Sorak sorai bergemuruh mengelilingi lapangan olah raga.
Axel! Pak Bagas! Axel! Pak Bagas! Masing-masing kubu menyorakkan nama jagoan mereka. Tak pelak Laras dengan lantang menyebutkan nama kedua lelaki ini, untuk memberikan semangat. "Ishhh, elo dukung siapa? Exel apa Pak Bagas!?" seru Irma, menyikut lengan Laras. Dengan kikuk Laras mengusap tengkuknya. Bibirnya mengulas senyum canggung. "Gue dukung keduanya." Lalu kembali menyorakkan nama kedua lelaki yang berada di lapangan. Terlihat beberapa orang yang kini berada di area lapangan sedang memperebutkan benda berbentuk bulat, dua orang saling berhadapan menunggu bola yang dengan indah melayang tepat di atas kepala mereka. Pandangan mereka tajam membidik bola, badan mereka meloncat tinggi dengan kedua tangan menjulur mencoba meraih bola basket yang sedang meluncur ke arah mereka. Hap!! Dengan tangkas Exel menangkap bola, lalu meliukkan badan mencoba menghindari tangan Bagas yang mencoba merebut bola dari tangannya. Kaki kokoh Exel berlari menuju ring di ikuti oleh Bagaskara. Hap!! Exel melompat tinggi lalu melempar bola ke arah ring dan ... sorak sorai terdengar lebih riuh dari sebelumnya, suara peluit wasit mengiringi selesainya permainan. Terlihat Exel menatap ke arah Laras, lalu melambai kan tangan, tersenyum sumringah. Ahhh ... Senyumnya begitu menawan tetapi entah kenapa tak ada getar-getar cinta di hati Laras. Laras membalas lambaian tangan Exel. Tersenyum canggung, sedikit tak bergairah karna guru gebetannya kalah kali ini. Siang ini sekolah sudah terlihat sepi, tetiba netra berbulu mata lentik ini melihat guru incarannya sedang berjalan di koridor sekolah, tanpa berfikir Laras berteriak dari tempatnya berada. “Pak Bagas. I love you.” Dengan nyaring gadis ini berteriak dari lantai 3. Suaranya menggema memenuhi seisi ruang kosong. “Nunduk.“ Laras menarik tangan Irma untuk bersembunyi di balik dinding pagar. Supaya tak terlihat oleh Bagas yang terlihat tengak-tengok mencari-cari asal suara. “Iihhh ngegetin aja!” ujar Irma kesal. “Hi, hi, hi.” Laras menutup mulut, cekikikan. Lagi, dia mengintip dari lubang pagar mencari keberadaan Bagaskara, rupanya lelaki itu sudah berada di area parkir motor. Dari tempat para gadis ini berada, area sekolah terlihat jelas hingga pintu pagar keluar sekolah. “Udah ... tembak aja tuh kanebo kering, dari pada elo penasaran begitu,” saran Irma. “Gengsi banget gue nembak cowok. Akan gue buat Pak Bagas bertekuk lutut sama gue,” ucap Laras menggebu, seolah siap berperang di medan perang. Tululut, tululut ... suara ponsel Irma berbunyi. “Halo Mas! Aku pulang bareng Laras, iya ... aku ga main ke mana-mana, iya ... bawel." Irma mematikan telpon selularnya, terlihat kesal. “Sebel," ucap Irma lagi, bibirnya mengerucut imut. “Main dulu yu, nongkrong di mana kek,” ajak Irma, dia menarik tangan Laras menuju parkiran. “Ah ... panas-panas gini, paling enak nongkrong di rumah lo aja. Di sana lebih adem ....” ujar Laras, menarik turunkan alis menatap Irma. Gadis cantik berbibir imut ini memalingkan wajah sambil mendecih. “Iisshhhh, kata elo adem kata gue sumpek,” ucap Irma terlihat kesal. Ehemm .... Suara deheman membuat dua gadis ini menoleh ke arah belakang. "kebetulan ketemu duo bidadari. Bikin adem aja, biarpun suasana lagi panas begini.” tiba-tiba Excel sudah berada di belakang dua gadis ini, sambil mengibas-ngibaskan kemeja mencari angin. “Saran Irma bener nih ... mending nongkrong dulu, 'kan jarang-jarang kita pulang cepet. Gue yang traktir deh, duo bidadari mau makan apa!! babang ganteng yang traktir,“ ucap Exel menepuk-nepuk dadanya. "Kebiasaan emang ini anak sombongnya kebangetan. Mentang-mentang bapaknya tajir melintir. Lagian udah kaya setan aja nih orang tau-tau muncul di mana-mana." monolog Laras. “Lain kali aja deh Bang. Gue ama Irma udah punya janji ama nyokapnya Irma, mau bantuin bikin kue, iya kan Ma?” Laras menyenggol lengan Irma. “I-iyaa, Xel. Emak gue minta bantuin bikin kue, lagi banyak pesenan katanya,” jawab Irma gugup. “Nih anak bohong begitu aja gugup,“ batin Laras, bibirnya mencebik, khawatir Exel curiga. “Ooohhhh jadi nolak niihhh, it’s ok,” ucap Exel sedikit kesal karna ditolak. Maklum anak orkay gak pernah ditolak apa keinginannya. “Bukan nolak Bang, tapi kan ga enak masa batalin janji sama nyokapnya Irma. 'kan ga sopan.” Laras berusaha membuat alasan yang masuk akal. Biarpun sombong bin nyebelin Exel tipe setia kawan selalu ada saat Laras butuhkan. Tak mungkin Laras rela kehilangan cowok keren plus tajir melintir ini. “Kalo nggak gini aja. Elo and the geng mending ikut kita bantuin nyokapnya Irma. kalo dah selesai baru kita nongkrong, gimana?” Laras berusaha tenang, menaik turunkan alis, hati ketar ketir juga takut si babang nyebelin setuju. “Haaaahhh ...." Bola mata Exel membulat tajam menatap dua gadis ini. "Masa macho gini bikin kue.” Dia menggoyang-goyangkan telapak tangan juga kepala. “Nggak deh, ya udah gih dah pada pergi sana bikin kue yang enak. Besok bawain gue.” Titahnya dengan ekspresi boring. Dia kibas-kibaskan telapak tangannya mengusir dua gadis di hadapannya. “Okee Babang, thank you pengertiannya, pergi dulu ya!!” gegas Laras menaiki motor maticnya, melambaikan tangan dan menarik tuas gas cepat sebelum Excel berubah pikiran. "E ... Tapi kenapa motornya nggak mau jalan!! Ma?" Laras menurunkan kaki menengok ke belakang. Ternyata beberapa orang memegangi bamper jok belakang. Exel kembali mendekat kepada Laras, lalu mencondongkan wajah menatap bola mata Laras yang mengerjab. Laras juga Irma menelan ludah susah payah. "A-apa lagi, Bang?" tanya Laras terbata. Exel tersenyum smirk, membuat dua orang ini semakin salah tingkah, khawatir. "Mampus ... kayanya dia tau gue bohongin," ujar Laras dalam hati.“Gagal makan enak, padahal ATM ngajakin nongkrong,” ucap Irma, terlihat dari kaca spion bibirnya di lipat kesal. “Gue yang traktir deh kesukaan lo, anggap aja kita lagi makan di cafe mahal." Laras mencoba membujuk. Juga sedikit merajuk. Melihat expresi Laras membuat Irma sedikit terenyuh. “Ya udah dehhh demi yang lagi jatuh cintrong,” ucapnya ceria seperti sedia kala. Melihat senyum Irma sudah kembali seperti biasa, membuat Laras memacu motor dengan semangat tinggi menuju rumah Irma yang tak lain rumah cowo incarannya. Dalam perjalanan ke rumah Irma Laras mengingat kejadian lalu saat pertama melihat Bagaskara si guru tampan yang mampu membuat dadanya bergetar. “Prit, prit, prit, rapatkan barisan kalian." Titah seseorang yang langsung dituruti para siswa. Para sisiwa berbaris rapih, Laras berada pada barisan terakhir karna memang dia tak menyukai pelajaran olah raga. “Perkenalkan saya guru pengganti Pak Arif yang sedang cuti beberapa bulan kedepan karna sedang sakit keras.
Irma masih terus membicarakan Excel, aku termenung mengingat kebodohanku waktu itu pertama kali bertemu dengan Exel, si lelaki datar yang ternyata begitu perhatian. "Kamu telat juga?"tanyaku sok akrab pada lelaki berwajah jutek di sebelahku. Sepertinya kami sama-sama terlambat pagi ini. Aku menarik lengan lelaki yang belum pernah aku lihat ini. "Lewat sini aja, biar nggak ketauan guru piket."Lelaki itu hanya diam mengikuti langkahku. "Elo kelas berapa? Kok gue belum pernah liat elo ya?" tanyaku pelan juga sambil berjalan pelan agar tak terdeteksi guru piket. Dia tak menjawab berondongan pertanyaanku, kami sampai di depan lorong, "Eh kenalin, Laras." Aku menjulurkan tangan, di sambut olehnya, walau wajahnya tetap datar. "Axel," ucap lelaki berwajah jutek ini, yang kini sedang menjabat tanganku. Senyumku canggung menatap matanya. "itu muka apa tembok, datar plus dingin banget," Aku hanya bisa membatin, netraku mengerjap beberapa kali karna beradu pandang dengannya. Aku grogi, tat
Tap, tap, tap .... Aku menaiki satu persatu anak tangga dengan semangat empat lima menuju perpustakaan. Terdengar suara bercakap-cakap di depan sana. Oohh ... Alya rupanya, tapi tunggu! sebentar! siapa gerangan lawan bicara Alya. “OMG, Pak Bagas,” gumamku, walau hati berdebar-debar grogi melihat wajah tampan Pak Bagas, tetap kulajukan kakiku mengarah pada keberadaan mereka. Terlihat mereka sedang tertawa. “Ooohh ternyata mudah ya Pak, dari semalam saya bingung soal ini!” ucap Alya sambil memberi senyum pepso**nt. “Pak." Ku anggukan kepala saat Pak Bagas menengok ke arahku. Tak pernah aku duga si dia yang selalu bermuka dingin di hadapanku ini memberikan senyum menawan. "Ya Allah." Aku seperti terhipnotis terus menatap ke arah Pak Bagas. Dan tiba-tiba, Gubrak. Aawww .... Pintu tak tau diri itu mencium wajah cantikku yang kini terasa kebas. Ternyata pintu di tutup sebelah. Ku usap-usap wajahku yang sakit. Terlihat Alya tersenyum mengejek, “Hati-hati, pintu jang
“Laras, setelah pulang sekolah kamu ke kantor ibu dulu ya.” Bu Ida guru BK sekolahku memanggil di depan kelas dengan suara mendayu-dayu merdu. Guru BK di sekolahku terkenal cantik mempesona. Suaranya lemah lembut, dandanannya selalu matching, siapapun yang masuk ke ruangannya akan keluar dengan wajah cerah, entah apa yang dilakukan di dalam karna ruangan tertutup rapat. Tok,tok,tok ... Ku ketuk pintu ruang kantor Bu Ida. “Silahkan masuk,” ucap suara di dalam dengan aksen ramah. Aku masuk dan terperanjat kaget, ku dapati Pak Bagas sudah duduk di kursi tersangka. Kepalanya menegok ke arahku, tatapannya tajam seperti menembus jantungku. “Silahkan duduk Laras,” ucap Bu Ida sopan. Guru BK yang satu ini memang lembut, cantik, sopan. Kalo aku disuruh menilai attitudenya aku kasih angka 9,9. Kenapa ga 100? Karna yang maha sempurna hanya milik Allah. Aku duduk di sebelah Pak Bagas yang terlihat santai. Hatiku dag dig dug tak karuan karna duduk bersebelahan dengan Arjunaku. Ku
"Aduhh ... Mati gue," Aku memejamkan mata, terlihat Irma tersenyum kikuk melihat expresiku. "Lagi ngobrol apa? Kaya rahasia?" tanya lelaki berperawakan tinggi ini. Menaruh bobot tubuh di sebelahku, juga menaruh sebuah novel di atas meja. Melihat cover novel incaranku ada di atas meja seketika netraku berbinar. "Akhirnya elo dapet juga ini buku Bang?" tanyaku sumringah. "Apa sih yang nggak bisa buat kamu," ucap Exel masih mode datar, di lihat dari expresinya sepertinya dia sedang tak baik-baik aja. "Siang jalan yuk," ajak Exel lagi. "Hayo!!" Irma menyahut sumringah ajakan Exel. Netranya berbinar menatap Excel Lelaki ini bangun dari duduk memasukkan tangan ke saku celana, berdiri menatapku. "Ajakin tuh Laras, kalo dia nggak ikut elo yang traktir gue." Dengan santai Exel meninggalkan kami. Irma hanya menatap Exel tanpa kata. "Apa maksudnya coba, kalo elo nggak ikut gue yang harus traktir dia!" Irma menatap punggung Exel dan aku bergantian. Aku terkikik melihat expre
Hingga hari ini, setelah terakhir aku melihat Pak Bagas tempo hari, Lelaki tampan itu belum lagi mengajar di sekolah. Memang Pak Bagas hanya guru sementara, hanya menggantikan Pak Arif. Hari-hari ku galau, konsentrasiku buyar, aku merindukan Pak Bagas. Mungkin inilah sebabnya, Emak wanti-wanti dari dulu, anak-anaknya di larang pacaran sebelum memiliki pekerjaan mapan dan siap menuju pelaminan. Kata Emak kalo udah siap langsung nikah, gak usah pacar-pacaran, udah 'mah dosa, bisa bikin pikiran ga karuan, buang buang waktu. Nggak bosen Emak ngingetin anak-anaknya jangan pada pacaran. Maksud Emak, bikin pikiran nggak karuan, ini kali ya? yang aku rasakan sekarang. Dan ternyata perkataan emak bayak benernya. Sekarang di pikiranku cuma ada si Arjuna Bagaskara. Aku mengacak rambut frustasi. Mak, Emak kok top banget sih kalo nasehatin anak, gimana ini Mak, hati Laras kepincut guru ganteng, Laras kangen berat sama Pak Bagas, Mak. Hatiku mereog nggak karuan. "Ma, gue main ke rumah elo y
Bab 8“Gimana Laraass ... Sudah berhasil menaklukan Pak Bagas? “ tanya Alya di dekat telingaku saat aku sedang melamunkan pak Bagas di pembatas pagar.“Hhmmm ...." Aku bergumam, menatap bola mata Alya yang berbinar. "Dan elo, gimana? Sudah bisa menaklukan-nya?" tanyaku menaik turunkan alis.“Mungkin selangkah lagi,” ucapnya percaya diri.“Dan gue gak percaya,” jawabku. “Karna Pak Bagas sudah punya pacar.” Alyaa sedikit terperanjat mendengar ucapanku “Masa, gak tau?” ujarku lagi, dengan percaya diri, kini aku memasang wajah kemenangan."Apa sih yang Alya nggak tau tentang Pak Bagas??" Gadis di depanku melipat tangan di dada, senyumnya mencibir. Berusaha menetralkan keterkejutannya."Oh, ya?" "Hm ... Jadi kamu sudah siap kalah??" Alya berbicara pelan. Dari senyumnya terpancar aura kemenang. Bibirnya tersungnging sepertinya dia benar-benar akan mendapatkan Pak Bagas. Setelah mengatakan hal itu Alya berlalu dari hadapanku melenggang dengan angkuh, meninggalkan aku yang kini semakin g
Bab 9 “Ikutin yu Ma,” ku tarik tangan Irma, dia masih asik makan ayam krispi kesukaannya. “Aduh ... ini belum abis, mubazir Laras!” Dia tak bergeming dari kursi. Netraku masih awas melihat ke arah mana Pak Bagas berjalan. “Nanti balik lagi,” ucapku, tapi Irma tak juga mengangkat bokong. Aku langsung beranjak dari duduk, mengikuti arah pergi Pak bagas, sedikit berlari karna lelaki pujaanku sudah tak terjangkau pandangan mata. Ku cari-cari keberadaannya tapi tak ku temukan. Aku berjalan lunglai ke arah Irma yang sudah mencuci tangan. “Siapa tadi ya, Ma? Anggun. Kayanya cantik deh mukanya. Maksud gue, gue pengen berpenampilan kaya gitu. Biasanya cowok-cowok modelan kaya abang elo itu sukanya cewe kaya gitu, “ ucapku antusias. “Tapi kita kan masih SMA, ntar elo dipanggil ukhti,” ucapnya sotoy. “Ya ga ada salahnya juga, ukhti-ukhti kan cantik-cantik dan anggun. Demi dapetin arjuna apa sih yang nggak,” ucap ku bersemangat. “Niat awal udah ga bagus.” Irma mencibir. “Biarin,
Laras mencoba merapatkan mata, tetapi jantungnya berirama semakin keras, apalagi genggaman tangan Excel semakin membuat rasa menggelegak ingin di sentuh di tempat yang lain. Beberapa saat Laras mengontrol degup jantung yang semakin berpacu, tubuhnya meminta di sentuh lebih. Laras menarik tangannya, mengganti posisi tidur, tetapi masih juga tak bisa terpejam, dia bangun mengambil gelas di atas nakas lalu meminum air mineral berusaha mendinginkan tubuh.Excel hanya menatap istrinya yang terlihat gelisah. Lalu kembali memejamkan mata, mungkin mereka nervous pikir Excel. Laras masih duduk, tak juga merebahkan tubuh. "Kenapa, Yang. Sini babang kelonin kalo nggak bisa tidur.""Ck. Jangan ambil kesempatan Bang." Laras turun dari ranjang mengambil lotion, mengolesi ke seluruh tubuhnya. Mendingan, nggak panas banget, ujar Laras. Masuk kembali ke dalam bedcover. Excel memejamkan mata, menghirup aroma wangi lotion, membuat jantung Excel berpacu 10 kali lipat dari biasanya, otaknya mulai trav
Netra Excel awas menatap pintu kamar mandi. Akhirnya pintu terbuka. Bibir Excel tersungging melihat Laras mengenakan pakaian tidur hello kitty berwarna Pink. Anak-anak sekali, gumam Excel, jauh dari ekspektasi, Excel mengira Laras keluar dengan pakaian satin tembus pandang. "Beneran kamu nggak mandi dulu?" Excel menggeleng. Menarik bangku yang akan di duduki Laras. "Silahkan princes."Mulut Laras mencebik. "Makasih, Tuan.""Sama-sama, Ces."Excel duduk di bangkunya. Laras tersenyum, jarinya membenarkan rambut, lalu menjepit ke belakang telinga. Netra tajam Excel terus menatap Laras.Tos. Excel meraih gelas air putih mengulurkan ke hadapan Laras. Laras pun melakukan hal yang sama. Bibir gadis ini melengkung indah. Memang benar-benar labil sebentar marah, kasal tapi sebentar sudah normal lagi. ***Irma duduk di tepi ranjang melamun memikirkan banyak hal. Termasuk Laras sahabatnya. Irma membuang nafas pelan, mengingat percakapannya barusan dengan Excel. Irma memberikan tas yang di
"Kamu butuh kepastian seperti apa? Kamu mau liat ini ku besar atau tidak?" Laras gesit menarik tangannya ketika Excel menempelkan telapak tangannya pada kejantanannya. "Ish ... Bukan Bang.""Terus?" "Lo ng-"Lagi Excel menempelkan jemari di mulut Laras. "Kamu.""Baangg." Laras merengek. "Oke. Lanjut.""K-kamu ..." Laras kikuk berbicara dengan bahasa formal. "Kamu apa?" Laras membuang nafas pelan. Menatap gedung-gedung tinggi di hadapannya. "Kamu banyak pacar, terutama sama Niken, aku --""Cemburu, takut, khawatir?" Laras mengangguk, "Secara kita masih sama-sama muda Bang, aku nggak bisa pastikan kamu nggak bakalan bosen sama aku. Dan kamu sungguh sungguh, nggak akan berkhianat di belakang aku.""Ras, kalo untuk masa yang akan datang aku juga nggak bisa janji." Laras menatap Excel kesal. "Dengerin dulu, untuk pernikahan ini aku udah janji di hadapan orang tuamu dan Tuhan, untuk menjagamu, melakukan kewajibanku. Tau nggak sebelum nikah aku udah belajar bab nikah agar aku siap
Lelaki jangkung ini menemui Sarah dan Bagaskara, memberi selamat pada gebetan istrinya dan sekarang jadi ipar. "Saya panggil Mas atau Pak?" Excel mengusap alis pelan."Mas, dong." Bagas menepuk lengan Excel."Selamat, Mas. Jagain Kak Sarah yang suka penasaran dan usil.""Pasti, kamu juga selamat ya. Jagain juga Laras."Kedua alis mata Excel mengernyit,menatap Bagaskara. "Nggak usah cemburu mulai sekarang, aku juga udah punya yang lebih cantik." kelakar Bagaskara. Bibir Sarah langsung mengembang, tersenyum jumawa. "Laras bukan apa-apa di banding saya." Selalu Sarah seperti di atas angin, selalu dia merasa lebih baik dari siapapun. "Iya, Kak. Iya." Aku turun. "Foto dulu." Nata naik ke atas pelaminan melihat putranya berada di sini. "Laras mana?" tanya Nata lagi. Sebentar aku telpon. Beberapa kali Excel menghubungi Laras, tetapi tak di angkat, lalu Excel mengirim pesan, jika Laras ditunggu untuk berfoto. "Laras mengirimkan gambar wajahnya."Excel terbelalak melihat wajah Laras.
Hari yang di nantikan Sarah tiba. Pesta mewah di gelar di hotel berbintang. Artis dan pejabat negara yang sering berseliweran di telivisi hadir di acara sakral ini. Bagaskara lelaki bernama Bagaskara itu berdiri dengan angkuh di atas pelaminan, sama angkuhnya dengan sang surya yang bertengger tegak menyinari bumi. Tubuh tinggi tegap dengan setelah jaz mahal menambah ketampanan lelaki ini. Laras menatap damba Pada Bagaskara, sejak tadi pandangan matanya tak lepas dari lelaki yang selalu tersenyum ramah pada setiap tamu yang menyalaminya. "Eh kita foto yuk." Anti menarik tangan Laras. Melihat Anti juga Laras mendekat ke pelaminan Alya mengekor di belakang. Gadis-gadis cantik ini tersenyum manis, dari mulutnya selalu keluar candaan-candaan menghibur. "Selamat ya Pak Bagas. Kak Sarah, langgeng abadi buat kalian." Anti paling dulu menjabat tangan Bagaskara, di susul Alya, dan terakhir Laras. "Selamat ya, Mas," ucap Laras. Sarah mendengus mendengar Laras memanggil Mas. "Jangan lama-la
Mobil berjalan merayap. Jam pulang kerja sudah di pastikan macet hingga akar-akarnya. Nata menatap Excle yang menjambak rambutnya frustasi. "Jangan main paksa. Biarin dia menyesuaikan diri. Yang penting dia udah jadi milik kamu, nggak bakal ada yang bisa nikung kamu. Sekarang kamu fokus belajar. Mengembangkan diri. Buktikan kamu bukan lelaki yang dia sangka kan. Jadi Excel yang bisa melebarkan sayap Wijaya semakin bekibar. Dengan melihat keberhasilan mu cepat atau lambat dia akan mendekat.""Sekarang pun aku bisa kasih apa yang dia butuh, dan mau.""Berarti perempuanmu special. Dia tak mau memiliki lelaki yang hanya mengandalkan hasil warisan." Mata Nata mengerling, senyumnya lebar penuh kepuasan menampakkan gigi kekuningan akibat rokok. "Dia!!" Gigi Excel bergemelutuk menahan emosi. Tangannya mengepal memukul kaca mobil. Nata tersenyum. Mengingat Laras menyindir kejantanan Excel, membuat wajah putranya seketika merah padam malu. "Kamu sama dia belum ngapa-ngapain. Temen kamu Nik
Mulut kedua anak ini menganga, bulu matanya mengerjab-ngerjab. "Berarti punya Excel kecil, kalo elo nggak ngerasain sakit," ujar Alya. Hah!! Laras dan Irma saling tatap. "Sayang banget, cowo keren begitu anunya kecil." timpal Irma. Laras membenarkan letak duduk, dia diam sesaat. Melihat Laras murung, Irma berinisiatif menghibur. "Tenang Ras. Banyak dokter canggih, dia 'kan banyak duit, lo cari dokter hebat buat ngobatin anu-nya." "Ishh ... Ngapain repot-repot. Untung tes drive dulu si Laras. Ini gunanya tes drive sebelum nikah, jadi tau dia unggul nggak, udah tinggal, Ras. Jangan di terusin," Saran Laras. "Menjerumuskan banget nih bocah satu, tes Drive, kalo Lo punya 20 pacar semua mau Lo tes?" pelotot Irma.Alya terkekeh.Laras melongo frustasi, "Masalahnya gue udah di nikahin sama Excel.""Apa!!" kembali suara kedua gadis ini menggema memenuhi kabin pesawat. Seorang pramugara tampan mendekat mengingatkan agar berbicara lebih pelan karna bisa mengganggu kenyamanan penumpang la
Laras berjalan pelan, hatinya berdebar, bukan karna mengingat ciuman mereka tetapi sedang menimbang jawaban apa yang tepat jika Irma dan yang lain bertanya. Perasaan gadis ini begitu lega ketika dia sampai di depan pintu kamar, dan tak ada pandangan mencurigakan dari teman-temannya. "Bang, gue masuk." Lirih Laras bersuara. "Nanti sampe Jakarta langsung ngabarin, ya."Laras segera membuka pintu, tetapi tangannya di cekal Excel. "Bang." Netra Laras memohon agar Excel tak berulah. "Nanti ada yang liat." Laras semakin khawatir, karna Excel sedah menyentuh pinggangnya. Excel melepas tangan dari pinggang Laras. "Gue, nyusul ke Jakarta, tungguin di rumah." Excel mengecup kening Laras, dan pergi meninggalkan Laras dengan perasaan tidak rela. Assalamualaikum. Salam Laras ketika sudah di dalam. Alya dan Irma menengok. "Tumben lo akur sampe tidur bareng."Pasokan oksigen tetiba di rasa berhenti mendengar penuturan Alya. Laras terpaku di tempat entah harus menjawab apa. "Dari dulu juga ak
Bola mata Excel membola, "Bekas Niken?? gue masih perjaka ting-ting. Ayo Ras, kita nyobain lagi." Excel membopong Laras ke atas ranjang, walau Laras berontak lelaki ini tak peduli, tangannya dengan kuat mengangkat dan merebahkan Laras di pembaringan. Dengan cepat Laras bangun dan menghindar, bak kelinci kecil sedang dalam buruan, wajah Laras terlihat khawatir."Jangan macem-macem, Bang!" Salak Laras.Kakinya Loncat dari tempat tidur ke atas sofa. Tunggu!!Kanya kalo baru pertama kali sakit, kenapa ini nggak ada berasa apa-apa ya??? pikir Laras. Excel bangun kaki kokohnya sampai di sofa dengan hanya sekali loncatan. Dengan kuat Excel mencekal tangan Laras yang sudah bersiap menghindar. Lengan kekar Excle melingkar di pinggang Laras. Nafas mereka memburu, dada yang saling melekat bergerak naik turun. Laras memasang wajah penuh permohonan."Lepasin Cel." pinggul Laras bergerak gerak menimbulkan gesekan. Tangannya memukul-mukul dada Excel. Bagi lelaki ini, tangan Laras yang memukul t