Kali ini, pikiran Melanie hampir tidak melawan. Dia segera memulai dengan terampil.Baru setelah menghirup benda itu, dia merasakan relaksasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seolah semua kejengkelan tadi hanyalah kepulan asap yang hilang tertiup angin.Dia sangat menikmatinya sampai meringkuk di tempat tidur dan memeluk selimutnya, menikmati momen ini.Dia tidak tahu kapan dia tertidur. Saat terbangun kembali, hari sudah tengah malam.Ada perasaan hampa yang tak terkendali, seolah tidak ada yang bisa mengisinya selain benda itu.Melanie menghela napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa dia telah ketergantungan. Sama halnya seperti seks. Bagaimana mungkin seseorang tidak ketergantungan pada hal yang membawa rasa bahagia?Namun, ketergantungan bukan berarti kecanduan. Dia merasa masih memegang kendali.Pikirannya terlalu kalut malam ini karena besok dia harus periksa kesuburan. Lain kali, dia tidak akan membiarkan dirinya terjatuh lagi dengan mudah.Dia merenung dalam kegel
Pesawat sudah hendak lepas landas. Yudha menelepon nomor Melanie dengan kesal, tetapi panggilannya tidak dijawab.Dengan jengkel, dia keluar dari bandara dan masuk ke dalam mobil. "Pergilah ke rumah Melanie."Sial. Dia paling benci saat orang lain mengingkari janji bertemu dengannya. Melanie bahkan tidak menjawab telepon, berani-beraninya.Alhasil, sesampainya di rumah keluarga Lubis, Melanie dan Amel tidak ada.Pelayan di sana mengenal Yudha dan segera menjelaskan dengan hati-hati, "Pak Yudha, Nona Amel tadi pagi demam. Panasnya sangat tinggi, 38 derajat. Nona Melanie membawanya ke rumah sakit.""Amel demam?" Pak Yudha bergegas ke rumah sakit.Di rumah sakit ibu dan anak, dia melihat Melanie dan Amel.Wajah Melanie penuh dengan kekhawatiran. "Yudha, kenapa kamu di sini? Amel demam, 39 derajat. Kata dokter, untung saja dilarikan tepat waktu. Kalau nggak ... akibatnya fatal."Yudha mengerutkan kening. Menatap si kecil yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, hatinya melunak. "Kena
"Yudha, kenapa kamu datang cepat sekali hari ini?"Tepat pada saat itu, kebetulan Melanie kembali dari luar. Dia menatap Amel dengan tenang. "Kenapa teriak-teriak? Pantatmu sakit lagi?""Ada apa?" Yudha mengerutkan kening. "Kamu mukul dia?""Mana mungkin?" Melanie tersenyum tak berdaya. "Demamnya parah tadi pagi, jadi harus disuntik obat. Sejak tadi dia ngeluh terus pantatnya sakit."Tatapannya kepada Amel berubah penuh peringatan. "Jangan bikin susah Paman Yudha.""Iya." Amel menundukkan sedih dan berbaring lagi di tempat tidur dengan patuh, mengundang rasa iba.Yudha menyentuh kepala si kecil dengan lembut. "Nggak apa-apa. Yang sabar, besok nggak sakit lagi.""Ya, terima kasih Paman Yudha." Amel tidak berani bicara macam-macam.Melanie mulai menyuapi si kecil makan malam. Gerakannya lembut. "Ayo, makan yang banyak biar cepat sembuh."Amel menurut dan makan dengan lahap, sepertinya sudah mulai membaik.Setelah Melanie selesai menyuapi, Yudha memanggilnya keluar."Amel 'kan sudah mendi
Melanie menggeleng, matanya memerah. "Entahlah. Waktu pergi tidur kemarin malam sudah baik-baik saja, tapi demamnya naik lagi waktu pagi.""Apa kata dokter? Sudah diperiksa?" Yudha tampak khawatir dengan keadaan Amel juga.Melanie mengangguk. "Sudah. Sementara ini nggak ada masalah serius. Kata dokter, mungkin karena tubuh anak itu terlalu lemah. Daya tahan tubuhnya kurang bagus."Yudha mengerutkan kening. "Ikuti aku keluar."Melanie melepas tangan Amel dan mengikuti Yudha menuju koridor."Dokter spesialis di Meria nggak bisa tunggu lebih lama lagi." Yudha berpikir sejenak. "Bagaimana kalau begini. Kita bawa Amel, naik jet pribadi keluarga Lastana. Di dalam pesawat tetap bisa infus."Melanie tertegun dalam hati. Dia tidak menyangka Yudha begitu terburu-buru, bahkan sampai ingin memakai jet pribadi.Dia tetap tidak setuju. "Yudha, kenapa kamu buru-buru sekali? Kalau dokter spesialisnya nggak bisa sekarang, bisa cari hari lain. Kita nggak sedang buru-buru."Wajahnya berubah sedih. "Amel
Amel seketika lebih energi saat melihat Yara datang."Kamu kenapa? Masuk angin?" Tangan cemas Yara menyentuh kepala si kecil yang masih sedikit hangat."Nggak tahu." Si kecil menggeleng. "Tapi nggak apa-apa. Ibu bilang, aku pasti sembuh sebentar lagi, 'kan sudah disuntik dan minum obat.""Ya, sebentar lagi pasti sembuh." Yara menyelimutinya dengan hati-hati sambil berpikir.Perasaannya sedikit tidak tenang. Mungkinkah Melanie menggunakan Amel sebagai alasan untuk tidak pergi ke Meria?Sulit baginya untuk menghilangkan kecurigaan bahwa ini adalah ulah Melanie!Dia menemani Amel selama beberapa menit, lalu bangkit hendak pergi. "Melanie, keluar sebentar."Yara memanggil wanita itu ke koridor. "Ini pasti ulahmu, 'kan?""Apa?" Melanie tampak tidak senang. "Coba tanya Amel sendiri, pernahkah aku berbuat kasar padanya?"Yara mengerutkan keningnya. "Awas saja kalau kamu benar menyakiti Amel!"Yara pun pergi setelah memberi peringatan. Namun, ketika keluar dari rumah sakit, dia tetap sangat cu
Dia menyadari betul perubahan suasana hati Melanie. "Kamu kelihatannya nggak suka. Kenapa?""Yudha, aku tahu aku harusnya bahagia." Melanie menunduk. "Tapi, melihat kamu sangat terburu-buru, hatiku terasa berat. Kamu sebenarnya menganggap aku nggak bisa hamil sebagai masalah besar, ya 'kan?""Jangan berpikir yang nggak-nggak." Yudha menepuk lengannya. "Istirahat yang cukup malam ini. Mungkin kamu akan ada kabar baik besok."Setelah Yudha pergi, Melanie benar-benar panik.Dia tidak bisa menemui dokter spesialis kesuburan. Dia pernah melahirkan. Tidak ada masalah sama sekali. Hal seperti ini tentu tidak bisa disembunyikan.Ragu-ragu, dia menelepon Revan. "Pak Revan, kamu tahu dokter spesial kesuburan itu menginap di mana?""Oh, di Hotel Royal." Karena kebingungan, Revan bertanya, "Ada perlu apa?""Nggak apa-apa, aku cuma ingin berkunjung." Melanie berkata malu-malu, "Tapi aku takut mengganggu istirahatnya.""Sebaiknya nggak usah ke sana. Dokternya perlu istirahat setelah hampir sepuluh p
"Yang tenang dulu." Yara membantu Siska duduk di sofa. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"Siska menggeleng. "Entahlah, rasanya pikiranku terbang ke mana-mana ...."Dia meraih tangan Yara. "Aku harus apa? Kalau aku beneran hamil ... Rara, aku takut.""Jangan takut. Tenangkan pikiranmu." Yara paham perasaan Siska.Siska sudah bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan Tanto. Jika Siska kemudian benar-benar hamil, pasti akan sangat sulit untuk berpegang dengan keputusan ini.Dia mengeluarkan telepon genggamnya. "Aku belikan test pack dulu. Kita lihat nanti.""Oke." Siska menghela napas panjang dan duduk diam dengan pikiran linglung.Yara selesai memesan dan bertanya lagi, "Kamu mau makan sesuatu? Kamu belum makan sejak pagi, 'kan?""Nggak mau!" Mendengar kata makan, Siska langsung merasa mual dan segera bangkit berlari ke kamar mandi.Dia mengunci pintu dan muntah lagi. Seluruh tubuhnya lunglai."Siska?" panggil Yara yang cemas di luar. "Kamu nggak apa-apa?""Nggak apa-apa. Rara, kamu mak
Namun, dia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Siska.Dia berdiri tanpa suara di depan pintu, menyeka air matanya yang mengalir deras, takut Siska tiba-tiba membuka pintu dan melihatnya menangis.Setelah sekitar 15 menit, Siska akhirnya membuka pintu kamar mandi."Siska?" Yara menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?"Siska menggeleng. "Nggak apa-apa. Masalah kecil. Kalaupun aku hamil, aku bisa aborsi.""Siska!"Menggugurkan anak dari pria yang sangat dicintai! Mana mungkin sekecil dan sesederhana yang dikatakan Siska?Kalau sampai terjadi, tubuh dan pikirannya akan mengalami kerusakan permanen."Beneran, aku nggak apa-apa." Siska kembali tampil tegar.Yara mengerti bahwa mencoba menghibur tidak akan ada gunanya. "Aku temani kamu ke rumah sakit besok siang, oke?"Dia harus pergi ke persidangan perceraiannya di pagi hari."Oke." Siska tahu tentang sidang besok. Dia mencoba tersenyum berkata, "Aku ikut ke sidang besok.""Ya." Dalam keadaan seperti ini, Ya