Pegawai itu masih berusaha membujuk, tetapi dihentikan pegawai lainnya.Yara mengenalinya. Pegawai ini yang dua kali mengurus perceraiannya.Dia tersenyum canggung kepada Yara."Kenapa kamu sendirian?" Wanita muda itu mengerutkan kening. Mungkin dia sedikit terbawa emosi karena telah menyaksikan drama Yara dan Yudha dua kali.Yara merasa semakin malu dan melirik ke arah pintu. "Tenang saja, sebentar lagi pasti dia datang.""Semoga jangan terlalu lama." Wanita muda itu memberikan nomor antrean pertama pada Yara dan berbalik untuk mulai bekerja.Yara memegang kertas itu. Tubuhnya terasa berat. Dia bergegas ke samping untuk menelepon Yudha, tetapi tidak diangkat.Firasat buruk tiba-tiba muncul.Tak lama kemudian, kantor catatan sipil memulai jam operasi. Yara memegang nomor antrean pertama, menatap pegawai muda tadi dari kejauhan, lalu berbalik untuk menelepon Yudha lagi. Masih tidak bisa tersambung.Dia duduk di samping, menundukkan kepala, tidak berani menatap mata para pegawai di sana.
Yara bertanya ragu-ragu, "Aku ke sini mau ketemu Kakek.""Oh, iya, iya, Kakek sering bilang kangen kamu akhir-akhir ini," kata Agnes, tersenyum.Yara semakin gelisah setelah mendengarnya. "Bibi, bagaimana kabar Kakek akhir-akhir ini?""Cukup baik."Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Yara naik ke lantai atas dengan pikiran bingung. Dan ternyata memang tidak ada yang salah dengan kondisi Kakek. Dia dikerjai Yudha.Setelah mengobrol sebentar, Kakek Susilo kemudian menyadari bahwa Yara sejak tadi melamun. "Kamu ke sini mau ketemu Yudha? Atau Felix?""Nggak." Yara menarik sudut mulutnya.Kakek Susilo berkata sambil tertawa kecil, "Ya sudah sana. Kakek baik-baik saja. Kakek pasti bisa melihat bayi-bayimu lahir.""Oke, aku pergi dulu ya, Kakek." Yara keluar dan langsung menuju kamar tidur Yudha. Setelah mengetuk pintu, benar Yudha ada di sana."Apa maksudmu?" tanya Yara dengan suara dingin begitu dia masuk."Maksud apa?" Yudha terlihat biasa saja.Yara menggertakkan gigi penuh rasa kesal. "K
Setelah menutup telepon, rasa cemas Yara semakin bertumpuk."Ada apa?" Yudha melihat wajah Yara yang penuh pikiran. "Apa yang terjadi?"Yara menatapnya dan menggeleng. "Bukan apa-apa."Dia tidak punya waktu untuk memikirkan perceraian lagi. Lagi pula, bukan dia yang sedang buru-buru ingin menikah."Bisakah kita menemui Deka sekarang? Aku harus ke Meria lagi besok.""Besok?" Yudha mengerutkan kening. "Kenapa buru-buru sekali? Apa TaLa sekejam itu? Kamu 'kan bukan karyawan tetap mereka, jangan diam saja kalau ditekan.""Nggak, ini urusan lain." Yara agak kesal. "Jangan tanya."Yudha menahan diri dan menertawakan diri sendiri. "Benar, buat apa aku tanya-tanya. Bukan urusanku.""Bisa pergi sekarang?" Yara benar-benar kesal."Ayolah, sekarang." Yudha memimpin jalan.Agnes yang melihat keduanya pergi bersama mengira mereka pergi untuk mengambil surat cerai.Sepanjang perjalanan, Yara hanya melihat ke luar jendela dan tidak mengatakan apa-apa. Seperti sedang banyak pikiran."Aku ingatkan, Dek
Deka seketika menatap Yudha dengan penuh simpati."Ayo pergi." Wajah Yudha berubah kelam dan masuk ke dalam mobil lebih dulu.Yara tidak berencana ikut. "Aku mau naik taksi sendiri.""Terserah." Yudha yang sedang kesal pun langsung pergi.Yara pulang naik taksi sendiri. Setelah bertemu dengan Siska, dia langsung bercerita tentang kematian Nando."Jangan-jangan si bajingan Melanie itu?" Siska sungguh kaget. "Gila, sudah nggak tertolong lagi. Dia kecanduan membunuh?""Entahlah, tapi kemungkinannya memang besar." Yara juga punya kecurigaan yang sama. Dia mendesah dengan hati yang berat. "Nggak seharusnya aku menyarankan Amel diserahkan ke Melanie. Malah jadi membuat Melanie ingin membunuh Nando.""Rara, ini bukan salahmu." Siska bergegas menenangkan Rara. "Melanie saja yang terlalu gila. Dia pasti akan mendapat hukumannya."Yara tidak mengatakan apa-apa, tampak sedang berpikir keras.Saat itu, dia hanya memikirkan bahwa Nando yang kecanduan narkoba tidak bisa merawat Amel dengan baik. Dan
Agnes mendengar suara berisik di lantai bawah dan segera naik ke atas untuk memeriksanya."Kalian sedang apa?" Dia sungguh tertegun. Kedua bersaudara ini sangat dekat saat kecil. Namun, mereka berpisah dan tidak pernah bertemu selama belasan tahun sejak Felix pergi ke luar negeri. Sekarang, hubungan mereka berubah drastis sampai tidak segan berkelahi.Dia mendekat dan melerai keduanya. "Ada masalah apa?"Sudah sejauh ini, keduanya sama-sama terluka. Luka di lengan Felix belum sembuh, jadi kekuatannya cukup imbang dengan Yudha.Agnes melirik dengan mata tidak suka. "Ada apa sampai berkelahi?""Nggak ada apa-apa, aku cuma mau belajar sedikit dari Kak Felix." Yudha menyeka darah dari sudut mulutnya.Agnes segera menebak, "Karena Yara?""Nggak!" Keduanya menyangkal dengan serempak."Nggak heran." Agnes mendesah dan menggelengkan kepalanya dengan marah. "Kalian berdua ... seperti bukan laki-laki."Dia menunjuk Felix terlebih dulu. "Kamu suka dia? Ya kejar dia. Keluarkan tekad yang kamu puny
Mengatakan hal ini, matanya memerah.Melihat Yudha juga sudah datang, Berlina langsung menghampirinya. "Pak Yudha, terima kasih untuk semuanya.."Dia tahu, dia bisa mendapatkan uang 1 miliar itu atas bantuan Yudha dan Felix. Gilang telah menandatangani surat cerai, serta berjanji akan mengembalikan uang 1 miliar itu kepadanya secara bertahap.Dia berencana mencari pekerjaan di dekat rumah sambil menemani Naya berobat.Yudha mendengus melalui hidungnya dan tidak berkata apa-apa.Saat itulah Berlina menyadari bahwa wajah Felix dan Yudha sama-sama terlihat lebam-lebam. Dia bertanya kepada Yara dengan isyarat matanya.Yara hanya menggeleng.Ketika menaiki pesawat, Felix tiba-tiba berkata, "Rara, kamu mau pindah tempat duduk denganku? Kamu duduk dengan Berlina.""Oke." Yara segera mengangguk setuju, lalu bertanya dengan sedikit khawatir, "Kalau begitu kamu ... kamu ...""Tenang saja, sekarang di pesawat. Kami nggak akan main-main." Felix berjanji.Yara pun mengangguk, dan keduanya bertukar
Melanie menegakkan punggungnya dan bertanya dengan wajah serius, "Kamu beneran ingin tinggal denganku?"Amel mengangguk dengan penuh semangat dan menekankan, "Amel sayang Ibu.""Kamu boleh tinggal denganku, tapi kamu harus nurut." Melanie mengacungkan satu jari. "Yang pertama dan yang paling penting, lupakan kalau aku ibu kandungmu."Amel sepertinya tidak mengerti. Dia mengedipkan mata lebarnya dan bertanya, "Kenapa?""Karena kelahiranmu adalah kesalahan bagi aku dan ayahmu." Melanie sedikit jengkel. "Aku berharap itu nggak pernah terjadi."Si kecil menundukkan kepalanya pasrah. "Ibu nggak suka Amel.""Ya, Aku nggak suka. Nggak suka kamu, nggak suka ayahmu," ulang Melanie. "Dan juga, aku akan punya anak sendiri suatu hari nanti. Dialah anakku."Dia mencengkeram baju Amel dan menarik si kecil itu mendekat. "Kalau kamu ingin tinggal bersamaku, lupakan kalau aku ibu kandungmu. Bisa?"Mata Amel berkaca-kaca, tetapi dia penuh tekad tidak membiarkan air matanya jatuh. "Aku mengerti," katanya
Dia melanjutkan, "Selain itu, dia punya anak perempuan."Yudha samar-samar mengerti. "Anak yang ingin kamu adopsi itu?"Melanie mengangguk.Yudha mengerutkan kening. "Kalau kamu mau bantu dia, masih ada banyak cara lain. Nggak harus dengan memisahkan ayah dan anak.""Ini juga keinginan Kak Nando." Melanie terisak. "Kak Nando tahu dia sudah nggak bisa diselamatkan, jadi dia ingin menitipkan anaknya padaku. Dan ..."Dia kembali menangis tersedu-sedu dan tidak bisa bicara sama sekali.Yudha menyadari ada yang tidak beres. "Ada yang lain?""Beberapa hari yang lalu, aku dapat kabar kalau Kak Nando ... meninggal." Melanie terlihat sangat sedih.Yudha tidak tahu harus berkata apa.Mereka berdua terdiam beberapa saat, lalu Melanie bicara lagi, "Yudha, aku ... membuat keputusan sendiri kali ini. Maukah kamu mendukungku?"Yudha menatapnya dalam diam.Melanie beranjak untuk membuka pintu kantor dan menggiring Amel masuk dari depan pintu.Begitu melihat Amel, Yudha segera mengenalinya. "Kamu? Kamu