Jari telunjuk langsung kuletakkan di bibir, agar Faniza tidak lagi mengeluarkan suaranya yang cukup nyaring.
“Siapa? Ibumu?” tanya Faniza dengan suara berbisik. Aku mengangguk.
“Dan, halo? Ada apa, Dan? Tadi siapa? Apa ada perempuan di kamarmu?”
Aku menepuk keningku. Susah payah selama ini aku berbohong, apa hari ini akan terbongkar semuanya? Kebohonganku akan sia-sia?
“Hehe, bukan, Bu. Itu suara temanku di kamar sebelah.” Entahlah, ibu akan percaya atau tidak.
“Lho, bukannya kamu ngekos di kosan laki-laki? Kenapa ada suara perempuan? Tadi Ibu dengar dia memanggilmu, Dan. Apa Ibu salah dengar?”
“Nggak tau juga, Bu. Kebetulan kamar sebelah namanya Dani, Bu. Ya … mungkin itu pacarnya dia, atau apa, aku nggak tau juga, Bu. Aku nggak tanya-tanya. Bukan urusanku.”
Aku mengatakannya seraya mengernyit. Takut jika ibu tidak akan percaya lagi. Karena kebohonganku bertambah semakin menumpuk.
“Oh begitu. Mereka belum halal ‘kan? Astaghfirullah, kalau sampai tinggal bareng, jadi apa mereka. Setiap hari berbuat zina? Kamu hati-hati ya, Dan. Jangan sampai meniru sesuatu yang dilarang agama.”
Ibu kembali menasihatiku. Biarlah. Toh, ibu tidak akan tahu aku di sini berbuat apa saja. Iyakan saja, semua pasti beres. Ibu akan percaya sepenuhnya padaku.
“Iya Bu. Aku pasti akan berhati-hati. Ibu percayakan semuanya padaku, Bu.”
“Anak shaleh. Iya, Ibu percaya sama kamu. Ya sudah, kamu pasti capek. Istirahat ya? Makan harus teratur agar nggak gampang sakit.”
“Iya Bu, semua nasihat Ibu akan kulakukan di sini.” Bohong dan bohong lagi. Meski berat, aku harus tetap melakukannya.
“Ya sudah, besok lagi ya? Assalamu’alaikum!”
“Baik Bu. Wa’alaikumsalam.”
Sambungan telepon terputus. Akhirnya, introgasiku selesai juga. Semua masih tersimpan dengan sangat rapi. Ibu percaya begitu saja dengan semua bualan yang kubuat sendiri. Syukurlah, aku masih bisa bersenang-senang di sini.
“Anak mamih … sudah teleponnya?” Faniza usil meledekku. Dia berdiri di depan lemari, masih sibuk mencari lingerie yang sengaja di tinggal di sana.
“Sudah dong. Kamu ngomong apa tadi, Ay?” Kugapai tangannya dan menarik ke dalam pelukkanku.
“Dan … aku belum pakai baju.” Ia berusaha keluar dari cengkramanku.
“Kayak gini saja, Ay. Seksi. Menggugah gairah. Hahaha.” Kukecup pipinya beberapa kali.
“Dasar kamu ya. Nggak sabaran banget.”
“Iya Ay, aku nggak sabar ingin segera melakukannya denganmu.”
“Eh tunggu, tadi ibumu ngomong apa saja?” Karena pertanyaannya aku menghentikan kegiatanku.
“Hmmm, biasalah. Dulu kamu tau ‘kan, aku kayak gimana? Ibu selalu memantauku dan menasihatku ini dan itu. Aku sih sebenarnya capek mendengarkan nasihatnya kayak gitu terus. Tapi mau gimana lagi, aku nggak mungkin protes atau berkata kasar sama ibuku sendiri. Iyakan saja. Lagian ibu nggak mungkin tau aku berbuat apa saja di sini. Hehehe.”
Aku mengatakannya seraya membelai rambut Faniza yang dicat berwarna pirang. Dia duduk di pangkuanku. Tangan kiriku melingkar di pinggangnya. Dia pun masih mengenakan handuk.
“Aku juga kaget, sekarang kamu sudah berani kayak gini. Padahal dulu kamu beda banget. Nama ibumu siapa, Dan? Aku lupa. Ibumu kayaknya baik banget sampai seperhatian gitu sama kamu. Eh malah kamunya bohongin dia terus. Itu pilihanmu sih. Bukan gara-gara bertemu denganku ‘kan?”
“Ya … awalnya memang karena bertemu denganmu. Hehe. Aku nyaman sama kamu, Ay. Dari dulu aku pengin kayak gini. Tapi orang tuaku mana bisa membiarkan anaknya bergaul sembarangan. Aku suka kayak gini. Bebas. Hidupku bahagia. Dulu aku terkekang dengan segala peratauran yang harus kutaati. Nggak enak, Ay. Enak kayak gini. Apalagi sama kamu.
"Ibuku namanya Salwa. Ayahku, Lutfan. Andai saja kamu mau menerima cintaku, aku akan mengenalkan mereka sama kamu, Ay. Kita menikah dan aku janji nggak akan ada lagi wanita lain selain dirimu.”
Kukecup lengannya. Itu membuktikan bahwa aku tulus berbicara seperti itu kepadanya. Aku sangat berharap hatinya terbuka untukku.
“Dan, aku kayak gini saja sama kamu rasanya bahagia lho. Aku nyaman sama kamu. Tapi maaf, aku masih ada tanggungan yang nggak bisa kuabaikan begitu saja. Kalau aku menikah, lalu siapa yang akan menanggungnya. Aku masih harus berjuang, Dan. Oh iya, nama ayah kita sama, Dan.”
Raut wajahnya menjadi layu. Sepertinya masalah yang ia tutupi benar-benar serius. Aku ingin tahu, tetapi Faniza pasti tidak akan membocorkan masalah pribadinya. Tunggu saja sampai dia mau bercerita sendiri. Aku tidak akan memaksanya.
“Aku bersedia menanggung segalanya demi menikah dan hidup denganmu, Ay. Tapi aku nggak maksa kok. Senyamanmu saja, Ay. Kenapa nama ayah kita bisa sama ya? Atau mungkin sebagai pertanda kalau kita memang berjodoh, Ay. Hehehe. Aku nggak akan memaksamu, Ay.” Aku mencoba mencairkan suasana meski sulit.
“Untuk sekarang, kita jalani seperti ini dulu, Dan. Mungkin suatu saat, perasaanku bisa berubah dan ingin menjalani kehidupan ini berdua denganmu. Sekarang yang kuminta hanya pengertian darimu, Dan. Kamu mau apa, akan kuturuti kok. Kecuali hal itu. Aku belum mau menikah, Dan.”
“Iya Ay, aku sangat memahamimu. Apa pun yang kamu inginkan, sebisa mungkin kukabulkan. Asal kamu nyaman saja, Ay. Terima kasih, sudah mau sedekat ini denganku. Aku benar-benar mencintaimu, Ay. Akan kutunggu sampai kapan pun. Sampai kamu mau menerima cintaku dan menikah denganku.”
Aku memelukknya dan tingkahku semakin agresif. Andrenalinku semakin terpacu. Darahku pun mulai terasa hangat. Ada gejolak yang tidak bisa ditahan lagi. Ingin kucurahkan semua rasa cintaku kepadanya.
Faniza menyerahkan segalanya padaku. Dia pasrah menerima perlakuanku. Aku bahagia meski dia masih saja menolak untuk dinikahi, tetapi kami sudah menyatu. Kami saling mengisi cinta ini dengan sepenuh hati.
Ya, aku mencintainya, anggap saja Faniza merasakan hal yang sama. Buktinya dia mau berhubungan lebih intim denganku. Bagiku itu adalah bukti yang sangat valid. Tidak peduli saat dia melakukan pekerjaan sampingannya, mungkin melakukan hal yang sama seperti ini, tetapi itu hanya untuk uang yang jumlahnya lebih besar. Bukan seperti saat denganku, dia tak meminta bayaran sepeser pun.
“Dan … tunggu dulu. Kamu harus pakai pengamannya. Aku nggak mau hamil karena kecerobohanmu. Kita harus main aman. Aku masih butuh pekerjaanku, Dan.”
Dengan sangat terpaksa, aku mengambil benda lentur itu di dalam nakas. Padahal sedang enak-enaknya. Sudahlah, setelah terpasang aku akan melanjutkannya lagi. Akan kuhajar dengan sekuat tenaga. Pasti dia akan puas dengan semua yang telah kulakukan.
“Ayo lanjut, Ay. Kita sudah aman.”
“Terima kasih, Dan.”
Dia tersenyum dan membuatku semakin tertantang. Jantungku terpacu sangat kencang. Deru napas saling bersautan. Kami saling memuaskan satu sama lain. Semua nasihat ibu sudah tidak ada di dalam kepala. Semua hilang saat kenikmatan itu merajai sukmaku. Sangat tak adil jika hal senikmat ini ditinggalkan begitu saja demi memantuhi perintah yang ibu ucapkan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Aku akan menikmati hidupku seperti ini. Bebas dan sangat bahagia.
Mungkin akan berbeda jika Faniza mau menjadi pendamping hidupku. Ahh … sudahlah. Nikmati saat ini saja. Toh, aku sedang memadu kasih dengannya meski kami belum menikah. Kurang apa hidup ini? Nikmati saja apa yang sedang terjadi.
“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana.Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.
“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.“Mau ngapain ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”“B*cotmu!
Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua milikny
“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.
“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”
“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.
Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele
“Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung.Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan.“Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap.
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung