Yara terdiam. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Siska menghela napas panjang. "Aku juga kaget. Aku nggak nyangka dia sangat menghargai anak-anak."Dia menatap Yara dengan mata berkaca-kaca. "Kalau aku tahu sejak dulu, harusnya aku duluan yang memanfaatkan kesempatan. Nggak ada gunanya pergi bertemu keluarga dan calon mertua."Yara tidak tahu bagaimana cara menghibur Siska. Setelah memikirkannya, dia hanya bisa berkata, "Sebenarnya, ada bagusnya juga. Cari tahu dari awal, biar bisa menghindar dari masalah sejak awal. Dia nggak bilang putus, 'kan?""Yang kena masalah dia, kenapa dia yang minta putus?" Siska mendengus dan duduk tegak. "Yang ingin putus itu aku. Dasar sampah, bajingan!"Dia mengumpat sambil meneteskan air matanya. "Aku nggak punya otak. Bisa-bisanya aku merasa kasihan padanya saat itu? Aku sudah gila.""Siska ..." Yara merasa sesak melihatnya."Rara, jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Cintaku sudah sedikit terhapus, aku nggak akan sesedih dulu lagi."Siska berusaha sekuat t
Kali ini, pikiran Melanie hampir tidak melawan. Dia segera memulai dengan terampil.Baru setelah menghirup benda itu, dia merasakan relaksasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seolah semua kejengkelan tadi hanyalah kepulan asap yang hilang tertiup angin.Dia sangat menikmatinya sampai meringkuk di tempat tidur dan memeluk selimutnya, menikmati momen ini.Dia tidak tahu kapan dia tertidur. Saat terbangun kembali, hari sudah tengah malam.Ada perasaan hampa yang tak terkendali, seolah tidak ada yang bisa mengisinya selain benda itu.Melanie menghela napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa dia telah ketergantungan. Sama halnya seperti seks. Bagaimana mungkin seseorang tidak ketergantungan pada hal yang membawa rasa bahagia?Namun, ketergantungan bukan berarti kecanduan. Dia merasa masih memegang kendali.Pikirannya terlalu kalut malam ini karena besok dia harus periksa kesuburan. Lain kali, dia tidak akan membiarkan dirinya terjatuh lagi dengan mudah.Dia merenung dalam kegel
Pesawat sudah hendak lepas landas. Yudha menelepon nomor Melanie dengan kesal, tetapi panggilannya tidak dijawab.Dengan jengkel, dia keluar dari bandara dan masuk ke dalam mobil. "Pergilah ke rumah Melanie."Sial. Dia paling benci saat orang lain mengingkari janji bertemu dengannya. Melanie bahkan tidak menjawab telepon, berani-beraninya.Alhasil, sesampainya di rumah keluarga Lubis, Melanie dan Amel tidak ada.Pelayan di sana mengenal Yudha dan segera menjelaskan dengan hati-hati, "Pak Yudha, Nona Amel tadi pagi demam. Panasnya sangat tinggi, 38 derajat. Nona Melanie membawanya ke rumah sakit.""Amel demam?" Pak Yudha bergegas ke rumah sakit.Di rumah sakit ibu dan anak, dia melihat Melanie dan Amel.Wajah Melanie penuh dengan kekhawatiran. "Yudha, kenapa kamu di sini? Amel demam, 39 derajat. Kata dokter, untung saja dilarikan tepat waktu. Kalau nggak ... akibatnya fatal."Yudha mengerutkan kening. Menatap si kecil yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, hatinya melunak. "Kena
"Yudha, kenapa kamu datang cepat sekali hari ini?"Tepat pada saat itu, kebetulan Melanie kembali dari luar. Dia menatap Amel dengan tenang. "Kenapa teriak-teriak? Pantatmu sakit lagi?""Ada apa?" Yudha mengerutkan kening. "Kamu mukul dia?""Mana mungkin?" Melanie tersenyum tak berdaya. "Demamnya parah tadi pagi, jadi harus disuntik obat. Sejak tadi dia ngeluh terus pantatnya sakit."Tatapannya kepada Amel berubah penuh peringatan. "Jangan bikin susah Paman Yudha.""Iya." Amel menundukkan sedih dan berbaring lagi di tempat tidur dengan patuh, mengundang rasa iba.Yudha menyentuh kepala si kecil dengan lembut. "Nggak apa-apa. Yang sabar, besok nggak sakit lagi.""Ya, terima kasih Paman Yudha." Amel tidak berani bicara macam-macam.Melanie mulai menyuapi si kecil makan malam. Gerakannya lembut. "Ayo, makan yang banyak biar cepat sembuh."Amel menurut dan makan dengan lahap, sepertinya sudah mulai membaik.Setelah Melanie selesai menyuapi, Yudha memanggilnya keluar."Amel 'kan sudah mendi
