Share

Part 9

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-10-11 18:37:57

“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”

Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.

“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.

“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”

“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat  dulu.”

Aku kembali meletakkan kondom beserta jarum ke dalam laci nakas. Ada bercak darah saat genggaman tangan dibuka. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membasuhnya. Untung saja Faniza tidak melihat saat aku meletakkan benda-benda itu di dalam laci dan tanganku yang sedikit berdarah.

“Ngapain cuci tangan?” selidiknya. Aku sudah selesai membuang bercak darah itu.

“Apa nggak boleh?” Aku menghampiri dan mengecupnya. Dia sedang memakai baju.

“Ya boleh sih.”

“Semua sudah dipersiapkan, Ay.”

“Kondom tadi? Sudah dibuka ‘kan? Apa masih steril?”

“Masih dong. Kan belum dipakai.” Dia hanya mengangguk.

*** 

“Ya, inilah saatnya. Semoga yang aku harapkan akan terwujud. Faniza hamil dan kami menikah.” Aku bergumam saat mengambil benda lentur itu di dalam laci nakas.

“Sudah dipasang?” tanya Faniza saat sudah di dekatnya.

“Sudah. Ayo kita bertempur, Sayang. Hehehe.”

Kami melakukannya begitu saja. Tanpa ada rasa takut akan dosa. Semua mengalir. Hari-hari kulewati hanya sebatas ini saja. Kerja, istirahat dan bermain dengan wanita. Kadang juga pergi ke klub malam dan bersenang-senang di sana. Minuman beralkohol sudah menjadi teman hidupku saat ini. Didikan orang tuaku sudah tidak ada bekasnya lagi. Biarlah, ini pilihanku dan hatiku sangat nyaman hidup seperti ini.

Malam ini, kami melakukannya beberapa kali. Aku sengaja tidak mengganti alat kotrasepsi. Hanya dibilas saja dan memakainya lagi. Keinginanku sangat menggebu. Tentu saja kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan.

“Sudah, Dan. Aku capek.” Dia  menggeliat ingin lepas dari cengkramanku.

“Iya Ay, sebentar lagi.”

Tidak beberapa lama, aku melepaskannya. Rasanya sangat lelah, tetapi juga sangat bahagia. Semoga rencanaku akan berjalan mulus sesuai keinginan. Masalah yang akan terjadi, biarlah dipikir belakangan.

*** 

“Gimana, Dan? Kamu jadi melakukan rencana konyolmu itu?”

Nara bertanya kepadaku. Kami akan masuk ke kantor. Kebetulan posisi kami memang sama. Beda dengan Faniza, dia menjabat sebagai sekretaris. Mungkin saja dia menjadi simpanan para bos besar yang ada di sini juga. Sudah banyak rumor yang mengatakan hal semacam itu. Padahal gaji seorang sekretaris sudah cukup besar, kenapa Faniza masih kerja sampingan seperti itu? Sebenarnya apa yang membuatnya membutuhkan banyak uang?

“Sudah dong. Semoga lancar. Doakan ya? Hahaha.” Senyumku mengembang. Aku harus yakin rencana akan berhasil.

“Ya deh, iya. Nanti kalau Faniza hamil, kamu langsung pulang kampung, Dan?”

“Kayaknya sih gitu, Ra. Aku mau mengenalkan Faniza kepada orang tuaku. Meski harus dengan cara kayak gitu. Semoga saja masalahnya nggak didramatisir. Aku mau hidupku tenang dan bahagia bersama Faniza. Kalau memang orang tuaku tetap nggak mau menerima kami, ya sudah, aku pergi berdua sama Faniza.”

“Ck! Matamu sudah dibutakan oleh cinta, Dan. Semua nggak akan jadi halangan kalau sudah cinta buta kayak gitu. Orang tua saja kamu lawan. Kamu yakin mau melakukannya demi seorang wanita?”

“Semoga saja sih mereka menerima dan nggak mengusir kami. Itu 'kan seumpama saja. Aku rela diusir asal hidup bersama dengan Faniza. Dia segalanya bagiku, Ra. Aku bahagia saat bersamanya.”

“Kalau sudah gitu susah sih mau ngomong apa juga. Semoga rencanamu berhasil sesuai kemauanmu, Dan.”

Percakapan selesai, kami sudah sampai di dalam kantor dan pergi ke tempat masing-masing. Dalam satu ruangan ada beberapa bilik agar tidak mengganngu pekerjaan satu sama lain.

Hari ini aku bekerja dengan semangat penuh. Bayangan tentang pernikahan menari-nari di dalam kepala. Tentu saja menikah dengan Faniza. Dalam anganku, kami hidup bahagia sampai menua bersama. Ada malaikat kecil juga yang akan hadir mewarnai hari-hari kami. Indah sekali bayanganku sampai bibir ini tidak berhenti untuk terus tersenyum.

“Faniza, sebentar lagi kamu akan menjadi milikku seorang. Maafkan aku, melakukannya dengan cara kayak gini. Kalau bukan dengan cara itu, kamu pasti nggak akan mau menikah denganku.”

Aku bergumam seolah berbicara dengan Faniza. Tanganku menopang dagu. Di dalam bayangan mataku terlukis wajah Faniza yang cantik. Dia tersenyum manis padaku.

*** 

Segala tugas kantor hari ini selesai dengan sangat memuaskan. Ini berkat mood-ku yang sedang membaik. Berkat Faniza yang sebentar lagi akan mengandung buah hatiku. Belum pasti, tetapi hatiku sudah sangat yakin. Semua itu menjadi mood booster-ku yang sangat luar biasa.

“Dan, aku nggak bisa pulang bareng kamu. Bos booking aku hari ini.”

Mendengar ia berbicara, seperti ada hati yang sedang patah. Sakit tak berdarah. Melarangnya pun tidak akan mungkin. Aku mengangguk dengan berat hati.

“Nggak usah sedih gitu. Biasanya juga kayak gini ‘kan? Aku masih butuh banyak uang, Dan. Kalau sudah selesai, aku akan kembali kepelukanmu.”

Ucapannya mengisyaratkan jika dirinya memang cinta dan membutuhkanku. Tetapi, kenapa dia sangat berat melepaskan pekerjaan itu? Butuh uang banyak? Aku akan mengusahakannya. Kenapa malah tidak mau? Aku hanya bisa menghela napas untuk melegakan sedikit rasa sesak di dalam dada.

“Iya, kamu hati-hati.” Aku bicara dengan nada yang ketus.

“Iya, aku pasti hati-hati. Jangan cemberut dong. Akhir-akhir ini kamu jadi aneh banget sih. Ya sudah, aku pergi dulu ya?”

Dia mengecup pipi dan meninggalkanku sendiri. Kami masih di dalam ruangan, jadi ia berani melakukannya padaku.

“Baru mau dijawab, sudah pergi duluan. Gimana dia tau alasanku cemberut begini. Mendingan nggak usah tanya sekalian daripada membuat perasaanku bertambah sebal. Cinta memang butuh pengorbanan. Hah!” Aku bergumam seraya membereskan meja kantor sebelum pulang ke indekos.

“Heh, Bro! Itu wajah kenapa? Kok lusuh amat kayak cucian kotor!”

Nara datang menghampiriku. Dari ucapannya, sepertinya dia tidak melihat dan mendengar percakapanku dengan Faniza, atau entah dia hanya berpura-pura saja agar aku mau bercerita langsung padanya.

“Hah! Biasalah Faniza. Dia di booking sama pak bos. Sebel nggak sih? Pastilah. Hatiku berkobar hebat. Huh! Dasar! Om-om gatal!”

Bertanya sendiri, dijawab sendiri pula. Karena cinta, aku jadi aneh seperti ini. Tadi bahagia dan tersenyum sendiri. Sekarang justru kebalikannya, rasanya cemburu dan ingin sekali marah.

Seandainya bisa, aku sudah melabrak pak bos meski mempertaruhkan pekerjaanku. Itu tidak masalah yang penting Faniza tidak dijamah olehnya. Ya, itu hanya imajinasiku saja.

“Ya udah sih, memang begitu ‘kan pekerjaannya? Kalau nanti rencanamu berhasil, Faniza pasti akan menjadi milikmu seorang. Sabar saja dulu. Nggak usah emosi begitu. Capek sendirilah. Aku saja yang melihatmu begitu, jadi males dekat-dekat denganmu. Ayo pulang! Nggak usah marah-marah begitu!”

Nara merangkul leherku dan menariknya pergi dari ruangan ini. Dasar memang, baru juga beres, main tarik-tarik saja.

“Tunggu dong! Jangan ditarik! Sakit!”

“Hahaha. Jangan berisik! Cepat pulang! Biar nggak ditekuk terus tuh muka. Hahaha.”

Tanpa mempedulikan ucapanku, dia tetap menarik leherku seenak hatinya. Ya, mau bagaimanapun dia tetap temanku.

“Daripada bosen, aku mau main ke klub malam saja. Kamu ikut nggak, Ra? Aku mau minum sama main cewek di sana.” Nara sudah melepaskan rangkulannya dan kami sudah berada di tempat parkir.

Related chapters

  • Cinta yang Salah   Part 10

    “Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.

    Last Updated : 2021-10-11
  • Cinta yang Salah   Part 11

    Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele

    Last Updated : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 12

    “Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung.Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan.“Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap.

    Last Updated : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 13

    “Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ya, selamat. Kalian akan segera menjadi orang tua. Mbak Faniza sedang mengandung seorang anak. Usia kandungannya diperkirakan memasuki umur delapan minggu. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk kalian.”Perkataan yang dilontarkan oleh seorang dokter kandungan tersebut membuatku sangat bahagia. Tanpa sadar, bibirku mengembang. Namun, saat melihat ke arah Faniza, ia terlihat sangat terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang terukir di bibirnya. Perlahan senyumku ikut memudar.“Oh iya, Bu. Terima kasih atas informasi yang sangat membahagiakan ini. Kami pamit untuk segera pulang ke rumah.”Karena Faniza hanya bergeming tanpa ada tanggapan sedikit pun, akhirnya aku memutuskan untuk segera me

    Last Updated : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 14

    “Ay, ceritakan semuanya kepadaku. Aku nggak mau kalau kamu memendamnya sendirian. Ada aku yang selalu mencintaimu. Aku yang selalu ada untukmu, Ay. Jangan sembunyikan semua beban di pundakmu. Ceritakan semuanya padaku, Ay. Tentang kehamilanmu, aku minta maaf karena telah melakukannya dengan cara yang curang. Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu secepatnya.”Kedua tangannya kugenggam erat. Dia sudah mulai tenang dan tidak lagi memberontak. Matanya terlihat sembap. Sejak tadi air matanya tidak mau berhenti.“Iya, Dan. Dari dulu sebenarnya aku ingin bercerita sama kamu. Tapi, aku berpikir kamu itu terlalu baik padaku. Aku nggak mau merepotkanmu terus, Dan. Nanti kalau kamu tau masalahku, pasti kamu nggak ragu untuk membantuku. Aku nggak enak, Dan. Lebih baik kusembunyikan dan mencari solusi sendiri saja

    Last Updated : 2021-10-21
  • Cinta yang Salah   Part 15

    “Ay, apa kamar ibu mertua masih jauh?” tanyaku.Aku berjalan menggandeng tangan Faniza dan mengikuti langkahnya yang membimbingku pergi ke ruangan tempat ibunya dirawat. Aku rasa sejak masuk ke rumah sakit jiwa ini, kami berjalan cukup jauh ke tempat tersebut.Beberapa bangsal kami lalui. Namun, langkah Faniza belum juga terhenti.“Kok aku aneh ya, mendengar panggilan itu.”Bukannya menjawab pertanyaanku, Faniza justru membahas tentang panggilan baruku untuk ibunya. Dia tetap berjalan menyusuri bangsal tanpa melihat ke arahku. Namun, aku melihat bibirnya mengembang.“Lho, iya ‘kan? Ibumu sebentar lagi akan jadi mertuaku? Nggak ada yang aneh dong, Ay?&

    Last Updated : 2021-10-22
  • Cinta yang Salah   Part 16

    “Wah, Ay. Gambarnya bagus banget. Hmmm, tampan banget ini. Iya sih, kayak aku. Hehehe.”Aku menemukan gambar seorang laki-laki pada lembaran ketiga. Tidak kusangka ternyata ibunya Faniza pandai menggambar. Rasanya familiar saat melihat goresan pensil di atas kertas itu. Ya, seperti melihat diriku sendiri. Atau malah lebih mirip ke wajah ayahku. Kata banyak orang, aku memang sangat mirip dengannya. Orang tampan sepertiku dan ayahku mungkin banyak ditemukan, jadi wajar jika ibunya Faniza berimajinasi seperti ini.“Ngomong aja kalau mau puji diri sendiri, Dan,” sanggah Faniza sambil tersenyum.“Aku selalu ingat dengan wajahmu, Mas. Kamu itu sangat tampan. Aku nggak bisa melupakanmu sampai kapan pun, Mas. Dan sekarang, kamu mau men

    Last Updated : 2021-10-22
  • Cinta yang Salah   Part 17

    “Bu, kami pulang dulu ya? Ibu harus sehat terus di sini ya?”Faniza sudah kembali ke ruangan ini bersama perawat yang sedang bertugas. Aku tak mengira, ternyata calon ibu mertua mau melepaskan pelukannya begitu saja. Dia tidak histeris seperti awal tadi. Apa dia mendengarkan semua yang aku ucapkan? Padahal aku kira dia tidak bisa mencerna ucapanku dengan baik. Atau mungkin karena dia mengira aku adalah suaminya, jadi bisa dengan mudah memahami perkataanku. Mungkin saja begitu.“Kamu sama ayahmu ‘kan? Kamu harus bahagia sama dia. Mas Lutfan orangnya baik banget.”“Iya Ibu. Aku akan bersamanya. Ibu di sini harus bahagia ya? Biar bisa sembuh dan kembali pulang bersamaku.”

    Last Updated : 2021-10-25

Latest chapter

  • Cinta yang Salah   Part 40

    “Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand

  • Cinta yang Salah   Part 39

    “Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj

  • Cinta yang Salah   Part 38

    Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang

  • Cinta yang Salah   Part 37

    “Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa

  • Cinta yang Salah   Part 36

    Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya

  • Cinta yang Salah   Part 35

    “Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama

  • Cinta yang Salah   Part 34

    Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”

  • Cinta yang Salah   Part 33

    “Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita

  • Cinta yang Salah   Part 32

    Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status