“Ay, bangun. Mandi dulu.” Aku mendekatinya dan beberapa kali mendaratkan bibir di telinganya.
Saat ditinggal mandi, ternyata dia terlelap tidur. Aku sengaja membiarkannya untuk beberapa saat dan hanya melihat paras cantiknya yang sedang tertidur. Karena hari sudah semakin gelap, akhirnya aku membangunkannya.
“Dan, geli. Iya, aku bangun.”
Tangannya kembali menyingkirkan wajahku, namun aku tetap saja melakukannya.
“Hehehe. Dan, sudah dong. Aku geli,” ucapnya lagi, menolak perbuatanku.
“Bangun dong, Ay. Mandi sana. Aku mau kamu.”
Aku berhenti sesuai perintahnya. Kini wajah Faniza tepat di depanku. Jantungku sudah semakin berdebar. Napasku terasa panas. Tidak sabar rasanya ingin segara mencumbunya.
“Iya. Aku mau bangun dulu. Awas tanganmu, Dan.” Faniza mendorongku sampai terkapar di sebelahnya.
Faniza bangkit dan mengambil ikat rambut di atas nakas. Aku di belakangnya melihat penuh nafsu. Dia terlihat semakin menggoda saat sedang mengikat rambutnya.
“Ay, kamu cantik banget,” ucapku.
“Aku emang cantik. Kamu baru sadar, Dan?” Dia tersenyum dan menyelesaikan ikatan rambutnya.
“Aku mau, kamu jadi milikku, Ay. Hanya aku yang bisa menikmati segala yang kamu punya.”
Mendadak aku mengatakannya. Padahal aku tahu, Faniza pasti akan risih dengan ucapanku tadi. Dia paling tidak suka jika harus membicarakan tentang pekerjaan sampingannya. Dulu Faniza pernah berkata, jika ia terpaksa melakukannya karena suatu alasan tertentu dan dia membutuhkan uang lebih banyak. Mau tidak mau dia memilih pekerjaan itu. Entah apa alasannya. Jika aku tanya, selalu tidak mau menceritakannya.
“Dan, aku tau kamu cinta sama aku. Tapi tolong, jangan melarangku untuk meninggalkan pekerjaan itu. Aku harus melakukannya, Dan. Kamu nggak usah tau alasannya apa. Yang penting kita masih bisa bersama kayak gini. Kamu mau apa, aku akan memberikannya. Asal jangan melarang untuk meninggalkan pekerjaan sampinganku itu.”
Aku menarik napas dan mengembuskannya. Aku tahu, pasti jawabannya akan sama. Namun, aku sangat berharap dia berubah pikiran. Jika dia menerima perasaanku, aku akan menikahinya dan membawanya pulang ke rumah.
“Ay, apa kamu nggak cinta sama aku? Aku berharap kita bisa menikah dan membawamu pulang ke rumah orang tuaku. Aku akan mengenalkanmu kepada mereka sebagai pengantinku. Kamu nggak mau, Ay?”
Kuucapkan dengan kesungguhan hati. Harapanku tetap sama. Faniza mau menikah denganku dan hidup bahagia bersama untuk selamanya.
“Aku mau mandi dulu, Dan. Biar kita bisa melakukannya, tapi tolong, jangan bahas soal ini lagi. Sampai kapan pun mungkin aku tetap melakukan pekerjaan itu. Nggak mungkin keluargamu akan menerimaku dengan kondisiku kayak gini.” Dia mengambil handuk dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Hahh … Faniza. Padahal aku benar-benar serius dengan perasaan ini. Aku mau kamu menjadi istriku. Tapi malah kamu menolakku terus. Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku? Kenapa malah memilih pekerjaan kayak gitu.”
Aku hanya bergumam seraya menatap langit-langit. Di dalam kepala banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Semua tentang Faniza, kenapa aku bisa jatuh cinta dengan wanita sepertinya?
Kring, kring, kring ….
Ponselku berbunyi. Gegas mengambilnya di atas nakas. Siapa yang menelponku?
“Assalamu’alaikum, Zidan,” sapa seorang wanita dari ujung telepon.
“Iya Bu, wa’alaikumsalam,” jawabku.
Orang yang meneleponku adalah ibu. Beliau memang rutin memberikan kabar dan selalu mencoba memantau pergaulanku. Meski begitu, beliau tidak tahu jika anaknya ini sudah semakin bejad. Aku pintar menutupi.
“Kamu sehat ‘kan, Dan? Kapan pulang ke sini? Ibu sama ayah kangen lho, sama kamu.”
Seperti itulah ibu. Selalu mengkhawatirkanku setiap waktu. Selalu ditanya kapan akan pulang. Tentu ada banyak alasan yang akan kulontarkan untuk menolaknya. Aku betah di sini dengan segala kebebasannya. Di rumah mana boleh aku bergaul sembarangan. Ibu akan selalu memantau pergaulanku, itu sangat tidak menyenangkan bagiku.
“Iya Bu, aku sehat. Ibu sama ayah sehat juga ‘kan pastinya?”
“Alhamdulillah, Dan. Ibu sama ayah sehat semua. Kamu di situ baik-baik saja ‘kan? Jangan lupa shalat ya, Dan? Jangan main sama orang yang nggak jelas. Hati-hati bergaulnya, Dan. Di kota sangat rawan berbuat maksiat. Ibu nggak mau kamu ikut-ikutan.”
Kadang aku sangat bosan mendengar nasihat yang sama. Ibu selalu saja melontarkan tentang persoalan yang itu-itu saja. Jangan lupa shalatlah, jangan bergaul dengan orang yang salahlah, jangan bermaksiatlah dan masih banyak yang lainnya lagi. Itulah yang membuatku betah di sini. Aku bisa bebas sesuka hati. Jadi, aku memilih untuk tetap di sini saja. Entah akan pulang kapan, mungkin jika aku sudah merasa bosan.
“Iya Bu, aku tau, Bu. Ibu selalu menasihatiku kayak gitu, mana mungkin aku lupa. Ibu jangan khawatir. Aku di sini baik-baik saja. Maaf kalau aku belum bisa pulang, Bu. Pekerjaanku nggak bisa ditinggal begitu saja.”
Meski aku tidak suka dengan nasihat yang selalu ibu berikan, tetapi aku tidak pernah menolaknya dengan kata-kata yang kasar. Aku selalu menghormati beliau meski kini sikapku semakin berubah. Semakin bebas tidak pernah menuruti nasihat beliau. Cukup diam dan sembunyikan. Katakan iya saja, pasti beliau akan percaya.
“Alhamdulillah kalau seperti itu, Dan. Ibu senang kalau kamu masih menuruti nasihat yang ibu sampaikan. Nggak sia-sia, Ibu mendidik agama sejak kecil kepadamu, Dan. Ibu yakin, meski jauh dari Ibu dan tinggal di kota, kamu nggak akan pernah melakukan hal-hal yang melanggar agama. Ibu selalu mendoakanmu, Dan.”
Mendadak ada perasaan aneh yang muncul di dalam hati. Ibu selalu berpikir positif tentang segala kebohonganku. Sebenarnya aku tidak tega, tetapi aku nyaman dengan diriku saat ini. Aku bahagia dengan kebebasanku. Tidak tertekan seperti dulu. Apa pun tidak boleh dilakukan. Aku tidak mau jika harus merasakan hal yang sama untuk yang kedua kali.
“Iya Bu. Aku selalu menuruti apa yang Ibu perintahkan, jadi Ibu di situ baik-baik ya, sama ayah. Jangan memikirkan yang bukan-bukan tentang aku di sini. Apalagi Ibu selalu mendoakanku, pasti nggak akan terjadi apa-apa padaku, Bu.”
Ya, aku harus pintar berbohong. Agar beliau percaya dan tidak mencurigaiku. Setelah mendapatkan jawaban yang menurut beliau tepat, pasti beliau akan segera menutup teleponnya. Aku jarang mengakhiri telepon sebelum ibu yang meminta.
“Iya Dan, Ibu percaya sama kamu. Ibu bahagia punya anak laki-laki seperti Zidan yang bisa bertanggung jawab ….”
“Dan! Tolong ambilkan lingerie di lemari!” Mendadak suara Faniza melengking dari arah kamar mandi. Aku bingung, ibu pasti ikut mendengarnya.
“Dan, suara siapa itu, Dan? Itu suara perempuan ‘kan?”
Akhirnya ibu menanyakannya juga. Tentu beliau akan curiga, karena suara itu milik seorang wanita. Padahal aku mengaku tinggal di indekos yang isinya hanya laki-laki saja.
“Eh itu, Bu. Emm, itu—“
“Dan! Kok lama banget sih? Aku jadi keluar pakai handuk begini ‘kan?” Suara Faniza kembali terdengar melengking. Dia keluar dari kamar mandi karena aku tidak langsung mengambilkan barang yang diinginkannya.
Jari telunjuk langsung kuletakkan di bibir, agar Faniza tidak lagi mengeluarkan suaranya yang cukup nyaring.“Siapa? Ibumu?” tanya Faniza dengan suara berbisik. Aku mengangguk.“Dan, halo? Ada apa, Dan? Tadi siapa? Apa ada perempuan di kamarmu?”Aku menepuk keningku. Susah payah selama ini aku berbohong, apa hari ini akan terbongkar semuanya? Kebohonganku akan sia-sia?“Hehe, bukan, Bu. Itu suara temanku di kamar sebelah.” Entahlah, ibu akan percaya atau tidak.“Lho, bukannya kamu ngekos di kosan laki-laki? Kenapa ada suara perempuan? Tadi Ibu dengar dia memanggilmu, Dan. Apa Ibu sala
“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana.Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.
“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.“Mau ngapain ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”“B*cotmu!
Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua milikny
“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.
“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”
“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.
Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung