“Siapa juga yang mau bertemu lagi dengannya,” kesal Kinara melihat punggung lelaki arogan itu menjauh. Segera saja Kinara melangkah terus menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Kinara terus menatap layar ponselnya, tepatnya ruang obrolan dengan sang suami. Aditama sudah membaca pesannya, tetapi tak kunjung membalas. Begini saja terus hubungan mereka sampai bumi berhenti berputar.
"Ah, sudahlah!"
Kinara membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, ingin segera berlabuh ke pulau kapuk. Padahal, masih terlalu dini untuk tidur, tetapi tubuhnya terasa begitu lelah.
***
Sejak penolakan kemarin, Erik tak lagi terlihat dalam rombongan. Ia memilih liburan terpisah dengan alasan ingin mengunjungi keluarganya di sini, mumpung ada waktu luang.
Tak ada yang tahu tentang pertemuan mereka kemarin, termasuk Ve.
Hari ini, mereka berencana menghabiskan waktu di luar Pulau Sentosa. Ve penasaran dengan skybar dan klub yang terletak di rooftop bangunan termegah dan paling ikonik di negara ini.
Dalam perjalanan kali ini, mereka hanya bertiga—Kinara, Ve, dan Aji. Ve dan Aji Saputra adalah sahabat Kinara sejak SMA. Liburan mereka ke Singapura kali ini terdiri dari delapan orang. Lima lainnya adalah teman Aji dari fakultas Teknik, termasuk Erik. Mereka sudah akrab sejak memasuki universitas yang sama dengan Aji sebagai jembatan pertemanan ini.
Semua teman Aji berperilaku baik dan tahu cara menghargai wanita. Itu kenapa ciwi-ciwi ini juga senang berteman dengan mereka.
“Serius mau ke sana? Kalau minum yang aneh-aneh aku aduin papamu, Ve,” kata Kinara tidak yakin dengan sahabatnya yang banyak maunya ini.
“Minum apa, sih? Jangan katrok. Di sana nggak mesti mabok-mabokan, ya. Kita ke sana sore, aku mau lihat sunset dari sana. Mau buat time-lapse ala-ala gitu. Ntar dari awannya cerah, masuk ke waktu magrib, dan malam. Iiii… keren pasti,” ujar Ve penuh semangat, si paling instagr*mable.
Kinara mengembuskan napasnya menoleh ke arah Aji. Sementara yang ditatap ikut mengembuskan napas panjang—mengedikkan bahunya.
Puas seharian berkeliling berburu tempat wisata dan kuliner, mereka menuju skybar sore harinya. Kinara menikmati pemandangan kota Singapura tepat di depan matanya yang berubah menjadi lukisan hidup yang memukau. Langit yang tadinya biru perlahan bertransisi menjadi semburat oranye keemasan, berpadu dengan rona merah muda yang memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit.
Di kejauhan, matahari perlahan turun di balik cakrawala, sinarnya membelah awan tipis yang melayang di atas kota.
Angin sore bertiup sejuk, membawa angan Kinara melayang. Meski bersenang-senang, pikiran Kinara kalut saat ini. Ibu tirinya terus mengirim pesan agar Kinara segera menghubungi Tama untuk kembali mengucurkan dana pada perusahaan mereka. Belum genap setahun ini permintaan seperti ini sudah kali ketiga. Tahu bagaimana bingungnya Kinara akan bicara dengan papa mertuanya? Memang ada kerja sama, tetapi jika melibatkan urusan pribadi seperti ini, jelas terasa tidak profesional.
Deringan ponsel memecah lamunannya. Baru saja ia memikirkan hal itu, kini ibu tirinya, Diani, sudah menghubungi.
Kinara tak bisa mengabaikan panggilan itu. Sekali saja terlambat merespons, ia bisa menjadi bulan-bulanan Diani.
Begitu panggilan tersambung, suara Diani terdengar lembut dan manis menyapa. Ia langsung menanyakan keberadaan anaknya. Dengan jujur, Kinara menjawab bahwa ia sedang berada di Singapura. Mendengar hal itu, nada suara Diani berubah ceria.
“Kamu ketemuan dengan Aditama, ya, Sayang?” tanya Diani merekahkan senyumnya di seberang sana.
“Nggak—”
“Pas banget, Nak. Kalau kamu belum bicara dengan Pak Tama, ada baiknya kamu minta sama suami kamu saja. Nanti Dita akan siapkan dokumen pendukung investasi,” ujar Diani menunjuk anak kandungnya, Dita, yang sementara memimpin perusahaan alm. Fahri.
Tidak, mana mungkin Kinara menghubungi Aditama untuk hal itu. Tidak tahu saja semua keluarga kalau suami istri ini masih belum bertemu.
“Maaf, Ma, Kinara—”
“Nggak bisa?” terdengar tawa dari seberang sana. “Sepertinya kamu sangat ini membuat kami semua jatuh, ya?” kekeh Diani.
“Bukan begitu, Ma. Kinara tidak bisa bicara dengan Aditama karena—”
“Karena kamu tidak pernah peduli dengan kami. Begini cara kamu membalas budi dengan Mama, huh?”
Balas budi? Atas apa? Kinara membatin, matanya mulai memanas. Ia tak pernah merasa dirawat atau mendapatkan kasih sayang seorang ibu dari Diani. Sejak kecil, ia lebih banyak diasuh oleh asisten rumah tangga.
Air matanya jatuh tak tertahan saat mendengar makian dari seberang telepon. Langit mulai gelap setidaknya menyamarkan kesedihannya.
Aji dan Ve, yang baru saja kembali setelah asyik berfoto di salah satu sudut bar, saling berpandangan. Langkah mereka terhenti ketika melihat Kinara mengusap air matanya, ponsel yang tadi menempel di telinganya kini telah diturunkan.
“Ara,” panggil Ve, pelan.
Kinara memaksakan senyumnya meminta agar kedua sahabatnya tidak mengkhawatirkan dirinya. Ve langsung mendekat dan memeluk Kinara.
“Tante Diani, ya?” Kinara mengangguk. Ve mengeratkan pelukannya mengusap punggung Kinara berusaha menenangkannya.
“Aku sudah pesankan makan malam untuk kita,” kata Aji ikut duduk di hadapan dua sabahatnya.
Kinara mengangguk usai melepas pelukan Ve.
Sepanjang menikmati makan malamnya, Kinara memikirkan banyak hal termasuk pertemuan dengan Aditama. Apa memang sebaiknya dia akhiri saja pernikahan ini?
“Telepon siapa?” tanya Ve, melihat Kinara menyudahi makan malamnya.
“Suami gaib,” jawab Kinara membuat Ve antusias.
“Ihh… mau meetup, ya? Sini, dong. Suruh ke sini. Dia tinggal di mana?”
“Siapa suami gaib?” tanya Aji yang sedang menyesap minumannya, bingung.
“Kepo! Ini urusan wanita,” balas Ve, ketus.
Kinara pamit menjauh saat suasana mulai ramai. Ia membawa tasnya, mengatakan akan singgah ke toilet sambil mencoba menghubungi Aditama.
Satu kali panggilan tak terjawab membuatnya mengerutkan kening. Ia pun melanjutkan langkahnya ke toilet. Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar—panggilan masuk dari Aditama. Kinara tertegun. Ini pertama kalinya mereka berbicara lewat telepon. Absurd, bukan? Suami istri macam apa mereka ini?
Tanpa pikir panjang, Kinara segera menerima panggilan itu. Ia melangkah ke balkon tak jauh dari toilet, mencari tempat yang lebih tenang.
“Halo,” sapa Aditama dengan suara baritonnya.
Kinara menegak salivanya mendengar suara tegas yang juga terdengar dingin di seberang sana. “Kamu telepon hanya untuk membuat waktu saya?” ujar Aditama karena Kinara hanya diam saja.
“Ah, I—iya, Mas.”
Meski suara di seberang sana terdengar merdu, tidak mengurangi rasa benci Aditama pada Kinara.
“Ada apa?”
“Saya mau ketemu—”
“Tidak bisa. Saya sibuk. Saya akan memberikan nomor asisten saya. Kedepannya kamu bisa menghubunginya.” Kinara menganga tak percaya mendengar jawaban Aditama. “Setelah ini silakan hubungi, Vano, asisten saya.”
Tut … tut … tut!
Sambungan telepon terputus sepihak, begitu saja.
“Eh, gelo nih orang. Main di matiin saja,” kesal Kinara.
Ketika berbalik, Kinara membulatkan matanya melihat Erik berdiri di hadapannya.
“Loh, Erik?” Pandangan Erik terlihat sayu, tapi juga terlihat menggebu.
Erik mempersilakan Kinara jalan lebih dulu setelah mengatakan kalau dua sahabatnya, Ve dan Aji sudah menunggu di bawah.
Kinara mengangguk paham mengikuti langkah mantap Erik. Ve bilang mereka memang tidak akan lama di sini.
Di dalam lift hanya kesunyian yang menemani. Entah kenapa berdua dengan Erik seperti ini jantung Kinara berdetak lebih kencang. Tiba-tiba ia merasa takut.
Kini keduanya sudah tiba di area parkir. Kinara menelisik sekitar yang sepi, tidak menemukan Ve dan Aji. Langkah Erik mantap menuntun Kinara ke sebuah mobil. Merasa ada yang tidak beres, Kinara menghentikan langkahnya.
“Erik,” panggil Kinara pelan.
Erik menoleh kembali mendekati Kinara yang perlahan mundur.
“Pulang dengan aku saja, ya?” pinta Erik membuat Kinara menggeleng kaku.
Kinara berbalik setelah mengatakan dia akan mencari Ve dan Aji. Sesaat kemudian tubuh Kinara melayang digendong paksa oleh Erik—masuk ke dalam mobilnya. Kinara mencoba berontak—keluar dari mobil, tapi Erik menahannya.
“Pulang dengan aku, Ara!”
“Erik, tolong jangan seperti ini,” pinta Kinara dengan tubuh merinding saat Adit menimpa tubuhnya sementara kaki Kinara masih menjuntai keluar.
“Seperti apa, Sayang?” mengusap wajah Kinara dengan gerak sensuaal.
“Erik—toloonngg …!” pekik Kinara seraya menahan tubuh Erika—memberontak.
Erik menekan tubuhnya agar bisa mendekat telinga Kinara, berbisik, “Aku mencintaimu Ara.”
“Tolooonnggg …!” pekik Kinara.
Pasrah, Kinara tidak kuat lagi menahan tubuh besar Erik. Dengan sisa tenaganya, Kinara mendorong tubuh Erik hingga lelaki itu kian menjauh dari tubuhnya. Tidak, bukan karena dorongan Kinara, tapi karena ada seseorang yang menarik paksa tubuh Erik keluar.
“Sialan!” kesal Erik, melayangkan tinjuan pada seseorang yang datang dengan niat membantu karena mendengar teriakan Kinara.
Kinara ditarik keluar saat sosok itu setelah membalas pukulan Erik hingga tersungkur ke lantai.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Aditama. Ya, lelaki yang datang membantu itu adalah Aditama yang tidak sengaja lewat.
Kinara menangis sejadi-jadinya. Enggan disentuh, ia merasa jijik oleh sentuhan mengingat bagaimana Erik mengusap wajah dan menatapnya tadi.
Erik kembali menarik Aditama dan kedua terlibat perkelahian. Namun, lagi-lagi Erik terjatuh, tersungkur.
Aditama melihat sekitar mencari keberadaan Kinara dan menemukan wanita itu berjalan lunglai memeluk tubuhnya yang bergetar—menangis sejadi-jadinya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aditama menghalangi jalan Kinara. “Kamu?” katanya terkejut setelah melihat jelas wajah Kinara. Namun, sesaat kemudian pandangan Kinara perlahan gelap dan tubuhnya melemah. Kinara jatuh pingsan, dengan sigap Aditama menangkap tubuh mungil Kinara.
Erik gelo! untung ada suami gaib kaaannn....hihi
Kinara mengeratkan pelukannya menikmati aroma tubuh yang menenangkan. Tubuh? Kinara membuka matanya perlahan mengerjap saat tubuh kecilnya berada dalam pelukan seseorang. “Aahh …!” Kinara memekik mendorong tubuh di hadapannya hingga jatuh dari ranjang tersungkur mengerang kesakitan. “Ka—kamu?” Berusaha mengumpulkan kesadarannya lelaki itu pasrah terbaring telentang di lantai menahan sakit memegangi lengannya. “Ka—kamu nggak apa-apa?” tanya Kinara merasa bersalah karena lelaki itu terlihat sangat kesakitan. “Mas?” panggilnya hati-hati. Kinara sangat mengenal wajah ini. Lelaki ini adalah lelaki yang kemarin tidak terima dimintai tolong saat Kinara mengelabuhi Erik. Sebentar, dia juga yang memukuli Erik malam saat …. “Kamu sudah sadar, sebaiknya pergi dari apartemen saya,” kata lelaki itu dengan nada dingin—sudah terduduk di lantai dan berusaha bangkit dari duduknya. Kinara cepat turun dari ranjang dan berusaha membantu lelaki itu tapi yang ingin ditolong menolak. “Bukankah saya sud
Ada apa dengan lelaki itu? Sok paling kenal, pikir Kinara.“Mundur, Wir! Modusmu kelewatan,” pekik Kinara saking kesalnya. Tentu saja yang sedang dibicarakan tidak ada, ya …. Mana berani Kinara mengatai di depan orangnya langsung. Melihat tatapannya yang tajam saja takut, seperti akan melahap orang hidup-hidup.Kinara tidak ambil pusing karena dia memang tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan lelaki.Di hotel, Aji bolak-balik berjalan ke sana-sini seperti setrikaan berusaha menghubungi Kinara. Nomornya sudah aktif, tapi panggilan tidak kunjung diangkat.“Jadi apa mau ke kantor polisi saja?” tanya Ve, ketakutan.Aji menjelingkan matanya jengah karena Ve masih saja bungkam. Ve mengatakan kalau pun harus membuka rahasia Kinara itu hanya pada polisi nanti saat bersaksi.“Mau apa ke kantor polisi?” tanya Kinara melangkah masuk ke kamar yang sengaja disanggah hingga sedikit terbuka.Aji dan Ve segera menoleh saat seseorang melangkah masuk tanpa rasa bersalah, lalu menjatuhkan diri di s
“Wah, parah,” kata Adit, menggeleng sedih karena Kinara tidak mengingatnya.Kinara menganga tak percaya, kedua tangannya menutup mulutnya refleks. Ia terkejut bisa bertemu dengan lelaki yang ia kenal sebagai Adit—lelaki yang menemaninya malam itu, tiga tahun yang lalu, saat ia bersedih—tanpa tahu bahwa lelaki itu juga adalah Aditama, suaminya.“Maaf, Mas...,” lirihnya, masih tak percaya. “Sebentar, Mas Adit masih simpan gelangnya?” tanyanya lagi dengan mata membulat.Aditama mengangguk, lalu mendekatkan tangannya dengan tangan Kinara. Kinara menatap takjub saat melihat gelang pasangan mereka masih melingkar di sana, sama seperti miliknya.Hatinya dipenuhi rasa haru. Ia nyaris tak percaya pertemuan ini benar-benar terjadi. Ia tidak henti berterima kasih karena Aditama telah menyelamatkannya—meraih tangan Aditama, menarik, dan menggoyang-goyangkannya riang sementara yang ditarik meringis kesakitan.Aditama meringis.Menyadari perubahan ekspresi lelaki itu, Kinara buru-buru menghentikan t
08xx xxxx xxxxNona, perkenalkan saya Vano, asisten Pak Aditama. Saya ingin meneruskan surat pernyataan berikut untuk Nona tandatangani, terima kasih.‘Surat penyataan perceraian?’Suami GaibSudah terima draft dari Vano? Tolong segera tandatangani.Mas AditRa, besok mau dibuatkan sarapan apa?Kinara menatap aplikasi pesan singkat di layar ponselnya dengan kedua tangannya bertumpu di atas meja—meremas rambutnya. Bingung pesan mana yang harus ia balas lebih dulu.Deringan ponselnya membuyarkan pikiran, senyumnya merekah melihat telepon masuk dari papa mertuanya, Tama. Segera saja Kinara mengangkat panggilan itu.“Halo, Om,” sapa Kinara.“Kok, Om, terus, sih? Panggil papa seperti Aditama juga, Nak,” kata Tama dari seberang telepon.Kinara meringis segan. Pasalnya ia juga pernah memanggil Rindu dengan sebutan mama, tapi mertuanya itu menolak keras dipanggil mama. Kinara jadi membatasi diri dari keluarga suaminya.“Kamu lagi di Singapura?” tanya Tama kemudian.Kinara menyahut membenarkan,
Malam ini, Kinara ikut Ve ke sebuah pameran seni. Sementara Aji menemani Ve di ruang lelang, Kinara berkeliling menikmati pameran.Tanpa disadari, sejak tadi ia menjadi objek bidikan seorang fotografer. Setiap gerak-geriknya tertangkap dalam jepretan kamera. Fotografer itu begitu menikmati momen memotret Kinara yang fotogenik.Kinara terus berjalan hingga berhenti di depan salah satu lukisan.Lukisan itu terpajang di sudut ruangan. Sapuan warna-warna hangat membentuk siluet sebuah rumah tua yang disinar cahaya keemasan. Di teras, tergambar sosok ayah yang tersenyum lembut, tangannya memeluk putri kecilnya. Di belakang mereka, samar-samar terlihat bayangan seorang ibu yang penuh cinta, pelukan itu seakan bisa dirasakan meski hanya dalam kanvas.Namun, semakin lama dipandang, lukisan itu terasa memilukan. Kinara berdiri di depan lukisan itu, dadanya sesak. Rindu menghangatnya rumah kecil, pelukan ayahnya, dan tawa yang dulu mengisi hari-harinya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, mengena
"Sesuatu apa, Mas?" tanya Kinara dengan bingung."Nanti aja, deh. Setelah dari sini," kata Aditama santai, menunjukkan tiket masuk Universal Studios."Kita mau ke Universal Studios?" tanya Kinara dengan mata membulat. Aditama memang tidak memberi tahu mereka akan ke mana akhir pekan ini. Kinara mengira mereka hanya akan berbincang ringan di toko es krim saja."Tidak mau?" Aditama menaikkan sebelah alisnya, sengaja menggoda."Mauuu…," seru Ara bak anak kecil yang bahagia dituruti keinginannya.Lihatlah bagaimana Aditama tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya di dekat Ara, sosok yang periang dan bersahaja. Di tengah berbagai problematik hidup dan kesibukannya, bertemu Ara bagaikan menemukan dunia baru dalam hidup Aditama yang selama ini monoton.***“Kamu menikmati sekali permainan wahana tadi,” kata Aditama saat mereka menikmati waktu usai menjelajahi beberapa permainan wahana di Universal Studios.Kinara mengatakan bahwa sudah lama ia tidak bermain wahana karena sahabatnya tidak bera
“Sorry to say, ya, Ra. Aku bisa lihat dari mata tu mas-mas. Doi, suka ame elu,” kata Ve, membuat Kinara jengah.Ve tidak melanjutkan pembicaraan, yang berarti sahabatnya tidak dapat melihat kalau Kinara sempat tersentuh oleh sikap dan perlakuan Adit. Hal itu membuatnya bernapas lega.Kinara memilih menghindari Adit. Selama ini, ia tidak pernah dekat dengan laki-laki selain Aji, sahabatnya sejak sekolah. Namun kini, setelah bersuami, pikirannya justru dipenuhi oleh sosok lelaki lain. Bukankah itu tidak pantas?Kinara menggelengkan kepala, berharap bayangan Adit segera menghilang.Hari ini, ia dan Adit akan kembali menghabiskan waktu bersama, tetapi Kinara memutuskan untuk menjaga jarak. Ini adalah hari terakhirnya di Singapura, karena besok ia akan kembali ke rutinitasnya di Malaysia. Perasaannya terhadap Adit belum begitu dalam. Mungkin ini hanya kekaguman atau rasa nyaman karena sikapnya yang hangat. Lambat laun, perasaan itu akan memudar seiring kesibukannya.Namun, seberapa kuat Kin
Hujan telah reda. Kinara kembali ke hotel dengan tubuh basah kuyup. Tak ada kabar apa pun dari Aditama. Lelaki itu menghilang begitu saja, meninggalkannya sendirian. Langkah Kinara terhenti. Tatapannya lurus ke depan, menatap sosok yang mondar-mandir dengan gelisah. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Hingga akhirnya, pandangan mereka bertemu. Melihat kondisi Kinara seperti itu, hati Aditama remuk. Ia melangkah mendekat, sementara Kinara tetap berdiri mematung. Mata indah itu kini digenangi air mata. Lagi. Untuk kesekian kalinya, Aditama melihat Kinara dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya ke dalam dekapannya. Tangis Kinara pecah. Kenapa sosok Adit selalu ada di saat seperti ini? Dan kenapa ia begitu lemah di hadapan lelaki itu? Melihat Kinara seperti ini, jiwa Aditama terusik. Sejak pertama bertemu, wanita kecil itu tampak rapuh. Dan kini, tekadnya semakin kuat. Ia ingin melindungi Kinara, menjaganya, dan memastikan wanita itu bahagia bersamanya
Kinara semakin gelisah. Sebanyak apa pun ia mencoba berpikir positif, hatinya tetap saja tak tenang. Ia menggigit bibir bawah, menatap testpack yang tergeletak di sisi wastafel. Ya, akhirnya Kinara memberanikan diri untuk melakukan tes.‘Pregnant.’Tangannya bergetar saat meraih testpack lain. Darahnya seolah berdesir melihat dua garis, meski salah satunya tampak samar. Saking penasarannya tadi ia membeli dua testpack sekaligus."Ha–hamil?" lirihnya.Ia menutup mulut, matanya membulat tak percaya. Kakinya terasa lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.'Bagaimana ini?' batinnya.Dalam sekejap, semua rencana yang sudah disusunnya runtuh begitu saja.***Untuk memastikan kehamilannya, Kinara membuat janji temu dengan dokter obgyn. Sepanjang konsultasi, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia ingat, dokter hanya mengatakan bahwa kandungannya masih sangat muda—baru terbentuk sebuah kantung janin.Ingin rasanya bertanya, 'Apakah masih bisa digugurkan?'Namun lidahnya kelu, tak san
Dua minggu kemudianTidak ada angin segar bagi Aditama. Hilangnya rekaman CCTV hari itu menimbulkan keresahan, membuat langkahnya terasa penuh rintangan."Memang bukan hanya CCTV hari itu yang hilang, tapi aku tetap curiga," kata Mahesa Rein. "Sepertinya mereka sengaja melindungi orang besar yang terlibat di hotel itu. Sialnya, kejadianmu juga terjadi di hari yang sama," lanjutnya.Aditama mengusap wajahnya dengan kasar, tak tahu harus berkata apa. Ia gelisah, terlebih lagi karena tidak bisa menghubungi Ara. Entah kenapa, wanita itu menghilang seperti ditelan bumi dan akses Aditama terasa semakin terbatas."Aku akan tetap melanjutkan ini," kata Mahesa Rein.Aditama mengangguk setuju.***“How are you today, dear?” sapa Dito, pada Kinara yang menjeling matanya jengah. “Jelek sekali. Mas serius, how your feeling?” tanya Dito.“Jauh lebih baik, Mas,” balas Kinara, membuat senyum di wajah Dito merekah.Hari itu, saat Dito mengajak Kinara pergi bersamanya, tentu saja Kinara menolak. Bukan K
“Mas Dito?” Kinara menoleh ke arah dua sahabatnya, lalu kembali memandang pria yang masih menggenggam tangannya. “Kok bisa di sini?”“Perfect timing! Wait a moment.”Dito memamerkan hasil foto candid yang diam-diam ia ambil saat Kinara tengah bersama para desainer di KLFW kemarin.“Mas Dito datang?” tanya Kinara dengan mata membulat.“Proud of you, Adik.” Dito mengusap lembut puncak kepala Kinara, membuat senyum merekah di wajah keduanya. “Let’s go!”Dito belum juga melepaskan genggamannya—Kinara menarik tangan Ve ikut bersama mereka.Mereka mendekati pasangan yang berdiri di sudut ruangan. Ternyata mereka adalah teman Mas Dito dan kekasihnya, yang rupanya seorang desainer asal Indonesia. Kinara tentu mengenalnya. Bersama Ve, keduanya nyaris melompat girang melihat sosok desainer terkenal itu berdiri di hadapan mereka.“Vena, ini adikku yang aku ceritakan waktu itu,” kata Mas Dito memperkenalkan Kinara kepada kekasih temannya.“Hi,” sapa Vena ramah.“Mas, kenalin aku juga dong, calon d
“Bukan kamu yang bersamaku tadi malam. Aku yakin sekali,” sangkal Aditama, suaranya rendah tapi tegas. Jemarinya mencengkeram lengan Sheila, keras, seolah ingin menemukan jawaban yang dia harapkan.Namun jujur Aditama tak sepenuhnya yakin, tapi dalam ingatannya, hanya ada Ara. Sentuhan itu, suara lembut yang memanggil namanya—semuanya milik Ara. Tapi mengapa pagi ini, Sheila yang berdiri di hadapannya?“Kalau begitu siapa? Ara?” Sheila menatapnya tak percaya. “Kamu terus menyebut namanya setiap kali menyentuhku. Aku tak menyangka kamu bisa seperti ini, Dit. Apa kalian sudah terbiasa melakukan hal seperti itu? Sampai-sampai kamu dengan mudah melupakan apa yang terjadi antara kita semalam?”“Cukup, Sheila!”Aditama memejamkan mata, memijat pangkal hidungnya, berusaha keras menata napas dan pikirannya yang porak-poranda. Ia menggali ingatannya dalam-dalam, mencari jejak Sheila di sana, tapi yang ia temukan hanya kekosongan. Tidak ada Sheila. Tidak sepotong pun.Namun yang lebih membingung
Sheila memberanikan diri. Ini kali pertamanya, tapi ia rela jika harus menyerahkan segalanya kepada Aditama. Mereka akan kembali bersama hingga tak ada satu pun yang mampu memisahkan.Wanita itu tersenyum puas saat melihat langkah lunglai Adit mendekatinya. Ia sengaja tidak menutup pintu, memberi jalan agar pria itu bisa masuk dengan mudah. Tidak tega melihat langkah lemah itu, Sheila mendekatkan diri—memapah tubuh yang hampir tumbang itu.Namun aroma menyengat menyergap hidungnya dalam temaram cahaya lampu, Sheila tertegun. Itu bukan Aditama. Ia tahu betul, ia tak pernah memberinya alkohol.Sheila segera mendorongnya perlahan, malah menyadarkan si pria. Saat wajah pria itu terangkat, mata Sheila membulat. Di hadapannya berdiri atasannya sendiri—menatapnya nanar. Pria itu mabuk dan kehilangan arah.“Mr. Andro?”“Kamu?” Suara pria itu terdengar serak. “Kamu yang dengan sukarela menawarkan tubuhmu, Sheila?”Sheila membeku. Bukan seperti ini rencananya. Ia seharusnya mengarahkan Mr. Andro
“Ra, so proud of you, Cantik,” ujar mentor Kinara tulus.Pujian demi pujian mengalir, menghampiri Kinara satu per satu. Senyum tak lepas dari wajahnya.Pandangan matanya kemudian jatuh pada Ve dan Aji yang duduk di kejauhan, melambaikan tangan padanya. Kinara membalas lambaian itu dengan penuh suka.Mereka, Ve dan Aji, adalah saksi perjalanan hidupnya. Dan Kinara merasa sungguh beruntung memiliki keduanya.“Kami langsung balik ke hotel, ya. Kamu lanjut dinner, ‘kan?” tanya Ve, yang akhirnya bisa mendekat setelah sejak tadi Kinara dikerumuni teman-teman desainer yang bergantian menyapa dan mengajaknya berswafoto.“Oke. Besok lunch bareng, ‘kan?” sahut Kinara memastikan. Ve mengangguk cepat, mengiyakan.***Kinara menginap di hotel yang letaknya tak jauh dari lokasi acara. Banyak desainer lain juga menginap di hotel yang sama—hotel yang memang telah ditunjuk oleh pihak penyelenggara. Malam ini, makan malam penghargaan pun diadakan di ballroom hotel tersebut.Kinara tampil begitu memesona
Kinara menyimpan cepat ponselnya menatap datar wanita yang kini duduk di hadapannya tanpa dipersilakan. Siapa lagi kalau bukan Sheila?“Sayang sekali selisih jalan sama Adit,” kata Sheila, sementara Kinara menatap wanita itu begitu dalam.“Aditama?” tanya Kinara, mencoba menyakinkan.Sheila mengangguk membenarkan membuat darah Kinara berdesir. Kenyataan seperti apa ini? Jadi, selama ini Kinara berhubungan dengan suaminya sendiri? Suami gaib itu nyata wujudnya, tapi kenapa kepribadiannya berbeda? Lalu, apa Aditama juga tidak mengenali dirinya? Pernikahan seperti apa ini, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Jika Kinara memilih bersikap acuh karena kekecewaan yang sudah ada sejak awal pernikahan, lalu apa alasan Aditama untuk tidak berusaha mencari tahu tentang dirinya?Kinara tak mampu berpikir jernih—terlalu diliputi rasa takut.Takut jika Adit-nya akan membencinya saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.Apalagi, Aditama sudah sejak awal menunjukkan kebencian yang begitu dala
“Papa sudah tanya Aditama belum? Dia mau apa ketemu Kinara?” tanya Rindu, pada sang suami.“Bukannya kamu sudah bilang pada mereka, kalau kita nggak sabar pengin punya cucu? Ya tentu itu tujuan mereka ketemu, apa lagi coba?” jawab Tama santai, tak tahu kalau sampai hari ini anak dan menantunya bahkan belum pernah bertatap muka.“Kan Mama baru ngomong ke Kinaranya, Pa. Ke Aditamanya belum,” sahut Rindu, kesal.“Biarin aja mereka, Ma. Kita tunggu kabar baiknya aja,” balas Tama.'Kabar baik apaan?' batin Rindu makin kesal.Aditama memang mengabari ibunya kalau hari ini ia akan bertemu Kinara. Tapi, dia sendiri nggak tahu persis akan membahas apa. Biasanya, si sulung itu selalu terbuka dan menceritakan semuanya. Tapi kali ini, dia cuma menyebutkan lokasi pertemuan—itu pun karena dipaksa. Saat ditanya lebih jauh, Aditama malah terkesan menghindar. Rindu mulai khawatir, jangan-jangan Kinara dan keluarganya sudah mulai mencuci otak anaknya.***“Gini aja mau ketemu suami?” sindir Ve dengan al
Kegiatan keduanya terhenti saat dering telepon dari ponsel Kinara memecah suasana. Ia tersentak, panik menyadari sejauh apa mereka telah melangkah. Dengan cepat, ia melepaskan diri, meraih ponselnya, dan menjauh.“Ma—mas, aku harus pulang—”“Ra,” panggil Aditama, mencoba menahan. Tapi Kinara sudah melangkah pergi.“Ra, kamu nggak bisa ninggalin aku seperti ini lagi—”Aditama memejamkan mata sesaat setelah pintu tertutup. Ia mengusap wajahnya kasar, frustrasi.Kenapa dirinya selalu kehilangan kendali saat bersama Kinara? Padahal dulu, bersama Sheila, bahkan untuk menyentuh pun ia tak pernah berani.Ia selalu mampu menahan diri. Tapi pada Kinara... rasanya seperti terikat terlalu dalam, terlalu kuat.“Halo, Mas—” sapa Kinara, pada panggilan kedua dari Dito.“Darimana saja?” ujar Dito, ketus.Kinara mengigit bibir bawahnya teringat apa yang ia dan Aditama lakukan tadi. “Ra,” panggil Dito karena hanya kesunyian yang menyapa. “Kinara …!”“Iya, Mas?”“Mas mau minta kontak Aji—”“Untuk apa?”