“Eh tuh, sudah ada Faniza. Hmm … sebenarnya kalian pacaran atau gimana sih, Dan? Nggak jelas banget. Coba dong ditembak kalau kamu suka sama dia. Jadi laki jangan cemen dong.”
Nara menunjuk seorang wanita yang tengah duduk menantiku di motor. Aku dan Nara sudah hampir sampai di tempat parkir.
“Tanpa pacaran,aku dan dia sudah sering melakukannya kok. Hahaha. Sana pergi, jangan mengganggu waktuku dengannya. Kami akan bersenang-senang.” Aku mengusir Nara, itu sudah biasa kulontarkan sebagai candaan.
“Ya, ya, ya … hidupmu terlalu sempurna, Dan. Sialan! Hahaha. Kalau ada apa-apa, kamu harus bertanggung jawab, Dan.”
Dia mengatakannya sambil pergi ke arah lain. Memang motornya terparkir di tempat yang berbeda dari motorku. Aku hanya tertawa tanpa menjawab ucapannya.
“Hey, Ay. Sudah lama ya? Maaf ya?” sapaku. Semenjak dekat dengannya, aku jarang memanggil namanya. Panggilan kesayanganku kepadanya adalah ayang atau semacamnya.
Aku ingin segera mengecupnya, tetapi kutahan karena banyak orang yang melihat. Di negara ini tidak sopan jika melakukan hal semacam itu di tempat umum. Memang tidak pantas dilakukan, apalagi hubungan kami belum sah. Namun, pada kenyataannya kami sudah sering melakukan hubungan layaknya suami-istri saat sedang berdua saja.
“Nggak juga sih.”
Wanita berparas cantik itu menjawab dengan santai. Menurutku ia tidak seperti wanita pada umumnya. Ia mandiri dan cenderung cuek dengan keadaan sekitar. Tentang hubungan kami pun, sepertinya tidak terlalu dipikirkan olehnya. Ia hanya memikirkan kenyamanannya saja, bahkan mungkin aku yang terlalu bucin padanya.
“Yuk, pulang. Mau pulang ke kamarku ‘kan? Atau kuantar ke kosanmu saja?” Tanganku mulai iseng memegang pahanya.
“Ke kamarmu saja, kalau nggak ada cewek yang datang sih.”
“Selama ada kamu di sana, kamarku hanya untukmu seorang. Hatiku juga. Hehehe.”
“Ya sudah, ayo pulang. Aku pengin tidur.”
“Oke Sayangku.”
Di saat bibirku mengutarakan isi hati, ia selalu cuek dan seperti tidak peduli. Meski begitu, sudah kuanggap hal yang biasa. Aku yakin di dalam hatinya terselip namaku. Ada saatnya nanti kami akan benar-benar menyatu dalam sebuah hubungan. Aku akan tetap setia menunggu sampai saat itu terjadi.
“Ay, kemarin kamu ke mana saja?” Di mana pun aku yang sering sekali mengawali pembicaraan dengannya.
“Ya … biasalah, Dan. Sama om-om. Hidup di sini mengandalkan gaji dari kantor menurutku masih kurang. Banyak yang harus kupikirkan. Kamu sih enak, duit hanya untuk bersenang-senang saja.”
Motorku sudah melaju kencang di jalan raya. Tangannya mendekap erat di pinggangku. Meski sudah biasa, tetap saja membuat jantungku berdebar tak menentu.
“Apa kamu nggak bisa berhenti dari pekerjaan itu, Ay?”
Setiap membahas pekerjaannya, perasaanku seperti ada yang menyayat. Padahal dari dulu aku sudah mengetahuinya. Entahlah, tetap saja ada yang membara di dalam dada. Meski aku pun sering bermain dengan wanita lain. Itu beda urusannya. Toh, Faniza tidak pernah melarang apa pun kepadaku. Ia membebaskanku. Seharusnya aku begitu padanya, tetapi tidak akan bisa. Ada yang istimewa untuknya.
“Apaan sih, Dan. Hidup ini ‘kan hidupku. Kamu juga nggak tau alasanku apa kok.”
“Ya sudah, beritahu aku alasanmu apa? Dari dulu aku tanya kamu nggak pernah mau menjawabnya.”
“Sudahlah … itu nggak penting. Semua itu urusanku. Kita bersenang-senang saja, Dan.”
Aku mengembuskan napas mendengar kalimat itu kembali keluar dari mulut seksinya. Setiap membicarakan tentang alasan dia bekerja sampingan seperti itu, pasti jawabannya akan sama. Ia tidak akan mau menjelaskan secara detail masalah pribadinya. Pantas jika aku menyebutnya sebagai wanita yang mandiri. Ia tidak gampang membeberkan masalah pribadi meski dengan orang yang sudah dibilang dekat dengannya.
“Ya, ya, ya … selalu saja menjawab seperti itu. Oke Ay. Aku nggak akan memaksamu. Asal kamu nyaman dan bahagia saja, aku ikut senang, Ay. Suatu saat kamu pasti akan bercerita semuanya kepadaku. Aku bersedia menunggu sampai saat itu datang, Ay.”
Tangan kiriku mengusap pahanya. Hatiku benar-benar terkunci untuknya. Aku harus bersabar sampai Faniza mau membuka hatinya untukku.
“Terima kasih, Dan. Kamu selalu mengerti tentang perasaanku. Pantas kalau aku nyaman saat bersamamu.”
“Iya Ay, aku akan selalu mendukungmu.”
Seperti ini saja aku sudah sangat bahagia, bagaimana jika Faniza benar-benar kudapatkan seutuhnya? Mungkin aku sudah tidak akan bermain dengan wanita lain lagi. Hidupku hanya untuk Faniza seorang. Semoga semua yang kuharapkan akan terjadi.
***
Faniza menjatuhkan dirinya di atas kasur setelah sampai di kamar indekosku. Perlengkapan kerjanya masih ia kenakan. Mungkin benar ia sudah sangat mengantuk sampai tidak mempedulikannya lagi atau hanya karena malas saja.
“Ay, mandi dulu. Masa langsung mau tidur begitu?” protesku seraya mengunci pintu. Motor sudah terparkir di tempat yang aman, jadi aku tidak mengkhawatirkannya lagi.
“Ahh … males, Dan. Hah!”
Faniza tidur terlentang dan beberapa kali mengembuskan napasnya. Matanya terpejam, menikmati nyamannya tidur di atas kasur.
“Dasar kamu. Sini, aku bantu copot sepatumu dulu.”
Aku mendekatinya dan membantu melepaskan sepatu yang masih ia kenakan. Aku sering melakukannya. Mungkin karena itu Faniza jadi ketagihan dan selalu ingin dilayani. Dengan senang hati aku rela berbuat apa pun untuknya.
“Terima kasih, Dan. Kamu memang yang terbaik. Ini juga ya? Hehehe.”
Matanya kembali terbuka saat aku selesai melepas sepatunya. Tangannya mengulurkan tasnya padaku, agar aku membawanya ke tempat semestinya.
“Oke, Tuan Putriku. Aku akan melayanimu sampai puas,” ucapku seraya mengambil tas itu.
“Hehehe.” Dia hanya tersenyum tanpa menjawab apa-apa.
Tas itu kucantelkan di belakang pintu. Sepatunya kuletakkan di atas rak. Aku pun melakukan hal yang sama dengan barang milikku.
“Ay, aku mau mandi dulu biar seger. Kamu juga lho, Ay. Aku mau kamu.”
Aku melihat ke arahnya, namun matanya sudah kembali terpejam. Ia pun bergeming. Apa benar Faniza sudah tidur? Aku mendekatinya.
“Ay, aku mau kamu.”
Aku membisikkan di dekat telinga dan mengecupnya sekalian. Faniza pasti geli jika aku melakukannya. Matanya akan terbuka dan mendengar ucapanku.
“Hehehe. Iya, Dan. Sana mandi dulu. Nanti aku pasti akan mandi. Aku geli, jangan dekat-dekat. Mau tiduran sebentar. Jangan ganggu.”
Faniza menyingkirkan wajahku dari telinganya. Di sana memang tempat yang sangat sensitive baginya. Faniza menjadi tidak berdaya jika ada yang menyentuh bagian tersebut. Geli katanya.
“Oke Ay. Terima kasih ya?” ucapku seraya mengecup keningnya.
Aku bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Malam ini pasti akan sangat indah. Faniza sedang bersamaku. Aku memang sudah jatuh cinta padanya. Meski aku sering melakukan dengan wanita lain, tetapi itu karena sudah biasa. Jika dengan Faniza ada cinta di dalamnya. Itu semua membuatku semakin bergelora. Aku tak mau lepas darinya. Dia harus bisa kudapatkan seutuhnya. Apa pun keadaannya.
“Ay, bangun. Mandi dulu.” Aku mendekatinya dan beberapa kali mendaratkan bibir di telinganya.Saat ditinggal mandi, ternyata dia terlelap tidur. Aku sengaja membiarkannya untuk beberapa saat dan hanya melihat paras cantiknya yang sedang tertidur. Karena hari sudah semakin gelap, akhirnya aku membangunkannya.“Dan, geli. Iya, aku bangun.”Tangannya kembali menyingkirkan wajahku, namun aku tetap saja melakukannya.“Hehehe. Dan, sudah dong. Aku geli,” ucapnya lagi, menolak perbuatanku.“Bangun dong, Ay. Mandi sana. Aku mau kamu.”
Jari telunjuk langsung kuletakkan di bibir, agar Faniza tidak lagi mengeluarkan suaranya yang cukup nyaring.“Siapa? Ibumu?” tanya Faniza dengan suara berbisik. Aku mengangguk.“Dan, halo? Ada apa, Dan? Tadi siapa? Apa ada perempuan di kamarmu?”Aku menepuk keningku. Susah payah selama ini aku berbohong, apa hari ini akan terbongkar semuanya? Kebohonganku akan sia-sia?“Hehe, bukan, Bu. Itu suara temanku di kamar sebelah.” Entahlah, ibu akan percaya atau tidak.“Lho, bukannya kamu ngekos di kosan laki-laki? Kenapa ada suara perempuan? Tadi Ibu dengar dia memanggilmu, Dan. Apa Ibu sala
“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana.Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.
“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.“Mau ngapain ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”“B*cotmu!
Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua milikny
“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.
“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”
“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung