“Gagal makan enak, padahal ATM ngajakin nongkrong,” ucap Irma, terlihat dari kaca spion bibirnya di lipat kesal.
“Gue yang traktir deh kesukaan lo, anggap aja kita lagi makan di cafe mahal." Laras mencoba membujuk. Juga sedikit merajuk. Melihat expresi Laras membuat Irma sedikit terenyuh. “Ya udah dehhh demi yang lagi jatuh cintrong,” ucapnya ceria seperti sedia kala. Melihat senyum Irma sudah kembali seperti biasa, membuat Laras memacu motor dengan semangat tinggi menuju rumah Irma yang tak lain rumah cowo incarannya. Dalam perjalanan ke rumah Irma Laras mengingat kejadian lalu saat pertama melihat Bagaskara si guru tampan yang mampu membuat dadanya bergetar. “Prit, prit, prit, rapatkan barisan kalian." Titah seseorang yang langsung dituruti para siswa. Para sisiwa berbaris rapih, Laras berada pada barisan terakhir karna memang dia tak menyukai pelajaran olah raga. “Perkenalkan saya guru pengganti Pak Arif yang sedang cuti beberapa bulan kedepan karna sedang sakit keras. Nama saya Bagaskara, guru sementara kalian. Sekarang perkenalkan nama kalian masing masing.” Terdengar suara lelaki memberi perintah. Ahmad, ali, sinta, irma .... “Ras,” Irma menyenggol tangan Laras yang sejak tadi tidak memperhatikan. Hari ini moodnya sedikit terganggu, pagi-pagi ban bocor di jalan, mengakibatkan dia terlambat masuk sekolah. Akhirnya dapat hukuman membersihkan kamar mandi. Lelah rasa badan. “Apa?” Laras menengok menatap Irma. “Nama elo,” “Kenapa?” mata Laras memincing menatap Irma. “Heeyyy kamu! Siapa nama kamu?” suaranya tegas. Laras menengok ke asal suara.Tenggorokannya tercekat, antara sadar dan tidak. Di depannya terlihat seorang lelaki bak Arjuna. Tinggi badannya Atletis. hidung mancung dan tatapan tegas, dia begitu sempurna, di mata Laras. Pletak. Aawww ... Laras kaget, tangannya mengusap jidat yang dipukul menggunakan kertas yang dibawa Bagaskara. “Saya perhatikan dari tadi kamu tidak memperhatikan saya, kamu lagi mikirin apa?” bentaknya. “Lagi mikirin Bapak, Pak!" ucap gadis ini spontan. Lagi-lagi dia di buat kaget dengan ulahnya sendiri, malu bukan kepalang kenapa bisa mulutnya keceplosan begini. Tumben bener rem di mulutnya blong. Alhasil semua mentertawakan kekonyolannya. “Uuhhh ... panas banget, akhirnya nyampe juga,” ujar Laras, dia duduk di kursi teras mengipas ngipas tangan ke badan. Walau ga ada bedanya, tapi rasanya lebih enak, mungkin. Laras merogoh tas mengambil alat makeup seadanya. Di poles sedikit bedak dan liptin di bibir tipisnya, "Secara mau ketemu arjuna," gumamnya sambil tersenyum, meneliti wajah di cermin kecil. Dilihatnya Irma mengambil kunci di bawah pot di teras rumahnya. “Loohhh??" Laras celingak-celinguk ke arah tampat penyimpanan motor. “Kok motor Arjuna gue kagak ada Ma??" “Iyaa katanya dia pulang malem mau ada kuliah tambahan,” ucap Irma enteng sambil melenggang masuk membawa bungkusan makanan kesukaanya. “Whoaa, whoaaa, whoaaa. Rugi bandar dong gue. Tau begini tadi ikut Excel aja." Laras tantrum seperti anak kecil, di teras. “Ha ha ha.” Terdengar suara tertawa bahagia di dalam, tak ada niatan teman luknutnya menenangkan Laras yang kini tantrum. “Sue, sue, apes bener, kalo bukan calon ade ipar udah gue uh!! elo, Maaa ....” teriak Laras menahan air mata yang tak mampu meluncur. Dia hentak-hentakkan kaki di lantai. “Bonyok lo, pulang jam berapa Ma?” tanya Laras sambil rebahan di kasur empuk berukuran single size. “Belum tau, ga tentu, kalo toko rame pulang malem,” katanya sambil duduk dan membuka bungkusan makanan yang tadi dibeli. “Sepi banget ya, uhhh ... wenak tenan tidur pules ini mah, ga ada yang ganggu,” ujar gadis berwajah oriental ini sambil merentangkan tangan. “Ganti baju gak? Nih pake kaos biar nyaman.” Irma melempar kaos berwarna merah tepat mengenai muka Laras. “Sue bener lo ma, ga ada sopan-sopannya ama kaka ipar!” rutuk Laras, lalu melempar kembali kaos yang tadi mengenai wajahnya, ke sembarang arah. “Ma, bener 'kan Pak Bagas belum punya gacoan?” tanya Laras menyelidik. “Kayanya sih belum, selama ini dia belum pernah bawa cewek ke rumah." “Syukurlah,” Laras sedikit tenang, “tapi biar pun udah punya cewek, kalo janur kuning belum melengkung ganbate! Kejar sampe dapet!!” semangat 45 laras muncul. “Tau gak? si Alya, cewek kuper terpinter di sekolah, kayanya naksir juga ama abang gue,” ujar Irma melirik ke arah Laras. “Abang gue juga kaya-kaya seneng,” ucap Irma lagi. Terlihat wajah Laras seketika berubah. Sepertinya hatinya panas terbakar cemburu. “Elo tau dari mana abang elo juga suka?” tanyanya antusias, menggeser bokong lebih dekat ke tempat Irma duduk. “Beberapa kali Alya deketin abang gue, terus tanya pelajaran yang dia ga bisa, atau pura-pura ga bisa gue gak yakin. Sama abang gue dijelasin pelan-pelan dengan ramah pula," terang Irma menggebu, seolah menyulut kompor agar apinya membara. "Ama gue aja gak pernah tuh ngajarin pake muka ramah begitu," lanjut Irma. “OMG ... saingan gue anak paling pinter di sekolah, alamak ... gue musti gimana menaklukan hati abang lo Ma?” tanya Laras frustasi. Yang ditanya hanya menggedikan bahu, asik makan popcorn keju kesukaannya. “Sroottt, sroottt,” suara sedotan dihisap. Tanda air di dalam gelas telah tandas. "Kepala gue ngebul, elo santai aja, Ma!!" Laras mengeluarkan jurus uring-uringan. Irma tetap santui makan makanan yang tadi Laras traktir. "Ikut bantu mikir dong, Ma,“ ucapku sewot. “Lo kan adeknya, masa lo gak tau kelemahan abang lo di mana soal percintaan? Dan lo kan sahabat gue bantuin gue dong Ma!!” rayu Laras dengan muka memelas. Irma tetap slow motion, dia nyalakan laptop dan asik sendiri bermain game. "Dari pada pusing mending elo gebet laki terkeren di sekolah kita aja! yang udah jelas-jelas naksir sama elo." ujar Irma dengan tatapan ke arah laptop. "Siapa?" Laras mengernyit menatap Irma. "Siapa lagi emang cowo terkeren?? Dan pastinya tajir melintir, tujuh turunan elo nggak bakalan susah kalo mau sama dia." netra Irma berbinar. "Dia cuma baek doang sama gue, udah gue anggap sahabat, sahabat mana bisa jadi pacar." "Baek gimana? Jelas-jelas dia naksir, buktinya tadi dia --" Irma terkikik, mungkin mengingat kejahilan Exel tadi. "Sue banget tuh orang, untung ada elo, kalo nggak udah gue smack down itu orang. Asal nyosor aja," ujar Laras memiringkan badan memunggungi Irma.Irma masih terus membicarakan Excel, aku termenung mengingat kebodohanku waktu itu pertama kali bertemu dengan Exel, si lelaki datar yang ternyata begitu perhatian. "Kamu telat juga?"tanyaku sok akrab pada lelaki berwajah jutek di sebelahku. Sepertinya kami sama-sama terlambat pagi ini. Aku menarik lengan lelaki yang belum pernah aku lihat ini. "Lewat sini aja, biar nggak ketauan guru piket."Lelaki itu hanya diam mengikuti langkahku. "Elo kelas berapa? Kok gue belum pernah liat elo ya?" tanyaku pelan juga sambil berjalan pelan agar tak terdeteksi guru piket. Dia tak menjawab berondongan pertanyaanku, kami sampai di depan lorong, "Eh kenalin, Laras." Aku menjulurkan tangan, di sambut olehnya, walau wajahnya tetap datar. "Axel," ucap lelaki berwajah jutek ini, yang kini sedang menjabat tanganku. Senyumku canggung menatap matanya. "itu muka apa tembok, datar plus dingin banget," Aku hanya bisa membatin, netraku mengerjap beberapa kali karna beradu pandang dengannya. Aku grogi, tat
Tap, tap, tap .... Aku menaiki satu persatu anak tangga dengan semangat empat lima menuju perpustakaan. Terdengar suara bercakap-cakap di depan sana. Oohh ... Alya rupanya, tapi tunggu! sebentar! siapa gerangan lawan bicara Alya. “OMG, Pak Bagas,” gumamku, walau hati berdebar-debar grogi melihat wajah tampan Pak Bagas, tetap kulajukan kakiku mengarah pada keberadaan mereka. Terlihat mereka sedang tertawa. “Ooohh ternyata mudah ya Pak, dari semalam saya bingung soal ini!” ucap Alya sambil memberi senyum pepso**nt. “Pak." Ku anggukan kepala saat Pak Bagas menengok ke arahku. Tak pernah aku duga si dia yang selalu bermuka dingin di hadapanku ini memberikan senyum menawan. "Ya Allah." Aku seperti terhipnotis terus menatap ke arah Pak Bagas. Dan tiba-tiba, Gubrak. Aawww .... Pintu tak tau diri itu mencium wajah cantikku yang kini terasa kebas. Ternyata pintu di tutup sebelah. Ku usap-usap wajahku yang sakit. Terlihat Alya tersenyum mengejek, “Hati-hati, pintu jang
“Laras, setelah pulang sekolah kamu ke kantor ibu dulu ya.” Bu Ida guru BK sekolahku memanggil di depan kelas dengan suara mendayu-dayu merdu. Guru BK di sekolahku terkenal cantik mempesona. Suaranya lemah lembut, dandanannya selalu matching, siapapun yang masuk ke ruangannya akan keluar dengan wajah cerah, entah apa yang dilakukan di dalam karna ruangan tertutup rapat. Tok,tok,tok ... Ku ketuk pintu ruang kantor Bu Ida. “Silahkan masuk,” ucap suara di dalam dengan aksen ramah. Aku masuk dan terperanjat kaget, ku dapati Pak Bagas sudah duduk di kursi tersangka. Kepalanya menegok ke arahku, tatapannya tajam seperti menembus jantungku. “Silahkan duduk Laras,” ucap Bu Ida sopan. Guru BK yang satu ini memang lembut, cantik, sopan. Kalo aku disuruh menilai attitudenya aku kasih angka 9,9. Kenapa ga 100? Karna yang maha sempurna hanya milik Allah. Aku duduk di sebelah Pak Bagas yang terlihat santai. Hatiku dag dig dug tak karuan karna duduk bersebelahan dengan Arjunaku. Ku
"Aduhh ... Mati gue," Aku memejamkan mata, terlihat Irma tersenyum kikuk melihat expresiku. "Lagi ngobrol apa? Kaya rahasia?" tanya lelaki berperawakan tinggi ini. Menaruh bobot tubuh di sebelahku, juga menaruh sebuah novel di atas meja. Melihat cover novel incaranku ada di atas meja seketika netraku berbinar. "Akhirnya elo dapet juga ini buku Bang?" tanyaku sumringah. "Apa sih yang nggak bisa buat kamu," ucap Exel masih mode datar, di lihat dari expresinya sepertinya dia sedang tak baik-baik aja. "Siang jalan yuk," ajak Exel lagi. "Hayo!!" Irma menyahut sumringah ajakan Exel. Netranya berbinar menatap Excel Lelaki ini bangun dari duduk memasukkan tangan ke saku celana, berdiri menatapku. "Ajakin tuh Laras, kalo dia nggak ikut elo yang traktir gue." Dengan santai Exel meninggalkan kami. Irma hanya menatap Exel tanpa kata. "Apa maksudnya coba, kalo elo nggak ikut gue yang harus traktir dia!" Irma menatap punggung Exel dan aku bergantian. Aku terkikik melihat expre
Hingga hari ini, setelah terakhir aku melihat Pak Bagas tempo hari, Lelaki tampan itu belum lagi mengajar di sekolah. Memang Pak Bagas hanya guru sementara, hanya menggantikan Pak Arif. Hari-hari ku galau, konsentrasiku buyar, aku merindukan Pak Bagas. Mungkin inilah sebabnya, Emak wanti-wanti dari dulu, anak-anaknya di larang pacaran sebelum memiliki pekerjaan mapan dan siap menuju pelaminan. Kata Emak kalo udah siap langsung nikah, gak usah pacar-pacaran, udah 'mah dosa, bisa bikin pikiran ga karuan, buang buang waktu. Nggak bosen Emak ngingetin anak-anaknya jangan pada pacaran. Maksud Emak, bikin pikiran nggak karuan, ini kali ya? yang aku rasakan sekarang. Dan ternyata perkataan emak bayak benernya. Sekarang di pikiranku cuma ada si Arjuna Bagaskara. Aku mengacak rambut frustasi. Mak, Emak kok top banget sih kalo nasehatin anak, gimana ini Mak, hati Laras kepincut guru ganteng, Laras kangen berat sama Pak Bagas, Mak. Hatiku mereog nggak karuan. "Ma, gue main ke rumah elo y
Bab 8“Gimana Laraass ... Sudah berhasil menaklukan Pak Bagas? “ tanya Alya di dekat telingaku saat aku sedang melamunkan pak Bagas di pembatas pagar.“Hhmmm ...." Aku bergumam, menatap bola mata Alya yang berbinar. "Dan elo, gimana? Sudah bisa menaklukan-nya?" tanyaku menaik turunkan alis.“Mungkin selangkah lagi,” ucapnya percaya diri.“Dan gue gak percaya,” jawabku. “Karna Pak Bagas sudah punya pacar.” Alyaa sedikit terperanjat mendengar ucapanku “Masa, gak tau?” ujarku lagi, dengan percaya diri, kini aku memasang wajah kemenangan."Apa sih yang Alya nggak tau tentang Pak Bagas??" Gadis di depanku melipat tangan di dada, senyumnya mencibir. Berusaha menetralkan keterkejutannya."Oh, ya?" "Hm ... Jadi kamu sudah siap kalah??" Alya berbicara pelan. Dari senyumnya terpancar aura kemenang. Bibirnya tersungnging sepertinya dia benar-benar akan mendapatkan Pak Bagas. Setelah mengatakan hal itu Alya berlalu dari hadapanku melenggang dengan angkuh, meninggalkan aku yang kini semakin g
Bab 9 “Ikutin yu Ma,” ku tarik tangan Irma, dia masih asik makan ayam krispi kesukaannya. “Aduh ... ini belum abis, mubazir Laras!” Dia tak bergeming dari kursi. Netraku masih awas melihat ke arah mana Pak Bagas berjalan. “Nanti balik lagi,” ucapku, tapi Irma tak juga mengangkat bokong. Aku langsung beranjak dari duduk, mengikuti arah pergi Pak bagas, sedikit berlari karna lelaki pujaanku sudah tak terjangkau pandangan mata. Ku cari-cari keberadaannya tapi tak ku temukan. Aku berjalan lunglai ke arah Irma yang sudah mencuci tangan. “Siapa tadi ya, Ma? Anggun. Kayanya cantik deh mukanya. Maksud gue, gue pengen berpenampilan kaya gitu. Biasanya cowok-cowok modelan kaya abang elo itu sukanya cewe kaya gitu, “ ucapku antusias. “Tapi kita kan masih SMA, ntar elo dipanggil ukhti,” ucapnya sotoy. “Ya ga ada salahnya juga, ukhti-ukhti kan cantik-cantik dan anggun. Demi dapetin arjuna apa sih yang nggak,” ucap ku bersemangat. “Niat awal udah ga bagus.” Irma mencibir. “Biarin,
Bab 10 “Ras bangun,” Emak menggoyang-goyang kakiku yang terlelap di kasur king size dengan buku berserakan. Ada pepatah mengatakan rumahku istanaku. Kalo pepatahku mengatakan, kamarku istanaku. “Uuuhhh,” ku renggangkan tangan ke atas dan menatap orang yang membangunkanku. “Kenapa Mak?” tanyaku, parau. “Itu ada Excel datang, ganteng pisan, bawa martabak kesukaan emak lagi, buruan keluar tapi solat isya dulu tadi kamu belom solat,” ucap emak sumringah, bibirnya klimis bekas menggigit martabak sepertinya. Excel yang ngapelin gue, kenapa emak yang girang banget ya, pikirku. “Iya Mak,” aku bangkit langsung menuju kamar mandi berwudhu dan melakukan ibadah kepada sang pencipta. “Niihh, Nak exel liat nih, ini laras waktu masih bayi, lucu yaa,” terdengar suara Emak menemani Exel di teras, entah sedang mengobrol apa. Aku dekati bangku Emak duduk, netraku membeliak melihat benda yang sedang ditunjukkan ke arah lawan bicaranya. “Ya ampun Mak,” aku langsung merebut foto memori ket
"Sarah." Suara Bagas memanggil. Wanita cantik dengan pakaian selalu modis ini menghampiri Bagas. Menggandeng lengan Bagas lalu mengajaknya pergi. Terlihat Sarah begitu agresif, sesekali mendekatkan bibir ke telinga Bagaskara. Irma menatap kakaknya dengan perasaan sedikit lega. Kini dia tak lagi memikirkan Bagas, karna Bagas sudah menjelaskan kesepakatan yang dia lakukan dengan Nata. Excel mencium Laras yang terus menatap Kepergian guru gebetannya. Kesadarannya pulih, netranya mengerjab, bibirnya tersungging. "Nanti nggak bisa kedip matanya," ujar Excel datar, antara kesan dan cinta. "Cie, main cipok di mana-mana. Gue juga mau, Bang ..." Irma mendekati Excel hendak memeluk lelaki ini. Tetapi dihadang tubuh Laras."Eh ... Dulu lo boleh peluk-peluk, sekarang. No No No." telunjuk Laras bergoyang ke kanan dan ke kiri. "Dih, bagi-bagi, Ras." Irma merengek seperti anak kecil ingin juga menjilat permen stik yang di pegang temannya. NO!!Dengan keras Laras melarang kedua tangan menyilan
"Aku bilang 'kan jangan lagi, Bang." Wajah Laras masam. Pasalnya setelah keluar kamar mandi dan melakukan ibadah, kembali Excel menyalurkan keinginannya. Dan Laras pasrah, menerima setiap cumbu rayu yang dilayangkan lelaki yang ternyata sangat perkasa. Wk wk wk. Baru tau Laras. Excel berjongkok di hadapan Laras. Menatap penuh gairah. "Sekarang juga mau lagi." Suara Excel pelan dan parau.Laras menempelkan dua telapak tangannya ke muka Excel, mengusap kasar. "Pokoknya kalo gue nggak mau, jangan di paksa."Excel menggenggam telapak tangan Laras. Mendekatkan wajah, ingin mencium bibir yang menggunakan lipstik berwarna pink. Gadis ini melengos tetapi di tahan oleh Excel. Lembut, halus, kenyal dan manis. Sungguh semua menjadi candu untuk Excel sekarang.Laras mendorong pundak Excel, tetapi lelaki ini tak bergeming. Tanpa aba-aba lelaki ini membopong Laras ke atas pembaringan. "Bang!! Jangan kita mau makan!! Gue nggak mau!!" Laras memukuli dada Excel yang sudah berada di atasnya. Lel
Jari-jari lentik bergerak perlahan. Laras mulai menemukan kembali kesadarannya. Netranya mengerjab, melirik pada tubuh yang dia tiduri. Punggungnya terasa dingin karna selimut tersibak. Perlahan dia menekan dada Excel, lalu bangun. Mulut Laras menganga, netra membola. Kepalanya dimasukkan ke dalam selimut, semakin terkejut Laras. Tenggorokannya tercekat, rasanya kering. Dipukul-pukul nya kepala dengan tangannya, kembali berputar ingatannya pada kejadian semalam.Excel merasa terganggu dengan pergerakan Laras walau gadis ini tidak mengeluarkan suara, netra lelaki ini bergerak, mengerjab. Melihat Laras yang sepertinya syok. "Ras."Laras cepat menengok menatap Excel. Ingin marah tapi dia ingat jika dia yang memulai, bahkan Excel bertanya apakah di akhiri saja, gilanya Laras menggeleng, meminta Excel melanjutkan. Melihat Laras seperti syok, Excel menarik tubuh Laras ke dalam dekapannya. "Nangis aja kalo mau nangis."Laras tak menangis juga tak murka. Dia hanya berfikir kenapa semalam
Laras mencoba merapatkan mata, tetapi jantungnya berirama semakin keras, apalagi genggaman tangan Excel semakin membuat rasa menggelegak ingin di sentuh di tempat yang lain. Beberapa saat Laras mengontrol degup jantung yang semakin berpacu, tubuhnya meminta di sentuh lebih. Laras menarik tangannya, mengganti posisi tidur, tetapi masih juga tak bisa terpejam, dia bangun mengambil gelas di atas nakas lalu meminum air mineral berusaha mendinginkan tubuh. Excel hanya menatap istrinya yang terlihat gelisah. Lalu kembali memejamkan mata, mungkin mereka nervous pikir Excel. Laras masih duduk, tak juga merebahkan tubuh. "Kenapa, Yang. Sini babang kelonin kalo nggak bisa tidur." "Ck. Jangan ambil kesempatan Bang." Laras turun dari ranjang mengambil lotion, mengolesi ke seluruh tubuhnya. Mendingan, nggak panas banget, ujar Laras. Masuk kembali ke dalam bedcover. Excel memejamkan mata, menghirup aroma wangi lotion, membuat jantung Excel berpacu 10 kali lipat dari biasanya, otaknya
Netra Excel awas menatap pintu kamar mandi. Akhirnya pintu terbuka. Bibir Excel tersungging melihat Laras mengenakan pakaian tidur hello kitty berwarna Pink. Anak-anak sekali, gumam Excel, jauh dari ekspektasi, Excel mengira Laras keluar dengan pakaian satin tembus pandang. "Beneran kamu nggak mandi dulu?" Excel menggeleng. Menarik bangku yang akan di duduki Laras. "Silahkan princes."Mulut Laras mencebik. "Makasih, Tuan.""Sama-sama, Ces."Excel duduk di bangkunya. Laras tersenyum, jarinya membenarkan rambut, lalu menjepit ke belakang telinga. Netra tajam Excel terus menatap Laras.Tos. Excel meraih gelas air putih mengulurkan ke hadapan Laras. Laras pun melakukan hal yang sama. Bibir gadis ini melengkung indah. Memang benar-benar labil sebentar marah, kasal tapi sebentar sudah normal lagi. ***Irma duduk di tepi ranjang melamun memikirkan banyak hal. Termasuk Laras sahabatnya. Irma membuang nafas pelan, mengingat percakapannya barusan dengan Excel. Irma memberikan tas yang di
"Kamu butuh kepastian seperti apa? Kamu mau liat ini ku besar atau tidak?" Laras gesit menarik tangannya ketika Excel menempelkan telapak tangannya pada kejantanannya. "Ish ... Bukan Bang.""Terus?" "Lo ng-"Lagi Excel menempelkan jemari di mulut Laras. "Kamu.""Baangg." Laras merengek. "Oke. Lanjut.""K-kamu ..." Laras kikuk berbicara dengan bahasa formal. "Kamu apa?" Laras membuang nafas pelan. Menatap gedung-gedung tinggi di hadapannya. "Kamu banyak pacar, terutama sama Niken, aku --""Cemburu, takut, khawatir?" Laras mengangguk, "Secara kita masih sama-sama muda Bang, aku nggak bisa pastikan kamu nggak bakalan bosen sama aku. Dan kamu sungguh sungguh, nggak akan berkhianat di belakang aku.""Ras, kalo untuk masa yang akan datang aku juga nggak bisa janji." Laras menatap Excel kesal. "Dengerin dulu, untuk pernikahan ini aku udah janji di hadapan orang tuamu dan Tuhan, untuk menjagamu, melakukan kewajibanku. Tau nggak sebelum nikah aku udah belajar bab nikah agar aku siap
Lelaki jangkung ini menemui Sarah dan Bagaskara, memberi selamat pada gebetan istrinya dan sekarang jadi ipar. "Saya panggil Mas atau Pak?" Excel mengusap alis pelan."Mas, dong." Bagas menepuk lengan Excel."Selamat, Mas. Jagain Kak Sarah yang suka penasaran dan usil.""Pasti, kamu juga selamat ya. Jagain juga Laras."Kedua alis mata Excel mengernyit,menatap Bagaskara. "Nggak usah cemburu mulai sekarang, aku juga udah punya yang lebih cantik." kelakar Bagaskara. Bibir Sarah langsung mengembang, tersenyum jumawa. "Laras bukan apa-apa di banding saya." Selalu Sarah seperti di atas angin, selalu dia merasa lebih baik dari siapapun. "Iya, Kak. Iya." Aku turun. "Foto dulu." Nata naik ke atas pelaminan melihat putranya berada di sini. "Laras mana?" tanya Nata lagi. Sebentar aku telpon. Beberapa kali Excel menghubungi Laras, tetapi tak di angkat, lalu Excel mengirim pesan, jika Laras ditunggu untuk berfoto. "Laras mengirimkan gambar wajahnya."Excel terbelalak melihat wajah Laras.
Hari yang di nantikan Sarah tiba. Pesta mewah di gelar di hotel berbintang. Artis dan pejabat negara yang sering berseliweran di telivisi hadir di acara sakral ini. Bagaskara lelaki bernama Bagaskara itu berdiri dengan angkuh di atas pelaminan, sama angkuhnya dengan sang surya yang bertengger tegak menyinari bumi. Tubuh tinggi tegap dengan setelah jaz mahal menambah ketampanan lelaki ini. Laras menatap damba Pada Bagaskara, sejak tadi pandangan matanya tak lepas dari lelaki yang selalu tersenyum ramah pada setiap tamu yang menyalaminya. "Eh kita foto yuk." Anti menarik tangan Laras. Melihat Anti juga Laras mendekat ke pelaminan Alya mengekor di belakang. Gadis-gadis cantik ini tersenyum manis, dari mulutnya selalu keluar candaan-candaan menghibur. "Selamat ya Pak Bagas. Kak Sarah, langgeng abadi buat kalian." Anti paling dulu menjabat tangan Bagaskara, di susul Alya, dan terakhir Laras. "Selamat ya, Mas," ucap Laras. Sarah mendengus mendengar Laras memanggil Mas. "Jangan lama-la
Mobil berjalan merayap. Jam pulang kerja sudah di pastikan macet hingga akar-akarnya. Nata menatap Excle yang menjambak rambutnya frustasi. "Jangan main paksa. Biarin dia menyesuaikan diri. Yang penting dia udah jadi milik kamu, nggak bakal ada yang bisa nikung kamu. Sekarang kamu fokus belajar. Mengembangkan diri. Buktikan kamu bukan lelaki yang dia sangka kan. Jadi Excel yang bisa melebarkan sayap Wijaya semakin bekibar. Dengan melihat keberhasilan mu cepat atau lambat dia akan mendekat.""Sekarang pun aku bisa kasih apa yang dia butuh, dan mau.""Berarti perempuanmu special. Dia tak mau memiliki lelaki yang hanya mengandalkan hasil warisan." Mata Nata mengerling, senyumnya lebar penuh kepuasan menampakkan gigi kekuningan akibat rokok. "Dia!!" Gigi Excel bergemelutuk menahan emosi. Tangannya mengepal memukul kaca mobil. Nata tersenyum. Mengingat Laras menyindir kejantanan Excel, membuat wajah putranya seketika merah padam malu. "Kamu sama dia belum ngapa-ngapain. Temen kamu Nik