“Gagal makan enak, padahal ATM ngajakin nongkrong,” ucap Irma, terlihat dari kaca spion bibirnya di lipat kesal.
“Gue yang traktir deh kesukaan lo, anggap aja kita lagi makan di cafe mahal." Laras mencoba membujuk. Juga sedikit merajuk. Melihat expresi Laras membuat Irma sedikit terenyuh. “Ya udah dehhh demi yang lagi jatuh cintrong,” ucapnya ceria seperti sedia kala. Melihat senyum Irma sudah kembali seperti biasa, membuat Laras memacu motor dengan semangat tinggi menuju rumah Irma yang tak lain rumah cowo incarannya. Dalam perjalanan ke rumah Irma Laras mengingat kejadian lalu saat pertama melihat Bagaskara si guru tampan yang mampu membuat dadanya bergetar. “Prit, prit, prit, rapatkan barisan kalian." Titah seseorang yang langsung dituruti para siswa. Para sisiwa berbaris rapih, Laras berada pada barisan terakhir karna memang dia tak menyukai pelajaran olah raga. “Perkenalkan saya guru pengganti Pak Arif yang sedang cuti beberapa bulan kedepan karna sedang sakit keras. Nama saya Bagaskara, guru sementara kalian. Sekarang perkenalkan nama kalian masing masing.” Terdengar suara lelaki memberi perintah. Ahmad, ali, sinta, irma .... “Ras,” Irma menyenggol tangan Laras yang sejak tadi tidak memperhatikan. Hari ini moodnya sedikit terganggu, pagi-pagi ban bocor di jalan, mengakibatkan dia terlambat masuk sekolah. Akhirnya dapat hukuman membersihkan kamar mandi. Lelah rasa badan. “Apa?” Laras menengok menatap Irma. “Nama elo,” “Kenapa?” mata Laras memincing menatap Irma. “Heeyyy kamu! Siapa nama kamu?” suaranya tegas. Laras menengok ke asal suara.Tenggorokannya tercekat, antara sadar dan tidak. Di depannya terlihat seorang lelaki bak Arjuna. Tinggi badannya Atletis. hidung mancung dan tatapan tegas, dia begitu sempurna, di mata Laras. Pletak. Aawww ... Laras kaget, tangannya mengusap jidat yang dipukul menggunakan kertas yang dibawa Bagaskara. “Saya perhatikan dari tadi kamu tidak memperhatikan saya, kamu lagi mikirin apa?” bentaknya. “Lagi mikirin Bapak, Pak!" ucap gadis ini spontan. Lagi-lagi dia di buat kaget dengan ulahnya sendiri, malu bukan kepalang kenapa bisa mulutnya keceplosan begini. Tumben bener rem di mulutnya blong. Alhasil semua mentertawakan kekonyolannya. “Uuhhh ... panas banget, akhirnya nyampe juga,” ujar Laras, dia duduk di kursi teras mengipas ngipas tangan ke badan. Walau ga ada bedanya, tapi rasanya lebih enak, mungkin. Laras merogoh tas mengambil alat makeup seadanya. Di poles sedikit bedak dan liptin di bibir tipisnya, "Secara mau ketemu arjuna," gumamnya sambil tersenyum, meneliti wajah di cermin kecil. Dilihatnya Irma mengambil kunci di bawah pot di teras rumahnya. “Loohhh??" Laras celingak-celinguk ke arah tampat penyimpanan motor. “Kok motor Arjuna gue kagak ada Ma??" “Iyaa katanya dia pulang malem mau ada kuliah tambahan,” ucap Irma enteng sambil melenggang masuk membawa bungkusan makanan kesukaanya. “Whoaa, whoaaa, whoaaa. Rugi bandar dong gue. Tau begini tadi ikut Excel aja." Laras tantrum seperti anak kecil, di teras. “Ha ha ha.” Terdengar suara tertawa bahagia di dalam, tak ada niatan teman luknutnya menenangkan Laras yang kini tantrum. “Sue, sue, apes bener, kalo bukan calon ade ipar udah gue uh!! elo, Maaa ....” teriak Laras menahan air mata yang tak mampu meluncur. Dia hentak-hentakkan kaki di lantai. “Bonyok