"Dia telepon dua kali. Aku blokir nomornya." Siska melemparkan ponselnya ke samping. "Aku buta. Nggak seharusnya aku percaya omongannya."Air mata membasahi wajahnya tanpa dia sadari. "Kukira, masalah antara aku dan dia cuma Liana. Tapi aku lupa dia aslinya buaya."Matanya sangat sedih menatap Yara. "Rara, apa memang perempuan selalu kehilangan akal sehat kalau sudah jatuh cinta?""Siska, jangan mikir yang macam-macam dulu. Daripada menebak-nebak sendiri, mending kamu tanya langsung." Yara berpikir sejenak dan berkata lagi, "Walaupun aku nggak akan memaafkan dia karena pernah menyakitimu dulu, tapi menurutku ..."Dia berpikir lagi. "Dia bukan orang yang nggak setia. Dia mungkin pernah pergi-pergi keluar bersama artis entah siapa di masa lalu. Tapi dia memang mengakuinya, 'kan? Dia nggak pernah bohong kepada siapa pun."Siska mengangguk dan tersenyum pahit. "Jadi, apa aku harus merasa terhormat kalau nanti dia menghubungi aku dan berbohong padaku?"Pada saat itu, terdengar suara ketukan
"Siska." Tanto menggenggam tangan Siska. "Malam ini, ayo kita ke rumahku."Ekspresinya sangat serius. "Asal kita bertunangan secepatnya, semua orang pasti tahu kalau aku sudah ada yang punya. Jadi mereka nggak akan berani macam-macam. Oke?"Dia sangat sayang kepada Siska dan tidak ingin kehilangan dia lagi.Tanto tahu dengan jelas dalam hatinya. Jika Siska pergi lagi, wanita itu mungkin tidak akan kembali padanya lagi.Hati Siska sedikit tergerak. "Kamu sudah benar-benar yakin?"Tanpa menunggu Tanto menjawab, dia sendiri melanjutkan, "Tanto, aku nggak ingin memaksamu. Beberapa hal nggak bisa diburu-buru, kita ...""Siska, kamu mungkin menganggap aku mengambil keputusan ini karena masalah gosip tadi."Tanto tersenyum getir. "Tapi kamu nggak tahu sudah berapa lama aku memikirkan keputusan ini. Bahkan, di hari aku berpisah dengan Liana, keputusan ini nggak pernah berubah.""Aku akan menikah denganmu. Aku hanya akan menikah denganmu." Tanto menggenggam tangan Siska dengan kedua tangannya.
Yara tertawa pelan, tetapi tidak menjawab.Apakah dia ... benar-benar akan menikah dengan Felix?Jujur saja, dia masih merasa seperti dalam mimpi. Dalam hatinya, Felix tetaplah seorang kakak baginya.Setelah pulang, Yara berbicara dengan Siska tentang beberapa hal yang perlu diperhatikan saat pergi ke rumah calon mertua. Meski Tanto melindunginya, rumah keluarga Lastana bukanlah tempat yang ramah.Bukan Kakek Susilo yang perlu dikhawatirkan. Namun, Agnes dan Liana mungkin akan sulit dihadapi.Jelang waktu makan malam, Tanto datang menjemput.Sebelum pergi, Yara berpesan kepada Tanto, "Jangan biarkan Siska menderita."Sebenarnya, saat Yara menjadi pembantu tanpa bayaran di rumah keluarga besar Lastana, Tanto memperlakukannya dengan cukup baik. Setidaknya, pria itu memperlakukannya sebagai manusia.Jadi, dia sedikit lebih kendur.Mereka berdua segera pergi setelah itu.Kemudian, panggilan video dari Felix masuk dan Yara segera mengangkatnya."Kamu sudah makan malam?" Felix bertanya denga
Sampai dia kembali ke apartemennya dan berpelukan dengan Yara, Siska merasa seperti sedang bermimpi."Sudah kubilang, pasti akan lancar-lancar saja." Yara turut berbahagia untuk Siska.Bisa mendapatkan cinta Tanto dan restu keluarga Lastana merupakan sesuatu yang patut untuk dirayakan.Mungkin karena Yara dulu tidak pernah mendapatkan kedua hal tersebut, jadi dia sangat bahagia."Di luar dugaan sekali." Wajah Siska memerah karena gembira. "Aku nggak nyangka akan berjalan semulus itu. Bahkan Liana nggak berulah apa-apa. Sungguh di luar dugaan.""Aku masih merasa seperti mimpi," lanjutnya sambil menitikkan air mata."Oke, kamu sudah ketemu keluarga Lastana sekarang. Semua sudah beres." Yara lalu bertanya, "Kamu sudah bawa Tanto ketemu ibumu?"Siska menggeleng. "Aku ... mau tunggu sebentar lagi. Aku takut ...""Pokoknya harus ketemu sebelum pertunangan." Yara menghibur, "Bibi pasti marah. Tapi aku percaya, Bibi sayang kamu. Kalau kamu memang sudah mau, dia nggak akan keberatan."Siska ten
"Entahlah, pikiranku juga sedang kacau sekarang." Suara Tanto penuh rasa tidak berdaya."Jadi benar anakmu?" Yara mengulangi dengan tidak percaya."Entahlah." Jawaban Tanto ini justru membuat Yara semakin marah.Yara menggertakkan giginya. "Kamu sudah telepon Siska?""Belum.""Ketemu langsung saja ...""Rara, aku belum tahu bagaimana cara menanganinya. Aku merasa nggak pantas bertemu Siska.""Maksudmu?" Yara tidak bisa menahan diri dan menghardik, "Tanto, kamu sudah pernah mengecewakan Siska sekali. Kalau kamu melakukannya lagi, kami nggak akan memaafkanmu.""Aku juga nggak akan memaafkan diriku sendiri." Tanto tertawa getir.Yara tahu sifat pemarah Siska. Dia pun tahu, bicara panjang lebar pun tidak akan ada gunanya. Dia mengingatkan Tanto untuk terakhir kalinya. "Entah seperti apa perasaanmu saat ini, cepat hubungi Siska. Jangan buat dia menggantung sendirian seperti ini."Dengan itu, dia menutup telepon.Yara sudah hamil tua. Tubuhnya sangat tidak nyaman. Sering kali, saat di kantor
Yudha berjalan ke dapur.Siska berbisik pada Yara, "Tunggu aku di ruang tamu. Kamu makan dulu, aku mau naik sendiri.""Oke, kalian bicarakan baik-baik, jangan terlalu impulsif," perintah Yara.Siska menarik napas dalam-dalam tiga kali sebelum berbalik dan naik ke lantai atas.Melihat Yudha belum keluar dari dapur, Yara berjalan perlahan ke sana. Lalu, dia melihat Yudha sedang membuat mi.Di bawah cahaya kuning yang hangat, pria itu mengenakan celemek. Raut wajah tajamnya tidak lagi agresif dan terlihat lebih ramah.Mata Yara memanas dan tiba-tiba teringat sesuatu. Ketika mereka baru saja membicarakan perceraian, Kakek Susilo memaksa Yudha membuatkan semangkuk mi untuknya.Dia sudah lama melupakan rasa mi itu, tetapi dia ingat dengan jelas kebahagiaan yang dia rasakan saat itu.Suara Yudha tiba-tiba terdengar. "Ada apa?"Ketika tersadar kembali, Yara menyadari bahwa air matanya telah mengalir deras. Dia buru-buru menyeka air matanya dan menjelaskan dengan canggung, "Mataku perih kena as
Yudha sekali lagi mencari bahan bicara. "Sebenarnya, kamu nggak bisa bohong soal urusan semacam ini.""Ha?" Yara tidak mengerti apa yang dia maksud."Bahkan sebelum lahir, bayi tetap bisa dites DNA untuk memastikan siapa ayahnya." Sambil mengatakannya, Yudha menatap Yara tanpa berkedip.Yara langsung menundukkan kepalanya karena rasa bersalah, tidak berani menatap mata Yudha sama sekali.Dia tidak mengerti. Apa yang Yudha inginkan? Apakah pria itu curiga soal anak-anak yang dikandungnya?Yudha dapat melihat semuanya dan melanjutkan, "Kalau memang benar itu anak Paman, Paman ... cuma bisa menikahi Rita."Yara menggigit bibirnya. "Tapi orang yang dicintai Paman adalah Siska!""Walaupun Paman Tanto bukan pewaris keluarga Lastana, didikan yang dia dapatkan tetap sama," kata Yudha dengan suara dingin. "Anak keluarga Lastana yang boleh dibiarkan berkeliaran di luar. Paling nggak, nggak boleh dibiarkan hidup-hidup berkeliaran di luar."Keringat dingin mengucur dari punggung Yara. Dia merasa Y
Felix mendengar suara Yudha dengan jelas.Mereka bertiga terdiam seketika. Suasana tiba-tiba terasa sangat canggung.Yara tidak tahan lagi dan segera berkata, "Kak Felix, kita lanjut nanti lagi."Dia menutup panggilan dan memelototi Yudha. "Kamu sengaja ya?""Sengaja apa?" Wajah Yudha masih biasa saja. "Yara, apa yang kamu pikirkan? Aku membuatkanmu mi untukmu. Kenapa kamu merasa harus bohong dan sembunyi?"Yara kehilangan selera makan dan meletakkan sumpitnya, "Terima kasih sudah membuatkan mi untukku."Dia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu.Yudha mengikuti dengan sigap. "Yara, kamu merasa bersalah. Kenapa? Apa mungkin ..."Dia berjalan lebih cepat dan menghalangi jalan Yara. "Apa mungkin kamu masih menyimpan perasaan kepadaku?""Jangan sok hebat." Yara sangat marah sampai kepalanya berdenyut-denyut. "Aku cuma nggak mau Kak Felix sedih dan mikir yang nggak-nggak."Dia berjalan mengitari rintangan yang tidak sedap dipandang itu dan duduk di sofa.Yudha duduk di sofa di sebelahnya
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid