Telepon dari Melanie datang tak lama kemudian."Nando, apa maksud pesanmu tadi? Apa maksudmu Yara sepertinya mengenalimu?"Nando tertawa mengejek. "Melanie, apa yang kamu takutkan? Takut Yara tahu kamu punya anak, lalu bilang ke Yudha?"Melanie menahan umpatannya. "Nando, aku sedang nggak punya waktu bertengkar denganmu. Apa yang terjadi?""Nggak terjadi apa-apa, cuma perasaan saja." Nando tertawa lagi. "Melanie, kamu memang terlalu konyol. Sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai, pasti baunya akan tercium juga. Apalagi menyembunyikan dari keluarga Lastana. Cepat atau lambat Yudha pasti tahu.""Nando!" teriak Melanie, agak marah. "Jangan lupa, kita ada di kapal yang sama sekarang. Kalau aku tenggelam, kamu juga ikut tenggelam."Nando mengangkat bahu, wajahnya masih terlihat tidak peduli. "Ya, ya, aku akan mendoakanmu. Aku doakan Yudha buta dan tuli, dan terus berada dalam kegelapan seumur hidupnya."Kemarahan Melanie sudah menggebu-gebu, tetapi dia tidak berani adu mulut dengan Nando
Yara agak kesal dan membuka pintu untuk mempersilakan tamu pergi. "Kak Felix, kamu nggak mau aku tahu soal urusanmu, jadi menurutku, kamu juga nggak perlu memikirkan soal urusanku."Gio tertawa seketika dan mengacungkan jempol kepada Yara."Jangan bikin ribut!" tegur Felix, lalu dia menjelaskan kepada Yara sambil mendesah, "Rara, tanganku nggak apa-apa."Yara mengabaikannya dan menatap Gio. "Dok, jelaskan."Gio memberi Felix tatapan bangga dan menceritakan sejujurnya, "Cederanya karena tusukan pisau di otot lengan. Kejadiannya saat aku bilang ada dua orang berbaju hitam di depan apartemenmu. Sebenarnya, Felix juga ikut membekuk mereka."Dia menekankan, "Dua orang itu dilatih organisasi pembunuh. Keterampilan mereka nggak bisa diremehkan."Tusukan di otot lengan? Mendengarkannya saja membuat lengan Yara serasa mati rasa.Gio masih ingin melanjutkan. "Bahunya juga, waktu misi kemarin, dia ....""Gio!" Felix menyela Gio, tidak senang. "Misi kemarin nggak ada hubungannya dengan Rara. Perha
Dalam perjalanan pulang, Felix tampak selalu melamun sambil melihat ke luar jendela.Gio tidak tahan lagi dan akhirnya bertanya, "Kamu mikirin apa? Kamu takut Yara cerita semua ini ke Yudha?"Felix tidak menjawab.Gio bertanya lagi, "Kamu takut Yara cerita sendiri ke Yudha, atau kamu takut Yudha tahu?"Felix masih memandang ke luar jendela. "Aku memikirkan, kalau bukan karena Melanie, Yudha dan Rara mungkin akan sangat bahagia.""Apa gunanya berandai-andai yang seperti itu?" ujar Gio kecewa. "Kenapa kamu nggak mikir, andai kamu nggak ke luar negeri. Kamu bisa ketemu Yara lebih dulu, lalu akhirnya kalian menikah."Tatapan Felix sesaat kosong, karena dia benar-benar berpikir, apa ini mungkin?Jika Yara bertemu dengannya dahulu, mungkinkah Yara akan jatuh cinta padanya?Dia benar-benar tidak punya jawaban untuk itu.Namun, dia yakin. Jika bukan karena Melanie, Rara dan Yudha pasti bahagia.Dia berkata dengan nada mengejek, "Sebenarnya, walaupun Rara nggak mau bilang sendiri, aku tetap har
Amel jelas ketakutan. Dia menunduk dalam dan matanya sedikit memerah."Percuma saja menangis. Bibi tanya lagi, kamu dapat boneka beruang itu dari siapa?" Yara mengancam dengan serius, "Kalau Amel berani bohong, Bibi mau nggak akan memperhatikan Amel lagi.""Huhu ...." Tangis Amel pecah. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tidak tahu mengapa Bibi Rara begitu marah.Ibunya jelas-jelas mengatakan bahwa Bibi Rara akan lebih senang jika tahu beruang itu dari Amel sendiri. Namun, sepertinya tidak demikian.Tangisan Amel menarik perhatian Nando.Dia membuka pintu dan memeluk Amel, menatap Yara dengan tidak senang. "Ada apa? Kenapa dia menangis?""Kamu yang mengajari dia berbohong?" Wajah Yara masih tetap keras. "Kamu ingin mengubahnya jadi pembohong? Jadi seperti kamu, sampah masyarakat yang nggak berani keluar?"Nando tertegun. Dia tidak menyangka Yara tiba-tiba marah.Dia agak kesal menerima hinaan itu. Tangannya memeluk Amel semakin erat."Jangan bertengkar, jangan bertengkar." Ame
Keduanya memasuki rumah beriringan. Nando merapikan baju-baju di sofa dan mempersilakan Yara, "Duduklah."Yara mengangguk dan duduk.Beberapa saat, keduanya masih tanpa kata.Nando mengawali terlebih dahulu. "Siapa sangka kita ketemu lagi dalam keadaan seperti ini. Sebagai kakak kelas ... aku pasti membuatmu kecewa."Nando di depannya telah menanggalkan penampilan acak-acakan beberapa waktu yang lalu. Jadi lebih mirip dengan bintang sekolah di masa lalu."Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?" Yara benar-benar penasaran. "Kenapa ... Melanie tiba-tiba ikut bersamamu? Bahkan punya anak di luar negeri?"Dia benar-benar tidak mengerti semua ini."Aku juga nggak tahu persisnya." Nando menggeleng. "Aku pernah mendekatinya di sekolah, tapi dia sudah punya Yudha. Mana mungkin dia melirikku?"Pria itu tertawa getir. "Tapi suatu hari, dia tiba-tiba mengajakku ke hotel dan mengatakan ingin menyerahkan dirinya kepadaku."Kerutan di keningnya semakin dalam. "Aku sudah menyadari ada yang janggal pad
"Eh?" Yara tidak begitu mengerti.Nando tiba-tiba menatapnya dalam-dalam, tapi tidak menjelaskan. Dia hanya berdiri membelakangi Yara dan berkata, "Semua orang bisa melihat bahwa hidupku sudah berakhir."Dia mengambil beberapa langkah ke jendela, menatap kesibukan dan keindahan di luar. Namun, dalam hatinya, dia menyadari bahwa semua itu tidak ada hubungannya dengan dia lagi."Kak Nando, jangan putus asa." Yara bangkit dan mengikutinya. "Kamu masih muda. Amel juga masih sangat muda. Semuanya masih mungkin."Nando masih memunggungi Yara. "Nggak, semuanya sudah berakhir. Sudah berakhir sejak lama.""Kak Nando ...." Yara sedikit cemas."Yara." Nando tiba-tiba berbalik. "Kamu belum tahu? Aku sudah kecanduan barang itu. Masih ada harapan katamu? Harapan apa? Di mana harapan itu?"Matanya membelalak, sangat menakutkan.Yara refleks mundur selangkah, tetapi masih bersikeras. "Kamu bisa pergi ke tempat rehabilitasi. Berhenti. Mulai kehidupan yang lebih baik.""Mustahil." Ekspresi Nando seperti
Setelah Yara pergi, Nando memanggil Amel kembali."Bibi Rara sudah pergi?" tanya Amel."Iya, mau istirahat." Nando membelai kepala si kecil. "Amel suka dengan Bibi Rara?""Suka. Bibi Rara sangat lembut dan baik ke Amel." Amel bertanya lagi pada Nando penuh penasaran, "Kalau Ayah? Ayah juga suka Bibi Rara, 'kan?""Eh?" Nando tertegun sejenak. "Kenapa Amel tanya begitu?"Amel tidak menjawab. Dia hanya naik ke atas sofa dan mengambil sebuah buku berdebu dari rak samping.Nando mengerutkan kening.Amel menyeka debu yang menempel di buku itu. Dia duduk di sebelah Nando sambil memegang buku itu dan membukanya, menuju sebuah foto yang terselip di dalamnya.Foto itu memperlihatkan langit biru, awan putih, rumput hijau dan sekelompok orang yang berlarian. Satu-satunya wajah yang terlihat jelas dalam foto itu adalah Yara.Amel menatap Nando, menunggu untuk dipuji.Pertama melihat Bibi Rara, dia merasa tidak asing, tapi tidak ingat di mana pernah melihatnya. Beberapa hari yang lalu, baru akhirnya
"Kenapa?" Nando semakin terkejut.Amel menatap mata Nando. "Ibu jahat. Dia menyakiti hati Ayah dan membuat Ayah sedih, jadi Amel nggak suka Ibu."Nando semakin mengerutkan keningnya. "Amel bohong ya? Bukannya Amel selalu ingin membuat Ibu senang setiap kali bertemu?"Amel menggeleng. "Amel memang berharap Ibu suka Amel. Tapi waktu itu karena Amel ingin Ibu dan Ayah bersama lagi, nggak meninggalkan Amel lagi."Si kecil melompat ke dalam pelukan Nando. "Amel paling suka Ayah. Amel ingin bersama Ayah selamanya."Nando merasa tidak percaya. "Tapi Ayah pernah mukul Amel.""Nggak apa-apa, Amel nggak sakit," jawab si kecil dengan mantap.Mata Nando seketika berkaca-kaca. Dia memeluk anaknya dengan sangat erat dan menoleh ke luar jendela mobil.Dia mengerti, Amel selalu bergantung padanya sejak lahir. Namun, Amel tidak akan memiliki hidup yang baik jika terus hidup bersamanya. Dia harus menyerahkan Amel kepada Melanie.Di apartemen, Felix dan Gio bersikeras datang setelah mengetahui Yara akan