Melanie menggeleng, matanya memerah. "Entahlah. Waktu pergi tidur kemarin malam sudah baik-baik saja, tapi demamnya naik lagi waktu pagi.""Apa kata dokter? Sudah diperiksa?" Yudha tampak khawatir dengan keadaan Amel juga.Melanie mengangguk. "Sudah. Sementara ini nggak ada masalah serius. Kata dokter, mungkin karena tubuh anak itu terlalu lemah. Daya tahan tubuhnya kurang bagus."Yudha mengerutkan kening. "Ikuti aku keluar."Melanie melepas tangan Amel dan mengikuti Yudha menuju koridor."Dokter spesialis di Meria nggak bisa tunggu lebih lama lagi." Yudha berpikir sejenak. "Bagaimana kalau begini. Kita bawa Amel, naik jet pribadi keluarga Lastana. Di dalam pesawat tetap bisa infus."Melanie tertegun dalam hati. Dia tidak menyangka Yudha begitu terburu-buru, bahkan sampai ingin memakai jet pribadi.Dia tetap tidak setuju. "Yudha, kenapa kamu buru-buru sekali? Kalau dokter spesialisnya nggak bisa sekarang, bisa cari hari lain. Kita nggak sedang buru-buru."Wajahnya berubah sedih. "Amel
Amel seketika lebih energi saat melihat Yara datang."Kamu kenapa? Masuk angin?" Tangan cemas Yara menyentuh kepala si kecil yang masih sedikit hangat."Nggak tahu." Si kecil menggeleng. "Tapi nggak apa-apa. Ibu bilang, aku pasti sembuh sebentar lagi, 'kan sudah disuntik dan minum obat.""Ya, sebentar lagi pasti sembuh." Yara menyelimutinya dengan hati-hati sambil berpikir.Perasaannya sedikit tidak tenang. Mungkinkah Melanie menggunakan Amel sebagai alasan untuk tidak pergi ke Meria?Sulit baginya untuk menghilangkan kecurigaan bahwa ini adalah ulah Melanie!Dia menemani Amel selama beberapa menit, lalu bangkit hendak pergi. "Melanie, keluar sebentar."Yara memanggil wanita itu ke koridor. "Ini pasti ulahmu, 'kan?""Apa?" Melanie tampak tidak senang. "Coba tanya Amel sendiri, pernahkah aku berbuat kasar padanya?"Yara mengerutkan keningnya. "Awas saja kalau kamu benar menyakiti Amel!"Yara pun pergi setelah memberi peringatan. Namun, ketika keluar dari rumah sakit, dia tetap sangat cu
Dia menyadari betul perubahan suasana hati Melanie. "Kamu kelihatannya nggak suka. Kenapa?""Yudha, aku tahu aku harusnya bahagia." Melanie menunduk. "Tapi, melihat kamu sangat terburu-buru, hatiku terasa berat. Kamu sebenarnya menganggap aku nggak bisa hamil sebagai masalah besar, ya 'kan?""Jangan berpikir yang nggak-nggak." Yudha menepuk lengannya. "Istirahat yang cukup malam ini. Mungkin kamu akan ada kabar baik besok."Setelah Yudha pergi, Melanie benar-benar panik.Dia tidak bisa menemui dokter spesialis kesuburan. Dia pernah melahirkan. Tidak ada masalah sama sekali. Hal seperti ini tentu tidak bisa disembunyikan.Ragu-ragu, dia menelepon Revan. "Pak Revan, kamu tahu dokter spesial kesuburan itu menginap di mana?""Oh, di Hotel Royal." Karena kebingungan, Revan bertanya, "Ada perlu apa?""Nggak apa-apa, aku cuma ingin berkunjung." Melanie berkata malu-malu, "Tapi aku takut mengganggu istirahatnya.""Sebaiknya nggak usah ke sana. Dokternya perlu istirahat setelah hampir sepuluh p
"Yang tenang dulu." Yara membantu Siska duduk di sofa. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"Siska menggeleng. "Entahlah, rasanya pikiranku terbang ke mana-mana ...."Dia meraih tangan Yara. "Aku harus apa? Kalau aku beneran hamil ... Rara, aku takut.""Jangan takut. Tenangkan pikiranmu." Yara paham perasaan Siska.Siska sudah bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan Tanto. Jika Siska kemudian benar-benar hamil, pasti akan sangat sulit untuk berpegang dengan keputusan ini.Dia mengeluarkan telepon genggamnya. "Aku belikan test pack dulu. Kita lihat nanti.""Oke." Siska menghela napas panjang dan duduk diam dengan pikiran linglung.Yara selesai memesan dan bertanya lagi, "Kamu mau makan sesuatu? Kamu belum makan sejak pagi, 'kan?""Nggak mau!" Mendengar kata makan, Siska langsung merasa mual dan segera bangkit berlari ke kamar mandi.Dia mengunci pintu dan muntah lagi. Seluruh tubuhnya lunglai."Siska?" panggil Yara yang cemas di luar. "Kamu nggak apa-apa?""Nggak apa-apa. Rara, kamu mak
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid