Kinara menatap gelang dengan hiasan gembok yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Senyum malu-malu terukir di wajahnya saat ingatannya melayang pada seorang lelaki dari tiga tahun lalu yang menemaninya malam itu di Garden by the Bay.
Hari itu, seperti biasa, Kinara dirundung kesedihan akibat perlakuan ibu tirinya yang terus menghardiknya. Jauh dari rumah pun, ia tetap menjadi sasaran kemarahan. Rasa rindu pada ibu kandungnya semakin kuat, tapi tidak banyak ingatan yang bisa ia kenang untuk sekedar melepas rindu. Karena saat itu, Kinara masih terlalu kecil untuk menyimpan banyak ingatan.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Kalimat yang selalu sukses membuat hati Kinara hancur.
“Mbak, saya lagi patah hati loh ini. Kok, kencangan tangisan Mbak-nya, ya?” ketus lelaki yang Kinara ketahui namanya Adit—karena setelah percakapan itu mereka menjadi akrab dalam satu malam. Benar-benar hanya semalam karena besok dan setelahnya mereka tidak lagi bertemu.
“Sanalah, Mas. Geseran! Saya sudah lebih dulu di sini,” rajuk Kinara dalam termaram lampu atraksi di Garden by the Bay.
Melihat bibir manyun Kinara—Adit tertawa kecil. Respon Adit saat itu membuat Kinara murka. Ia tidak berhenti berceloteh. Perseteruan mereka malam itu tiba-tiba saja melenyapkan sakit hati yang Adit rasakan.
“Temani saya makan mau?” tawar Adit malam itu.
Kinara tersenyum mengingat kebersamaan malam itu. Sayang sekali mereka tidak pernah bertemu kembali. Tidak akan pernah, lagi pula sebentar lagi Kinara akan menjadi istri Aditama.
Benar, kalau tidak salah si Calon Suami namanya Aditama, batin Kinara.
***
Tangan Aditama mengepal erat, menahan emosi. Dia sama sekali tidak diberi pilihan. Rencana keluarganya untuk datang ke kediaman Fahri sore nanti batal karena kondisi Fahri mendadak drop dan harus dilarikan ke rumah sakit dini hari tadi.
Kenapa? Bukankah seharusnya dia senang karena lamaran itu gagal? Seharusnya begitu… sampai ide papanya membuatnya semakin membenci calon istrinya. Memang lamaran tidak jadi berlangsung, tetapi hari itu justru diubah menjadi hari pernikahan mereka.
Setelah kondisi Fahri lebih stabil, pagi ini Tama langsung mengusulkan agar pernikahan dilaksanakan hari ini juga. Asisten Tama pontang-panting mengurus segala persyaratan administratif. Sementara itu, Kinara terlambat datang karena pesawatnya mengalami delay.
Bukankah semua ini sudah cukup menjadi tanda bahwa semesta tidak merestui pernikahan mereka? Namun, Tama tetap bersikeras. Ia menghalalkan segala cara—mengurus surat kuasa, menghubungi Kinara berkali-kali, memastikan semuanya berjalan sesuai rencananya. Menurut Aditama, ini benar-benar keterlaluan. Terlalu memaksakan kehendak.
Kemarin, ayah dan anak itu kembali bersitegang karena perjodohan ini. Aditama tidak gentar menolak perjodohan. Tama pun tak menyangka anaknya bisa sekeras itu. Selama ini, meskipun Aditama dikenal dingin dan kaku, dia tak pernah membantah ayahnya. Namun, akhirnya mereka mencapai kesepakatan. Aditama setuju dengan perjodohan ini dengan syarat dia tetap bisa fokus pada studinya di Singapura, sementara Kinara juga menyelesaikan pendidikannya. Hubungan mereka pun hanya akan diikat dengan pertunangan. Namun, siapa sangka hari ini malah akan dilangsungkan pernikahan.
"Pa, kita sudah sepakat—"
"Kamu lihat sendiri kondisi Om Fahri. Papa tidak yakin dia akan bertahan sampai hari pernikahan kalian, selain hari ini."
Aditama memang dingin, tapi dia tetap punya hati. Ia menyaksikan sendiri bagaimana kondisi Fahri, bagaimana tatapan memohon lelaki itu yang seakan menyerahkan anaknya kepadanya.
"Malam ini Mas flight ke Singapura—"
"Jangankan malam nanti. Jika semuanya sudah selesai, silakan kamu berangkat," ujar Tama, memberikan sedikit kelegaan bagi Aditama yang akhirnya mengangguk setuju.
Entahlah Aditama hanya pasrah, toh, dia tidak diberi kesempatan untuk memilih hanya dipaksa menurut.
Dokter memastikan kondisi Fahri cukup stabil, sehingga pihak rumah sakit mengizinkan prosesi akad digelar di ruang perawatan. Setelah banyak pertimbangan, keputusan diambil—pernikahan tetap berlangsung meskipun tanpa kehadiran Kinara yang masih dalam perjalanan.
Meski hatinya menolak, Aditama tetap melafalkan ijab kabul dengan lantang di hadapan penghulu dan para saksi. Suaranya mantap, membuat air mata Fahri jatuh. Hanya keluarga Tama yang ia percayai untuk menjaga anaknya.
Fahri tahu bahwa Aditama dan Kinara sama-sama menolak pernikahan ini sejak awal. Namun, ia yakin bahwa pada akhirnya mereka akan bisa saling menerima. Baginya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak Kinara—putrinya adalah seseorang yang mudah dicintai.
Dengan suara bergetar, Fahri berpesan agar baik Aditama maupun Tama dapat menjaga dan melindungi Kinara saat dirinya sudah tiada.
"Jangan bicara yang aneh-aneh. Sehatlah dulu, nanti kita adakan resepsi saat kamu pulih," kata Tama, mencoba menenangkan sahabatnya.
Setelah akad selesai, Aditama menagih janji ayahnya. Ia sudah memesan penerbangan malam ini. Mau tak mau, Tama memenuhi permintaan sang anak.
Dengan langkah cepat, Aditama meninggalkan ruang perawatan Fahri. Ia ingin segera pulang untuk bersiap. Sejak kemarin ia sudah mulai berkemas, tetapi masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan sebelum keberangkatannya.
Di lobi, Aditama tidak sengaja menabrak wanita yang sama terburu-buru dengan dirinya.
“Maaf,” kata Aditama, tapi wanita itu malah menatapnya sinis. Dan berlalu begitu saja.
Kening Aditama mengerutkan keningnya.
“Ekspresi apa itu? Padahal dia yang menabrakku.” Entah kenapa hati Aditama terusik, kesal karena diabaikan. “Tidak sopan,” gumam Aditama.
Pertemuan singkat itu tanpa keduanya ketahui mereka adalah suami istri saat ini. Ya, wanita itu adalah Kinara.
Aditama meninggalkan area rumah sakit dan Kinara berlari terus mencari ruang perawatan ayahnya.
“Kinara.” Tama berusaha menahan langkahnya, tapi gagal. Kinara sudah menerobos masuk ke ruang perawatan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mencabik hatinya—ibunya dan kakaknya berpelukan dalam tangis.
Dito, sang kakak, menoleh. Ia segera menghampiri adiknya, mencoba menahannya. Kinara membeku. Pandangannya terpaku pada dokter yang berjuang menyelamatkan nyawa Ayahnya. Namun ….
Beberapa detik kemudian, suara dokter terdengar, berat dan tak terbantahkan kala mengumumkan waktu kematian Fahri.
“Ayah …!” pekik Anin, suaranya tercekat.
Kinara berlari menerjang, memberontak dari pelukan Dito. “Ayah, Kinara sudah datang, Yah. Bangun, Yah …! Dokter, tolong periksa lagi … tolong!” pintanya dengan suara putus asa.
Tama melangkah mendekat, merangkul tubuh Kinara yang gemetar—menoleh.
“Tolong, Om. Tolong Ayah!” Suara Kinara nyaris tak terdengar, saking sesaknya.
“Ayah sudah tidak ada, Kinara,” ucap Tama dengan suara berat. Seketika itu juga, tangis Kinara pecah. Ia merosot, memeluk tubuh Ayahnya yang kini telah kaku, dingin, dan tak lagi bernyawa.
Tadi, Kinara dan Fahri masih sempat berbicara melalui sambungan panggilan video sebelum akad. Namun, sebelum akad dilafazkan, panggilan itu terputus saat pengumuman terakhir boarding terdengar. Kinara bahkan belum sempat melihat wajah suaminya.
Kini, semuanya jelas.
Pernikahan yang terasa begitu mendesak bukan tanpa alasan. Fahri sadar, waktunya sudah tak lama lagi.
“Ayah … bangun. Dengan siapa Kinara nantinya?” bisiknya pelan, nyaris lenyap di udara. Namun, Tama mendengarnya.
Ia menarik napas panjang, menahan emosi yang berkecamuk. “Kinara akan dijaga oleh Aditama dan Papa. Kinara sudah menjadi anak Papa Tama, Nak.”
Perlahan, Tama mencoba menariknya menjauh dari tubuh Fahri.
Namun, tepat saat tubuhnya terpisah dari sang Ayah, pandangan Kinara mendadak gelap. Dunianya runtuh dalam sekejap hingga akhirnya, ia jatuh pingsan.
***
Kinara terbaring di ruang perawatan, matanya melihat sekitar mendapati Dito duduk di kursi samping ranjangnya.
Samar, dia mendengar suara seseorang berbicara melalui sambungan telepon.
“Mas, kamu di mana? Kenapa baru bisa dihubungi?” tanya Tama pada Aditama di seberang telepon.
“Di Bandara, Pa. Ada apa?” balas Aditama santai.
“Kembali ke rumah sakit,” titah Tama.
“Nggak bisa, Pa. Pesawat Mas majukan. Ini mau check-in,” kata Aditama.
“Om Fahri meninggal dunia.”
Aditama membeku, mau tidak mau ia membatalkan penerbangannya.
Sore itu juga jenazah Fahri dikebumikan. Aditama me-reschedule kembali penerbangannya menyempatkan diri ikut mengantar mertuanya ke tempat peristirahatan terakhir.
Aditama menapakkan kaki ke makam setelah mendapat arahan dari ayahnya. Di tengah kerumunan orang ramai dari jauh Aditama melihat punggung seorang wanita bergetar—menangis tersedu-sedu tertunduk lesu. Satu persatu peziarah meninggalkan area pemakaman. Menyisakan Kinara yang masih terduduk sendiri dan Aditama dari kejauhan.
Tak berselang lama Aditama ikut melangkah keluar dari area makam.
Iya terus langsung menuju bandara untuk tetap terbang ke Singapura. Sebelumnya ia meninggalkan pesan singkat pada Kinara. Alih-alih memberi perhatian atau menyediakan bahu untuk bersandar, Aditama terang-terang mengatakan dia tidak ingin diganggu, menyarankan agar mereka hidup masing-masing menyelesaikan studi-nya. Aditama tidak ragu mengatakan ingin fokus pada studi S2-nya.
***
Malam harinya, Kinara baru membaca pesan itu. Tidak ada perasaan sedih, kesal, atau marah saat membaca kalimat demi kalimat yang Aditama tuliskan. Kinara mati rasa. Ia tidak ambil pusing. Akan seperti apa pernikahannya nanti dia pun tidak tahu. Saat ini, yang ia rasakan hanyalah duka.
Kinara sudah terbiasa sendiri. Kalimat dari Aditama tak sedikit pun mengusiknya. Ia memilih mengabaikan pesan itu tanpa membalas. Sementara di seberang sana, seseorang masih menunggu balasan dari istrinya.
ADitama yang kamu lakukan itu jahara ;( Peluk Kinara
Satu tahun kemudian“Saya sudah kirim uang nafkah untuk kamu,” tulis Aditama pada pesan singkat untuk sang istri.Ia menatap ruang obrolan dengan sang istri yang tidak berbalas. Aditama tersenyum getir. Selama satu tahun pernikahan bisa dihitung berapa kali Kinara membalas pesan Aditama. Wanita itu juga mengaku sibuk dengan studi-nya.Aditama mengembuskan napas panjang—mengusap kasar wajahnya.Pernikahan seperti apa ini? Hambar.Dalam bayangannya, pernikahan adalah bersatunya dua orang yang saling mencintai. Tidak harus selalu memiliki kesamaan, asalkan bisa saling melengkapi. Namun, kenyataannya jauh dari ekspektasi. Pernikahan yang ia jalani ini tidak seperti yang ia impikan, bahkan sebaliknya.Terbesit pikiran untuk menceraikan sang istri. Bukankah itu lebih baik? Kinara bisa menikahi lelaki yang dicintainya, begitu pula dirinya. Namun, sanggupkah Aditama mencintai lagi?Tak ada yang tahu bahwa Aditama sudah menikah. Ia sengaja tidak mempublikasikannya. Lebih tepatnya, tidak ada yan
Parasit? Kinara tertawa sinis. Segera saja dia membalas pesan sang ibu mertua.“Baik, Tante. Saya akan mempersiapkan diri,” tulisnya.Terlalu lelah menjadi bulan-bulanan Rindu, Kinara mantap akan berpisah dengan Aditama.Lucu sekali ibu dan anak itu. Kalau memang ingin protes dan tidak setuju, kenapa tidak langsung menyampaikan saja pada Om Tama yang bersikeras menyatukan Kinara dan Aditama? Bahkan sampai saat ini, ayah mertuanya masih memperlakukannya dengan baik, menganggapnya seperti anak sendiri.Kinara naik ke tempat tidur, mencoba beristirahat, tak sabar menanti esok hari.Dalam pejamnya, pikirannya kembali pada pesan singkat dari ibu mertuanya. Diceraikan? Miris sekali, pernikahan yang diharapkannya hanya sekali dalam seumur hidup ternyata tidak berlaku dalam hidupnya. Setelah ini, bagaimana dengan statusnya sebagai janda? Tidak punya ayah, tidak punya ibu ….Kuat ya, Ra. Kamu tidak selemah itu, batinnya menguatkan diri.Dering ponselnya mengusik di saat matanya baru saja kembal
Langkah ringan seorang gadis penuh semangat menyeberangi jalan. Angin berembus kencang, menerbangkan helaian rambutnya. Wajahnya berseri, matanya berbinar penuh harap.Setibanya di lobi rumah sakit, senyum manis terukir di wajahnya. Tangannya melambai ke arah seorang lelaki paruh baya yang membalasnya dengan senyum hangat.Gadis itu adalah Kinara Ayudia Riyani, biasa disapa Kinara, anak tunggal Fahri. Ibunya meninggal dunia saat Kinara berusia tujuh tahun. Lima tahun kemudian, Fahri menikah dengan Diani, seorang janda dengan dua anak kembar—Dita Arimbi dan Dito Prajasutra—yang usianya tiga tahun lebih tua dari Kinara. Dari pernikahan keduanya, Fahri dan Diani dikaruniai seorang anak perempuan, Tiara Fani.Kinara mempercepat langkahnya mendekat, lalu memeluk ayahnya.“Rindunyaaa …,” ujarnya manja.Fahri mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala kesayangannya.“Ayah sudah selesai. Ayo, langsung saja kita kencan,” goda sang ayah membuat Kinara melayangkan pukulan pelan pada dada y
Parasit? Kinara tertawa sinis. Segera saja dia membalas pesan sang ibu mertua.“Baik, Tante. Saya akan mempersiapkan diri,” tulisnya.Terlalu lelah menjadi bulan-bulanan Rindu, Kinara mantap akan berpisah dengan Aditama.Lucu sekali ibu dan anak itu. Kalau memang ingin protes dan tidak setuju, kenapa tidak langsung menyampaikan saja pada Om Tama yang bersikeras menyatukan Kinara dan Aditama? Bahkan sampai saat ini, ayah mertuanya masih memperlakukannya dengan baik, menganggapnya seperti anak sendiri.Kinara naik ke tempat tidur, mencoba beristirahat, tak sabar menanti esok hari.Dalam pejamnya, pikirannya kembali pada pesan singkat dari ibu mertuanya. Diceraikan? Miris sekali, pernikahan yang diharapkannya hanya sekali dalam seumur hidup ternyata tidak berlaku dalam hidupnya. Setelah ini, bagaimana dengan statusnya sebagai janda? Tidak punya ayah, tidak punya ibu ….Kuat ya, Ra. Kamu tidak selemah itu, batinnya menguatkan diri.Dering ponselnya mengusik di saat matanya baru saja kembal
Satu tahun kemudian“Saya sudah kirim uang nafkah untuk kamu,” tulis Aditama pada pesan singkat untuk sang istri.Ia menatap ruang obrolan dengan sang istri yang tidak berbalas. Aditama tersenyum getir. Selama satu tahun pernikahan bisa dihitung berapa kali Kinara membalas pesan Aditama. Wanita itu juga mengaku sibuk dengan studi-nya.Aditama mengembuskan napas panjang—mengusap kasar wajahnya.Pernikahan seperti apa ini? Hambar.Dalam bayangannya, pernikahan adalah bersatunya dua orang yang saling mencintai. Tidak harus selalu memiliki kesamaan, asalkan bisa saling melengkapi. Namun, kenyataannya jauh dari ekspektasi. Pernikahan yang ia jalani ini tidak seperti yang ia impikan, bahkan sebaliknya.Terbesit pikiran untuk menceraikan sang istri. Bukankah itu lebih baik? Kinara bisa menikahi lelaki yang dicintainya, begitu pula dirinya. Namun, sanggupkah Aditama mencintai lagi?Tak ada yang tahu bahwa Aditama sudah menikah. Ia sengaja tidak mempublikasikannya. Lebih tepatnya, tidak ada yan
Kinara menatap gelang dengan hiasan gembok yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Senyum malu-malu terukir di wajahnya saat ingatannya melayang pada seorang lelaki dari tiga tahun lalu yang menemaninya malam itu di Garden by the Bay.Hari itu, seperti biasa, Kinara dirundung kesedihan akibat perlakuan ibu tirinya yang terus menghardiknya. Jauh dari rumah pun, ia tetap menjadi sasaran kemarahan. Rasa rindu pada ibu kandungnya semakin kuat, tapi tidak banyak ingatan yang bisa ia kenang untuk sekedar melepas rindu. Karena saat itu, Kinara masih terlalu kecil untuk menyimpan banyak ingatan. "Dasar anak tidak tahu diuntung!" Kalimat yang selalu sukses membuat hati Kinara hancur.“Mbak, saya lagi patah hati loh ini. Kok, kencangan tangisan Mbak-nya, ya?” ketus lelaki yang Kinara ketahui namanya Adit—karena setelah percakapan itu mereka menjadi akrab dalam satu malam. Benar-benar hanya semalam karena besok dan setelahnya mereka tidak lagi bertemu.“Sanalah, Mas. Geseran! Saya sudah le
Langkah ringan seorang gadis penuh semangat menyeberangi jalan. Angin berembus kencang, menerbangkan helaian rambutnya. Wajahnya berseri, matanya berbinar penuh harap.Setibanya di lobi rumah sakit, senyum manis terukir di wajahnya. Tangannya melambai ke arah seorang lelaki paruh baya yang membalasnya dengan senyum hangat.Gadis itu adalah Kinara Ayudia Riyani, biasa disapa Kinara, anak tunggal Fahri. Ibunya meninggal dunia saat Kinara berusia tujuh tahun. Lima tahun kemudian, Fahri menikah dengan Diani, seorang janda dengan dua anak kembar—Dita Arimbi dan Dito Prajasutra—yang usianya tiga tahun lebih tua dari Kinara. Dari pernikahan keduanya, Fahri dan Diani dikaruniai seorang anak perempuan, Tiara Fani.Kinara mempercepat langkahnya mendekat, lalu memeluk ayahnya.“Rindunyaaa …,” ujarnya manja.Fahri mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala kesayangannya.“Ayah sudah selesai. Ayo, langsung saja kita kencan,” goda sang ayah membuat Kinara melayangkan pukulan pelan pada dada y