memiliki wajah yang cantik, mata bulat dan hitam, hidung bangir, bibir tipis dan merona, alis yang tegas, pipi tirus, kulit putih pucat, bulu mata lentik, rambut panjang terurai, tinggi dan berat badan ideal. Tidak hanya itu saja, karir Anya juga cemerlang. Baru bergabung di D'Star Corporation, posisi manager pemasaran telah dia duduki tanpa adanya campur tangan orang lain. Hal itu semakin membuat Anya terkenal di antara para karyawan, terlebih lagi kejadian ketika penyambutan CEO baru kemarin.Bagaimana tidak heboh jika CEO baru mereka sendirilah yang langsung menggendong Anya, tidak memperbolehkan seorang pun untuk menyentuh wanita itu selain dirinya. Bahkan beliau mengancam mereka yang akan menyentuh Anya meski hanya seujung kuku. Siapa yang tidak akan iri di perlakukan istimewa seperti itu.“An, mereka ngomongin kamu lagi,” bisik Gifa pada Anya yang asyik menyantap semangkuk bakso yang baru
Tubuh Anya merosot ke lantai begitu dia sampai di ruangannya. Dengan tubuh bergetar, dia bersandar di balik pintu masuk sambil menormalkan nafasnya yang terputus-putus. Jantungnya berdegup kencang seolah-olah akan meledak, nafasnya memburu seperti dikejar orang, kepalanya pusing dan perutnya mual dan dia tahan dengan menutup mulutnya menuju wc yang tersedia di ruangannya. Semua makan siang yang dia santap tadi seketika keluar semua hingga membuat tubuhnya lemas.Ketakutannya kembali kepermukaan. Setelah sekian lama, kini penyakitnya kembali kambuh. Meski pun sering konsultasi dengan psikolog pribadi, Anya tidak pernah merasa sakit seperti ini. Ketakutan di masa lalu kembali muncul semenjak pemicunya kembali setelah sekian lama menghilang tanpa jejak dan tanpa pertanggungjawaban setelah membuat Anya seperti sekarang. Tidak ada orang yang rela berada di posisi Anya. Di saat anak muda sibuk bergonta-ganti pasangan, Anya hanya sibuk mengobati traumanya yang mendera di ingatannya.
Gigi Sean bergemeletuk, rahangnya mengeras, kepalan tangannya menguat, geraman juga terdengar darinya begitu melihat Anya pergi dari hadapannya dengan seorang pria yang tertutup helm. Tanpa basa basi, Sean segera masuk ke dalam mobilnya lalu membuntuti Anya dari kejauhan. Dia tidak rela bila ada pria lain yang mendekati Anya selain dirinya. Bahkan dia sekarang mulai melakukan penyelidikan terhadap siapa saja pria yang sedang dekat dengan Anya, entah itu di kantor atau di luar sana.Sementara itu Aditya dan Anya hanya berdiam diri sepanjang perjalanan pulang. Tidak ada yang ingin membuka percakapan seperti biasa bila bersama, padahal banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala mereka berdua, tapi tidak ada yang berniat untuk bertanya. Mereka tenggelam pada pemikiran masing-masing. Aditya yang bertanya-tanya siapa pria yang memegang tangan sang kakak, sedangkan Anya was-was apabila Aditya bertemu dan mengenali Sean sebagai kisah kelam yang menyebabkan dia seperti ini.
Suara tawa Sean menggelegar hingga terdengar sampai luar ruangan itu, membuat sekertaris yang berada di depan pintu itu memgkerut takut. Bukan hanya sekretaris, para karyawan yang akan melaporkan perkembangan perusahaan juga menciut tidak berani. Pasalnya, bos besar mereka saat ini terkenal akan kekejamannya, hingga mereka yang awalnya memberanikan diri ingin menemui Sean mendadak takut dan ciut.Sementara di dalam ruangan, Sean tertawa terbahak-bahak begitu membaca laporan yang diinginkan hingga dia tidak bisa tidur, dari asistennya. Dalam hati dia tidak menyangka bahwa pria yang menjemput Anya kemarin adalah adik dari wanita itu sendiri. Seharusnya dia tidak merasa cemburu pada bocah yang sepuluh tahun lalu mengibarkan bendera perang padanya.Flashback onSiang itu, Sean nekad mengantarkan Anya pulang meski berulang kali Anya menolak dengan alasan dia tidak mau merepotkan pria itu. Dengan motor sport terbaru hadiah dari sang kakek bulan lalu, dia mengantarkan
Sean yang Oscar ketahui adalah seorang pria yang sangat dingin dan tidak tersentuh meski para wanita berlomba untuk menggapainya. Sean bahkan tidak melirik wanita yang hanya menggunakan bikini atau bahkan tidak berbusana yang berusaha menggoda dirinya dengan terang-terangan, hingga Oscar berasumsi bahwa Sean adalah seorang gay. Tidak jarang Oscar merasa waspada bila berdekatan dengan Sean. Tapi kini asumsinya seolah dipatahkan setelah Sean memerintahnya menyelidiki keluarga hingga orang terdekat dari seorang wanita bernama Anya.Kini Oscar merasa bahwa bukan Sean yang tidak tertarik dengan wanita, tapi memang selera seorang Sean itu sangat tinggi. Tinggi sekali seperti puncak gunung yang selalu dinyanyikan keponakannya di taman kanak-kanak. Harus Oscar akui, Anya memang wanita yang sempurna, bukan hanya wajah, keluarga hingga karier juga sangat sempurna. Siapa yang tidak tertarik pada wanita itu, terkecuali orang buta atau gila saja yang menolak. Oscar saja hampir jatuh hati
Tidak ada yang dilakukan oleh Senja selain memaki atasannya yang tiba-tiba menghilang setelah dia memanggil Oscar untuk ke kantor dengan menurunkan egonya sedikit karena dia masih berpikir perlu uang untuk menghidupi ibunya dan sang adik yang masih bersekolah. Tapi apa yang didapatinya setelah memanggil Oscar, Sean pergi entah kemana tanpa memberi kabar darinya. Bahkan rapat dengan investor asal Dubai saja harus diundur besok setelah mengalami perdebatan alot antara dirinya dan investor itu hingga membuat kepalanya sakit dan ingin pecah di saat bersamaan. Ingatkan Senja untuk melaporkan bosnya itu ke Pak Andrew agar dipecat menjadi bos.“Aku ragu apakah bos yang ingin bertemu denganku atau kau?” sindir Oscar yang duduk di sofa ruangannya dengan menaikkan sebelah kaki ke atas meja. Senja hanya memutar mata malas, dia tidak menghiraukan sindiran Oscar yang hanya buang-buang waktu berharganya. Lebih baik dia melanjutkan pekerjaan Sean dan Oscar yang terbengkalai. Ter
Senja memutar mata malas begitu melihat seringai yang terlukis di bibir tipis bosnya itu, hingga membuat para karyawan yang rapat berkeringat dingin dibuatnya. Senja tahu bahwa semenjak mereka pindah ke perusahaan ini, mood bosnya itu mulai aneh dan hal itu membuat Senja penasaran apa yang membuat bos mereka yang terkenal dengan raut dingin kini mulai menampakkan seringai usil, terlebih lagi manager pemasaran sudah melakukan presentasi di depan apabila ada rapat.“Perkembangan pada pemasaran memang mengalami peningkatan begitu melihat grafik yang ditampilkan oleh Ibu Anya. Tapi tolong diperbaiki lagi soal grafiknya, saya sedikit merasa pusing dengan warna itu-itu saja. Bisa lain kali diubah lagi menjelang rapat yang akan datang?”Lagi-lagi Senja harus menghela napas lelah begitu mendengar alasan tidak masuk akal dari Sean. Dia merasa geram dengan tingkah laku pria itu untuk menarik perhatian wanita yang tengah berdiri di depan dengan cara alasan konyol. Tid
Anya hanya diam seribu bahasa. Permukaan tanah kini terasa lebih menarik daripada pria di hadapannya kini. Tanpa berniat menampakkan wajah ayunya, Anya senantiasa menunduk atau membuang pandangan enggan begitu melihat tatapan elang dari pria itu. Terkecuali jika saat sedang rapat. Selebihnya Anya hanya menunduk, tidak ingin menatap lebih lama.Sementara Sean masih setia menghimpit tubuh ringkih Anya yang berdiri di antara dia dan meja pastry dengan segelas kopi dua ribuan yang ada di toko. Diam-diam Sean mengernyitkan kening bingung dengan selera Anya yang sedari dulu memang merakyat meski hidup bergelimang harta dan jabatan tinggi sang ayah seorang jendral.“Bisakah Bapak mundur sedikit? Saya mau lewat,” pinta Anya ketus. Percayalah, dia mati-matian menahan ketakutan yang menerpa dirinya jika berhadapan dengan Sean. Entah secara langsung ataupun tidak. Katakan saja Anya itu pengecut karena selalu lari dari pemicu sakitnya tanpa ada niatan untuk mengobati.
Aditya menatap kertas di tangannya dengan tatapan nanar. Entah kenapa dia merasa tidak rela dan berat untuk meninggalkan rumah ini, termasuk Anya. Rasa penasarannya atas pria yang dia temui beberapa hari lalu saat menjemput Anya masih saja bersarang di kepalanya, tapi bahkan Anya pun sepertinya tidak ada niatan untuk memberitahu siapa pria itu. Wajah yang tidak asing dan tatapan familiar yang dilemparkan pria itu sangat mengusik Aditya. Deheman Andi membuat Aditya kaget sekaligus membuyarkan lamunannya. Dengan segera dia menatap sang ayah yang berdiri di ambang pintu. Tanpa persetujuan dari sang anak, Andi masuk ke dalam putranya itu. Di liriknya tas dan koper yang sudah disiapkan Dian untuk kepergian Aditya ke Akademi polisi, jenjang pendidikan yang akan ditempuh sang anak. “Kau sudah bilang pada kakakmu?” tanya Andi pelan sambil menepuk bahu tegap putranya itu. Aditya hanya menghela napas, dia bingung sekaligus ragu untuk memberitahu perihal lolosnya di
Sean yang Oscar ketahui adalah seorang pria yang sangat dingin dan tidak tersentuh meski para wanita berlomba untuk menggapainya. Sean bahkan tidak melirik wanita yang hanya menggunakan bikini atau bahkan tidak berbusana yang berusaha menggoda dirinya dengan terang-terangan, hingga Oscar berasumsi bahwa Sean adalah seorang gay. Tidak jarang Oscar merasa waspada bila berdekatan dengan Sean. Tapi kini asumsinya seolah dipatahkan setelah Sean memerintahnya menyelidiki keluarga hingga orang terdekat dari seorang wanita bernama Anya.Kini Oscar merasa bahwa bukan Sean yang tidak tertarik dengan wanita, tapi memang selera seorang Sean itu sangat tinggi. Tinggi sekali seperti puncak gunung yang selalu dinyanyikan keponakannya di taman kanak-kanak. Harus Oscar akui, Anya memang wanita yang sempurna, bukan hanya wajah, keluarga hingga karier juga sangat sempurna. Siapa yang tidak tertarik pada wanita itu, terkecuali orang buta atau gila saja yang menolak. Oscar saja hampir jatuh hati
Suara tawa Sean menggelegar hingga terdengar sampai luar ruangan itu, membuat sekertaris yang berada di depan pintu itu memgkerut takut. Bukan hanya sekretaris, para karyawan yang akan melaporkan perkembangan perusahaan juga menciut tidak berani. Pasalnya, bos besar mereka saat ini terkenal akan kekejamannya, hingga mereka yang awalnya memberanikan diri ingin menemui Sean mendadak takut dan ciut.Sementara di dalam ruangan, Sean tertawa terbahak-bahak begitu membaca laporan yang diinginkan hingga dia tidak bisa tidur, dari asistennya. Dalam hati dia tidak menyangka bahwa pria yang menjemput Anya kemarin adalah adik dari wanita itu sendiri. Seharusnya dia tidak merasa cemburu pada bocah yang sepuluh tahun lalu mengibarkan bendera perang padanya.Flashback onSiang itu, Sean nekad mengantarkan Anya pulang meski berulang kali Anya menolak dengan alasan dia tidak mau merepotkan pria itu. Dengan motor sport terbaru hadiah dari sang kakek bulan lalu, dia mengantarkan
Gigi Sean bergemeletuk, rahangnya mengeras, kepalan tangannya menguat, geraman juga terdengar darinya begitu melihat Anya pergi dari hadapannya dengan seorang pria yang tertutup helm. Tanpa basa basi, Sean segera masuk ke dalam mobilnya lalu membuntuti Anya dari kejauhan. Dia tidak rela bila ada pria lain yang mendekati Anya selain dirinya. Bahkan dia sekarang mulai melakukan penyelidikan terhadap siapa saja pria yang sedang dekat dengan Anya, entah itu di kantor atau di luar sana.Sementara itu Aditya dan Anya hanya berdiam diri sepanjang perjalanan pulang. Tidak ada yang ingin membuka percakapan seperti biasa bila bersama, padahal banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala mereka berdua, tapi tidak ada yang berniat untuk bertanya. Mereka tenggelam pada pemikiran masing-masing. Aditya yang bertanya-tanya siapa pria yang memegang tangan sang kakak, sedangkan Anya was-was apabila Aditya bertemu dan mengenali Sean sebagai kisah kelam yang menyebabkan dia seperti ini.
Tubuh Anya merosot ke lantai begitu dia sampai di ruangannya. Dengan tubuh bergetar, dia bersandar di balik pintu masuk sambil menormalkan nafasnya yang terputus-putus. Jantungnya berdegup kencang seolah-olah akan meledak, nafasnya memburu seperti dikejar orang, kepalanya pusing dan perutnya mual dan dia tahan dengan menutup mulutnya menuju wc yang tersedia di ruangannya. Semua makan siang yang dia santap tadi seketika keluar semua hingga membuat tubuhnya lemas.Ketakutannya kembali kepermukaan. Setelah sekian lama, kini penyakitnya kembali kambuh. Meski pun sering konsultasi dengan psikolog pribadi, Anya tidak pernah merasa sakit seperti ini. Ketakutan di masa lalu kembali muncul semenjak pemicunya kembali setelah sekian lama menghilang tanpa jejak dan tanpa pertanggungjawaban setelah membuat Anya seperti sekarang. Tidak ada orang yang rela berada di posisi Anya. Di saat anak muda sibuk bergonta-ganti pasangan, Anya hanya sibuk mengobati traumanya yang mendera di ingatannya.
Setiap wanita pasti akan merasa iri hanya dengan melihat Anya. Memiliki wajah yang cantik, mata bulat dan hitam, hidung bangir, bibir tipis dan merona, alis yang tegas, pipi tirus, kulit putih pucat, bulu mata lentik, rambut panjang terurai, tinggi dan berat badan ideal. Tidak hanya itu saja, karir Anya juga cemerlang. Baru bergabung di D'Star Corporation, posisi manager pemasaran telah dia duduki tanpa adanya campur tangan orang lain. Hal itu semakin membuat Anya terkenal di antara para karyawan, terlebih lagi kejadian ketika penyambutan CEO baru kemarin.Bagaimana tidak heboh jika CEO baru mereka sendirilah yang langsung menggendong Anya, tidak memperbolehkan seorang pun untuk menyentuh wanita itu selain dirinya. Bahkan beliau mengancam mereka yang akan menyentuh Anya meski hanya seujung kuku. Siapa yang tidak akan iri di perlakukan istimewa seperti itu.“An, mereka ngomongin kamu lagi,” bisik Gifa pada Anya yang asyik menyantap semangkuk bakso yang baru