lo, pulang jam berapa Ma?” tanya Laras sambil rebahan di kasur empuk berukuran single size. “Belum tau, ga tentu, kalo toko rame pulang malem,” katanya sambil duduk dan membuka bungkusan makanan yang tadi dibeli. “Sepi banget ya, uhhh ... wenak tenan tidur pules ini mah, ga ada yang ganggu,” ujar gadis berwajah oriental ini sambil merentangkan tangan. “Ganti baju gak? Nih pake kaos biar nyaman.” Irma melempar kaos berwarna merah tepat mengenai muka Laras. “Sue bener lo ma, ga ada sopan-sopannya ama kaka ipar!” rutuk Laras, lalu melempar kembali kaos yang tadi mengenai wajahnya, ke sembarang arah. “Ma, bener 'kan Pak Bagas belum punya gacoan?” tanya Laras menyelidik. “Kayanya sih belum, selama ini dia belum pernah bawa cewek ke rumah." “Syukurlah,” Laras sedikit tenang, “tapi biar pun udah punya cewek, kalo janur kuning belum melengkung ganbate! Kejar sampe dapet!!” semangat 45 laras muncul. “Tau gak? si Alya, cewek kuper terpinter di sekolah, kayanya naksir juga ama abang gue,” ujar Irma melirik ke arah Laras. “Abang gue juga kaya-kaya seneng,” ucap Irma lagi. Terlihat wajah Laras seketika berubah. Sepertinya hatinya panas terbakar cemburu. “Elo tau dari mana abang elo juga suka?” tanyanya antusias, menggeser bokong lebih dekat ke tempat Irma duduk. “Beberapa kali Alya deketin abang gue, terus tanya pelajaran yang dia ga bisa, atau pura-pura ga bisa gue gak yakin. Sama abang gue dijelasin pelan-pelan dengan ramah pula," terang Irma menggebu, seolah menyulut kompor agar apinya membara. "Ama gue aja gak pernah tuh ngajarin pake muka ramah begitu," lanjut Irma. “OMG ... saingan gue anak paling pinter di sekolah, alamak ... gue musti gimana menaklukan hati abang lo Ma?” tanya Laras frustasi. Yang ditanya hanya menggedikan bahu, asik makan popcorn keju kesukaannya. “Sroottt, sroottt,” suara sedotan dihisap. Tanda air di dalam gelas telah tandas. "Kepala gue ngebul, elo santai aja, Ma!!" Laras mengeluarkan jurus uring-uringan. Irma tetap santui makan makanan yang tadi Laras traktir. "Ikut bantu mikir dong, Ma,“ ucapku sewot. “Lo kan adeknya, masa lo gak tau kelemahan abang lo di mana soal percintaan? Dan lo kan sahabat gue bantuin gue dong Ma!!” rayu Laras dengan muka memelas. Irma tetap slow motion, dia nyalakan laptop dan asik sendiri bermain game. "Dari pada pusing mending elo gebet laki terkeren di sekolah kita aja! yang udah jelas-jelas naksir sama elo." ujar Irma dengan tatapan ke arah laptop. "Siapa?" Laras mengernyit menatap Irma. "Siapa lagi emang cowo terkeren?? Dan pastinya tajir melintir, tujuh turunan elo nggak bakalan susah kalo mau sama dia." netra Irma berbinar. "Dia cuma baek doang sama gue, udah gue anggap sahabat, sahabat mana bisa jadi pacar." "Baek gimana? Jelas-jelas dia naksir, buktinya tadi dia --" Irma terkikik, mungkin mengingat kejahilan Exel tadi. "Sue banget tuh orang, untung ada elo, kalo nggak udah gue smack down itu orang. Asal nyosor aja," ujar Laras memiringkan badan memunggungi Irma.Irma masih terus membicarakan Excel, aku termenung mengingat kebodohanku waktu itu pertama kali bertemu dengan Exel, si lelaki datar yang ternyata begitu perhatian. "Kamu telat juga?"tanyaku sok akrab pada lelaki berwajah jutek di sebelahku. Sepertinya kami sama-sama terlambat pagi ini. Aku menarik lengan lelaki yang belum pernah aku lihat ini. "Lewat sini aja, biar nggak ketauan guru piket."Lelaki itu hanya diam mengikuti langkahku. "Elo kelas berapa? Kok gue belum pernah liat elo ya?" tanyaku pelan juga sambil berjalan pelan agar tak terdeteksi guru piket. Dia tak menjawab berondongan pertanyaanku, kami sampai di depan lorong, "Eh kenalin, Laras." Aku menjulurkan tangan, di sambut olehnya, walau wajahnya tetap datar. "Axel," ucap lelaki berwajah jutek ini, yang kini sedang menjabat tanganku. Senyumku canggung menatap matanya. "itu muka apa tembok, datar plus dingin banget," Aku hanya bisa membatin, netraku mengerjap beberapa kali karna beradu pandang dengannya. Aku grogi, tat
Tap, tap, tap .... Aku menaiki satu persatu anak tangga dengan semangat empat lima menuju perpustakaan. Terdengar suara bercakap-cakap di depan sana. Oohh ... Alya rupanya, tapi tunggu! sebentar! siapa gerangan lawan bicara Alya. “OMG, Pak Bagas,” gumamku, walau hati berdebar-debar grogi melihat wajah tampan Pak Bagas, tetap kulajukan kakiku mengarah pada keberadaan mereka. Terlihat mereka sedang tertawa. “Ooohh ternyata mudah ya Pak, dari semalam saya bingung soal ini!” ucap Alya sambil memberi senyum pepso**nt. “Pak." Ku anggukan kepala saat Pak Bagas menengok ke arahku. Tak pernah aku duga si dia yang selalu bermuka dingin di hadapanku ini memberikan senyum menawan. "Ya Allah." Aku seperti terhipnotis terus menatap ke arah Pak Bagas. Dan tiba-tiba, Gubrak. Aawww .... Pintu tak tau diri itu mencium wajah cantikku yang kini terasa kebas. Ternyata pintu di tutup sebelah. Ku usap-usap wajahku yang sakit. Terlihat Alya tersenyum mengejek, “Hati-hati, pintu jang
“Laras, setelah pulang sekolah kamu ke kantor ibu dulu ya.” Bu Ida guru BK sekolahku memanggil di depan kelas dengan suara mendayu-dayu merdu. Guru BK di sekolahku terkenal cantik mempesona. Suaranya lemah lembut, dandanannya selalu matching, siapapun yang masuk ke ruangannya akan keluar dengan wajah cerah, entah apa yang dilakukan di dalam karna ruangan tertutup rapat. Tok,tok,tok ... Ku ketuk pintu ruang kantor Bu Ida. “Silahkan masuk,” ucap suara di dalam dengan aksen ramah. Aku masuk dan terperanjat kaget, ku dapati Pak Bagas sudah duduk di kursi tersangka. Kepalanya menegok ke arahku, tatapannya tajam seperti menembus jantungku. “Silahkan duduk Laras,” ucap Bu Ida sopan. Guru BK yang satu ini memang lembut, cantik, sopan. Kalo aku disuruh menilai attitudenya aku kasih angka 9,9. Kenapa ga 100? Karna yang maha sempurna hanya milik Allah. Aku duduk di sebelah Pak Bagas yang terlihat santai. Hatiku dag dig dug tak karuan karna duduk bersebelahan dengan Arjunaku. Ku
"Aduhh ... Mati gue," Aku memejamkan mata, terlihat Irma tersenyum kikuk melihat expresiku. "Lagi ngobrol apa? Kaya rahasia?" tanya lelaki berperawakan tinggi ini. Menaruh bobot tubuh di sebelahku, juga menaruh sebuah novel di atas meja. Melihat cover novel incaranku ada di atas meja seketika netraku berbinar. "Akhirnya elo dapet juga ini buku Bang?" tanyaku sumringah. "Apa sih yang nggak bisa buat kamu," ucap Exel masih mode datar, di lihat dari expresinya sepertinya dia sedang tak baik-baik aja. "Siang jalan yuk," ajak Exel lagi. "Hayo!!" Irma menyahut sumringah ajakan Exel. Netranya berbinar menatap Excel Lelaki ini bangun dari duduk memasukkan tangan ke saku celana, berdiri menatapku. "Ajakin tuh Laras, kalo dia nggak ikut elo yang traktir gue." Dengan santai Exel meninggalkan kami. Irma hanya menatap Exel tanpa kata. "Apa maksudnya coba, kalo elo nggak ikut gue yang harus traktir dia!" Irma menatap punggung Exel dan aku bergantian. Aku terkikik melihat expre
Hingga hari ini, setelah terakhir aku melihat Pak Bagas tempo hari, Lelaki tampan itu belum lagi mengajar di sekolah. Memang Pak Bagas hanya guru sementara, hanya menggantikan Pak Arif. Hari-hari ku galau, konsentrasiku buyar, aku merindukan Pak Bagas. Mungkin inilah sebabnya, Emak wanti-wanti dari dulu, anak-anaknya di larang pacaran sebelum memiliki pekerjaan mapan dan siap menuju pelaminan. Kata Emak kalo udah siap langsung nikah, gak usah pacar-pacaran, udah 'mah dosa, bisa bikin pikiran ga karuan, buang buang waktu. Nggak bosen Emak ngingetin anak-anaknya jangan pada pacaran. Maksud Emak, bikin pikiran nggak karuan, ini kali ya? yang aku rasakan sekarang. Dan ternyata perkataan emak bayak benernya. Sekarang di pikiranku cuma ada si Arjuna Bagaskara. Aku mengacak rambut frustasi. Mak, Emak kok top banget sih kalo nasehatin anak, gimana ini Mak, hati Laras kepincut guru ganteng, Laras kangen berat sama Pak Bagas, Mak. Hatiku mereog nggak karuan. "Ma, gue main ke rumah elo y
Bab 8“Gimana Laraass ... Sudah berhasil menaklukan Pak Bagas? “ tanya Alya di dekat telingaku saat aku sedang melamunkan pak Bagas di pembatas pagar.“Hhmmm ...." Aku bergumam, menatap bola mata Alya yang berbinar. "Dan elo, gimana? Sudah bisa menaklukan-nya?" tanyaku menaik turunkan alis.“Mungkin selangkah lagi,” ucapnya percaya diri.“Dan gue gak percaya,” jawabku. “Karna Pak Bagas sudah punya pacar.” Alyaa sedikit terperanjat mendengar ucapanku “Masa, gak tau?” ujarku lagi, dengan percaya diri, kini aku memasang wajah kemenangan."Apa sih yang Alya nggak tau tentang Pak Bagas??" Gadis di depanku melipat tangan di dada, senyumnya mencibir. Berusaha menetralkan keterkejutannya."Oh, ya?" "Hm ... Jadi kamu sudah siap kalah??" Alya berbicara pelan. Dari senyumnya terpancar aura kemenang. Bibirnya tersungnging sepertinya dia benar-benar akan mendapatkan Pak Bagas. Setelah mengatakan hal itu Alya berlalu dari hadapanku melenggang dengan angkuh, meninggalkan aku yang kini semakin g
Bab 9 “Ikutin yu Ma,” ku tarik tangan Irma, dia masih asik makan ayam krispi kesukaannya. “Aduh ... ini belum abis, mubazir Laras!” Dia tak bergeming dari kursi. Netraku masih awas melihat ke arah mana Pak Bagas berjalan. “Nanti balik lagi,” ucapku, tapi Irma tak juga mengangkat bokong. Aku langsung beranjak dari duduk, mengikuti arah pergi Pak bagas, sedikit berlari karna lelaki pujaanku sudah tak terjangkau pandangan mata. Ku cari-cari keberadaannya tapi tak ku temukan. Aku berjalan lunglai ke arah Irma yang sudah mencuci tangan. “Siapa tadi ya, Ma? Anggun. Kayanya cantik deh mukanya. Maksud gue, gue pengen berpenampilan kaya gitu. Biasanya cowok-cowok modelan kaya abang elo itu sukanya cewe kaya gitu, “ ucapku antusias. “Tapi kita kan masih SMA, ntar elo dipanggil ukhti,” ucapnya sotoy. “Ya ga ada salahnya juga, ukhti-ukhti kan cantik-cantik dan anggun. Demi dapetin arjuna apa sih yang nggak,” ucap ku bersemangat. “Niat awal udah ga bagus.” Irma mencibir. “Biarin,
Bab 10 “Ras bangun,” Emak menggoyang-goyang kakiku yang terlelap di kasur king size dengan buku berserakan. Ada pepatah mengatakan rumahku istanaku. Kalo pepatahku mengatakan, kamarku istanaku. “Uuuhhh,” ku renggangkan tangan ke atas dan menatap orang yang membangunkanku. “Kenapa Mak?” tanyaku, parau. “Itu ada Excel datang, ganteng pisan, bawa martabak kesukaan emak lagi, buruan keluar tapi solat isya dulu tadi kamu belom solat,” ucap emak sumringah, bibirnya klimis bekas menggigit martabak sepertinya. Excel yang ngapelin gue, kenapa emak yang girang banget ya, pikirku. “Iya Mak,” aku bangkit langsung menuju kamar mandi berwudhu dan melakukan ibadah kepada sang pencipta. “Niihh, Nak exel liat nih, ini laras waktu masih bayi, lucu yaa,” terdengar suara Emak menemani Exel di teras, entah sedang mengobrol apa. Aku dekati bangku Emak duduk, netraku membeliak melihat benda yang sedang ditunjukkan ke arah lawan bicaranya. “Ya ampun Mak,” aku langsung merebut foto memori ket
Di rumah cluster milik ayah Bagaskara, mereka terlihat khawatir. Berkali-kali Pram melihat ke arah luar jendela, di sana beberapa orang terus mengawasi rumah mereka. "Ayah untuk apa takut pada mereka, melarikan diri pun tak akan bisa," ujar Bagas. "Ayah bukan takut, tapi ayah hanya menjaga kalian. Ayah tak ingin terjadi sesuatu terhadap kalian, mereka dari kalangan atas memiliki kekayaan. Apapun yang mereka ancamkan pasti terjadi jika kita melawan. Ayah heran bagaimana bisa kamu terlibat dengan wanita seperti itu??" tanya Pram, pelan."Perempuan itu menjebak ku, awalnya dia membantuku untuk bekerja di klink, untuk uang tambahan kuliahku, ternyata klinik tersebut klinik aborsi, saat itu klinik di grebek, dia juga yang menjamin sehingga aku bebas dari penjara.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Dia ingin kamu menikahinya?" "Itulah sebabnya, aku pikir jika aku memacari kekasih adiknya dia akan mundur, karna adiknya bisa melakukan apapun. Nyatanya dia keras kepala. Dan du
"Ras."Laras menengok ternyata Alya yang memanggil."Eh kamu, Al," sapa Laras. "Ras, gue denger kasus elo kemaren. Beneran elo udah jadian sama Pak Bagas?" tanya Alya sendu. Netra Laras sedikit berbinar, jiwa jahilnya meronta-ronta, ingin dia kerjain Alya, tapi hatinya kini pun sedang di landa gundah."Belum jadian juga sih, Al, tapi yahh ... Kayanya sedikit lagi," ujar Laras, memasang mimik wajah sumringah. Sungguh jiwa usilnya tak bisa di hentikan. Wajah Alya semakin sendu mendengar penuturan Laras. Apalagi Laras terlihat bersemangat membicarakan Bagaskara. "Terus gimana taruhan kita, gue nggak mungkin ngikutin kampus elo mau masuk, secara otak kita 'kan beda level, Ras!! Palingan elo di terima di kampus swasta, sedang gue minimal di kampus terbaik di Jakarta, Ras," ujar Alya pelan.Laras memutar bola mata malas, "Udah mau kalah aja elo masih sombong gitu Al," cibir Laras, "Pokonya taruhan belum berakhir. Kalo elo sampe kalah, ya ... lo tau kan konsekwensinya," ucap Laras kedua
Pagi menyingsing aktifitas di rumah Laras ramai seperti biasa Dewi sibuk membangunkan seluruh keluarga juga menyiapkan bekal dan keperluan lain. Laras sudah duduk rapih di kursi depan meja makan, bersiap kembali menjalankan aktivitas yang dia tinggalkan satu Minggu kemarin. "Mulai sekarang kamu di antar jemput sama Bang Gilang," ujar Dani pada anak perempuan semata wayangnya. "Emangnya kenapa, Pah, Laras bisa kok pulang pergi sendiri, Laras nggak apa-apa," Laras berusaha berkelit, dia tak ingin kebebasannya terbelenggu sebab Gilang tak bisa di ajak kerjasama selama ini. " Abang kamu nggak ngapa-ngapain, biar ada kerjaan, 'kan tinggal nunggu wisuda lagi nyari-nyari kerja belum dapet," ujar Dani, sambil menyeruput kopi. Huft Laras mengeluarkan nafas berat, menatap Gilang yang tersenyum penuh arti padanya. "Jangan isengin, Neng. Bang. Awas kalo kamu masih iseng aja." Dewi mengepalkan tangan melihat tatapan Gilang pada Laras. "Apaan sih, Mih. Udah gede masa mau iseng terus," ela
Excel masuk ke dalam kamar membanting kasar tubuhnya di atas ranjang. Lengannya menempel di pelipis, matanya terpejam, dadanya terlihat turun naik, sepertinya menahan amarah yang membuncah. Setelah terlihat tenang dia ambil ponsel lalu dia tekan nomor Laras, tetapi hingga beberapa kali panggilan tak juga di angkat. Lelaki ini mengirim pesan pada Laras. Tak lama centang biru tanda pesannya di baca. Namun sampai beberapa saat tak juga terlihat Laras membalas. [Ras, aku ke rumah kamu, ya]. Send Satu, dua, tiga menit Excel menunggu tapi tak di jawab juga. Padahal pesannya terbaca dan Laras terlihat on line. [Ras, aku otw, ke rumah kamu. Kamu mau di beliin apa?]Excel menyahut kunci mobil, keluar kamar dan menuruni tangga cepat. "Den mau ke mana?" tanya Ros. "Keluar bentar, Mba," jawab Excel. "Den, tadi Bapak pesen, Aden nggak boleh ke mana-mana," ujar Ros. Namun Excel seolah tak mendengar penuturan Ros, dia tetap melenggang keluar melewati pintu. Excel mengeluarkan mobil dari gara
Excel menelungkupkan kepala di setir. "Abang elo ada masalah apa sama Sarah? Gue yakin Laras di jadiin alat sama Pak Bagas." Tangan Excel mencengkeram stir mobil."Nah itu dia masalahnya, Bang. Gue mau jelasin ke Laras juga susah, dia lagi jatuh cinta. Tapi gue tau abang gue nggak sungguh-sungguh ke dia. Bang, elo harus bisa lindungi Laras," ucap Irma. Kepala Excel mendongak, menatap Irma. Isi kepalanya mulai berfikir dan menyusun rencana. Apa yang harus dia lakukan. Apakah saran Sarah bisa menjadi solusi? Pikir lelaki tinggi ini. ***Bagaskara menyorot cerah pagi ini, lelaki tampan yang memiliki nama sama dengan si pemberi kehangatan ini menyusuri kapling blok dengan berlari kecil. Handuk kecil melingkar di leher, titik keringat menghiasi kening dan leher. Sesekali lelaki tampan ini menyeka keringat di dagu. Tanpa dia sadari ada sebuah mobil mengikuti di belakangnya. Hingga Bagaskara berhenti si taman komplek duduk di bangku istirahat, lalu menenggak minuman yang dia gengam sejak
"Kamu lagi ngapain bisa sampe begini, Neng?" tanya Dewi, sambil mengompres pipi Laras. "Kan udah sering mamih bilang jangan suka berurusan sama laki-laki, ngeyel aja jadi anak." Dewi tak berhenti bicara. Laras hanya meringis karna bekas memarnya di tekan oleh Dewi. "Udah lah, Mih. Kaya Mamih nggak pernah muda aja," ujar Dani-Ayah Laras."Karna mamih pernah muda, Pih. Makanya mamih cerewet," Sewot Dewi. Aww ... Laras terpekik karna lagi-lagi memarnya di tekan oleh Dewi."Mpok ada Kak Irma." kepala Andi menyembul di balik pintu."Masuk, Neng," panggil Dewi. Dani pergi setelah Irma mencium tangan kedua orang tua Laras. "Ras, gimana masih sakit?" tanya Irma. Laras hanya mengangguk. Neng, Mamih bilangin ya!! kalian berdua masih pada sekolah, masih SMA, masih lagi mekar-mekarnya, ibarat bunga kalian itu lagi cantik-cantiknya. Jangan sia-sia-in masa muda cuma buat seneng-senengan. Mending kejar cita-cita setinggi langit." Nasehat Dewi dengan menggebu. Mendengar Dewi tak berhenti bicar
Excel terpingkal, mereka bertos ria merasa berhasil mengerjai Bagaskara, si guru menyebalkan bagi Excel. Terlihat Bagaskara mulai mengecek onderdil motor walau dia sama sekali tak tau mengenai mesin motor. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.Netranya memincing, otaknya berfikir bagaimana mungkin motornya tiba-tiba mogok tanpa sebab. Pandangannya mengedar area setempat. terlihat mobil Excel terparkir di tempatnya.Bibir guru idola ini tersungging. Dia menemui Pak Satpam untuk menitipkan motornya, dan akan dia urus besok hari. "Dek sini!" Bagaskara memanggil Irma, gadis imut ini mendekat. "Sana kamu pulang dulu.""Mas, gimana?" "Udah sana pulang." Bagas menggiring Irma ke motor Laras. "Mas pulang sore." "Mas, mau ngapain sama Laras?" Irma bingung. "Nggak, ngapa-ngapain. Mas cuma mau kasih pelajaran sama orang yang udah ngerjain, Mas," ujar Bagaskara. "Jangan buat masalah, Mas." Irma mengingatkan. "Iya, udah sana." Usir Bagas. "Pak, terus gimana saya pulang nanti?" "Mulai
Alya berdiri menatap mahluk ciptaan Tuhan yang begitu sempurna sedang melatih para siswa cara service bola voli dengan benar. Terlihat lelaki tampan dengan wajah dan bentuk tubuh nyaris sempurna itu di kerumuni mahluk Tuhan turunan hawa. Para remaja menuju dewasa ini terlihat bersemangat mengikuti arahan guru tampan ini. Mereka bergilir melakukan Service dengan arahan Bagaskara. Bahkan ada beberapa siswa yang sengaja salah melakukan tehnik service agar di sentuh lelaki tampan ini. Bibir Alya mengerucut melihat Bagaskara berdiri di belakang Niken menyentuh tangannya agar teknik service bolanya sempurna. Gadis ini menghentakkan kaki karna Niken terlihat begitu agresif mendekati guru idola mereka. "Elo lagi ngapai Al." Laras menatap Alya lalu berganti ke arah pandang Alya. "Jiahhh ... Cemburu nih ye," cibir Laras. "Noh lo perhatiin, Niken emang jablay kelas kakap, semua yang keliatan melek ama dia di pepet terus." Alya berucap dengan ekspresi marah. "Tunjukkan kemampuan elo, Al.
Di dalam kamar mandi Excel bangun perlahan, bibirnya meringis, dia menyentuh kejantanannya yang mendadak bangun. "Ya ampun, Ras. Liatin elo aja ini gue suka bangun, ini di senggol-senggol, tegang 'kan dia," gumam Excel sambil berjalan tertatih menuju bathrobe mengambil kaos dan celana kolor. Huft ...Lelaki tinggi ini mendaratkan bokong di kasur menetralkan apa yang dia rasa, ada kekhawatiran tak bisa menahan diri ketika melihat Laras nanti, apa lagi mereka cuma berdua di sini. Di ambil gawai, dia lihat cctv di mulai Laras masuk ke dalam huniannya. Senyum Excel melebar melihat gelagat Laras mulai dari pintu masuk hingga masuk ke dalam kamar. Setelah di rasa tenang lelaki ini keluar kamar. "Kamu lagi ngapain di sini? Kok nggak ngomong-ngomong mau ke sini?" suara Excel membuyarkan lamunan Laras."Niken mana, Bang?" bukannya menjawab pertanyaan Excel, Laras palah menyodorkan pertanyaan lanjutan."Niken? Kamu ke sini cuma nyariin Niken?" telisik Excel, mendaratkan bokong di sebelah Lar