Kira-kira Aditama datang nggak, ya?
Hujan telah reda. Kinara kembali ke hotel dengan tubuh basah kuyup. Tak ada kabar apa pun dari Aditama. Lelaki itu menghilang begitu saja, meninggalkannya sendirian. Langkah Kinara terhenti. Tatapannya lurus ke depan, menatap sosok yang mondar-mandir dengan gelisah. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Hingga akhirnya, pandangan mereka bertemu. Melihat kondisi Kinara seperti itu, hati Aditama remuk. Ia melangkah mendekat, sementara Kinara tetap berdiri mematung. Mata indah itu kini digenangi air mata. Lagi. Untuk kesekian kalinya, Aditama melihat Kinara dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya ke dalam dekapannya. Tangis Kinara pecah. Kenapa sosok Adit selalu ada di saat seperti ini? Dan kenapa ia begitu lemah di hadapan lelaki itu? Melihat Kinara seperti ini, jiwa Aditama terusik. Sejak pertama bertemu, wanita kecil itu tampak rapuh. Dan kini, tekadnya semakin kuat. Ia ingin melindungi Kinara, menjaganya, dan memastikan wanita itu bahagia bersamanya
Setelah menggantung pernikahan dengan terus mengulur penandatanganan surat pernyataan perceraian, kini Aditama semakin meradang saat mendengar bahwa perusahaan yang sementara dipimpin oleh kakak tiri istrinya justru mengirimkan penawaran kerja sama ke perusahaannya.Aditama tak habis pikir hingga tertawa sinis. Tidak salah memang—pernikahan ini hanya tentang uang dan uang saja.Namun, alih-alih menolak, Aditama justru menerima kerja sama itu."Terima saja, Vano. Tapi pastikan setelah itu dia menandatangani surat pernyataan perceraian. Tidak ada kata tidak lagi."Asistennya menyahut paham dan segera menindaklanjuti penawaran tersebut.***Diani dengan bangga memamerkan usaha anak sulungnya, Dita, yang telah mengirimkan penawaran kerja sama ke perusahaan Aditama. Melalui sambungan telepon, ia memberitahukan kabar itu kepada Kinara. Respons dari pihak perusahaan Aditama pun cukup positif—mereka menyatakan ketertarikan dan berjanji akan mempelajari tawaran tersebut lebih lanjut.Namun, di
Kinara memanjangkan lehernya, mengamati unit di seberang yang dipenuhi kardus. Sepertinya ada yang baru pindahan, pikirnya. Ia pun melanjutkan langkah keluar dari apartemen menuju kampus.Siang harinya, Kinara mampir ke kafe untuk membantu Aji sementara Ve masih ada kelas pengganti. Begitu masuk, ia mengembuskan napas panjang saat melihat seorang lelaki duduk di sudut kafe.Sejak mengatakan ‘I found you’ hari itu, Aditama benar-benar menemukan sosok Ara. Kini, rutinitasnya hanya bolak-balik Johor-Singapura.Sibuk? Apa itu sibuk? Tidak ada orang yang benar-benar sibuk. Yang ada hanyalah soal prioritas. Dan jelas, Aditama memprioritaskan Ara.Lihat saja—sepanjang hari duduk di kafe ini, pandangannya tak lepas dari sosok Ara yang lalu lalang melayani tamu.Kesabaran Kinara habis sudah. Ia melangkah mendekati Aditama, yang tiba-tiba tersenyum tipis menyambut kedatangan crush-nya."Mas! Nggak boleh lihatin aku begitu!" bisiknya penuh tekanan, melirik ke kiri dan kanan sebelum tiba-tiba dudu
“Saya pamit, ya, Ra,” ujar Aditama. Ada ketidakrelaan dalam hatinya untuk berpisah. Hati dan pikiran Kinara kini penuh dengan sosok lelaki di hadapannya.“Ra,” panggil Aditama saat tak mendapat respons.Ia sedikit membungkuk, mencoba menangkap ekspresi Kinara. “Jangan buat saya salah mengartikan diam kamu seolah tak ingin berpisah dengan saya,” ucapnya lembut.Kinara tersenyum tipis, menggeleng pelan, lalu mendorong tubuh Aditama ke arah pintu. “Hati-hati, ya, Mas?”“Sekhawatir itu?” goda Aditama begitu melangkah keluar.“Aku nggak antar ke bawah, ya, Mas,” ujar Kinara, mengabaikan godaannya.“Hmm, tidak perlu. Aku pulang, ya,” pamit Aditama lagi.Kinara mengerutkan kening ketika lelaki itu bukannya menuju lift, malah berhenti di depan unit seberang. Jemarinya dengan santai menekan sandi pintu. Mata Kinara membulat sempurna.‘Orang yang pindahan itu?’“Mas? Itu bukan unit kamu, kan?” tanyanya, nyaris tak percaya. Aditama mengangkat wajah, seulas senyum misterius tersungging di bibirnya
Dua hari ini, Aditama sibuk dengan pekerjaannya. Lelaki yang selalunya mejeng di kafe Kinara, kini tak nampak batang hidungnya. Meski tinggal bertetangga pun tidak ada pertemuan antara keduanya membuat Kinara juga cecarian akan sosok Adit.“Lemes banget bestieee…,” goda Ve pada Kinara yang sedang fokus pada laptopnya, tapi sesekali melihat layar ponselnya. “Nggak ketemu Mamas kesayangan berapa hari?”“Ve, please,” jengah Kinara.“Pernah dengar kalimat gini nggak, Ra. ‘Lo belum jadi sahabat banget kalau belum nemenin sahabat lo selingkuh,” kekeh Ve.Kinara terdiam sesaat.‘Selingkuh?’ batin Kinara.Kinara bahkan masih tidak mengerti dengan perasaannya saat ini.Usai bekerja di kafe, Kinara pamit pulang. Baru saja melangkah keluar, senyumnya merekah melihat sosok Adit merentangkan tangan, seolah meminta wanita kecil itu masuk ke dalam pelukannya.Dengan semangat, Kinara berlari kecil ke arahnya, tak sabar merasakan pelukan yang ia rindukan. Namun, ucapan Ve tadi tiba-tiba melintas di pik
Aditama merekahkan senyum melihat Ara tertawa bahagia saat berbincang dengan rekan-rekannya. Ya, Aditama sengaja menunda kepulangannya hanya demi wanita kecil itu. Ia tak ingin wanitanya kecewa. Di antara rekan-rekan Kinara, tak ada yang tahu bahwa Kinara sudah menikah. Maka, saat melihat Kinara datang bersama Aditama, mereka menganggapnya biasa saja—seperti pasangan kekasih pada umumnya. Mereka bahkan tidak henti menggoda Kinara—mendoakan hubungan Ara dan Adit. Pandangan Kinara jatuh pada sosok Adit. Ia ikut tersenyum, lalu berpamitan pada rekannya. Kinara mendekat ke arah Aditama—duduk di kursi di sampingnya. "Mas, makan, yuk! Aku ambilkan makanannya, ya?" tawarnya. Belum sempat Kinara beranjak, Aditama menahannya. "Let me. Biar aku saja yang ambilkan untukmu. Kamu tunggu di sini, ya," kata Aditama, mengusap puncak kepala Kinara. Kinara mengangguk dan menawarkan diri untuk mengambil dessert mereka nanti. Sepanjang makan malam Kinara tidak henti tersenyum. Hari ini, dia meras
“Ara,” panggil Aditama dengan mata membulat terkejut. “Maaf, Mas. Saya permisi,” lirih Kinara, melangkah pergi tanpa tahu harus berkata atau bersikap seperti apa. Dengan cepat, Aditama melepaskan paksa pelukan wanita itu dan segera mengejar Kinara. “Ra!” teriaknya, sementara Kinara sudah masuk ke dalam lift. “Ara…!” Aditama berlari menahan pintu lift yang hampir tertutup. Tangannya terjepit sedikit, membuat Kinara terlihat khawatir. Begitu pintu terbuka, Aditama langsung masuk ke dalam kotak besi itu. “Kenapa pergi, hm?” tanyanya seraya meraih tangan Kinara yang langsung ditarik menjauh oleh wanita itu. Kinara tak mengerti kenapa dia pergi dan lebih tak mengerti lagi kenapa dia datang jauh-jauh ke Singapura hanya untuk menemui Aditama. Lihatlah, apa yang ia dapatkan? Dan apa yang sebenarnya ia harapkan? “Kamu datang untuk menemui aku, kan?” tanya Aditama, menelisik wajah Kinara. Mata wanita itu berkaca-kaca, jelas tampak kekecewaan di sana. “Ara,” panggil Aditama, menco
Keduanya beradu pandang saling menatap begitu dalam. Aditama terkejut dengan permintaan Kinara yang sekaligus menyadarkannya kalau dia baru saja akan salah melangkah.“Katakan sekali lagi,” lirih Aditama, tangannya sudah terulur mengusap lembut pipi Kinara.“Tetap di sini, Mas,” balas Kinara.Aditama menarik Kinara–mengecup keningnya begitu lama.“Aku di sini, Ra. Aku tidak akan pergi,” ujar Aditama membuat Kinara mengembuskan napas lega–tangan bahkan sudah memeluk Aditama.***Kinara sudah terlelap di sofa, sementara Aditama duduk di lantai, bersandar pada pinggiran sofa.“Mau lanjut nonton lagi—” Aditama tersenyum saat menoleh dan mendapati Kinara sudah tertidur. Tangannya terulur, mengusap lembut puncak kepala Kinara. Ia telah jatuh sepenuhnya dalam pesona wanita itu. Tak ingin menjauh, apalagi menyakiti wanita kecil ini. Sebisa mungkin, ia ingin menjadi alasan Kinara tersenyum.Setelah menuruti permintaan Kinara, Aditama meminta Vano menjemput Sheila—tentu atas sepengetahuan Kinar
Kinara tersenyum getir. Dimadu? Rasanya ia ingin tertawa saja. Dengan mantap, ia menegaskan bahwa mama mertuanya tak perlu khawatir akan keberadaannya—karena ia telah sepakat untuk berpisah dari Aditama. Rindu mengatakan bahwa ada seorang wanita dari masa lalu Aditama yang kembali hadir dalam hidup putranya. Sheila. Ya, Sheila adalah wanita itu. Di tengah kekacauan hubungannya dengan Aditama—baik sebagai Ara maupun sebagai Kinara—kehadiran Sheila seolah memberi warna pikir Kinara. Terlebih, mama mertuanya tampak begitu mendukung kehadiran Sheila. Terlihat jelas, ia seperti ingin Kinara segera menyingkir dari kehidupan Aditama. “Apa kamu sengaja menunda semua ini sampai putaran investasi selesai?” tanya Rindu. “Tidak, Tante. Kinara bersedia memproses perpisahan ini bahkan sebelum putaran investasi berlangsung,” jawabnya tenang. Rindu menghela napas lega, seolah mendapat angin segar. 'Sheila hamil, Tante," ujar Sheila, waktu itu. Rindu kembali teringat percakapannya dengan Sheila,
Kinara semakin gelisah. Sebanyak apa pun ia mencoba berpikir positif, hatinya tetap saja tak tenang. Ia menggigit bibir bawah, menatap testpack yang tergeletak di sisi wastafel. Ya, akhirnya Kinara memberanikan diri untuk melakukan tes.‘Pregnant.’Tangannya bergetar saat meraih testpack lain. Darahnya seolah berdesir melihat dua garis, meski salah satunya tampak samar. Saking penasarannya tadi ia membeli dua testpack sekaligus."Ha–hamil?" lirihnya.Ia menutup mulut, matanya membulat tak percaya. Kakinya terasa lemas, seakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.'Bagaimana ini?' batinnya.Dalam sekejap, semua rencana yang sudah disusunnya runtuh begitu saja.***Untuk memastikan kehamilannya, Kinara membuat janji temu dengan dokter obgyn. Sepanjang konsultasi, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia ingat, dokter hanya mengatakan bahwa kandungannya masih sangat muda—baru terbentuk sebuah kantung janin.Ingin rasanya bertanya, 'Apakah masih bisa digugurkan?'Namun lidahnya kelu, tak san
Dua minggu kemudianTidak ada angin segar bagi Aditama. Hilangnya rekaman CCTV hari itu menimbulkan keresahan, membuat langkahnya terasa penuh rintangan."Memang bukan hanya CCTV hari itu yang hilang, tapi aku tetap curiga," kata Mahesa Rein. "Sepertinya mereka sengaja melindungi orang besar yang terlibat di hotel itu. Sialnya, kejadianmu juga terjadi di hari yang sama," lanjutnya.Aditama mengusap wajahnya dengan kasar, tak tahu harus berkata apa. Ia gelisah, terlebih lagi karena tidak bisa menghubungi Ara. Entah kenapa, wanita itu menghilang seperti ditelan bumi dan akses Aditama terasa semakin terbatas."Aku akan tetap melanjutkan ini," kata Mahesa Rein.Aditama mengangguk setuju.***“How are you today, dear?” sapa Dito, pada Kinara yang menjeling matanya jengah. “Jelek sekali. Mas serius, how your feeling?” tanya Dito.“Jauh lebih baik, Mas,” balas Kinara, membuat senyum di wajah Dito merekah.Hari itu, saat Dito mengajak Kinara pergi bersamanya, tentu saja Kinara menolak. Bukan K
“Mas Dito?” Kinara menoleh ke arah dua sahabatnya, lalu kembali memandang pria yang masih menggenggam tangannya. “Kok bisa di sini?”“Perfect timing! Wait a moment.”Dito memamerkan hasil foto candid yang diam-diam ia ambil saat Kinara tengah bersama para desainer di KLFW kemarin.“Mas Dito datang?” tanya Kinara dengan mata membulat.“Proud of you, Adik.” Dito mengusap lembut puncak kepala Kinara, membuat senyum merekah di wajah keduanya. “Let’s go!”Dito belum juga melepaskan genggamannya—Kinara menarik tangan Ve ikut bersama mereka.Mereka mendekati pasangan yang berdiri di sudut ruangan. Ternyata mereka adalah teman Mas Dito dan kekasihnya, yang rupanya seorang desainer asal Indonesia. Kinara tentu mengenalnya. Bersama Ve, keduanya nyaris melompat girang melihat sosok desainer terkenal itu berdiri di hadapan mereka.“Vena, ini adikku yang aku ceritakan waktu itu,” kata Mas Dito memperkenalkan Kinara kepada kekasih temannya.“Hi,” sapa Vena ramah.“Mas, kenalin aku juga dong, calon d
“Bukan kamu yang bersamaku tadi malam. Aku yakin sekali,” sangkal Aditama, suaranya rendah tapi tegas. Jemarinya mencengkeram lengan Sheila, keras, seolah ingin menemukan jawaban yang dia harapkan.Namun jujur Aditama tak sepenuhnya yakin, tapi dalam ingatannya, hanya ada Ara. Sentuhan itu, suara lembut yang memanggil namanya—semuanya milik Ara. Tapi mengapa pagi ini, Sheila yang berdiri di hadapannya?“Kalau begitu siapa? Ara?” Sheila menatapnya tak percaya. “Kamu terus menyebut namanya setiap kali menyentuhku. Aku tak menyangka kamu bisa seperti ini, Dit. Apa kalian sudah terbiasa melakukan hal seperti itu? Sampai-sampai kamu dengan mudah melupakan apa yang terjadi antara kita semalam?”“Cukup, Sheila!”Aditama memejamkan mata, memijat pangkal hidungnya, berusaha keras menata napas dan pikirannya yang porak-poranda. Ia menggali ingatannya dalam-dalam, mencari jejak Sheila di sana, tapi yang ia temukan hanya kekosongan. Tidak ada Sheila. Tidak sepotong pun.Namun yang lebih membingung
Sheila memberanikan diri. Ini kali pertamanya, tapi ia rela jika harus menyerahkan segalanya kepada Aditama. Mereka akan kembali bersama hingga tak ada satu pun yang mampu memisahkan.Wanita itu tersenyum puas saat melihat langkah lunglai Adit mendekatinya. Ia sengaja tidak menutup pintu, memberi jalan agar pria itu bisa masuk dengan mudah. Tidak tega melihat langkah lemah itu, Sheila mendekatkan diri—memapah tubuh yang hampir tumbang itu.Namun aroma menyengat menyergap hidungnya dalam temaram cahaya lampu, Sheila tertegun. Itu bukan Aditama. Ia tahu betul, ia tak pernah memberinya alkohol.Sheila segera mendorongnya perlahan, malah menyadarkan si pria. Saat wajah pria itu terangkat, mata Sheila membulat. Di hadapannya berdiri atasannya sendiri—menatapnya nanar. Pria itu mabuk dan kehilangan arah.“Mr. Andro?”“Kamu?” Suara pria itu terdengar serak. “Kamu yang dengan sukarela menawarkan tubuhmu, Sheila?”Sheila membeku. Bukan seperti ini rencananya. Ia seharusnya mengarahkan Mr. Andro
“Ra, so proud of you, Cantik,” ujar mentor Kinara tulus.Pujian demi pujian mengalir, menghampiri Kinara satu per satu. Senyum tak lepas dari wajahnya.Pandangan matanya kemudian jatuh pada Ve dan Aji yang duduk di kejauhan, melambaikan tangan padanya. Kinara membalas lambaian itu dengan penuh suka.Mereka, Ve dan Aji, adalah saksi perjalanan hidupnya. Dan Kinara merasa sungguh beruntung memiliki keduanya.“Kami langsung balik ke hotel, ya. Kamu lanjut dinner, ‘kan?” tanya Ve, yang akhirnya bisa mendekat setelah sejak tadi Kinara dikerumuni teman-teman desainer yang bergantian menyapa dan mengajaknya berswafoto.“Oke. Besok lunch bareng, ‘kan?” sahut Kinara memastikan. Ve mengangguk cepat, mengiyakan.***Kinara menginap di hotel yang letaknya tak jauh dari lokasi acara. Banyak desainer lain juga menginap di hotel yang sama—hotel yang memang telah ditunjuk oleh pihak penyelenggara. Malam ini, makan malam penghargaan pun diadakan di ballroom hotel tersebut.Kinara tampil begitu memesona
Kinara menyimpan cepat ponselnya menatap datar wanita yang kini duduk di hadapannya tanpa dipersilakan. Siapa lagi kalau bukan Sheila?“Sayang sekali selisih jalan sama Adit,” kata Sheila, sementara Kinara menatap wanita itu begitu dalam.“Aditama?” tanya Kinara, mencoba menyakinkan.Sheila mengangguk membenarkan membuat darah Kinara berdesir. Kenyataan seperti apa ini? Jadi, selama ini Kinara berhubungan dengan suaminya sendiri? Suami gaib itu nyata wujudnya, tapi kenapa kepribadiannya berbeda? Lalu, apa Aditama juga tidak mengenali dirinya? Pernikahan seperti apa ini, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Jika Kinara memilih bersikap acuh karena kekecewaan yang sudah ada sejak awal pernikahan, lalu apa alasan Aditama untuk tidak berusaha mencari tahu tentang dirinya?Kinara tak mampu berpikir jernih—terlalu diliputi rasa takut.Takut jika Adit-nya akan membencinya saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.Apalagi, Aditama sudah sejak awal menunjukkan kebencian yang begitu dala
“Papa sudah tanya Aditama belum? Dia mau apa ketemu Kinara?” tanya Rindu, pada sang suami.“Bukannya kamu sudah bilang pada mereka, kalau kita nggak sabar pengin punya cucu? Ya tentu itu tujuan mereka ketemu, apa lagi coba?” jawab Tama santai, tak tahu kalau sampai hari ini anak dan menantunya bahkan belum pernah bertatap muka.“Kan Mama baru ngomong ke Kinaranya, Pa. Ke Aditamanya belum,” sahut Rindu, kesal.“Biarin aja mereka, Ma. Kita tunggu kabar baiknya aja,” balas Tama.'Kabar baik apaan?' batin Rindu makin kesal.Aditama memang mengabari ibunya kalau hari ini ia akan bertemu Kinara. Tapi, dia sendiri nggak tahu persis akan membahas apa. Biasanya, si sulung itu selalu terbuka dan menceritakan semuanya. Tapi kali ini, dia cuma menyebutkan lokasi pertemuan—itu pun karena dipaksa. Saat ditanya lebih jauh, Aditama malah terkesan menghindar. Rindu mulai khawatir, jangan-jangan Kinara dan keluarganya sudah mulai mencuci otak anaknya.***“Gini aja mau ketemu suami?” sindir Ve dengan al