"Dunia memang tak selebar daun kelor," cibir Melanie. "Dia nggak sadar kamu siapa, 'kan?"Nando mengangguk. "Rasanya nggak."Dia duduk di samping Melanie, "Kamu, Yudha, dan Yara. Ada apa dengan kalian bertiga?""Memangnya bisa terjadi apa?" Melanie menjawab singkat, "Dia perempuan nggak tahu malu, suami sepupu sendiri direbut. Perempuan jalang sialan!"Nando menggelengkan kepalanya. "Melanie, simpan saja kebohonganmu untuk orang lain.""Apa maksudmu?" Melanie memiliki firasat buruk. Mungkinkah Nando mengetahui sesuatu?Nando menyilangkan kakinya dengan tatapan bangga. "Kenapa kamu mendekatiku waktu itu? Bukankah karena kamu kalah, nggak bisa mendapatkan Yudha?"Pria itu mendecakkan lidah. "Kalau nggak salah ingat, orang yang dicintai Yudha pada awalnya adalah Yara."Melanie menggertakkan gigi dan tidak berkata apa-apa."Jadi, sejak awal, perempuan jalang sialan yang merebut suami orang ..." Nando membelai rambut Melanie. "Itu kamu.""Aku nggak mengerti apa yang kamu bicarakan." Melanie
Sekilas raut jijik muncul di wajah Melanie dan dia akhirnya pergi tanpa mengatakan apa-apa.Saat memasuki mobilnya, dia segera menelepon seseorang dan berkata, "Jangan sentuh mereka berdua untuk saat ini. Tunggu kabar dariku lagi."Sambil menutup telepon, dia melihat ke arah lantai empat, mengatupkan bibirnya dengan manis, lalu pergi.Yara dan Berlina sudah membicarakannya bahkan sebelum sampai di dalam rumah."Ibunya Amel agak tertutup. Dia nggak mau dilihat.""Ya." Yara juga bisa melihatnya. "Ya sudahlah, siapa pun dia, itu bukan urusan kita.""Benar." Meski Berlina penasaran, dia tidak terlalu terobsesi. Setelah berpikir sebentar, dia menambahkan, "Tapi jelas sekali dia nggak mau orang lain tahu tentang hubungannya dengan Amel. Aku yakin dia nggak akan tinggal bersama mereka.""Ya Tuhan, Amel ini kasihan sekali." Yara mengangguk setuju.Keesokan harinya adalah akhir pekan. Yara dan Berlina sama-sama libur.Berlina tidak berhenti memeriksa ponselnya sejak pagi, seperti menunggu-nungg
"Berlina, apa maksudmu?" Pria itu benar-benar marah. "Kamu merasa hebat bisa menghasilkan uang? Kenapa kamu nggak pulang saja, urus anakmu sementara aku keluar cari uang? Aku juga bisa menghasilkan lebih banyak darimu."Berlina menjawab dengan susah payah, "Bukan begitu maksudku. Aku benar-benar nggak mampu kalau harus 20 juta per hari. Orang tuamu sudah di sana, minta tolong mereka mengurus Naya. Biar kamu bisa keluar cari kerja juga.""Nggak tahu diri." Pria itu mengumpat lagi. "Menurutmu, orang tuaku itu pengasuh gratismu? Asal kamu tahu, mereka datang ke kota ini untuk menikmati hidup, bukan untuk menjadi pelayan kalian berdua."Telepon itu ditutup begitu saja.Berlina meletakkan ponselnya, tidak bisa menahannya lagi dan menangis.Dia sudah berusaha tetap tegar sangat lama. Namun, saat ini dia tumbang.Berlina sedang berada di dapur, sementara Yara dan Amel sedang berada di ruang tamu. Mereka berdua juga mendengar pembicaraan Berlina di telepon dan tahu bahwa dia sedang menangis.A
"Aku yakin Naya juga merindukanmu. Pulanglah, nggak akan terjadi apa-apa di sini." Yara merasa akan terjadi sesuatu pada Berlina jika ini terus berlanjut."Ayo pulang bersama." Dia membujuk sekali lagi."Aku ... aku pikirkan dulu." Berlina masih tampak ragu."Kak Berlina ..." Yara masih ingin membujuknya."Akan kupertimbangkan," sela Berlina. Dia menyeka air matanya. "Oke, aku nggak apa-apa. Sana lihat Amel sedang apa, aku siapkan makan malam dulu.""Oke, aku panggil Amel ke sini ya, kita masak bersama-sama." Yara tidak berkata apa-apa lagi. Berlina jelas menolak untuk pulang ke rumah.Kenapa? Dia tidak bisa memahaminya.Yara dapat melihat bahwa Berlina sangat mencintai dan merindukan Naya. Lalu mengapa dia enggan kembali ke rumah?Nando baru pulang setelah jam 10 malam. Saat menjemput Amel, dia membawakan beberapa makanan ringan untuk Yara dan Berlina."Nggak ada hujan, nggak ada angin." Berlina cukup terkejut. "Ini pertama kalinya dia membelikan kita sesuatu. Banyak sekali lagi. Apa
"Boleh?" Si kecil sangat gembira.Meski dia masih kecil, dia mengerti betul bahwa Yara sangat baik padanya. Dia sudah lama ingin memberi hadiah kepada Yara.Sayangnya, dia tidak punya apa-apa. Kini ada seseorang yang menyiapkan hadiah itu untuknya. Tentu saja dia sangat senang.Mata Melanie sebenarnya menyimpan penghinaan dan rasa jijik, tetapi wajahnya tetap tanpa cela. "Tentu saja. Amel 'kan anak baik."Dia memasukkan boneka beruang itu ke dalam tas kecil Amel. "Tapi Amel janji ya, ini rahasia kita. Kalau Bibi Rara tanya, bilang saja hadiahnya dari Amel sendiri. Oke?"Amel bertanya-tanya, "Kenapa?""Biar Bibi Rara lebih bahagia. Kalau hadiahnya dari Amel sendiri ;kan jadinya lebih tulus." Membujuk anak balita sungguh hal yang sangat mudah bagi Melanie.Amel segera menyetujuinya.Akhirnya, Melanie berpesan lagi pada Amel, "Ingat, kamu juga nggak boleh cerita ke Ayah soal ini. Oke?""Oke." Sebenarnya, meski Melanie tidak mengatakannya, Amel tidak berencana untuk memberi tahu ayahnya. K
Sekembalinya di apartemen, keduanya bertemu dengan Amel yang terkunci di dalam rumah.Yara mengambil kunci dan membukakan pintu, meminta Amel berkunjung ke atas. Lalu dia menyuruh Berlina untuk segera pergi bekerja."Nggak apa-apa. Aku minta cuti saja hari ini. Jaga kamu di rumah." Berlina merasa sangat bersalah dalam hati sejak menerima uang 100 juta dari Yara."Beneran nggak perlu. Masalahnya nggak serius." Yara menolak dan mendorong Berlina keluar. "Jangan khawatir, ada Amel di sini. Aku pasti telepon kalau butuh sesuatu."Dia tidak ingin menunda waktu Berlina mencari uang. Rasanya seperti dosa besar.Tak bisa melawan, Berlina hanya bisa bergegas berangkat ke kantor.Belum lama dia duduk di kursi, Candy memanggilnya untuk rapat.Memasuki ruang rapat, Berlina melihat Yudha ada di sana.Candy secara singkat mengatakan bahwa para desainer Grup Lastana melakukan kunjungan ke perusahaan untuk memfasilitasi proses desain pabrik baru itu.Candy ada rapat yang sangat penting pagi ini, jadi
Yudha terdiam sejenak. Dia tidak menyangka pintunya akan dibukakan oleh seorang anak kecil.Dia spontan mengira telah mengetuk pintu yang salah, tetapi masih bertanya, "Ada Yara Lubis di sini?""Siapa namamu?" tanya Amel serius.Yudha mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang ingin dilakukan si kecil."Aku harus masuk dulu dan tanya ke Bibi Rara, dia kenal kamu atau nggak, baru kamu boleh masuk." Amel memasang ekspresi serius di wajahnya."Oke." Yudha merasa senang karena ternyata memang tidak salah pintu. Setelah memikirkannya, dia berkata, "Katakan padanya, yang datang Kak Felix.""Oke." Sebelum menutup pintu, Amel mengingatkan Yudha lagi, "Paman Felix tunggu sebentar ya, aku akan segera kembali."Lalu anak itu berlari ke dalam rumah."Itu siapa?" Yara bertanya penasaran."Bibi Rara, katanya dia Kak Felix." Si kecil mengulangi apa yang baru saja dikatakan Yudha dengan sopan."Kak Felix?" Yara bangkit dengan penuh semangat dan hendak turun untuk membukakan pintu.Amel buru-buru meng
Dia bertanya dengan sengit, "Kalau yang datang Felix, apa kamu mau cepat-cepat mengusirnya juga?"Yara tidak mengerti apa yang pria itu inginkan dan terlalu malas untuk menjawab.Namun, Yudha tidak mau mengalah dan mengambil beberapa langkah ke tempat tidur Yara, menariknya dari tempat tidur. "Jawab pertanyaanku. Kalau yang datang Felix, apa kamu juga akan sekasar ini?""Nggak!" seru Yara gusar. Pria ini sudah gila ya?Dia tidak pernah meminta Yudha ke sini. Kenapa tiba-tiba Yudha ke sini lalu bertengkar dengannya? Pikirnya ini lucu?Yara menunjuk ke arah pintu dan menyuruhnya pergi. "Kamu benar, kamu nggak diterima di sini. Silakan pergi sekarang."Yudha menggertakkan gigi dan ingin lanjut menyerang, tetapi menyadari bahwa wajah Yara terlihat sangat pucat.Untuk sesaat, hatinya melunak.Dia bertanya dengan nada yang melembut, "Kamu kenapa? Apa ada yang salah dengan ... bayinya?""Bukan urusanmu!" Yara masih marah.Satu kalimat itu membuat hati Yudha tersayat-sayat.Benar, Yara mengand