Sekilas raut jijik muncul di wajah Melanie dan dia akhirnya pergi tanpa mengatakan apa-apa.Saat memasuki mobilnya, dia segera menelepon seseorang dan berkata, "Jangan sentuh mereka berdua untuk saat ini. Tunggu kabar dariku lagi."Sambil menutup telepon, dia melihat ke arah lantai empat, mengatupkan bibirnya dengan manis, lalu pergi.Yara dan Berlina sudah membicarakannya bahkan sebelum sampai di dalam rumah."Ibunya Amel agak tertutup. Dia nggak mau dilihat.""Ya." Yara juga bisa melihatnya. "Ya sudahlah, siapa pun dia, itu bukan urusan kita.""Benar." Meski Berlina penasaran, dia tidak terlalu terobsesi. Setelah berpikir sebentar, dia menambahkan, "Tapi jelas sekali dia nggak mau orang lain tahu tentang hubungannya dengan Amel. Aku yakin dia nggak akan tinggal bersama mereka.""Ya Tuhan, Amel ini kasihan sekali." Yara mengangguk setuju.Keesokan harinya adalah akhir pekan. Yara dan Berlina sama-sama libur.Berlina tidak berhenti memeriksa ponselnya sejak pagi, seperti menunggu-nungg
"Berlina, apa maksudmu?" Pria itu benar-benar marah. "Kamu merasa hebat bisa menghasilkan uang? Kenapa kamu nggak pulang saja, urus anakmu sementara aku keluar cari uang? Aku juga bisa menghasilkan lebih banyak darimu."Berlina menjawab dengan susah payah, "Bukan begitu maksudku. Aku benar-benar nggak mampu kalau harus 20 juta per hari. Orang tuamu sudah di sana, minta tolong mereka mengurus Naya. Biar kamu bisa keluar cari kerja juga.""Nggak tahu diri." Pria itu mengumpat lagi. "Menurutmu, orang tuaku itu pengasuh gratismu? Asal kamu tahu, mereka datang ke kota ini untuk menikmati hidup, bukan untuk menjadi pelayan kalian berdua."Telepon itu ditutup begitu saja.Berlina meletakkan ponselnya, tidak bisa menahannya lagi dan menangis.Dia sudah berusaha tetap tegar sangat lama. Namun, saat ini dia tumbang.Berlina sedang berada di dapur, sementara Yara dan Amel sedang berada di ruang tamu. Mereka berdua juga mendengar pembicaraan Berlina di telepon dan tahu bahwa dia sedang menangis.A
"Aku yakin Naya juga merindukanmu. Pulanglah, nggak akan terjadi apa-apa di sini." Yara merasa akan terjadi sesuatu pada Berlina jika ini terus berlanjut."Ayo pulang bersama." Dia membujuk sekali lagi."Aku ... aku pikirkan dulu." Berlina masih tampak ragu."Kak Berlina ..." Yara masih ingin membujuknya."Akan kupertimbangkan," sela Berlina. Dia menyeka air matanya. "Oke, aku nggak apa-apa. Sana lihat Amel sedang apa, aku siapkan makan malam dulu.""Oke, aku panggil Amel ke sini ya, kita masak bersama-sama." Yara tidak berkata apa-apa lagi. Berlina jelas menolak untuk pulang ke rumah.Kenapa? Dia tidak bisa memahaminya.Yara dapat melihat bahwa Berlina sangat mencintai dan merindukan Naya. Lalu mengapa dia enggan kembali ke rumah?Nando baru pulang setelah jam 10 malam. Saat menjemput Amel, dia membawakan beberapa makanan ringan untuk Yara dan Berlina."Nggak ada hujan, nggak ada angin." Berlina cukup terkejut. "Ini pertama kalinya dia membelikan kita sesuatu. Banyak sekali lagi. Apa
"Boleh?" Si kecil sangat gembira.Meski dia masih kecil, dia mengerti betul bahwa Yara sangat baik padanya. Dia sudah lama ingin memberi hadiah kepada Yara.Sayangnya, dia tidak punya apa-apa. Kini ada seseorang yang menyiapkan hadiah itu untuknya. Tentu saja dia sangat senang.Mata Melanie sebenarnya menyimpan penghinaan dan rasa jijik, tetapi wajahnya tetap tanpa cela. "Tentu saja. Amel 'kan anak baik."Dia memasukkan boneka beruang itu ke dalam tas kecil Amel. "Tapi Amel janji ya, ini rahasia kita. Kalau Bibi Rara tanya, bilang saja hadiahnya dari Amel sendiri. Oke?"Amel bertanya-tanya, "Kenapa?""Biar Bibi Rara lebih bahagia. Kalau hadiahnya dari Amel sendiri ;kan jadinya lebih tulus." Membujuk anak balita sungguh hal yang sangat mudah bagi Melanie.Amel segera menyetujuinya.Akhirnya, Melanie berpesan lagi pada Amel, "Ingat, kamu juga nggak boleh cerita ke Ayah soal ini. Oke?""Oke." Sebenarnya, meski Melanie tidak mengatakannya, Amel tidak berencana untuk memberi tahu ayahnya. K
Sekembalinya di apartemen, keduanya bertemu dengan Amel yang terkunci di dalam rumah.Yara mengambil kunci dan membukakan pintu, meminta Amel berkunjung ke atas. Lalu dia menyuruh Berlina untuk segera pergi bekerja."Nggak apa-apa. Aku minta cuti saja hari ini. Jaga kamu di rumah." Berlina merasa sangat bersalah dalam hati sejak menerima uang 100 juta dari Yara."Beneran nggak perlu. Masalahnya nggak serius." Yara menolak dan mendorong Berlina keluar. "Jangan khawatir, ada Amel di sini. Aku pasti telepon kalau butuh sesuatu."Dia tidak ingin menunda waktu Berlina mencari uang. Rasanya seperti dosa besar.Tak bisa melawan, Berlina hanya bisa bergegas berangkat ke kantor.Belum lama dia duduk di kursi, Candy memanggilnya untuk rapat.Memasuki ruang rapat, Berlina melihat Yudha ada di sana.Candy secara singkat mengatakan bahwa para desainer Grup Lastana melakukan kunjungan ke perusahaan untuk memfasilitasi proses desain pabrik baru itu.Candy ada rapat yang sangat penting pagi ini, jadi
Yudha terdiam sejenak. Dia tidak menyangka pintunya akan dibukakan oleh seorang anak kecil.Dia spontan mengira telah mengetuk pintu yang salah, tetapi masih bertanya, "Ada Yara Lubis di sini?""Siapa namamu?" tanya Amel serius.Yudha mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang ingin dilakukan si kecil."Aku harus masuk dulu dan tanya ke Bibi Rara, dia kenal kamu atau nggak, baru kamu boleh masuk." Amel memasang ekspresi serius di wajahnya."Oke." Yudha merasa senang karena ternyata memang tidak salah pintu. Setelah memikirkannya, dia berkata, "Katakan padanya, yang datang Kak Felix.""Oke." Sebelum menutup pintu, Amel mengingatkan Yudha lagi, "Paman Felix tunggu sebentar ya, aku akan segera kembali."Lalu anak itu berlari ke dalam rumah."Itu siapa?" Yara bertanya penasaran."Bibi Rara, katanya dia Kak Felix." Si kecil mengulangi apa yang baru saja dikatakan Yudha dengan sopan."Kak Felix?" Yara bangkit dengan penuh semangat dan hendak turun untuk membukakan pintu.Amel buru-buru meng
Dia bertanya dengan sengit, "Kalau yang datang Felix, apa kamu mau cepat-cepat mengusirnya juga?"Yara tidak mengerti apa yang pria itu inginkan dan terlalu malas untuk menjawab.Namun, Yudha tidak mau mengalah dan mengambil beberapa langkah ke tempat tidur Yara, menariknya dari tempat tidur. "Jawab pertanyaanku. Kalau yang datang Felix, apa kamu juga akan sekasar ini?""Nggak!" seru Yara gusar. Pria ini sudah gila ya?Dia tidak pernah meminta Yudha ke sini. Kenapa tiba-tiba Yudha ke sini lalu bertengkar dengannya? Pikirnya ini lucu?Yara menunjuk ke arah pintu dan menyuruhnya pergi. "Kamu benar, kamu nggak diterima di sini. Silakan pergi sekarang."Yudha menggertakkan gigi dan ingin lanjut menyerang, tetapi menyadari bahwa wajah Yara terlihat sangat pucat.Untuk sesaat, hatinya melunak.Dia bertanya dengan nada yang melembut, "Kamu kenapa? Apa ada yang salah dengan ... bayinya?""Bukan urusanmu!" Yara masih marah.Satu kalimat itu membuat hati Yudha tersayat-sayat.Benar, Yara mengand
Yara duduk di tempat tidur dengan pikiran linglung dan bingung.Berlina melihatnya seperti ini saat dia masuk. "Rara, kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat sekali. Apa perlu ke rumah sakit?"Yara menatap Berlina dengan mata berkaca-kaca. "Kak, apa anak-anakku ... nggak akan lahir?""Bagaimana mungkin? Rara, jangan berpikir yang nggak-nggak." Berlina menghiburnya dari samping. "Kita ke rumah sakit lagi saja ya?"Yara menggeleng. Dokter tadi sudah menjelaskan bahwa dia boleh istirahat di rumah.Setelah memikirkannya, dia tetap memutuskan untuk berbaring di tempat tidur dan menenangkan diri.Saat Yara berbaring, tiba-tiba dia melihat beruang di samping tempat tidur, beruang yang diberikan oleh Amel.Sejenak dia teringat akan beruang dalam mimpinya."Kak, aku boleh minta tolong pindahkan beruang itu ke jendela?" Entah kenapa Yara merasa takut."Oh, oke, beruangnya lucu sekali." Berlina memindahkan beruang itu dan memastikan bahwa Yara baik-baik saja sendirian sebelum dia keluar kamar.Di lanta
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid