"Berhenti!" Felix langsung menolak. "Ingat siapa dirimu, Dokter Gio, tetaplah di kamp dan tunggu kabarku."Keesokan harinya, Felix dan yang lain berangkat pagi-pagi sekali, tetapi baru kembali pada pukul tiga atau empat sore.Benar saja, Felix terluka. Sebuah peluru menembus bahu kirinya. Darah yang bersimbah di tubuhnya sungguh menggetarkan, membuat yang lain ketakutan.Mereka menangkap sekitar belasan orang.Gio menunggui di pintu masuk kamp dan baru merasa lega setelah melihat semua orang akhirnya kembali dalam keadaan hidup.Semua orang yang berpapasan dengannya mengacungkan jempol untuk memuji Felix, menyebutnya pria tangguh dan pejuang sejati.Gio sampai tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Di antara orang-orang yang ditangkap, dia melihat seorang pria yang wajahnya tidak asing, seolah pernah melihatnya di suatu tempat.Di dalam rumah sakit, dia secara pribadi merawat luka Felix. "Yang ditangkap itu pengedar narkoba semua?""Nggak semua. Beberapa ada yang cuma pembeli. Kalau
Felix dan Gio kaget saat melihat orang yang datang untuk membebaskan Nando. Sungguh tidak menyangka itu adalah Melanie."Sepertinya sudah jelas siapa yang ingin membunuh Rara." Gio menggelengkan kepalanya. "Wanita ini benar-benar gila.""Setan gentayangan." Felix mengeluarkan ponselnya dan diam-diam mengambil foto pertemuan Nando dan Melanie, lalu mengirimkannya ke Yara.Gio menertawakannya. "Bukannya kamu sedang pura-pura nggak di Meria?"Felix terdiam. "Melanie ada di sini. Rara dalam bahaya. Apa lagi yang perlu dipedulikan.""Aku nggak nyangka ternyata Kapten yang tangguh bisa jadi budak cinta juga." Gio menggelengkan kepalanya.Felix terlalu malas untuk menanggapinya. Dia mengetik sebuah pesan untuk Yara: "Namanya Nando Gunawan, dia pecandu narkoba. Kata Gio dia tinggal di lantai bawah apartemenmu? Apa kamu pernah kenal dia sebelumnya? Dia sepertinya kenal baik dengan Melanie."Yara sedang sarapan saat melihat pesan itu. Dia sangat terkejut sampai rotinya terjatuh dari pegangan tan
Dalam sekejap, perasaan yang tak bisa dijelaskan menyebar ke seluruh dada Yara. Seperti sesuatu yang membuatnya merasa teguh dan aman.Balasan Felix pun tidak lama: "Maafkan aku, Rara, aku terlalu cemas. Tapi aku nggak bohong, aku memang ada misi di sini. Nando inilah salah satu orang yang kutangkap."Felix seperti sangat hati-hati, membuat Yara ingin tertawa sekaligus tersentuh.Dia tersenyum dan menjawab: "Oke, aku tunggu kalian di apartemen."Setelah kembali ke kamar, Yara menelepon Siska dengan penuh semangat dan menceritakan kabar tadi."Tunggu, tunggu. Biarkan aku berpikir dulu. Ayah tunggal nggak becus yang tinggal di lantai bawah apartemenmu itu bintang di sekolah kita dulu, Nando Gunawan?""Iya." Melalui panggilan video, Yara mengangguk."Lalu, anak perempuan yang mencari ibunya setiap hari itu, anak Melanie?""Kemungkinan besar begitu."Mata Siska membelalak. "Jadi, waktu dia tiba-tiba pergi ke luar negeri itu bukan karena insiden kamu dengan Yudha. Tapi karena dia harus perg
Menutup panggilan video, Yara masih terkulai di atas meja dengan hati yang berat.Dia tidak sesemangat Siska, dan dia tidak ingin melihat Yudha menangis. Dia hanya merasa hatinya sangat berat.Sangat, sangat berat sampai napasnya terasa sulit.Seandainya semua itu tidak pernah terjadi dan Melanie tidak ikut campur. Apakah dia akan memiliki akhir yang berbeda dengan Yudha?Begitu pikiran itu muncul, Yara langsung berkeringat dingin. Mungkinkah ... dia masih mencintai Yudha?Dia mengepalkan tangannya dan diam-diam menatap perutnya yang sudah mulai terlihat.Haruskah dia mencoba lagi, meluruskan semua salah paham, dan memulai semuanya dari awal lagi?Saat memikirkan hal itu, Yara tiba-tiba melihat sekilas boneka beruang yang ada di atas meja. Setelah ragu-ragu sejenak, dia mengambilnya dan mengendus aromanya.Dia menyadari ada yang janggal dengan aroma boneka beruang itu. Setelah menghirupnya, perasaannya jadi mulai tidak nyaman.Memikirkan sesuatu, dia segera menyingkirkan beruang itu da
"Melanie, suatu hari nanti, kamu akan tahu seperti apa rasanya."Entah kenapa, Melanie bergidik setelah mendengar ini. Dia mengumpat dengan ekspresi tidak menyenangkan di wajahnya, "Jangan kutuk aku."Nando mendengus. Itu bukan kutukan."Paling nggak, aku bisa bagi keuntungan denganmu kalau aku berhasil menikah dengan Yudha," kata Melanie lagi, berlagak baik. "Sebaiknya kamu doakan yang baik-baik untukku."Ada sesuatu yang Melanie tidak mengerti. "Nando, bukannya kamu baru pakai kemarin? Kenapa kamu ditangkap?""Aku ..." Nando menyentuh hidungnya dengan canggung. "Aku mau beli.""Maksudmu?" Melanie menatapnya, membelalak. "Apa maksudmu mau beli?""Kamu baru kirim uang kemarin 'kan? Aku ambil 8 miliar, rencananya mau beli untuk kupakai sendiri, sekalian jual lagi cari untung." Nando lalu menceletuk, "Kalau bisa berlanjut nanti, aku bisa menjamin hidup yang nyaman untukmu dan Amel.""Gila." Melanie sekarang benar-benar yakin bahwa narkoba dapat mengikis otak dan membuat orang menjadi bod
Telepon dari Melanie datang tak lama kemudian."Nando, apa maksud pesanmu tadi? Apa maksudmu Yara sepertinya mengenalimu?"Nando tertawa mengejek. "Melanie, apa yang kamu takutkan? Takut Yara tahu kamu punya anak, lalu bilang ke Yudha?"Melanie menahan umpatannya. "Nando, aku sedang nggak punya waktu bertengkar denganmu. Apa yang terjadi?""Nggak terjadi apa-apa, cuma perasaan saja." Nando tertawa lagi. "Melanie, kamu memang terlalu konyol. Sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai, pasti baunya akan tercium juga. Apalagi menyembunyikan dari keluarga Lastana. Cepat atau lambat Yudha pasti tahu.""Nando!" teriak Melanie, agak marah. "Jangan lupa, kita ada di kapal yang sama sekarang. Kalau aku tenggelam, kamu juga ikut tenggelam."Nando mengangkat bahu, wajahnya masih terlihat tidak peduli. "Ya, ya, aku akan mendoakanmu. Aku doakan Yudha buta dan tuli, dan terus berada dalam kegelapan seumur hidupnya."Kemarahan Melanie sudah menggebu-gebu, tetapi dia tidak berani adu mulut dengan Nando
Yara agak kesal dan membuka pintu untuk mempersilakan tamu pergi. "Kak Felix, kamu nggak mau aku tahu soal urusanmu, jadi menurutku, kamu juga nggak perlu memikirkan soal urusanku."Gio tertawa seketika dan mengacungkan jempol kepada Yara."Jangan bikin ribut!" tegur Felix, lalu dia menjelaskan kepada Yara sambil mendesah, "Rara, tanganku nggak apa-apa."Yara mengabaikannya dan menatap Gio. "Dok, jelaskan."Gio memberi Felix tatapan bangga dan menceritakan sejujurnya, "Cederanya karena tusukan pisau di otot lengan. Kejadiannya saat aku bilang ada dua orang berbaju hitam di depan apartemenmu. Sebenarnya, Felix juga ikut membekuk mereka."Dia menekankan, "Dua orang itu dilatih organisasi pembunuh. Keterampilan mereka nggak bisa diremehkan."Tusukan di otot lengan? Mendengarkannya saja membuat lengan Yara serasa mati rasa.Gio masih ingin melanjutkan. "Bahunya juga, waktu misi kemarin, dia ....""Gio!" Felix menyela Gio, tidak senang. "Misi kemarin nggak ada hubungannya dengan Rara. Perha
Dalam perjalanan pulang, Felix tampak selalu melamun sambil melihat ke luar jendela.Gio tidak tahan lagi dan akhirnya bertanya, "Kamu mikirin apa? Kamu takut Yara cerita semua ini ke Yudha?"Felix tidak menjawab.Gio bertanya lagi, "Kamu takut Yara cerita sendiri ke Yudha, atau kamu takut Yudha tahu?"Felix masih memandang ke luar jendela. "Aku memikirkan, kalau bukan karena Melanie, Yudha dan Rara mungkin akan sangat bahagia.""Apa gunanya berandai-andai yang seperti itu?" ujar Gio kecewa. "Kenapa kamu nggak mikir, andai kamu nggak ke luar negeri. Kamu bisa ketemu Yara lebih dulu, lalu akhirnya kalian menikah."Tatapan Felix sesaat kosong, karena dia benar-benar berpikir, apa ini mungkin?Jika Yara bertemu dengannya dahulu, mungkinkah Yara akan jatuh cinta padanya?Dia benar-benar tidak punya jawaban untuk itu.Namun, dia yakin. Jika bukan karena Melanie, Rara dan Yudha pasti bahagia.Dia berkata dengan nada mengejek, "Sebenarnya, walaupun Rara nggak mau bilang sendiri, aku tetap har