Brak!
Pintu kamar dibuka paksa oleh seseorang.
“Apa-apaan ini! Beraninya kamu berbuat seperti ini dengan pacarku! Br*ngs*k!” umpat laki-laki itu.
Aku bergeming dan melihat ke arah laki-laki tersebut. Sedangkan wanita yang tengah memadu kasih denganku, bergegas bangkit dan mencari pakaian untuk menutupi tubuh indahnya. Ia tak mengenakan seutas benang pun.
“Kamu ini ya, dasar wanita j*l*ng! Beraninya menghianatiku!” Dia menunjuk wanita yang kini mulai menutupi bagian indahnya.
“Heh! Kenapa membuka kamar orang sembarangan kayak gini? Ganggu orang saja! Lagi asik-asiknya malah kamu datang mendobrak pintu kamarku. Maumu apa, hah?” ketusku sembari duduk.
“Apa? Kamu ngomong apa, hah? Ganggu? Dia pacarku, kenapa berani melakukannya segampang itu! Kamu nggak mikir, Dan! Aku temanmu! Bisa-bisanya menikmati pacar temanmu sendiri! Kamu gila, hah!” bentak Henri, dia laki-laki yang baru saja masuk ke kamarku secara paksa.
“Hahaha … dia sendiri yang datang ke kamarku. Dia yang mau denganku. Buat apa aku menggoda pacarmu itu. Ada banyak wanita yang lebih cantik darinya. Ya … berhubung dia menghampiriku dengan suka rela, rezeki dong. Nggak mungkin ‘kan kalau aku tolak. Hahaha.”
Aku mengambil celana boxer yang tergelatak begitu saja di atas kasur.
“Br*ngs*k! Kamu gila, Mel! Kamu menyerahkannya begitu saja sama orang macam dia, Mel! Wanita mur*han! J*l*ng!”
Plak!
Henri menamparnya cukup keras.
“Kalau mau ribut, pergi saja dari sini. Nggak usah mengganggu ketenanganku. Selesaikan di luar saja,” ucapku santai tanpa mempedulikan wanita yang baru saja memuaskanku.
“Zidan. Kamu sama sekali nggak mempedulikanku? Tadi kamu bilang kalau mencintaiku. Tapi kenapa kamu nggak peduli kayak gini.”
Wanita bernama Amel itu mulai memprotes tingkahku yang tak mempedulikannya. Aku hanya melihat sekilas. Dia memegang pipi bekas tamparan Henri. Matanya terlihat mengembun. Semua itu tak menggoyahkan hatiku untuk peduli padanya.
“Itu ‘kan tadi, biar adrenalinmu bertambah. Itu menguntungkanku juga. Ya, aku harus ngomong begitu dong. Kamu enak juga ‘kan tadi? Ya sudah, anggap saja impas. Kamu juga ‘kan yang datang sendiri padaku tanpa kuminta.”
Aku mengambil sebatang rokok dan meletakkannya di mulut. Korek kunyalakan untuk menikmati rokok itu.
“Pembohong kamu, Dan!”
“Amel! Aku ini pacarmu! Kenapa malah mengharapkan Zidan kayak gitu. Wanita b*doh! Ada yang serius dan menjagamu mati-matian malah memilih laki-laki br*ngs*k kayak dia!”
Henri menujukku dengan tatapan penuh amarah. Napasnya tidak beraturan seperti ingin memangsaku hidup-hidup.
“Kalian pergi saja dari sini. Kalau mau ribut, ribut di kamar kalian saja jangan di kamarku. Urusanku denganmu sudah selesai, Mel. Jangan datang lagi ke kamarku seenak hatimu. Aku malas harus ribut sama Henri lagi. Aku sudah memuaskanmu hari ini, jadi terima kasih dan pergilah.”
Tangan kukibaskan beberapa kali, itu bertujuan untuk mengusir mereka dari hadapanku. Aku sudah malas melihat drama yang masih saja berlanjut.
“Kamu lihat dia, Mel! Dia itu laki-laki br*ngs*k. Bisa-bisanya kamu mau melakukan hubungan kayak gitu sama dia. B*d*h kamu, Mel!” Henri tetap saja memaki pacarnya yang kini sudah berpakaian rapi.
“Aku sudah ngomong tadi ‘kan? Kalau mau berantem atau apalah itu, pergi ke kamar kalian saja. Di sini menggangguku. Paham! Silakan keluar. Pintu ada di depan kalian.”
“Zidan, kamu memang laki-laki br*ngs*k!” Amel mengatakannya seraya pergi dari kamarku.
“Mel! Kamu masih saja mengharapkan dia? Mel, tunggu!” ujar Henri. “Awas saja kamu, Dan. Sekali lagi kamu mendekati Amel, nggak akan kulepaskan begitu saja. Kamu akan habis olehku, Dan! Br*ngs*k!” umpatnya kepadaku.
“Sudah sana kejar pacar berhargamu itu. Aku sudah ngomong, bukan aku yang menggodanya. Dia sendiri yang datang menawarkan tubuh indahnya kepadaku. Mana mungkin aku menolak. Hahaha.”
Aku santai saja. Henri tidak akan berani melawanku mengingat badannya terlalu kecil dibanding dengan diriku. Dia hanya berani menggertak saja tetapi tidak berani bertindak secara nyata.
Ya, aku ini laki-laki berpawakan tinggi besar. Badan dan lenganku berotot karena aku suka berolahraga. Jika ada waktu luang, sering digunakan untuk pergi ke gym. Wajahku pun tampan bak artis Korea. Kulit putih dan bersih terawat. Hidungku mancung dan garis wajah yang hampir sempurna menambah pesona dalam diriku. Wanita tidak akan berkedip saat melihatku.
Aku jarang sekali menggoda seorang wanita. Mereka akan datang dengan sendirinya padaku. Menawarkan apa saja yang mereka punya. Tentunya aku tak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Itu seperti rezeki bagiku. Tanpa dicari mereka datang dengan sendirinya.
“Br*ngs*k kamu, Dan,” umpatnya lagi. “Mel, tunggu Mel!” Henri pergi mengejar Amel.
“Hah! Akhirnya … drama ini usai juga. Lumayanlah hari ini, aku sedikit terhibur dengan permainan Amel. Hahaha. Wajah tampan memang sangat menguntungkan. Terima kasih orang tuaku. Hahaha.”
Kuhisab puntung rokok sambil duduk santai di tepian kasur. Aku menikmati asap rokok yang masuk ke mulutku. Setelahnya kuembuskan secara perlahan asap itu ke udara. Sungguh kenikmatan tak ada duanya setelah kenikmatan dari seorang wanita.
***
“Dan!”
Seseorang memanggil saat langkahku baru saja keluar dari kantor. Aku berjalan menuju ke tempat parkir. Namun, karena ada yang memanggil, aku pun menoleh mencari sumber suara itu.
“Eh, ngapain?” ucapku pada Nara, seseorang yang baru saja memanggilku.
“Hahaha, hebat kamu, Dan. Amel kena juga?” bisiknya.
“Tau dari mana? Haha. Dia yang datang padaku. Nggak mungkin aku tolak ‘kan?”
“Gila kamu memang, Dan. Siapa-siapa diembat. Salut, Bro! Hahaha ….”
“Aku ini tampan, siapa yang bisa menolak pesonaku. Hahaha. Kemarin Henri mengganggu saja. Tiba-tiba mendobrak pintu kamarku.”
“Wah, berani juga tuh orang. Lalu, ngapain? Apa berani melawanmu?”
“Mana mungkin. Bac*tnya saja yang gede. Tapi nyali ciut. Dia pergi mengejar Amel tuh.”
“Hahaha. Sudah kuduga. Mau nyicipin siapa lagi, Dan? Aku kira kamu dulu cupu kebangetan. Eh, baru setahun di sini sudah banyak yang dicoba. Gila. Gila ….”
“Ya … aku sih dari dulu emang pengin hidup kayak gini, Ra. Tapi gimana lagi. Orang tuaku sangat ketat menjaga pergaulanku. Aku tersiksa luar bisa. Banyak cerita dari teman-teman, mereka sering begituan katanya nikmat banget, waktu itu aku cuma bisa ngiler bayangin yang nggak bisa kurasain sendiri. Bisanya gitu aja sama tangan. Payah. Untung aku dibolehin pergi kerja, itu saja harus merengek kayak bocah. Akhirnya aku bebas juga. Hahaha.”
Nara menggelangkan kepala saat mendengar ocehanku. Dulu aku memang tidak seperti sekarang ini. Aku berani melakukannya berkat seseorang. Dia mengajariku tentang kebebasan. Sepertinya hatiku pun terkunci untuknya. Aku sering menyatakan isi hatiku padanya. Namun, dia hanya diam dan menikmati hubungan yang tidak jelas ini denganku. Tetapi dia mau diapakan saja olehku, hubungan suami istri, itu sudah biasa. Dia pun membebaskanku untuk hidup sesuka hati. Mau bersenang-senang dengan siapa pun, dia tak mempermasalahkannya.
“Eh tuh, sudah ada Faniza. Hmm … sebenarnya kalian pacaran atau gimana sih, Dan? Nggak jelas banget. Coba dong ditembak kalau kamu suka sama dia. Jadi laki jangan cemen dong.”Nara menunjuk seorang wanita yang tengah duduk menantiku di motor. Aku dan Nara sudah hampir sampai di tempat parkir.“Tanpa pacaran,aku dan dia sudah sering melakukannya kok. Hahaha. Sana pergi, jangan mengganggu waktuku dengannya. Kami akan bersenang-senang.” Aku mengusir Nara, itu sudah biasa kulontarkan sebagai candaan.“Ya, ya, ya … hidupmu terlalu sempurna, Dan. Sialan! Hahaha. Kalau ada apa-apa, kamu harus bertanggung jawab, Dan.”Dia mengatakannya sambil pergi k
“Ay, bangun. Mandi dulu.” Aku mendekatinya dan beberapa kali mendaratkan bibir di telinganya.Saat ditinggal mandi, ternyata dia terlelap tidur. Aku sengaja membiarkannya untuk beberapa saat dan hanya melihat paras cantiknya yang sedang tertidur. Karena hari sudah semakin gelap, akhirnya aku membangunkannya.“Dan, geli. Iya, aku bangun.”Tangannya kembali menyingkirkan wajahku, namun aku tetap saja melakukannya.“Hehehe. Dan, sudah dong. Aku geli,” ucapnya lagi, menolak perbuatanku.“Bangun dong, Ay. Mandi sana. Aku mau kamu.”
Jari telunjuk langsung kuletakkan di bibir, agar Faniza tidak lagi mengeluarkan suaranya yang cukup nyaring.“Siapa? Ibumu?” tanya Faniza dengan suara berbisik. Aku mengangguk.“Dan, halo? Ada apa, Dan? Tadi siapa? Apa ada perempuan di kamarmu?”Aku menepuk keningku. Susah payah selama ini aku berbohong, apa hari ini akan terbongkar semuanya? Kebohonganku akan sia-sia?“Hehe, bukan, Bu. Itu suara temanku di kamar sebelah.” Entahlah, ibu akan percaya atau tidak.“Lho, bukannya kamu ngekos di kosan laki-laki? Kenapa ada suara perempuan? Tadi Ibu dengar dia memanggilmu, Dan. Apa Ibu sala
“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana.Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.
“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.“Mau ngapain ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”“B*cotmu!
Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua milikny
“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.
“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung