"Entahlah, pikiranku juga sedang kacau sekarang." Suara Tanto penuh rasa tidak berdaya."Jadi benar anakmu?" Yara mengulangi dengan tidak percaya."Entahlah." Jawaban Tanto ini justru membuat Yara semakin marah.Yara menggertakkan giginya. "Kamu sudah telepon Siska?""Belum.""Ketemu langsung saja ...""Rara, aku belum tahu bagaimana cara menanganinya. Aku merasa nggak pantas bertemu Siska.""Maksudmu?" Yara tidak bisa menahan diri dan menghardik, "Tanto, kamu sudah pernah mengecewakan Siska sekali. Kalau kamu melakukannya lagi, kami nggak akan memaafkanmu.""Aku juga nggak akan memaafkan diriku sendiri." Tanto tertawa getir.Yara tahu sifat pemarah Siska. Dia pun tahu, bicara panjang lebar pun tidak akan ada gunanya. Dia mengingatkan Tanto untuk terakhir kalinya. "Entah seperti apa perasaanmu saat ini, cepat hubungi Siska. Jangan buat dia menggantung sendirian seperti ini."Dengan itu, dia menutup telepon.Yara sudah hamil tua. Tubuhnya sangat tidak nyaman. Sering kali, saat di kantor
Yudha berjalan ke dapur.Siska berbisik pada Yara, "Tunggu aku di ruang tamu. Kamu makan dulu, aku mau naik sendiri.""Oke, kalian bicarakan baik-baik, jangan terlalu impulsif," perintah Yara.Siska menarik napas dalam-dalam tiga kali sebelum berbalik dan naik ke lantai atas.Melihat Yudha belum keluar dari dapur, Yara berjalan perlahan ke sana. Lalu, dia melihat Yudha sedang membuat mi.Di bawah cahaya kuning yang hangat, pria itu mengenakan celemek. Raut wajah tajamnya tidak lagi agresif dan terlihat lebih ramah.Mata Yara memanas dan tiba-tiba teringat sesuatu. Ketika mereka baru saja membicarakan perceraian, Kakek Susilo memaksa Yudha membuatkan semangkuk mi untuknya.Dia sudah lama melupakan rasa mi itu, tetapi dia ingat dengan jelas kebahagiaan yang dia rasakan saat itu.Suara Yudha tiba-tiba terdengar. "Ada apa?"Ketika tersadar kembali, Yara menyadari bahwa air matanya telah mengalir deras. Dia buru-buru menyeka air matanya dan menjelaskan dengan canggung, "Mataku perih kena as
Yudha sekali lagi mencari bahan bicara. "Sebenarnya, kamu nggak bisa bohong soal urusan semacam ini.""Ha?" Yara tidak mengerti apa yang dia maksud."Bahkan sebelum lahir, bayi tetap bisa dites DNA untuk memastikan siapa ayahnya." Sambil mengatakannya, Yudha menatap Yara tanpa berkedip.Yara langsung menundukkan kepalanya karena rasa bersalah, tidak berani menatap mata Yudha sama sekali.Dia tidak mengerti. Apa yang Yudha inginkan? Apakah pria itu curiga soal anak-anak yang dikandungnya?Yudha dapat melihat semuanya dan melanjutkan, "Kalau memang benar itu anak Paman, Paman ... cuma bisa menikahi Rita."Yara menggigit bibirnya. "Tapi orang yang dicintai Paman adalah Siska!""Walaupun Paman Tanto bukan pewaris keluarga Lastana, didikan yang dia dapatkan tetap sama," kata Yudha dengan suara dingin. "Anak keluarga Lastana yang boleh dibiarkan berkeliaran di luar. Paling nggak, nggak boleh dibiarkan hidup-hidup berkeliaran di luar."Keringat dingin mengucur dari punggung Yara. Dia merasa Y
Felix mendengar suara Yudha dengan jelas.Mereka bertiga terdiam seketika. Suasana tiba-tiba terasa sangat canggung.Yara tidak tahan lagi dan segera berkata, "Kak Felix, kita lanjut nanti lagi."Dia menutup panggilan dan memelototi Yudha. "Kamu sengaja ya?""Sengaja apa?" Wajah Yudha masih biasa saja. "Yara, apa yang kamu pikirkan? Aku membuatkanmu mi untukmu. Kenapa kamu merasa harus bohong dan sembunyi?"Yara kehilangan selera makan dan meletakkan sumpitnya, "Terima kasih sudah membuatkan mi untukku."Dia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu.Yudha mengikuti dengan sigap. "Yara, kamu merasa bersalah. Kenapa? Apa mungkin ..."Dia berjalan lebih cepat dan menghalangi jalan Yara. "Apa mungkin kamu masih menyimpan perasaan kepadaku?""Jangan sok hebat." Yara sangat marah sampai kepalanya berdenyut-denyut. "Aku cuma nggak mau Kak Felix sedih dan mikir yang nggak-nggak."Dia berjalan mengitari rintangan yang tidak sedap dipandang itu dan duduk di sofa.Yudha duduk di sofa di sebelahnya
Yara terdiam. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Siska menghela napas panjang. "Aku juga kaget. Aku nggak nyangka dia sangat menghargai anak-anak."Dia menatap Yara dengan mata berkaca-kaca. "Kalau aku tahu sejak dulu, harusnya aku duluan yang memanfaatkan kesempatan. Nggak ada gunanya pergi bertemu keluarga dan calon mertua."Yara tidak tahu bagaimana cara menghibur Siska. Setelah memikirkannya, dia hanya bisa berkata, "Sebenarnya, ada bagusnya juga. Cari tahu dari awal, biar bisa menghindar dari masalah sejak awal. Dia nggak bilang putus, 'kan?""Yang kena masalah dia, kenapa dia yang minta putus?" Siska mendengus dan duduk tegak. "Yang ingin putus itu aku. Dasar sampah, bajingan!"Dia mengumpat sambil meneteskan air matanya. "Aku nggak punya otak. Bisa-bisanya aku merasa kasihan padanya saat itu? Aku sudah gila.""Siska ..." Yara merasa sesak melihatnya."Rara, jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Cintaku sudah sedikit terhapus, aku nggak akan sesedih dulu lagi."Siska berusaha sekuat t
Kali ini, pikiran Melanie hampir tidak melawan. Dia segera memulai dengan terampil.Baru setelah menghirup benda itu, dia merasakan relaksasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seolah semua kejengkelan tadi hanyalah kepulan asap yang hilang tertiup angin.Dia sangat menikmatinya sampai meringkuk di tempat tidur dan memeluk selimutnya, menikmati momen ini.Dia tidak tahu kapan dia tertidur. Saat terbangun kembali, hari sudah tengah malam.Ada perasaan hampa yang tak terkendali, seolah tidak ada yang bisa mengisinya selain benda itu.Melanie menghela napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa dia telah ketergantungan. Sama halnya seperti seks. Bagaimana mungkin seseorang tidak ketergantungan pada hal yang membawa rasa bahagia?Namun, ketergantungan bukan berarti kecanduan. Dia merasa masih memegang kendali.Pikirannya terlalu kalut malam ini karena besok dia harus periksa kesuburan. Lain kali, dia tidak akan membiarkan dirinya terjatuh lagi dengan mudah.Dia merenung dalam kegel
Pesawat sudah hendak lepas landas. Yudha menelepon nomor Melanie dengan kesal, tetapi panggilannya tidak dijawab.Dengan jengkel, dia keluar dari bandara dan masuk ke dalam mobil. "Pergilah ke rumah Melanie."Sial. Dia paling benci saat orang lain mengingkari janji bertemu dengannya. Melanie bahkan tidak menjawab telepon, berani-beraninya.Alhasil, sesampainya di rumah keluarga Lubis, Melanie dan Amel tidak ada.Pelayan di sana mengenal Yudha dan segera menjelaskan dengan hati-hati, "Pak Yudha, Nona Amel tadi pagi demam. Panasnya sangat tinggi, 38 derajat. Nona Melanie membawanya ke rumah sakit.""Amel demam?" Pak Yudha bergegas ke rumah sakit.Di rumah sakit ibu dan anak, dia melihat Melanie dan Amel.Wajah Melanie penuh dengan kekhawatiran. "Yudha, kenapa kamu di sini? Amel demam, 39 derajat. Kata dokter, untung saja dilarikan tepat waktu. Kalau nggak ... akibatnya fatal."Yudha mengerutkan kening. Menatap si kecil yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, hatinya melunak. "Kena
"Yudha, kenapa kamu datang cepat sekali hari ini?"Tepat pada saat itu, kebetulan Melanie kembali dari luar. Dia menatap Amel dengan tenang. "Kenapa teriak-teriak? Pantatmu sakit lagi?""Ada apa?" Yudha mengerutkan kening. "Kamu mukul dia?""Mana mungkin?" Melanie tersenyum tak berdaya. "Demamnya parah tadi pagi, jadi harus disuntik obat. Sejak tadi dia ngeluh terus pantatnya sakit."Tatapannya kepada Amel berubah penuh peringatan. "Jangan bikin susah Paman Yudha.""Iya." Amel menundukkan sedih dan berbaring lagi di tempat tidur dengan patuh, mengundang rasa iba.Yudha menyentuh kepala si kecil dengan lembut. "Nggak apa-apa. Yang sabar, besok nggak sakit lagi.""Ya, terima kasih Paman Yudha." Amel tidak berani bicara macam-macam.Melanie mulai menyuapi si kecil makan malam. Gerakannya lembut. "Ayo, makan yang banyak biar cepat sembuh."Amel menurut dan makan dengan lahap, sepertinya sudah mulai membaik.Setelah Melanie selesai menyuapi, Yudha memanggilnya keluar."Amel 'kan sudah mendi