Tap, tap, tap ....
Aku menaiki satu persatu anak tangga dengan semangat empat lima menuju perpustakaan. Terdengar suara bercakap-cakap di depan sana. Oohh ... Alya rupanya, tapi tunggu! sebentar! siapa gerangan lawan bicara Alya. “OMG, Pak Bagas,” gumamku, walau hati berdebar-debar grogi melihat wajah tampan Pak Bagas, tetap kulajukan kakiku mengarah pada keberadaan mereka. Terlihat mereka sedang tertawa. “Ooohh ternyata mudah ya Pak, dari semalam saya bingung soal ini!” ucap Alya sambil memberi senyum pepso**nt. “Pak." Ku anggukan kepala saat Pak Bagas menengok ke arahku. Tak pernah aku duga si dia yang selalu bermuka dingin di hadapanku ini memberikan senyum menawan. "Ya Allah." Aku seperti terhipnotis terus menatap ke arah Pak Bagas. Dan tiba-tiba, Gubrak. Aawww .... Pintu tak tau diri itu mencium wajah cantikku yang kini terasa kebas. Ternyata pintu di tutup sebelah. Ku usap-usap wajahku yang sakit. Terlihat Alya tersenyum mengejek, “Hati-hati, pintu jangan diembat,” ucapnya. Pak Bagas melihat ku tanpa ekspresi. Entah apa yang dia pikirkan. “Ya ampun Laras, jalan liat-liat dong pintu segede gini ditabrak,” ucap Exel, yang ternyata sudah berada di belakangku. Dia mengelus-elus wajahku yang terasa sakit akibat pintu nggak tau diri. "Nggak mendukung banget liat orang bahagia, nih pintu." gumamku. Mungkin warna wajahku sekarang sudah seperti kepiting rebus, merah menahan malu juga sakit. “Lagian gue perhatiin belakangan ini elo agak-agak error kelakuan,” ucap Excel lagi, penuh perhatian. Sebelum dia mengintrogasi di depan Pak Bagas, lekas ku tarik tangannya masuk ke dalam perpustakaan. “Sini, udah ga usah banyak perhatian,” ucapku sambil mencari-cari buku yang aku butuhkan. “Jawab laras? belakangan ini elo kaya banyak salah tingkah, jangan-jangan elo lagi jatuh cinta, ya?” cecar Excel lagi, tatapannya bak elang menyorot padaku. Laki-laki tajir melintir yang selalu ada saat aku susah ini, menatap ku intens mencari kebenaran di mataku dan pastinya membuatku salah tingkah. “Oh, oh, oh ... Jadi bener?" tanyanya lagi memastikan. "Siapa?" Cecar Exel, dengan tatapan intimidasi. Aku menatap Exel khawatir, menggeleng patah-patah. "Nggak ada, Bang. Apaan sih." Aku mendorong dada Exel yang berjarak sangat dekat. Exel meraih pinggangku, menarik tubuhku dalam dekapannya. Tanganku berada di dada bidangnya berusaha memberi jarak. "Bang jangan begini," ujarku pelan. "Sakit nggak?" tanyanya mengelus wajahku yang kejedot tadi. Aku menundukkan wajah, memalingkan dari tangan Exel yang hendak mengelus wajahku. "Bang lepas." Aku memberontak, Exel pun melepas rengkuhannya. "Kalo jatuh cinta bilang ke gue ya?" ujarnya sedikit mencondongkan wajah, berbisik di telingaku. "Sekolah yang bener Bang, ngapain jatuh cinta." Aku berbalik badan mencoba menghindar dari Exel. "SMA aja belum kelar," ujarku lagi meneliti buku yang aku butuhkan. "Gue udah mau tiga taun deketin elo susah banget nyantolnya," ucapnya sambil mengerutkan alis seperti berfikir. “Emang jemuran! Nyantol,” jawabku ngawur, sambil berlalu membawa buku yang kubutuhkan. Berusaha menghindar dari cecaran lelaki tajir ini. *** “Duuhh... yang ke GR an,” sindir Alya saat aku melintas di lorong sekolah. “Maksud lo apa?” tanyaku, memang dari dulu dia selalu menjadi rivalku, entah apa sebabnya dia selalu ingin menyaingi aku. “Elo gak akan bisa dapet hatinya Pak Bagas, karna-” alya menjeda ucapannya lalu mengibaskan kerudungnya ke belalang. “Karna gue, yang bakal memenangkan hatinya,” ucapnya sombong penuh percaya diri. “kita bersaing secara sehat!” ucap ku menantangnya, netraku awas melihat ekspresi wajah Alya. “Oke, sebelum lulus sekolah gue atau elo yang menang,” ucapnya lagi. “Oke, yang kalah harus ngumumin kekalahan saat perpisahan dan ngikutin kemanapun kampus tujuan kita." ujarku sedikit ragu. "Oke," jawab Alya penuh percaya diri. “Deal.” Kami berjabat tangan tanda setuju. *** Hari ini Kami sudah bersiap dengan pakaian olah raga dan sekarang aku begitu bersemangat mengikuti jam pelajaran Olah Raga. Priiittt. Priiittt. Dua kali suara peluit berbunyi. Kami langsung berhambur kelapangan membentuk barisan rapih. Kulihat Pak Bagas berdiri tegap di depan memberi arahan. Tanpa aku sadari pikiranku traveling saat kemarin melihatnya hanya memakai anduk. “Laras, kenapa kamu senyum-senyum sendiri? “ tanyanya membuatku terkaget-kaget, ternyata dia sudah berdiri kokoh di hadapanku. “Eehhh, enggak Pak, saya cuma inget yang kemaren!” ucapku, pelan, menunduk. “Maksud kamu? Ingat apa? Kenapa setiap pelajaran saya kamu nggak pernah konsentrasi?” tanyanya beruntun, degan suara tegas. Aku terkesiap mendengar suaranya. “Ayo jawab!!" tanyanya lagi mencecar, dengan intonasi keras saat aku hanya diam. "Em ... Itu Pak?" Aku gelisah jawab atau tidak. “Laras.” Irma menyenggol lenganku. “Dia inget kemarin abis nonton film komedi Pak,” ucap Irma membela. “Saya bukan tanya kamu!" ucap Pak Bagas dengan raut wajah lebih tegang. “Duh ... Pak Bagas, udah ga usah tegang, saya inget Bapak waktu kemaren tanpa pakaian,” ucapku lirih menahan malu lalu menunduk. “Laras ....” Sontak suasana menjadi riuh. Netraku melirik wajah tampan Pak Bagas yang kini berubah menjadi merah, entah karna dia malu atau semakin marah.“Laras, setelah pulang sekolah kamu ke kantor ibu dulu ya.” Bu Ida guru BK sekolahku memanggil di depan kelas dengan suara mendayu-dayu merdu. Guru BK di sekolahku terkenal cantik mempesona. Suaranya lemah lembut, dandanannya selalu matching, siapapun yang masuk ke ruangannya akan keluar dengan wajah cerah, entah apa yang dilakukan di dalam karna ruangan tertutup rapat. Tok,tok,tok ... Ku ketuk pintu ruang kantor Bu Ida. “Silahkan masuk,” ucap suara di dalam dengan aksen ramah. Aku masuk dan terperanjat kaget, ku dapati Pak Bagas sudah duduk di kursi tersangka. Kepalanya menegok ke arahku, tatapannya tajam seperti menembus jantungku. “Silahkan duduk Laras,” ucap Bu Ida sopan. Guru BK yang satu ini memang lembut, cantik, sopan. Kalo aku disuruh menilai attitudenya aku kasih angka 9,9. Kenapa ga 100? Karna yang maha sempurna hanya milik Allah. Aku duduk di sebelah Pak Bagas yang terlihat santai. Hatiku dag dig dug tak karuan karna duduk bersebelahan dengan Arjunaku. Ku
"Aduhh ... Mati gue," Aku memejamkan mata, terlihat Irma tersenyum kikuk melihat expresiku. "Lagi ngobrol apa? Kaya rahasia?" tanya lelaki berperawakan tinggi ini. Menaruh bobot tubuh di sebelahku, juga menaruh sebuah novel di atas meja. Melihat cover novel incaranku ada di atas meja seketika netraku berbinar. "Akhirnya elo dapet juga ini buku Bang?" tanyaku sumringah. "Apa sih yang nggak bisa buat kamu," ucap Exel masih mode datar, di lihat dari expresinya sepertinya dia sedang tak baik-baik aja. "Siang jalan yuk," ajak Exel lagi. "Hayo!!" Irma menyahut sumringah ajakan Exel. Netranya berbinar menatap Excel Lelaki ini bangun dari duduk memasukkan tangan ke saku celana, berdiri menatapku. "Ajakin tuh Laras, kalo dia nggak ikut elo yang traktir gue." Dengan santai Exel meninggalkan kami. Irma hanya menatap Exel tanpa kata. "Apa maksudnya coba, kalo elo nggak ikut gue yang harus traktir dia!" Irma menatap punggung Exel dan aku bergantian. Aku terkikik melihat expre
Hingga hari ini, setelah terakhir aku melihat Pak Bagas tempo hari, Lelaki tampan itu belum lagi mengajar di sekolah. Memang Pak Bagas hanya guru sementara, hanya menggantikan Pak Arif. Hari-hari ku galau, konsentrasiku buyar, aku merindukan Pak Bagas. Mungkin inilah sebabnya, Emak wanti-wanti dari dulu, anak-anaknya di larang pacaran sebelum memiliki pekerjaan mapan dan siap menuju pelaminan.Kata Emak kalo udah siap langsung nikah, gak usah pacar-pacaran, udah 'mah dosa, bisa bikin pikiran ga karuan, buang buang waktu. Nggak bosen Emak ngingetin anak-anaknya jangan pada pacaran.Maksud Emak, bikin pikiran nggak karuan, ini kali ya? yang aku rasakan sekarang. Dan ternyata perkataan emak bayak benernya. Sekarang di pikiranku cuma ada si Arjuna Bagaskara. Aku mengacak rambut frustasi. Mak, Emak kok top banget sih kalo nasehatin anak, gimana ini Mak, hati Laras kepincut guru ganteng, Laras kangen berat sama Pak Bagas, Mak. Hatiku mereog nggak karuan."Ma, gue main ke rumah elo ya?" Pi
Sorak sorai bergemuruh mengelilingi lapangan olah raga. Axel!Pak Bagas!Axel!Pak Bagas! Masing-masing kubu menyorakkan nama jagoan mereka. Tak pelak Laras dengan lantang menyebutkan nama kedua lelaki ini, untuk memberikan semangat. "Ishhh, elo dukung siapa? Exel apa Pak Bagas!?" seru Irma, menyikut lengan Laras. Dengan kikuk Laras mengusap tengkuknya. Bibirnya mengulas senyum canggung. "Gue dukung keduanya." Lalu kembali menyorakkan nama kedua lelaki yang berada di lapangan. Terlihat beberapa orang yang kini berada di area lapangan sedang memperebutkan benda berbentuk bulat, dua orang saling berhadapan menunggu bola yang dengan indah melayang tepat di atas kepala mereka. Pandangan mereka tajam membidik bola, badan mereka meloncat tinggi dengan kedua tangan menjulur mencoba meraih bola basket yang sedang meluncur ke arah mereka. Hap!! Dengan tangkas Exel menangkap bola, lalu meliukkan badan mencoba menghindari tangan Bagas yang mencoba merebut bola dari tangannya. Kaki kokoh
“Gagal makan enak, padahal ATM ngajakin nongkrong,” ucap Irma, terlihat dari kaca spion bibirnya di lipat kesal. “Gue yang traktir deh kesukaan lo, anggap aja kita lagi makan di cafe mahal." Laras mencoba membujuk. Juga sedikit merajuk. Melihat expresi Laras membuat Irma sedikit terenyuh. “Ya udah dehhh demi yang lagi jatuh cintrong,” ucapnya ceria seperti sedia kala. Melihat senyum Irma sudah kembali seperti biasa, membuat Laras memacu motor dengan semangat tinggi menuju rumah Irma yang tak lain rumah cowo incarannya. Dalam perjalanan ke rumah Irma Laras mengingat kejadian lalu saat pertama melihat Bagaskara si guru tampan yang mampu membuat dadanya bergetar. “Prit, prit, prit, rapatkan barisan kalian." Titah seseorang yang langsung dituruti para siswa. Para sisiwa berbaris rapih, Laras berada pada barisan terakhir karna memang dia tak menyukai pelajaran olah raga. “Perkenalkan saya guru pengganti Pak Arif yang sedang cuti beberapa bulan kedepan karna sedang sakit keras.
Irma masih terus membicarakan Excel, aku termenung mengingat kebodohanku waktu itu pertama kali bertemu dengan Exel, si lelaki datar yang ternyata begitu perhatian. "Kamu telat juga?"tanyaku sok akrab pada lelaki berwajah jutek di sebelahku. Sepertinya kami sama-sama terlambat pagi ini. Aku menarik lengan lelaki yang belum pernah aku lihat ini. "Lewat sini aja, biar nggak ketauan guru piket."Lelaki itu hanya diam mengikuti langkahku. "Elo kelas berapa? Kok gue belum pernah liat elo ya?" tanyaku pelan juga sambil berjalan pelan agar tak terdeteksi guru piket. Dia tak menjawab berondongan pertanyaanku, kami sampai di depan lorong, "Eh kenalin, Laras." Aku menjulurkan tangan, di sambut olehnya, walau wajahnya tetap datar. "Axel," ucap lelaki berwajah jutek ini, yang kini sedang menjabat tanganku. Senyumku canggung menatap matanya. "itu muka apa tembok, datar plus dingin banget," Aku hanya bisa membatin, netraku mengerjap beberapa kali karna beradu pandang dengannya. Aku grogi, tat
Hingga hari ini, setelah terakhir aku melihat Pak Bagas tempo hari, Lelaki tampan itu belum lagi mengajar di sekolah. Memang Pak Bagas hanya guru sementara, hanya menggantikan Pak Arif. Hari-hari ku galau, konsentrasiku buyar, aku merindukan Pak Bagas. Mungkin inilah sebabnya, Emak wanti-wanti dari dulu, anak-anaknya di larang pacaran sebelum memiliki pekerjaan mapan dan siap menuju pelaminan.Kata Emak kalo udah siap langsung nikah, gak usah pacar-pacaran, udah 'mah dosa, bisa bikin pikiran ga karuan, buang buang waktu. Nggak bosen Emak ngingetin anak-anaknya jangan pada pacaran.Maksud Emak, bikin pikiran nggak karuan, ini kali ya? yang aku rasakan sekarang. Dan ternyata perkataan emak bayak benernya. Sekarang di pikiranku cuma ada si Arjuna Bagaskara. Aku mengacak rambut frustasi. Mak, Emak kok top banget sih kalo nasehatin anak, gimana ini Mak, hati Laras kepincut guru ganteng, Laras kangen berat sama Pak Bagas, Mak. Hatiku mereog nggak karuan."Ma, gue main ke rumah elo ya?" Pi
"Aduhh ... Mati gue," Aku memejamkan mata, terlihat Irma tersenyum kikuk melihat expresiku. "Lagi ngobrol apa? Kaya rahasia?" tanya lelaki berperawakan tinggi ini. Menaruh bobot tubuh di sebelahku, juga menaruh sebuah novel di atas meja. Melihat cover novel incaranku ada di atas meja seketika netraku berbinar. "Akhirnya elo dapet juga ini buku Bang?" tanyaku sumringah. "Apa sih yang nggak bisa buat kamu," ucap Exel masih mode datar, di lihat dari expresinya sepertinya dia sedang tak baik-baik aja. "Siang jalan yuk," ajak Exel lagi. "Hayo!!" Irma menyahut sumringah ajakan Exel. Netranya berbinar menatap Excel Lelaki ini bangun dari duduk memasukkan tangan ke saku celana, berdiri menatapku. "Ajakin tuh Laras, kalo dia nggak ikut elo yang traktir gue." Dengan santai Exel meninggalkan kami. Irma hanya menatap Exel tanpa kata. "Apa maksudnya coba, kalo elo nggak ikut gue yang harus traktir dia!" Irma menatap punggung Exel dan aku bergantian. Aku terkikik melihat expre
“Laras, setelah pulang sekolah kamu ke kantor ibu dulu ya.” Bu Ida guru BK sekolahku memanggil di depan kelas dengan suara mendayu-dayu merdu. Guru BK di sekolahku terkenal cantik mempesona. Suaranya lemah lembut, dandanannya selalu matching, siapapun yang masuk ke ruangannya akan keluar dengan wajah cerah, entah apa yang dilakukan di dalam karna ruangan tertutup rapat. Tok,tok,tok ... Ku ketuk pintu ruang kantor Bu Ida. “Silahkan masuk,” ucap suara di dalam dengan aksen ramah. Aku masuk dan terperanjat kaget, ku dapati Pak Bagas sudah duduk di kursi tersangka. Kepalanya menegok ke arahku, tatapannya tajam seperti menembus jantungku. “Silahkan duduk Laras,” ucap Bu Ida sopan. Guru BK yang satu ini memang lembut, cantik, sopan. Kalo aku disuruh menilai attitudenya aku kasih angka 9,9. Kenapa ga 100? Karna yang maha sempurna hanya milik Allah. Aku duduk di sebelah Pak Bagas yang terlihat santai. Hatiku dag dig dug tak karuan karna duduk bersebelahan dengan Arjunaku. Ku
Tap, tap, tap .... Aku menaiki satu persatu anak tangga dengan semangat empat lima menuju perpustakaan. Terdengar suara bercakap-cakap di depan sana. Oohh ... Alya rupanya, tapi tunggu! sebentar! siapa gerangan lawan bicara Alya. “OMG, Pak Bagas,” gumamku, walau hati berdebar-debar grogi melihat wajah tampan Pak Bagas, tetap kulajukan kakiku mengarah pada keberadaan mereka. Terlihat mereka sedang tertawa. “Ooohh ternyata mudah ya Pak, dari semalam saya bingung soal ini!” ucap Alya sambil memberi senyum pepso**nt. “Pak." Ku anggukan kepala saat Pak Bagas menengok ke arahku. Tak pernah aku duga si dia yang selalu bermuka dingin di hadapanku ini memberikan senyum menawan. "Ya Allah." Aku seperti terhipnotis terus menatap ke arah Pak Bagas. Dan tiba-tiba, Gubrak. Aawww .... Pintu tak tau diri itu mencium wajah cantikku yang kini terasa kebas. Ternyata pintu di tutup sebelah. Ku usap-usap wajahku yang sakit. Terlihat Alya tersenyum mengejek, “Hati-hati, pintu jang
Irma masih terus membicarakan Excel, aku termenung mengingat kebodohanku waktu itu pertama kali bertemu dengan Exel, si lelaki datar yang ternyata begitu perhatian. "Kamu telat juga?"tanyaku sok akrab pada lelaki berwajah jutek di sebelahku. Sepertinya kami sama-sama terlambat pagi ini. Aku menarik lengan lelaki yang belum pernah aku lihat ini. "Lewat sini aja, biar nggak ketauan guru piket."Lelaki itu hanya diam mengikuti langkahku. "Elo kelas berapa? Kok gue belum pernah liat elo ya?" tanyaku pelan juga sambil berjalan pelan agar tak terdeteksi guru piket. Dia tak menjawab berondongan pertanyaanku, kami sampai di depan lorong, "Eh kenalin, Laras." Aku menjulurkan tangan, di sambut olehnya, walau wajahnya tetap datar. "Axel," ucap lelaki berwajah jutek ini, yang kini sedang menjabat tanganku. Senyumku canggung menatap matanya. "itu muka apa tembok, datar plus dingin banget," Aku hanya bisa membatin, netraku mengerjap beberapa kali karna beradu pandang dengannya. Aku grogi, tat
“Gagal makan enak, padahal ATM ngajakin nongkrong,” ucap Irma, terlihat dari kaca spion bibirnya di lipat kesal. “Gue yang traktir deh kesukaan lo, anggap aja kita lagi makan di cafe mahal." Laras mencoba membujuk. Juga sedikit merajuk. Melihat expresi Laras membuat Irma sedikit terenyuh. “Ya udah dehhh demi yang lagi jatuh cintrong,” ucapnya ceria seperti sedia kala. Melihat senyum Irma sudah kembali seperti biasa, membuat Laras memacu motor dengan semangat tinggi menuju rumah Irma yang tak lain rumah cowo incarannya. Dalam perjalanan ke rumah Irma Laras mengingat kejadian lalu saat pertama melihat Bagaskara si guru tampan yang mampu membuat dadanya bergetar. “Prit, prit, prit, rapatkan barisan kalian." Titah seseorang yang langsung dituruti para siswa. Para sisiwa berbaris rapih, Laras berada pada barisan terakhir karna memang dia tak menyukai pelajaran olah raga. “Perkenalkan saya guru pengganti Pak Arif yang sedang cuti beberapa bulan kedepan karna sedang sakit keras.
Sorak sorai bergemuruh mengelilingi lapangan olah raga. Axel!Pak Bagas!Axel!Pak Bagas! Masing-masing kubu menyorakkan nama jagoan mereka. Tak pelak Laras dengan lantang menyebutkan nama kedua lelaki ini, untuk memberikan semangat. "Ishhh, elo dukung siapa? Exel apa Pak Bagas!?" seru Irma, menyikut lengan Laras. Dengan kikuk Laras mengusap tengkuknya. Bibirnya mengulas senyum canggung. "Gue dukung keduanya." Lalu kembali menyorakkan nama kedua lelaki yang berada di lapangan. Terlihat beberapa orang yang kini berada di area lapangan sedang memperebutkan benda berbentuk bulat, dua orang saling berhadapan menunggu bola yang dengan indah melayang tepat di atas kepala mereka. Pandangan mereka tajam membidik bola, badan mereka meloncat tinggi dengan kedua tangan menjulur mencoba meraih bola basket yang sedang meluncur ke arah mereka. Hap!! Dengan tangkas Exel menangkap bola, lalu meliukkan badan mencoba menghindari tangan Bagas yang mencoba merebut bola dari tangannya. Kaki kokoh