Yara agak kesal dan membuka pintu untuk mempersilakan tamu pergi. "Kak Felix, kamu nggak mau aku tahu soal urusanmu, jadi menurutku, kamu juga nggak perlu memikirkan soal urusanku."Gio tertawa seketika dan mengacungkan jempol kepada Yara."Jangan bikin ribut!" tegur Felix, lalu dia menjelaskan kepada Yara sambil mendesah, "Rara, tanganku nggak apa-apa."Yara mengabaikannya dan menatap Gio. "Dok, jelaskan."Gio memberi Felix tatapan bangga dan menceritakan sejujurnya, "Cederanya karena tusukan pisau di otot lengan. Kejadiannya saat aku bilang ada dua orang berbaju hitam di depan apartemenmu. Sebenarnya, Felix juga ikut membekuk mereka."Dia menekankan, "Dua orang itu dilatih organisasi pembunuh. Keterampilan mereka nggak bisa diremehkan."Tusukan di otot lengan? Mendengarkannya saja membuat lengan Yara serasa mati rasa.Gio masih ingin melanjutkan. "Bahunya juga, waktu misi kemarin, dia ....""Gio!" Felix menyela Gio, tidak senang. "Misi kemarin nggak ada hubungannya dengan Rara. Perha
Dalam perjalanan pulang, Felix tampak selalu melamun sambil melihat ke luar jendela.Gio tidak tahan lagi dan akhirnya bertanya, "Kamu mikirin apa? Kamu takut Yara cerita semua ini ke Yudha?"Felix tidak menjawab.Gio bertanya lagi, "Kamu takut Yara cerita sendiri ke Yudha, atau kamu takut Yudha tahu?"Felix masih memandang ke luar jendela. "Aku memikirkan, kalau bukan karena Melanie, Yudha dan Rara mungkin akan sangat bahagia.""Apa gunanya berandai-andai yang seperti itu?" ujar Gio kecewa. "Kenapa kamu nggak mikir, andai kamu nggak ke luar negeri. Kamu bisa ketemu Yara lebih dulu, lalu akhirnya kalian menikah."Tatapan Felix sesaat kosong, karena dia benar-benar berpikir, apa ini mungkin?Jika Yara bertemu dengannya dahulu, mungkinkah Yara akan jatuh cinta padanya?Dia benar-benar tidak punya jawaban untuk itu.Namun, dia yakin. Jika bukan karena Melanie, Rara dan Yudha pasti bahagia.Dia berkata dengan nada mengejek, "Sebenarnya, walaupun Rara nggak mau bilang sendiri, aku tetap har
Amel jelas ketakutan. Dia menunduk dalam dan matanya sedikit memerah."Percuma saja menangis. Bibi tanya lagi, kamu dapat boneka beruang itu dari siapa?" Yara mengancam dengan serius, "Kalau Amel berani bohong, Bibi mau nggak akan memperhatikan Amel lagi.""Huhu ...." Tangis Amel pecah. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tidak tahu mengapa Bibi Rara begitu marah.Ibunya jelas-jelas mengatakan bahwa Bibi Rara akan lebih senang jika tahu beruang itu dari Amel sendiri. Namun, sepertinya tidak demikian.Tangisan Amel menarik perhatian Nando.Dia membuka pintu dan memeluk Amel, menatap Yara dengan tidak senang. "Ada apa? Kenapa dia menangis?""Kamu yang mengajari dia berbohong?" Wajah Yara masih tetap keras. "Kamu ingin mengubahnya jadi pembohong? Jadi seperti kamu, sampah masyarakat yang nggak berani keluar?"Nando tertegun. Dia tidak menyangka Yara tiba-tiba marah.Dia agak kesal menerima hinaan itu. Tangannya memeluk Amel semakin erat."Jangan bertengkar, jangan bertengkar." Ame
Keduanya memasuki rumah beriringan. Nando merapikan baju-baju di sofa dan mempersilakan Yara, "Duduklah."Yara mengangguk dan duduk.Beberapa saat, keduanya masih tanpa kata.Nando mengawali terlebih dahulu. "Siapa sangka kita ketemu lagi dalam keadaan seperti ini. Sebagai kakak kelas ... aku pasti membuatmu kecewa."Nando di depannya telah menanggalkan penampilan acak-acakan beberapa waktu yang lalu. Jadi lebih mirip dengan bintang sekolah di masa lalu."Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?" Yara benar-benar penasaran. "Kenapa ... Melanie tiba-tiba ikut bersamamu? Bahkan punya anak di luar negeri?"Dia benar-benar tidak mengerti semua ini."Aku juga nggak tahu persisnya." Nando menggeleng. "Aku pernah mendekatinya di sekolah, tapi dia sudah punya Yudha. Mana mungkin dia melirikku?"Pria itu tertawa getir. "Tapi suatu hari, dia tiba-tiba mengajakku ke hotel dan mengatakan ingin menyerahkan dirinya kepadaku."Kerutan di keningnya semakin dalam. "Aku sudah menyadari ada yang janggal pad
"Eh?" Yara tidak begitu mengerti.Nando tiba-tiba menatapnya dalam-dalam, tapi tidak menjelaskan. Dia hanya berdiri membelakangi Yara dan berkata, "Semua orang bisa melihat bahwa hidupku sudah berakhir."Dia mengambil beberapa langkah ke jendela, menatap kesibukan dan keindahan di luar. Namun, dalam hatinya, dia menyadari bahwa semua itu tidak ada hubungannya dengan dia lagi."Kak Nando, jangan putus asa." Yara bangkit dan mengikutinya. "Kamu masih muda. Amel juga masih sangat muda. Semuanya masih mungkin."Nando masih memunggungi Yara. "Nggak, semuanya sudah berakhir. Sudah berakhir sejak lama.""Kak Nando ...." Yara sedikit cemas."Yara." Nando tiba-tiba berbalik. "Kamu belum tahu? Aku sudah kecanduan barang itu. Masih ada harapan katamu? Harapan apa? Di mana harapan itu?"Matanya membelalak, sangat menakutkan.Yara refleks mundur selangkah, tetapi masih bersikeras. "Kamu bisa pergi ke tempat rehabilitasi. Berhenti. Mulai kehidupan yang lebih baik.""Mustahil." Ekspresi Nando seperti
Setelah Yara pergi, Nando memanggil Amel kembali."Bibi Rara sudah pergi?" tanya Amel."Iya, mau istirahat." Nando membelai kepala si kecil. "Amel suka dengan Bibi Rara?""Suka. Bibi Rara sangat lembut dan baik ke Amel." Amel bertanya lagi pada Nando penuh penasaran, "Kalau Ayah? Ayah juga suka Bibi Rara, 'kan?""Eh?" Nando tertegun sejenak. "Kenapa Amel tanya begitu?"Amel tidak menjawab. Dia hanya naik ke atas sofa dan mengambil sebuah buku berdebu dari rak samping.Nando mengerutkan kening.Amel menyeka debu yang menempel di buku itu. Dia duduk di sebelah Nando sambil memegang buku itu dan membukanya, menuju sebuah foto yang terselip di dalamnya.Foto itu memperlihatkan langit biru, awan putih, rumput hijau dan sekelompok orang yang berlarian. Satu-satunya wajah yang terlihat jelas dalam foto itu adalah Yara.Amel menatap Nando, menunggu untuk dipuji.Pertama melihat Bibi Rara, dia merasa tidak asing, tapi tidak ingat di mana pernah melihatnya. Beberapa hari yang lalu, baru akhirnya
"Kenapa?" Nando semakin terkejut.Amel menatap mata Nando. "Ibu jahat. Dia menyakiti hati Ayah dan membuat Ayah sedih, jadi Amel nggak suka Ibu."Nando semakin mengerutkan keningnya. "Amel bohong ya? Bukannya Amel selalu ingin membuat Ibu senang setiap kali bertemu?"Amel menggeleng. "Amel memang berharap Ibu suka Amel. Tapi waktu itu karena Amel ingin Ibu dan Ayah bersama lagi, nggak meninggalkan Amel lagi."Si kecil melompat ke dalam pelukan Nando. "Amel paling suka Ayah. Amel ingin bersama Ayah selamanya."Nando merasa tidak percaya. "Tapi Ayah pernah mukul Amel.""Nggak apa-apa, Amel nggak sakit," jawab si kecil dengan mantap.Mata Nando seketika berkaca-kaca. Dia memeluk anaknya dengan sangat erat dan menoleh ke luar jendela mobil.Dia mengerti, Amel selalu bergantung padanya sejak lahir. Namun, Amel tidak akan memiliki hidup yang baik jika terus hidup bersamanya. Dia harus menyerahkan Amel kepada Melanie.Di apartemen, Felix dan Gio bersikeras datang setelah mengetahui Yara akan
"Cukup!" Yara tidak bisa berkata-kata lagi. "Nggak bawa-bawa orang lain. Semua ini salahmu sendiri. Kamu nggak pantas menghina Nando!""Persetan." Melanie telah mengabaikan segalanya. "Kalau sejak awal dia nggak pura-pura hebat dan punya masa depan bagus, mana mau aku ikut dengannya?""Aku nggak akan hamil, nggak akan memberikan kesempatan padamu dan anak-anak sialanmu dalam perutmu itu." Kata-katanya begitu penuh amarah, seakan ingin menyeret Yara ke dalam neraka juga.Orang ini sudah tidak ada harapan lagi, pikir Yara. "Melanie, apa kamu cuma mementingkan dirimu sendiri? Pernahkah kamu membayangkan bagaimana hidup Nando kalau kamu nggak pernah menghancurkannya?""Dia? Dia tetap akan menjadi pecundang gagal tanpa aku." Penghinaan menjiwai setiap kata-katanya.Yara benar-benar muak. "Melanie, kamu selalu saja seperti ini. Kamu selalu menyalahkan orang lain atas kesalahanmu. Selalu merasa nasibmu yang paling menyedihkan. Tanpa menyadari bahwa orang-orang memulai hidup yang menyedihkan s
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid