Share

Part 7

Penulis: Khanna
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-01 17:21:05

Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.

 

“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.

 

Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.

 

“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.

 

“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.

 

“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua miliknya menjadi milikku seorang, Ra.”

 

“Apa bedanya sama kamu? Kamu juga gitu kan? Wanita mana saja diembat. Kenapa Faniza disuruh berhenti dari pekerjaannya? Aneh sih.”

 

Aku memukul lengannya dengan tangan yang mengepal. Jawabannya selalu saja membuatku emosi. Aku sedang serius, malah dianggap bercanda. Ingin kujitak kepalanya keras-keras.

 

“Ngapain mukul aku! Sakit tau! Kamu pikir tanganmu selembut kapas, hah!” Dia memprotesku dan memegang lengannya bekas pukulan yang kuhadiahkan untuknya.

 

“Aku serius! Jangan bercanda terus!” Aku melotot padanya.

 

“Aku juga nggak bercanda kok. Aku benar kan, kalau kamu itu suka tidur sama cewek lain juga? Terus apa bedanya? Kenapa kamu melarang Faniza? Perbaiki dirimu dulu dong.”

 

“Iya, aku juga tau aku salah. Tapi, dia yang menyuruhku untuk bersenang-senang sama wanita lain. Aku melakukan semua itu tanpa rasa cinta, Ra. Seandainya Faniza mau kunikahi, mungkin aku nggak akan memainkan wanita lain lagi. Aku sudah sangat bahagia kalau Faniza mau menikah denganku.”

 

“Terus kenapa Faniza menolakmu? Bukannya dia juga suka sama kamu? Buktinya dia nggak mau dibayar kalau habis main sama kamu. Itu katamu sih. Aku nggak tau kenyataannya. Hehehe.”

 

“Iya … dia memang mau melakukan apa saja untukku tanpa uang sepeser pun. Aku juga meyakini kalau dia suka kepadaku. Tapi entahlah, dia selalu menolak untuk kunikahi. Katanya dia harus tetap bekerja untuk menunaikan tanggung jawabnya. Padahal aku sudah bersedia menggantikan posisinya kalau dia mau menikah sama aku. Tetap saja dia nggak mau. Dia nggak mau cerita tentang masalah pribadinya. Aku jadi bingung, Ra.”

 

“Dia ‘kan sudah bekerja di kantor, apa uang masih kurang? Dia suka berfoya-foya mungkin.”

 

“Aku tau, dia nggak suka kayak gitu. Mangkanya aku jadi tambah bingung. Sebenarnya apa masalah yang ia tutupi dariku.” Aku mengembuskan napas karena terasa semakin berat.

 

“Intinya dia butuh uang banyak. Apa dia tetap nggak mau, meski tau kalau kamu orang kaya?”

 

“Iya, dia tetap menolak. Aku jadi kepikiran sesuatu agar dia mau menikah denganku, Ra.”

 

“Apa?”

 

“Dia sangat berhati-hati saat berhubungan. Katanya takut hamil, nanti nggak bisa kerja kayak gitu lagi. Selama ini memang selalu pakai pengaman biar dia nggak hamil. Aku jadi kepikiran mau kutusuk-tusuk kondom itu biar kebobolan. Kalau hamil, aku tanggung jawab dan bisa menikah dengannya. Hehe.”

 

“Gila kamu, Dan, Dan. Nanti orang tuamu gimana? Pasti marah besar, Dan. Apa nggak ada cara lain? Padahal ibumu sangat percaya kamu di sini masih kayak dulu. Anak yang bisa menjaga diri. Kalau nekat begitu, nasibmu gimana nanti?”

 

“Nggak ada cara lain, Ra. Faniza akan berhenti dari pekerjaan kotornya saat dia hamil saja. Aku juga cemburu banget waktu banyak om-om yang telepon padanya. Aku nggak habis pikir, badannya tergadaikan begitu saja. Aku nggak terima, Ra.”

 

“Hmmm, bukannya kamu sama saja kayak om-om itu, Dan? Kamu sudah banyak menjamah banyak wanita lain di luar sana. Hahaha.”

 

“Nara! Aku lagi serius! Kamu jangan ngomong kayak gitu terus! Bantu aku cari solusinya kek. Aku benar-benar jatuh cinta sama Faniza. Aku janji nggak akan menyentuh wanita lain kalau Faniza sudah kudapatkan. Bantu aku dong.”

 

“Hahaha. Seorang Zidan akhirnya menyerah juga di tangan seorang wanita. Terlalu bucin kau! Hahaha.”

 

“Biarlah … aku nyaman sama dia. Gimana? Apa aku harus melakukan cara itu? Aku nggak mau melihat Faniza dipegang oleh laki-laki selain diriku. Kalau bisa, aku akan menghajar laki-laki itu. Tapi nggak bakal bisa, itu memang pekerjaannya.”

 

“Kamu nggak mikirin perasaan orang tuamu?”

 

“Mungkin harus begitu caranya, Ra. Aku juga sudah capek melampiaskan hasratku pada wanita lain. Aku mau serius sama Faniza. Kamu mendukungku ‘kan?”

 

“Kalau memang itu yang terbaik, ya sudah. Terserah kamu saja, Dan. Semoga saja, kamu bisa kembali kayak dulu setelah mendapatkan Faniza. Aku pasti mendukungmu. Meski tetap saja caramu itu salah.”

 

“Iya Ra, aku suka kebebasanaku. Aku bahagia menjalani hidupku kayak gini. Tapi aku punya niat untuk berhenti kalau sudah mendapatkan Faniza. Caranya dia harus kuhamili agar mau menikah denganku. Menurutku nggak ada cara lain.”

 

Nara membuang napasnya. Mungkin dia bingung harus memberikan solusi apa kepadaku. Semua caraku memang salah. Tetapi, hanya cara seperti itu yang mungkin bisa menaklukkan hati Faniza.

 

“Terserah kamu saja, Dan. Kamu sudah tau baik dan buruknya. Semua ada di tanganmu.”

 

Nara tidak berani mengiyakan pendapatku. Dia berada di zona abu-abu. Semua kembali padaku. Meski begitu, aku tetap merasa lega sudah bercerita kepadanya. Meski semua kembali lagi padaku. Keputusan tetap ada di tanganku.

 

“Tentang restu orang tuaku, itu dipikirkan belakangan. Kalau aku membawa Faniza dengan keadaan hamil, sudah pasti kami akan langsung dinikahkan. Bagaimanapun, orang tuaku pasti nggak akan mau merasa malu di depan umum. Entah mereka akan marah atau nggak, yang penting aku sudah menikah dengan Faniza. Itu yang terbaik, Ra. Aku akan melakukannya. Menikahi Faniza adalah keingiannku yang harus terwujud.”

 

“Ya, terserah saja, Dan. Tapi apa Faniza nggak akan marah kalau kamu menggunakan cara kayak gitu? Padahal dia mati-matian mempertahankan agar dirinya nggak hamil hanya untuk tetap bekerja sampingan dan mendapat uang lebih.”

 

“Aku akan menaggung segala yang menjadi tanggungannya. Entah itu apa, aku siap, Ra.”

 

“Ya oke. Kalau bisa, kamu cari tau juga tentang alasannya itu. Tanggungan apa yang dia maksud.”

 

“Itu gampang, Ra. Setelah aku menghamilinya, semua akan kukorek alasan yang selama ini dia tutupi dariku.”

 

“Iya, semoga apa yang kamu harapkan bisa berjalan dengan lancar, Dan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa.”

 

“Hahaha. Iya bener. Aku mau cari solusi ke sini, tetap saja kamu nggak memberikan jawaban yang memuaskan. Tapi terima kasih, sudah mau mendengarkan kegalauanku. Hahaha.”

 

“Gini-gini aku tetap temanmu. Pastilah aku mau mendengarkan semua permasalahanmu. Zidan kok galau, nggak pantes, Dan. Hahaha. Padahal wanita pada ngantri, malah milih orang yang selalu menolakmu. Manusia memang aneh.”

 

“Iya, aku juga heran.”

 

Setelah percakapanku dengan Nara usai, aku mengajaknya pergi ke gym. Daripada tidak ada kegiatan, lebih baik membentuk badan agar terlihat semakin menawan di mata wanita.

 

*** 

 

Hari sudah sore, aku dan Nara masih betah di tempat gym. Sejak jam sebelas sampai jam tiga sore, kami masih sibuk dengan segala yang ada di dalam tempat gym ini.

 

Kring, kring, kring ….

 

Ponselku berdering. Aku segera mengambilnya. Biasanya ibu akan meneleponku. Mungkin saja, panggilan itu memang dari beliau.

Bab terkait

  • Cinta yang Salah   Part 8

    “Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-02
  • Cinta yang Salah   Part 9

    “Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Cinta yang Salah   Part 10

    “Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Cinta yang Salah   Part 11

    Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 12

    “Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung.Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan.“Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 13

    “Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ya, selamat. Kalian akan segera menjadi orang tua. Mbak Faniza sedang mengandung seorang anak. Usia kandungannya diperkirakan memasuki umur delapan minggu. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk kalian.”Perkataan yang dilontarkan oleh seorang dokter kandungan tersebut membuatku sangat bahagia. Tanpa sadar, bibirku mengembang. Namun, saat melihat ke arah Faniza, ia terlihat sangat terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang terukir di bibirnya. Perlahan senyumku ikut memudar.“Oh iya, Bu. Terima kasih atas informasi yang sangat membahagiakan ini. Kami pamit untuk segera pulang ke rumah.”Karena Faniza hanya bergeming tanpa ada tanggapan sedikit pun, akhirnya aku memutuskan untuk segera me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • Cinta yang Salah   Part 14

    “Ay, ceritakan semuanya kepadaku. Aku nggak mau kalau kamu memendamnya sendirian. Ada aku yang selalu mencintaimu. Aku yang selalu ada untukmu, Ay. Jangan sembunyikan semua beban di pundakmu. Ceritakan semuanya padaku, Ay. Tentang kehamilanmu, aku minta maaf karena telah melakukannya dengan cara yang curang. Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu secepatnya.”Kedua tangannya kugenggam erat. Dia sudah mulai tenang dan tidak lagi memberontak. Matanya terlihat sembap. Sejak tadi air matanya tidak mau berhenti.“Iya, Dan. Dari dulu sebenarnya aku ingin bercerita sama kamu. Tapi, aku berpikir kamu itu terlalu baik padaku. Aku nggak mau merepotkanmu terus, Dan. Nanti kalau kamu tau masalahku, pasti kamu nggak ragu untuk membantuku. Aku nggak enak, Dan. Lebih baik kusembunyikan dan mencari solusi sendiri saja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Cinta yang Salah   Part 15

    “Ay, apa kamar ibu mertua masih jauh?” tanyaku.Aku berjalan menggandeng tangan Faniza dan mengikuti langkahnya yang membimbingku pergi ke ruangan tempat ibunya dirawat. Aku rasa sejak masuk ke rumah sakit jiwa ini, kami berjalan cukup jauh ke tempat tersebut.Beberapa bangsal kami lalui. Namun, langkah Faniza belum juga terhenti.“Kok aku aneh ya, mendengar panggilan itu.”Bukannya menjawab pertanyaanku, Faniza justru membahas tentang panggilan baruku untuk ibunya. Dia tetap berjalan menyusuri bangsal tanpa melihat ke arahku. Namun, aku melihat bibirnya mengembang.“Lho, iya ‘kan? Ibumu sebentar lagi akan jadi mertuaku? Nggak ada yang aneh dong, Ay?&

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22

Bab terbaru

  • Cinta yang Salah   Part 40

    “Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand

  • Cinta yang Salah   Part 39

    “Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj

  • Cinta yang Salah   Part 38

    Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang

  • Cinta yang Salah   Part 37

    “Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa

  • Cinta yang Salah   Part 36

    Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya

  • Cinta yang Salah   Part 35

    “Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama

  • Cinta yang Salah   Part 34

    Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”

  • Cinta yang Salah   Part 33

    “Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita

  • Cinta yang Salah   Part 32

    Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status