“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”
Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.
Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana. Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.
“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.
Padahal biasanya laki-laki akan mengantuk setelah selesai menunaikna hasratnya, tetapi kenapa aku masih segar seperti ini? Aku ingin selalu memandangi wanita di sebelahku. Aku terlalu jatuh cinta kepadanya.
“He-um, Dan. Apa kamu nggak ngantuk?” Dia mengatakannya dengan mata yang tetap terpejam.
“Kalau sama cewek lain, kadang aku ngantuk, Ay. Tapi kalau sama kamu, maunya tambah terus, Ay. Hehe. Nggak ngantuk sama sekali.”
Kusingkap rambut yang menutupi wajah cantiknya. Jemariku memainkan pipinya yang empuk dan halus. Dia begitu imut. Laki-laki mana yang akan menolak semua keindahannya. Faniza begitu sempurna. Sayang, kesempurnaan ini bukan hanya aku saja yang menikmati. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa memiliki sepenuhnya.
“Kamu cinta banget ya, sama aku?” tanyanya tiba-tiba.
“Tentu saja, Ay. Kenapa? Kamu mau menikah denganku?” Aku tetap berusaha.
“Mau Dan, tapi bukan sekarang. Entah kapan, hehehe. Tidur, Dan. Aku ngantuk. Maaf ya, mungkin malam ini sekali saja. Besok hari minggu banyak pelanggan yang harus kulayani.”
“Aku akan menunggumu, Ay. Ya sudah, kita tidur.”
Aku mengecupnya sebelum dia benar-benar terlelap. Perasaanku miris saat mendengar jika dia akan melayani banyak orang. Ingin sekali mencegahnya. Tetapi, tidak bisa. Apa yang harus kulakukan agar dia mau menikah denganku secepatnya?
Aku tidak tahan berlama-lama melihantnya selalu memadu kasih dengan laki-laki selain diriku. Aku ingin dia menjadi milikku. Aku pun sudah lelah bermain dengan wanita lain tanpa rasa cinta. Mereka hanya pelampiasan karena penolakkan yang Faniza lakukan. Meski bersenang-senang, hatiku tetap merasakan kekosongan. Hanya Faniza yang bisa mengisinya.
***
Kring, kring, kring ….
Ponsel Faniza berdering berulang kali. Dia sudah berpesan jangan sampai mengangkatnya jika dirinya belum selesai mandi. Katanya, penelpon itu mungkin beberapa pelanggan yang tidak sabaran. Ingin sekali kuangkat telepon itu dan memaki orang yang akan menyentuh Faniza. Lagi-lagi aku harus menahannya. Jika tetap melakukannya, bisa jadi Faniza akan marah kepadaku. Itu lebih merugikanku.
Beberapa kali, aku mengembuskan napas membuang rasa sebal yang mulai menumpuk di relung hati. Perasaanku semakin tidak nyaman dan terasa mulai panas. Sampai kapan, wanita yang aku cintai akan dijamah orang lain? Sebenarnya apa yang membuat Faniza melakukan pekerjaan ini? Membuatku dongkol saja.
“Ay, kamu benar mau pergi?” tanyaku saat Faniza baru saja keluar dari kamar mandi.
“Pasti dong, Dan. Dari tadi sudah pada telepon ‘kan? Mana mungkin aku menggagalkan semua orderanku. Bisa-bisa aku dicincang oleh mereka. Aku juga masih membutuhkan uang mereka. Nggak mungkinlah, kalau aku tolak.”
Wanita berkulit putih itu pergi ke lemari untuk mencari pakaian yang akan dikenakan. Aku membuntutinya dan memeluknya dari belakang.
“Aku cemburu, Ay. Aku nggak mau kamu dipegang-pegang sama orang lain lagi. Aku mau kamu jadi milikku satu-satunya.”
Faniza mengembuskan napasnya dan bergeming. Dia menoleh ke wajahku yang tersandar manja di pundaknya.
“Dan, aku butuh uang mereka. Lagian mereka pakai pengaman kok. Aku akan baik-baik saja, Dan. Hari ini kamu bersenang-senang saja. Maaf ya, setiap hari minggu aku nggak bisa menemani liburanmu. Aku akan bersamamu, kalau aku sudah nggak sibuk lagi.” Tangannya memegang pipiku.
“Ya sudah, Ay. Aku lagi malas sama cewek lain. Paling nanti aku main sama Nara saja. Kamu baik-baik ya?”
Sebelum melepasnya dari pelukanku, bibirku mendarat lembut di bibirnya. Sedikit pemanis untuk menghibur hatiku yang terasa sakit. Wanitaku akan menjajakan dirinya demi uang yang menurutnya bernominal besar. Sebenarnya aku bisa memenuhi segala keinginannya. Entahlah, dia selalu menolak.
Ya, aku adalah anak dari pengusaha kaya di kota kelahiranku. Sebelum aku lahir, ayahku pun seorang pewaris tunggal dari keluarga mapan. Tentu sudah tidak heran dengan yang namanya uang. Apalagi, aku anak dan cucu satu-satunya. Otomatis, semua harta kekayaan dari kakek akan menjadi milikku. Ditambah dengan aset milik orang tuaku. Sebenarnya gampang untuk mewujudkan semua keinginan Faniza, itu jika dia mau menikah denganku.
Meski aku keturunan orang kaya, demi mencari kebebasan aku rela bekerja dan pergi jauh serta meninggalkan semua fasilitas yang telah dimiliki keluarga. Aku ingin jadi diriku sendiri, meski harus tinggal di indekos yang alakadarnya. Tetapi, semua sudah terasa sangat bahagia.
“Iya Dan, aku akan menjaga diri dengan sangat baik.”
Bibirnya mengembang, tangannya sibuk mengenakan pakaian dan berdandan semenarik mungkin. Ia tidak pernah mengecewakan para pelanggannya. Dengan begitu, ia akan mendapatkan uang tambahan. Entah uang itu akan ia gunakan untuk apa saja. Padahal aku jarang sekali melihatnya berbelanja barang-barang mewah dan mahal. Makan pun standar saja. Jadi uang itu digunakan untuk apa?
Ponselnya masih terus berdering. Ia bergegas mengambilnya dan menjawab semua panggilan dan pesan yang telah masuk di sana. Ada rasa kecewa yang menghampiri hatiku. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Iya halo. Iya, sebentar lagi aku datang ke sana. Tunggu saja. Aku pasti akan datang.”
Faniza mulai asik dengan orang yang ada di ponselnya. Bagianku sudah habis. Aku harus merelakannya pergi bersama orang lain. Hatiku memang patah setiap dia berpamitan untuk pergi menemui pelanggannya. Biasanya aku melampiaskan kepada wanita lain, tetapi hari ini tidak ada rasa untuk melakukannya lagi.
“Dan, aku pergi dulu ya? Jangan tunggu aku pulang. Kalau sudah selesai, aku akan segera mengabarimu.”
Pakaiannya sudah rapi. Badannya sangat wangi. Dia begitu cantik dengan mini dress berwarna pink. Rambutnya yang berwarna pirang terurai begitu saja. Bibirnya pun berwarna merah menggoda. Pesonanya tidak bisa diragukan lagi.
“Iya Ay, hati-hati ya?”
Aku kembali mengecupnya sebagai tanda perpisahan kami berdua. Berat rasanya ingin sekali menariknya kembali ke dalam pelukanku. Tetapi, tidak akan mungkin terjadi.
Setelah Faniza pergi, aku berniat untuk mandi. Tetapi, melihat pemandangan kamar yang berantakan, aku berinisiatif untuk merapikannya terlebih dulu.
“Terlalu sering aku menggunakanmu, wahai benda-benda yang menjijikan.”
Aku mengambil tissue yang berserakan di lantai. Kondom bekas pakai pun ada di sana. Saat aku mengambil benda lentur itu, aku jadi terpikirkan sesuatu.
“Ah … coba deh, aku minta usul sama Nara dulu. Ideku bagus juga sih kayaknya,” gumamku seraya tersenyum. Aku bergegas membereskan semuanya dan pergi mandi untuk menemui Nara di indekosnya.
“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.“Mau ngapain ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”“B*cotmu!
Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua milikny
“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.
“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”
“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.
Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele
“Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung.Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan.“Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap.
“Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ya, selamat. Kalian akan segera menjadi orang tua. Mbak Faniza sedang mengandung seorang anak. Usia kandungannya diperkirakan memasuki umur delapan minggu. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk kalian.”Perkataan yang dilontarkan oleh seorang dokter kandungan tersebut membuatku sangat bahagia. Tanpa sadar, bibirku mengembang. Namun, saat melihat ke arah Faniza, ia terlihat sangat terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang terukir di bibirnya. Perlahan senyumku ikut memudar.“Oh iya, Bu. Terima kasih atas informasi yang sangat membahagiakan ini. Kami pamit untuk segera pulang ke rumah.”Karena Faniza hanya bergeming tanpa ada tanggapan sedikit pun, akhirnya aku memutuskan untuk segera me
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung