"Siska." Tanto menggenggam tangan Siska. "Malam ini, ayo kita ke rumahku."Ekspresinya sangat serius. "Asal kita bertunangan secepatnya, semua orang pasti tahu kalau aku sudah ada yang punya. Jadi mereka nggak akan berani macam-macam. Oke?"Dia sangat sayang kepada Siska dan tidak ingin kehilangan dia lagi.Tanto tahu dengan jelas dalam hatinya. Jika Siska pergi lagi, wanita itu mungkin tidak akan kembali padanya lagi.Hati Siska sedikit tergerak. "Kamu sudah benar-benar yakin?"Tanpa menunggu Tanto menjawab, dia sendiri melanjutkan, "Tanto, aku nggak ingin memaksamu. Beberapa hal nggak bisa diburu-buru, kita ...""Siska, kamu mungkin menganggap aku mengambil keputusan ini karena masalah gosip tadi."Tanto tersenyum getir. "Tapi kamu nggak tahu sudah berapa lama aku memikirkan keputusan ini. Bahkan, di hari aku berpisah dengan Liana, keputusan ini nggak pernah berubah.""Aku akan menikah denganmu. Aku hanya akan menikah denganmu." Tanto menggenggam tangan Siska dengan kedua tangannya.
Yara tertawa pelan, tetapi tidak menjawab.Apakah dia ... benar-benar akan menikah dengan Felix?Jujur saja, dia masih merasa seperti dalam mimpi. Dalam hatinya, Felix tetaplah seorang kakak baginya.Setelah pulang, Yara berbicara dengan Siska tentang beberapa hal yang perlu diperhatikan saat pergi ke rumah calon mertua. Meski Tanto melindunginya, rumah keluarga Lastana bukanlah tempat yang ramah.Bukan Kakek Susilo yang perlu dikhawatirkan. Namun, Agnes dan Liana mungkin akan sulit dihadapi.Jelang waktu makan malam, Tanto datang menjemput.Sebelum pergi, Yara berpesan kepada Tanto, "Jangan biarkan Siska menderita."Sebenarnya, saat Yara menjadi pembantu tanpa bayaran di rumah keluarga besar Lastana, Tanto memperlakukannya dengan cukup baik. Setidaknya, pria itu memperlakukannya sebagai manusia.Jadi, dia sedikit lebih kendur.Mereka berdua segera pergi setelah itu.Kemudian, panggilan video dari Felix masuk dan Yara segera mengangkatnya."Kamu sudah makan malam?" Felix bertanya denga
Sampai dia kembali ke apartemennya dan berpelukan dengan Yara, Siska merasa seperti sedang bermimpi."Sudah kubilang, pasti akan lancar-lancar saja." Yara turut berbahagia untuk Siska.Bisa mendapatkan cinta Tanto dan restu keluarga Lastana merupakan sesuatu yang patut untuk dirayakan.Mungkin karena Yara dulu tidak pernah mendapatkan kedua hal tersebut, jadi dia sangat bahagia."Di luar dugaan sekali." Wajah Siska memerah karena gembira. "Aku nggak nyangka akan berjalan semulus itu. Bahkan Liana nggak berulah apa-apa. Sungguh di luar dugaan.""Aku masih merasa seperti mimpi," lanjutnya sambil menitikkan air mata."Oke, kamu sudah ketemu keluarga Lastana sekarang. Semua sudah beres." Yara lalu bertanya, "Kamu sudah bawa Tanto ketemu ibumu?"Siska menggeleng. "Aku ... mau tunggu sebentar lagi. Aku takut ...""Pokoknya harus ketemu sebelum pertunangan." Yara menghibur, "Bibi pasti marah. Tapi aku percaya, Bibi sayang kamu. Kalau kamu memang sudah mau, dia nggak akan keberatan."Siska ten
"Entahlah, pikiranku juga sedang kacau sekarang." Suara Tanto penuh rasa tidak berdaya."Jadi benar anakmu?" Yara mengulangi dengan tidak percaya."Entahlah." Jawaban Tanto ini justru membuat Yara semakin marah.Yara menggertakkan giginya. "Kamu sudah telepon Siska?""Belum.""Ketemu langsung saja ...""Rara, aku belum tahu bagaimana cara menanganinya. Aku merasa nggak pantas bertemu Siska.""Maksudmu?" Yara tidak bisa menahan diri dan menghardik, "Tanto, kamu sudah pernah mengecewakan Siska sekali. Kalau kamu melakukannya lagi, kami nggak akan memaafkanmu.""Aku juga nggak akan memaafkan diriku sendiri." Tanto tertawa getir.Yara tahu sifat pemarah Siska. Dia pun tahu, bicara panjang lebar pun tidak akan ada gunanya. Dia mengingatkan Tanto untuk terakhir kalinya. "Entah seperti apa perasaanmu saat ini, cepat hubungi Siska. Jangan buat dia menggantung sendirian seperti ini."Dengan itu, dia menutup telepon.Yara sudah hamil tua. Tubuhnya sangat tidak nyaman. Sering kali, saat di kantor
Yudha berjalan ke dapur.Siska berbisik pada Yara, "Tunggu aku di ruang tamu. Kamu makan dulu, aku mau naik sendiri.""Oke, kalian bicarakan baik-baik, jangan terlalu impulsif," perintah Yara.Siska menarik napas dalam-dalam tiga kali sebelum berbalik dan naik ke lantai atas.Melihat Yudha belum keluar dari dapur, Yara berjalan perlahan ke sana. Lalu, dia melihat Yudha sedang membuat mi.Di bawah cahaya kuning yang hangat, pria itu mengenakan celemek. Raut wajah tajamnya tidak lagi agresif dan terlihat lebih ramah.Mata Yara memanas dan tiba-tiba teringat sesuatu. Ketika mereka baru saja membicarakan perceraian, Kakek Susilo memaksa Yudha membuatkan semangkuk mi untuknya.Dia sudah lama melupakan rasa mi itu, tetapi dia ingat dengan jelas kebahagiaan yang dia rasakan saat itu.Suara Yudha tiba-tiba terdengar. "Ada apa?"Ketika tersadar kembali, Yara menyadari bahwa air matanya telah mengalir deras. Dia buru-buru menyeka air matanya dan menjelaskan dengan canggung, "Mataku perih kena as
Yudha sekali lagi mencari bahan bicara. "Sebenarnya, kamu nggak bisa bohong soal urusan semacam ini.""Ha?" Yara tidak mengerti apa yang dia maksud."Bahkan sebelum lahir, bayi tetap bisa dites DNA untuk memastikan siapa ayahnya." Sambil mengatakannya, Yudha menatap Yara tanpa berkedip.Yara langsung menundukkan kepalanya karena rasa bersalah, tidak berani menatap mata Yudha sama sekali.Dia tidak mengerti. Apa yang Yudha inginkan? Apakah pria itu curiga soal anak-anak yang dikandungnya?Yudha dapat melihat semuanya dan melanjutkan, "Kalau memang benar itu anak Paman, Paman ... cuma bisa menikahi Rita."Yara menggigit bibirnya. "Tapi orang yang dicintai Paman adalah Siska!""Walaupun Paman Tanto bukan pewaris keluarga Lastana, didikan yang dia dapatkan tetap sama," kata Yudha dengan suara dingin. "Anak keluarga Lastana yang boleh dibiarkan berkeliaran di luar. Paling nggak, nggak boleh dibiarkan hidup-hidup berkeliaran di luar."Keringat dingin mengucur dari punggung Yara. Dia merasa Y
Felix mendengar suara Yudha dengan jelas.Mereka bertiga terdiam seketika. Suasana tiba-tiba terasa sangat canggung.Yara tidak tahan lagi dan segera berkata, "Kak Felix, kita lanjut nanti lagi."Dia menutup panggilan dan memelototi Yudha. "Kamu sengaja ya?""Sengaja apa?" Wajah Yudha masih biasa saja. "Yara, apa yang kamu pikirkan? Aku membuatkanmu mi untukmu. Kenapa kamu merasa harus bohong dan sembunyi?"Yara kehilangan selera makan dan meletakkan sumpitnya, "Terima kasih sudah membuatkan mi untukku."Dia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu.Yudha mengikuti dengan sigap. "Yara, kamu merasa bersalah. Kenapa? Apa mungkin ..."Dia berjalan lebih cepat dan menghalangi jalan Yara. "Apa mungkin kamu masih menyimpan perasaan kepadaku?""Jangan sok hebat." Yara sangat marah sampai kepalanya berdenyut-denyut. "Aku cuma nggak mau Kak Felix sedih dan mikir yang nggak-nggak."Dia berjalan mengitari rintangan yang tidak sedap dipandang itu dan duduk di sofa.Yudha duduk di sofa di sebelahnya
Yara terdiam. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Siska menghela napas panjang. "Aku juga kaget. Aku nggak nyangka dia sangat menghargai anak-anak."Dia menatap Yara dengan mata berkaca-kaca. "Kalau aku tahu sejak dulu, harusnya aku duluan yang memanfaatkan kesempatan. Nggak ada gunanya pergi bertemu keluarga dan calon mertua."Yara tidak tahu bagaimana cara menghibur Siska. Setelah memikirkannya, dia hanya bisa berkata, "Sebenarnya, ada bagusnya juga. Cari tahu dari awal, biar bisa menghindar dari masalah sejak awal. Dia nggak bilang putus, 'kan?""Yang kena masalah dia, kenapa dia yang minta putus?" Siska mendengus dan duduk tegak. "Yang ingin putus itu aku. Dasar sampah, bajingan!"Dia mengumpat sambil meneteskan air matanya. "Aku nggak punya otak. Bisa-bisanya aku merasa kasihan padanya saat itu? Aku sudah gila.""Siska ..." Yara merasa sesak melihatnya."Rara, jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Cintaku sudah sedikit terhapus, aku nggak akan sesedih dulu lagi."Siska berusaha sekuat t