Felix mendengar suara Yudha dengan jelas.Mereka bertiga terdiam seketika. Suasana tiba-tiba terasa sangat canggung.Yara tidak tahan lagi dan segera berkata, "Kak Felix, kita lanjut nanti lagi."Dia menutup panggilan dan memelototi Yudha. "Kamu sengaja ya?""Sengaja apa?" Wajah Yudha masih biasa saja. "Yara, apa yang kamu pikirkan? Aku membuatkanmu mi untukmu. Kenapa kamu merasa harus bohong dan sembunyi?"Yara kehilangan selera makan dan meletakkan sumpitnya, "Terima kasih sudah membuatkan mi untukku."Dia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu.Yudha mengikuti dengan sigap. "Yara, kamu merasa bersalah. Kenapa? Apa mungkin ..."Dia berjalan lebih cepat dan menghalangi jalan Yara. "Apa mungkin kamu masih menyimpan perasaan kepadaku?""Jangan sok hebat." Yara sangat marah sampai kepalanya berdenyut-denyut. "Aku cuma nggak mau Kak Felix sedih dan mikir yang nggak-nggak."Dia berjalan mengitari rintangan yang tidak sedap dipandang itu dan duduk di sofa.Yudha duduk di sofa di sebelahnya
Yara terdiam. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Siska menghela napas panjang. "Aku juga kaget. Aku nggak nyangka dia sangat menghargai anak-anak."Dia menatap Yara dengan mata berkaca-kaca. "Kalau aku tahu sejak dulu, harusnya aku duluan yang memanfaatkan kesempatan. Nggak ada gunanya pergi bertemu keluarga dan calon mertua."Yara tidak tahu bagaimana cara menghibur Siska. Setelah memikirkannya, dia hanya bisa berkata, "Sebenarnya, ada bagusnya juga. Cari tahu dari awal, biar bisa menghindar dari masalah sejak awal. Dia nggak bilang putus, 'kan?""Yang kena masalah dia, kenapa dia yang minta putus?" Siska mendengus dan duduk tegak. "Yang ingin putus itu aku. Dasar sampah, bajingan!"Dia mengumpat sambil meneteskan air matanya. "Aku nggak punya otak. Bisa-bisanya aku merasa kasihan padanya saat itu? Aku sudah gila.""Siska ..." Yara merasa sesak melihatnya."Rara, jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Cintaku sudah sedikit terhapus, aku nggak akan sesedih dulu lagi."Siska berusaha sekuat t
Kali ini, pikiran Melanie hampir tidak melawan. Dia segera memulai dengan terampil.Baru setelah menghirup benda itu, dia merasakan relaksasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seolah semua kejengkelan tadi hanyalah kepulan asap yang hilang tertiup angin.Dia sangat menikmatinya sampai meringkuk di tempat tidur dan memeluk selimutnya, menikmati momen ini.Dia tidak tahu kapan dia tertidur. Saat terbangun kembali, hari sudah tengah malam.Ada perasaan hampa yang tak terkendali, seolah tidak ada yang bisa mengisinya selain benda itu.Melanie menghela napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa dia telah ketergantungan. Sama halnya seperti seks. Bagaimana mungkin seseorang tidak ketergantungan pada hal yang membawa rasa bahagia?Namun, ketergantungan bukan berarti kecanduan. Dia merasa masih memegang kendali.Pikirannya terlalu kalut malam ini karena besok dia harus periksa kesuburan. Lain kali, dia tidak akan membiarkan dirinya terjatuh lagi dengan mudah.Dia merenung dalam kegel
Pesawat sudah hendak lepas landas. Yudha menelepon nomor Melanie dengan kesal, tetapi panggilannya tidak dijawab.Dengan jengkel, dia keluar dari bandara dan masuk ke dalam mobil. "Pergilah ke rumah Melanie."Sial. Dia paling benci saat orang lain mengingkari janji bertemu dengannya. Melanie bahkan tidak menjawab telepon, berani-beraninya.Alhasil, sesampainya di rumah keluarga Lubis, Melanie dan Amel tidak ada.Pelayan di sana mengenal Yudha dan segera menjelaskan dengan hati-hati, "Pak Yudha, Nona Amel tadi pagi demam. Panasnya sangat tinggi, 38 derajat. Nona Melanie membawanya ke rumah sakit.""Amel demam?" Pak Yudha bergegas ke rumah sakit.Di rumah sakit ibu dan anak, dia melihat Melanie dan Amel.Wajah Melanie penuh dengan kekhawatiran. "Yudha, kenapa kamu di sini? Amel demam, 39 derajat. Kata dokter, untung saja dilarikan tepat waktu. Kalau nggak ... akibatnya fatal."Yudha mengerutkan kening. Menatap si kecil yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, hatinya melunak. "Kena
"Yudha, kenapa kamu datang cepat sekali hari ini?"Tepat pada saat itu, kebetulan Melanie kembali dari luar. Dia menatap Amel dengan tenang. "Kenapa teriak-teriak? Pantatmu sakit lagi?""Ada apa?" Yudha mengerutkan kening. "Kamu mukul dia?""Mana mungkin?" Melanie tersenyum tak berdaya. "Demamnya parah tadi pagi, jadi harus disuntik obat. Sejak tadi dia ngeluh terus pantatnya sakit."Tatapannya kepada Amel berubah penuh peringatan. "Jangan bikin susah Paman Yudha.""Iya." Amel menundukkan sedih dan berbaring lagi di tempat tidur dengan patuh, mengundang rasa iba.Yudha menyentuh kepala si kecil dengan lembut. "Nggak apa-apa. Yang sabar, besok nggak sakit lagi.""Ya, terima kasih Paman Yudha." Amel tidak berani bicara macam-macam.Melanie mulai menyuapi si kecil makan malam. Gerakannya lembut. "Ayo, makan yang banyak biar cepat sembuh."Amel menurut dan makan dengan lahap, sepertinya sudah mulai membaik.Setelah Melanie selesai menyuapi, Yudha memanggilnya keluar."Amel 'kan sudah mendi
Melanie menggeleng, matanya memerah. "Entahlah. Waktu pergi tidur kemarin malam sudah baik-baik saja, tapi demamnya naik lagi waktu pagi.""Apa kata dokter? Sudah diperiksa?" Yudha tampak khawatir dengan keadaan Amel juga.Melanie mengangguk. "Sudah. Sementara ini nggak ada masalah serius. Kata dokter, mungkin karena tubuh anak itu terlalu lemah. Daya tahan tubuhnya kurang bagus."Yudha mengerutkan kening. "Ikuti aku keluar."Melanie melepas tangan Amel dan mengikuti Yudha menuju koridor."Dokter spesialis di Meria nggak bisa tunggu lebih lama lagi." Yudha berpikir sejenak. "Bagaimana kalau begini. Kita bawa Amel, naik jet pribadi keluarga Lastana. Di dalam pesawat tetap bisa infus."Melanie tertegun dalam hati. Dia tidak menyangka Yudha begitu terburu-buru, bahkan sampai ingin memakai jet pribadi.Dia tetap tidak setuju. "Yudha, kenapa kamu buru-buru sekali? Kalau dokter spesialisnya nggak bisa sekarang, bisa cari hari lain. Kita nggak sedang buru-buru."Wajahnya berubah sedih. "Amel
Amel seketika lebih energi saat melihat Yara datang."Kamu kenapa? Masuk angin?" Tangan cemas Yara menyentuh kepala si kecil yang masih sedikit hangat."Nggak tahu." Si kecil menggeleng. "Tapi nggak apa-apa. Ibu bilang, aku pasti sembuh sebentar lagi, 'kan sudah disuntik dan minum obat.""Ya, sebentar lagi pasti sembuh." Yara menyelimutinya dengan hati-hati sambil berpikir.Perasaannya sedikit tidak tenang. Mungkinkah Melanie menggunakan Amel sebagai alasan untuk tidak pergi ke Meria?Sulit baginya untuk menghilangkan kecurigaan bahwa ini adalah ulah Melanie!Dia menemani Amel selama beberapa menit, lalu bangkit hendak pergi. "Melanie, keluar sebentar."Yara memanggil wanita itu ke koridor. "Ini pasti ulahmu, 'kan?""Apa?" Melanie tampak tidak senang. "Coba tanya Amel sendiri, pernahkah aku berbuat kasar padanya?"Yara mengerutkan keningnya. "Awas saja kalau kamu benar menyakiti Amel!"Yara pun pergi setelah memberi peringatan. Namun, ketika keluar dari rumah sakit, dia tetap sangat cu
Dia menyadari betul perubahan suasana hati Melanie. "Kamu kelihatannya nggak suka. Kenapa?""Yudha, aku tahu aku harusnya bahagia." Melanie menunduk. "Tapi, melihat kamu sangat terburu-buru, hatiku terasa berat. Kamu sebenarnya menganggap aku nggak bisa hamil sebagai masalah besar, ya 'kan?""Jangan berpikir yang nggak-nggak." Yudha menepuk lengannya. "Istirahat yang cukup malam ini. Mungkin kamu akan ada kabar baik besok."Setelah Yudha pergi, Melanie benar-benar panik.Dia tidak bisa menemui dokter spesialis kesuburan. Dia pernah melahirkan. Tidak ada masalah sama sekali. Hal seperti ini tentu tidak bisa disembunyikan.Ragu-ragu, dia menelepon Revan. "Pak Revan, kamu tahu dokter spesial kesuburan itu menginap di mana?""Oh, di Hotel Royal." Karena kebingungan, Revan bertanya, "Ada perlu apa?""Nggak apa-apa, aku cuma ingin berkunjung." Melanie berkata malu-malu, "Tapi aku takut mengganggu istirahatnya.""Sebaiknya nggak usah ke sana. Dokternya perlu istirahat setelah hampir sepuluh p