Share

Part 10

Penulis: Khanna
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-11 18:39:33

“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”

“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”

“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.

“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”

Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.

“Coba telepon Henri saja deh. Awas saja kalau dia menolak ajakanku. Aku seret agar dia mau!” Aku menggambil ponsel dan mencari namanya untuk meneleponnya.

“Hen! Malam ini ke klub malam yuk.” Tanpa panjang lebar, aku langsung mengutarakan maksudku.

“Ngapain telepon aku lagi, hah? Sudah menodai pacarku, sekarang tanpa dosa kamu mengajakku pergi ke klub malam? Apa kamu nggak malu, hah?”

‘Songong banget nih orang, minta dilibas kali ya!’ Aku hanya membatin saja di dalam hati. Sebisa mungkin menahan emosi untuk membujuknya terlebih dulu. Jika dia tetap saja tidak mau pergi bersamaku, aku tetap akan datang ke indekosnya dan memaksa untuk menemaniku ikut ke klub malam.

“Iya, iya … aku minta maaf. Aku ‘kan sudah ngomong kalau pacarmu itu yang datang sendiri ke kosanku.”

“Kenapa kamu layani dia, hah? Kamu tau dia pacarku ‘kan?”

“Aku nggak bisa melihat wanita bersedih, Hen. Ya sudah sih, dia ‘kan nggak kenapa-kenapa. Sudahlah lupakan saja. Kita cari yang lebih hot di klub malam nanti. Mau ya?”

“Laki-laki br*ngs*k! Kamu mau mempermainkan pacarku, hah?”

Henri masih saja memancing emosi padahal aku sudah mencoba untuk sangat bersabar meladeni ucapannya.

“Halah … wanita lain masih banyak, Hen. Kalau sudah bobrok ya bobrok aja. Kamu tinggal cari yang masih gadis apa susahnya? Sudahlah jangan dibahas lagi. Ayo kita bersenang-senang.”

“Sialan emang kamu, Dan. Bisa-bisanya ngomong segampang itu. Dia pacarku, Dan. Br*ngs*k!”

“Sekarang aku tanya, kamu mau pergi ke klub malam atau nggak? Kalau masih nggak mau, aku akan datang ke kosanmu dan menyeretmu agar mau ikut denganku. Mau yang mana? Datang sendiri dengan senang hati atau aku harus menyeretmu! Aku sudah terlalu sabar menanggapi ucapanmu, Hen. Cewek banyak! Dan aku nggak pernah menggoda pacarmu. Dia yang datang sendiri kepadaku. Paham! Awas saja kalau masih menolak, kamu bakalan habis, Hen!”

Ya, akhirnya aku menggunakan jurus terakhir. Memaksanya untuk mau menuruti apa kataku. Jika tidak, siap-siap saja akan babak belur.

“Br*ngs*k! Jemput aku di kosan. Aku nggak bawa motor. Aku bonceng kamu saja.”

Akhirnya, mulutnya diam juga. Dia mau ikut denganku asalkan aku menjemputnya. Baiklah. Aku sudah punya teman untuk bersenang-senang.

“Nah, gitu ‘kan enak. Jangan bahas Amel lagi. Aku muak. Gara-gara dia kita harus berantem kayak anak kecil. Iya, aku janji nggak bakalan berhubungan sama pacarmu lagi. Pegang saja janjiku itu, Hen.”

“Iya, Dan. Itu lebih baik.”

“Ya sudah, aku otw ke kosanmu.”

Aku mematikan telepon dan bergegas pergi menjemputnya. Sebelum pergi, aku harus berpenampilan menarik. Aku mengenakan kaos putih dan jaket berbahan kulit warna hitam, serta celana jeans berwarna hitam juga. Para wanita tidak akan berkedip saat melihatku yang sangat tampan seperti ini.

“Sebenarnya aku ingin ketampanan ini hanya untuk Faniza saja. Tapi berhubung dia menyuruhku untuk bersenang-senang, ya sudah, wanita lain boleh menikmati juga.”

Di depan cermin aku bergumam seraya memuji diri sendiri. Wajah dan segala yang aku punya adalah kesempurnaan yang Tuhan anugerahkan kepadaku.

*** 

Tin! Tin!

Aku mengelakson beberapa kali di depan indekosnya Henri. Aku malas turun dari motor dan menjemputnya seperti bayi. Biar saja berisik, enak saja aku harus menjemputnya sampai di depan pintu. Memangnya dia putri kerajaan?

“Woy! Berisik!” Henri keluar kamar dengan berteriak memprotes kelakuanku.

“Mangkanya, buru!” Aku menjawab sama lantangnya.

“Iya, ini mau ke situ. Nggak usah diklakson lagi!”

Aku menuruti ucapannya. Sekarang aku diam dan melihat Henri memakai sepatu. Sebenarnya dia tidak terlalu jelek, hanya kurang tinggi saja dan badannya tidak berisi. Apalagi jika berjalan denganku, dia semakin terlihat kurang menarik.

“Sudah, Hen! Jangan lama-lama. Nggak bakal ada yang berubah sama penampilanmu, Hen. Pasti gitu-gitu aja. Mau pakai sepatu atau pakai sandal juga. Hahaha.”

“Br*ngs*k!” ketusnya. Aku mau berbicara apa saja, dia tetap tidak akan berani untuk melawanku.

Tawaku pecah melihat wajah suramnya. Sepertinya dia ingin sekali memberi pelajaran padaku, tetapi nyalinya terlalu ciut untuk beradu otot denganku. Ya, aku yang berpawakan tinggi besar membuatnya mundur sebelum berperang.

Henri menghampiriku dengan sangat terpaksa. Pacarnya sudah kunikmati, sekarang dia harus mau menemaniku pergi ke klub malam. Di dalam hatinya tentu sangat keberatan. Namun, apalah daya, nyalinya seperti kerupuk terkena air saat sudah bersamaku.

“Sudah siap, Hen? Ayo kita berangkat.”

“Ya!” Jawabannya masih saja ketus. Biarkan saja, yang penting sekarang ada teman untuk bersenang-senang.

Motor melaju cukup kencang. Bukan hanya aku saja yang terlihat keren, motor pun tidak kalah kerennya denganku. Jadi, semua penampilanku sangat mendukung. Motor gede dan wajahku yang tampan, membuat para wanita tidak berdaya saat melihat pesonaku.

*** 

“Hay, Dan,” sapa seorang wanita.

Aku sudah berada di klub malam. Saat ini aku sedang duduk di bar menunggu minuman diracik. Sedangkan Henri sudah tidak terlihat lagi. Bukannya duduk denganku di sini, justru dia sudah menghilang entah ke mana. Ya sudahlah, yang penting ada teman pergi ke tempat ini.

“Oh, hay.” Aku menjawab sapaannya. Jujur saja, aku lupa dengan namanya.

Wanita itu tersenyum dan perlahan mendekatiku dengan gaya yang menggoda. Tubuhnya berbalut dengan mini dress berwarna merah maroon yang melekat sangat ketat memperlihatkan lekukan penuh sensasi. Bagian dada pun sengaja diperlihatkan keindahannya. Wajar sih, namanya juga di klub malam. Pakaian pasti bebas seperti orang yang ada di dalam tempat ini. Ingin bebas tidak terikat dengan peraturan mana pun, apalagi tentang agama. Aku yakin, mereka melupakannya.

“Dan, apa boleh malam ini aku bersamamu?”

Dia sudah berada di sampingku dan membelai rambutku dengan mesra. Apa kataku. Mulut ini tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang rayuan, mereka sendiri yang tiba-tiba datang menawarkan diri. Aku ini bagaikan berlian yang sangat berkilau dan banyak diinginkan oleh wanita. Tetapi, Faniza tetap saja menolak permintaanku untuk menikahinya. Sebenarnya dia yang rugi, namun hatiku sudah terpatri untuknya. Hah … rumit sekali.

“Ya? Apa?” Aku berpura-pura tidak mendengar ucapannya. Tentu dengan bibir yang tersenyum agar dia semakin meleleh oleh ketampananku.

“Aku menginginkan belaianmu, Dan. Apa boleh aku menemanimu malam ini?” bisiknya penuh erotis. Dia sengaja mendekatkan tubuhnya ke badanku.

“Oh iya, dengan senang hati, Sayang.” Tanganku merangkul pinggangnya dan bergegas bangkit dari tempat duduk.

“Terima kasih,  Dan. Kamu selalu menuruti keinginanku.” Sikapnya semakin agresif. Apa aku semenarik itu sampai-sampai dia bertingkah seperti ini padahal aku belum beraksi.

“Iya, nggak masalah. Asal kamu bahagia, Sayang.” Barulah, mulut ini melancarkan rayuan agar libidonya semakin terpancing. “Minumannya buat nanti saja, Bro. Aku mau bersenang-senang dulu!” Aku berbicara pada bartender saat dia menyajikan pesananku.

Aku dan wanita itu pergi untuk memesan kamar. Di sana kami akan bersenang-senang melepas rasa gundahku karena ditinggal oleh Faniza  yang sedang melakukan pekerjaan sampingannya.

Bab terkait

  • Cinta yang Salah   Part 11

    Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 12

    “Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung.Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan.“Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 13

    “Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ya, selamat. Kalian akan segera menjadi orang tua. Mbak Faniza sedang mengandung seorang anak. Usia kandungannya diperkirakan memasuki umur delapan minggu. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk kalian.”Perkataan yang dilontarkan oleh seorang dokter kandungan tersebut membuatku sangat bahagia. Tanpa sadar, bibirku mengembang. Namun, saat melihat ke arah Faniza, ia terlihat sangat terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang terukir di bibirnya. Perlahan senyumku ikut memudar.“Oh iya, Bu. Terima kasih atas informasi yang sangat membahagiakan ini. Kami pamit untuk segera pulang ke rumah.”Karena Faniza hanya bergeming tanpa ada tanggapan sedikit pun, akhirnya aku memutuskan untuk segera me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 14

    “Ay, ceritakan semuanya kepadaku. Aku nggak mau kalau kamu memendamnya sendirian. Ada aku yang selalu mencintaimu. Aku yang selalu ada untukmu, Ay. Jangan sembunyikan semua beban di pundakmu. Ceritakan semuanya padaku, Ay. Tentang kehamilanmu, aku minta maaf karena telah melakukannya dengan cara yang curang. Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu secepatnya.”Kedua tangannya kugenggam erat. Dia sudah mulai tenang dan tidak lagi memberontak. Matanya terlihat sembap. Sejak tadi air matanya tidak mau berhenti.“Iya, Dan. Dari dulu sebenarnya aku ingin bercerita sama kamu. Tapi, aku berpikir kamu itu terlalu baik padaku. Aku nggak mau merepotkanmu terus, Dan. Nanti kalau kamu tau masalahku, pasti kamu nggak ragu untuk membantuku. Aku nggak enak, Dan. Lebih baik kusembunyikan dan mencari solusi sendiri saja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Cinta yang Salah   Part 15

    “Ay, apa kamar ibu mertua masih jauh?” tanyaku.Aku berjalan menggandeng tangan Faniza dan mengikuti langkahnya yang membimbingku pergi ke ruangan tempat ibunya dirawat. Aku rasa sejak masuk ke rumah sakit jiwa ini, kami berjalan cukup jauh ke tempat tersebut.Beberapa bangsal kami lalui. Namun, langkah Faniza belum juga terhenti.“Kok aku aneh ya, mendengar panggilan itu.”Bukannya menjawab pertanyaanku, Faniza justru membahas tentang panggilan baruku untuk ibunya. Dia tetap berjalan menyusuri bangsal tanpa melihat ke arahku. Namun, aku melihat bibirnya mengembang.“Lho, iya ‘kan? Ibumu sebentar lagi akan jadi mertuaku? Nggak ada yang aneh dong, Ay?&

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • Cinta yang Salah   Part 16

    “Wah, Ay. Gambarnya bagus banget. Hmmm, tampan banget ini. Iya sih, kayak aku. Hehehe.”Aku menemukan gambar seorang laki-laki pada lembaran ketiga. Tidak kusangka ternyata ibunya Faniza pandai menggambar. Rasanya familiar saat melihat goresan pensil di atas kertas itu. Ya, seperti melihat diriku sendiri. Atau malah lebih mirip ke wajah ayahku. Kata banyak orang, aku memang sangat mirip dengannya. Orang tampan sepertiku dan ayahku mungkin banyak ditemukan, jadi wajar jika ibunya Faniza berimajinasi seperti ini.“Ngomong aja kalau mau puji diri sendiri, Dan,” sanggah Faniza sambil tersenyum.“Aku selalu ingat dengan wajahmu, Mas. Kamu itu sangat tampan. Aku nggak bisa melupakanmu sampai kapan pun, Mas. Dan sekarang, kamu mau men

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • Cinta yang Salah   Part 17

    “Bu, kami pulang dulu ya? Ibu harus sehat terus di sini ya?”Faniza sudah kembali ke ruangan ini bersama perawat yang sedang bertugas. Aku tak mengira, ternyata calon ibu mertua mau melepaskan pelukannya begitu saja. Dia tidak histeris seperti awal tadi. Apa dia mendengarkan semua yang aku ucapkan? Padahal aku kira dia tidak bisa mencerna ucapanku dengan baik. Atau mungkin karena dia mengira aku adalah suaminya, jadi bisa dengan mudah memahami perkataanku. Mungkin saja begitu.“Kamu sama ayahmu ‘kan? Kamu harus bahagia sama dia. Mas Lutfan orangnya baik banget.”“Iya Ibu. Aku akan bersamanya. Ibu di sini harus bahagia ya? Biar bisa sembuh dan kembali pulang bersamaku.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-25
  • Cinta yang Salah   Part 18

    “Ibuku, Ay. Kebetulan banget. Sekalian bisa ngomong kalau besok kita mau pulang.”“Dear, apa kamu yakin, ibumu dan semua keluargamu mau menerimaku?”Jemariku yang akan mengusap layar ponsel menjadi terhenti saat mendengar ucapannya itu. Padahal aku kira permasalahan itu sudah tidak mengganggu pikirannya. Aku akan bertanggung jawab dengan semua yang akan terjadi nanti.“Ay, kamu nggak usah mengkhawatirkan tentang hal itu. Biar aku yang nanti akan mengurusnya. Sebentar ya, aku jawab telepon ibu dulu.”Faniza hanya menggangguk. Dari guratan di wajahnya aku menangkap ada perasaan khawatir yang tengah menghantuinya. Aku sudah sangat berusaha untuk meyakinkannya

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-25

Bab terbaru

  • Cinta yang Salah   Part 40

    “Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand

  • Cinta yang Salah   Part 39

    “Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj

  • Cinta yang Salah   Part 38

    Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang

  • Cinta yang Salah   Part 37

    “Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa

  • Cinta yang Salah   Part 36

    Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya

  • Cinta yang Salah   Part 35

    “Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama

  • Cinta yang Salah   Part 34

    Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”

  • Cinta yang Salah   Part 33

    “Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita

  • Cinta yang Salah   Part 32

    Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status