Ariella masih berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandang keluar tanpa fokus. Ruangan yang sunyi itu mengingatkan bahwa Dionel telah meninggalkannya sendiri di kamar luas itu. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami-istri, jarak di antara mereka masih saja terasa jauh, layaknya jurang yang sulit dijelaskan.
Tirai tebal bergoyang ringan, tertiup angin sepoi yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Matahari semakin naik, tetapi hati Ariella tetap tenggelam dalam kegelapan pikirannya. Rasa terperangkap yang menemaninya sejak pernikahan itu masih menguasai benaknya, dan kini ada tambahan beban baru─Dionel.
Suara ketukan lembut, di pintu memecah keheningan kamar. “Masuk,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun tubuhnya masih terasa berat oleh pikiran.
Mira, pelayan setianya, melangkah masuk dengan gerakan yang anggun namun penuh hormat. Wajahnya selalu tenang tampak sedikit khawatir. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona?” tanya Mira sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
Ariella menghela napas, merasa tidak perlu berpura-pura di hadapan Mira. “Seperti biasa. Tidak ada yang berubah, Mira.” Jawabannya singkat, namun penuh makna. Bagi Ariella, tidak ada yang benar-benar berubah. Perasaan terkurung dan hilangnya kebebasan masih membelit hatinya.
Mira mengangguk dengan pengertian. Sebagai pelayan baru Ariella di Istana Valdenor, dia merasa terhormat bisa melayani tuan baru yang datang ke tempatnya.
Walau begitu, dia juga bisa melihat dan merasakan aura kesedihan yang selalu melingkupi Ariella, seolah menandakan beban yang lebih dalam daripada sekadar pernikahan yang baru saja terjadi. Meskipun Mira masih asing dengan latar belakang Ariella, dia bertekad untuk memberikan dukungan yang dibutuhkan Ariella agar bisa merasa lebih nyaman di lingkungan barunya ini.
“Apa yang ingin Anda lakukan hari ini, Nona? Ada beberapa hal yang harus diatur terkait posisi Anda di istana, termasuk dengan pertemuan dengan staf baru yang akan bekerja di bawah Anda,” tanya Mira, sekaligus menjelaskan bahwa ada beberapa tugas yang harus Ariella lakukan.
Ariella terdiam sejenak. Kata-kata Mira mengingatkan bahwa dia kini memiliki posisi baru di kediaman barunya─posisi yang tidak pernah dia inginkan.
Menjadi istri dari pria yang memimpin banyak hal penting di balik layar kerajaan, dia akan dipandang sebagai bagian dari otoritas yang harus dihormati. Namun, hati Ariella bergejolak penuh tentangan. Dia tidak ingin melayani kerajaan yang telah memperjualbelikannya.
“Tidak sekarang. Aku butuh waktu untuk berpikir.” Jawab Ariella akhirnya, dengan nada suara yang penuh akan beban.
Sementara itu, di sisi lain istana, Dionel sedang bersiap untuk urusan penting di ruang kerjanya. Pekerjaannya bukan hanya sekadar suami atau bangsawan biasa. Ada beban tanggung jawab yang lebih besar di pundaknya.
Dionel, dengan segala rahasia dan kekuatan yang dia simpan, adalah seorang panglima perang yang dihormati. Dia memainkan peran penting dalam berbagai keputusan politik kerajaan, mengawasi strategi serta pertahanan yang menentukan nasib rakyatnya. Meskipun pernikahan ini adalah bagian rencana besar untuk menjaga stabilitas kerajaan, ada banyak hal yang belum diungkapkan kepada Ariella.
Elian, pelayan pribadi Dionel, berdiri dengan tenang di samping meja besar di ruang kerja Dionel, menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dia perlukan hari itu. “Tuan, semuanya sudah siap untuk pertemuan dengan Dewan.” Elian melirik ke arah Dionel dengan rasa hormat yang penuh kesadaran akan posisinya.
“Terima kasih, Elian. Bagaimana keadaan di istana setelah pernikahan?” Dionel bertanya, sambil menyusun dokumen-dokumen di mejanya. Dia tahu betul bahwa ada banyak mata yang mengawai mereka berdua, baik di dalam maupun luar kerajaan. Pernikahan ini bukan hanya soal hubungan pribadi, tetapi juga merupakan langkah politik yang penting.
“Sejauh ini, tidak ada masalah besar. Namun, beberapa staf tampaknya masih bingung dengan posisi baru Anda dan Putri Ariella. Mereka bertanya-tanya tentang tanggung jawab baru yang akan diberikan kepada Nyonya.” Elian berbicara dengan hati-hati, menyadari bahwa isu seperti ini bisa dengan mudah berkembang menjadi rumor di kalangan pelayan.
Dionel mengangguk, wajahnya tetap tenang. “Beri tahu mereka untuk menunggu instruksi lebih lanjut. Aku akan memutuskan tugas yang tepat untuknya.” Meskipun suaranya terdengar dingin dan formal, Dionel tidak ingin mengabaikan fakta bahwa sekarang dia terikat dengan Ariella dalam cara yang lebih dalam dari sekadar politik. Pernikahan ini telah mengubah segalanya, baik untuknya maupun Ariella.
Ariella adalah sebuah teka-teki bagi Dionel. Meski penampilannya menunjukkan ketenangan dan kekuatan, ada sesuatu di balik tatapan dinginnya yang membuat Dionel ingin tahu lebih banyak. Ada luka di dalam hatinya, dan Diomel merasa harus tahu itu. Namun, dia belum yakin bagaimana caranya mendekati Ariella tanpa merusak rencananya sendiri.
Setelah selesai dengan urusannya di ruang kerja, Dionel memutuskan untuk menemui Ariella. Dia berjalan menuju kamarnya, dengan pikiran yang penuh akan berbagai hal. Tugas-tugas politik yang menunggu di depan mata, serta kebingungan tentang bagaimana menjalani pernikahan ini dengan seseorang yang tampaknya tidak ingin berada di sisinya.
Ketika Dionel membuka pintu kamar mereka, dia menemukan Ariella sedang berdiri di dekat jendela, memandang keluar. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang panjang, memberikan sentuhan lembut pada penampilannya yang biasanya terlihat tegar. Untuk sesaat, Dionel berhenti di ambang pintu, hanya memperhatikannya.
Ariella merasakan kehadirannya dan berbalik perlahan. Tatapan mereka bertemu, dan ada keheningan yang tak terucapkan di antara mereka.
“Apakah kau sudah beradaptasi dengan kehidupan di sini?” tanya Dionel, suaranya rendah namun terdengar penuh perhatian.
Ariella menatapnya tanpa ekspresi yang jelas. :Aku tidak yakin apa yang harus diadaptasi. Segalanya masih sama seperti sebelumnya. Hanya ... tempatnya yang berbeda.”
Jawaban itu membuat Dionel berpikir. Dia tahu bahwa di balik kata-kata dingin itu, ada perasaan yang jauh lebih dalam. Namun, dia tidak ingin memaksa Ariella untuk berbicara lebih dari yang diinginkannya. Ada waktu dan cara yang tepat untuk memahami satu sama lain.
Dionel melangkah lebih dekat, tetapi tetap menjaga jarak yang sopan. “Jika ada yang kau butuhkan, atau jika kau ingin mengubah apa pun tentang cara hidup d istana ini, beri tahu aku. Aku tidak ingin kau merasa terjebak di sini.”
Ariella menundukkan kepalanya, menahan senyum sini yang hampir keluar. Terjebak? Itu adalah kata yang tepat yang menggambarkan situasinya saat ini. Namun, bukan istana yang membuatnya terjebak─pernikahan inilah, takdir ini, dan beban yang dipikulnya yang membuatnya terjebak.
Akan tetapi, di dalam hatinya, meskipun dia berusaha keras untuk menolak segalanya, ada perasaan halus yang perlahan mulai terbentuk setiap kali Dionel berbicara dengan tenang dan penuh perhatian. Meski dia tidak mempercayai pria itu sepenuhnya, ada sisi dirinya yang mulai bertanya-tanya: apakah Dionel benar-benar musuhnya? Atau mungkin, dia bisa menjadi seseorang yang bisa dia andalkan di tengah kegelapan hidupnya? [*]
Ariella menghirup udara pagi yang segar, meskipun hati dan pikirannya masih diselimuti ketidakpastian. Dia berpindah dari jendela ke meja rias yang juga terbuat dari kayu mahoni, mengamati cermin yang memantulkan sosoknya yang tak berdaya.Dengan segala perubahan yang terjadi, dia merasa sulit untuk mengenali dirinya sendiri. Di luar, suara burung yang berkicau merdu menambah suasana tenang, tetapi tetap saja, di dalam hatinya, suasana itu terasa sangat bertentangan.Mira muncul kembali, kali ini membawa secangkir teh hangat. “Nona, ini untuk Anda. Teh herbal bisa membantu menenangkan pikiran,” ucap Mira sambil menyodorkan cangkir tersebut.Ariella tersenyum tipis. “Terima kasih, Mira. Aku akan mencobanya.”Setelah Mira pergi, Ariella menyentuh cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia kembali merenung. Perasaannya campur aduk─antara harapan dan ketakutan. Kehidupan baru di Istana Valdenor bukanlah yang dia inginkan, tetapi
Matahari sore perlahan meredup di balik dinding Istana Valdenor. Cahaya keemasan yang menyelinap melalui jendela tinggi menciptakan siluet indah memanjang di lantai marmer yang dingin pada itu.Ariella duduk di salah satu kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada hamparan kebun yang membentang luas di area istana. Meskipun pemandangan yang disaksikannya itu indah, tidak ada perubahan akan apa yang dirasakannya. Perasannya masih tetap sama; dingin, asing, dan sepi.Dia menghela napas panjang. Minggu-minggu setelah pernikahannya terasa seperti berjalan begitu lambat, seakan waktu berhenti di balik tembok istana yang megah ini. Meski Dionel telah mencoba berbicara dengannya dan menunjukkan kebaikan di balik sikap dinginnya, Ariella masih tetap merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka berdua. Hubungan mereka masih kaku dan canggung, penuh dengan rasa ketidakpastian.Pikirannya kembali melayang pada kehidupannya saat masih di Thalessia. Istana tempat dia dibesarkan itu selalu
Ariella terbangun, masih dengan perasaan berat di dada. Perasaan asing dengan keheningan Istana Valdenor saat pagi menjelang masih kental dirasakannya. Walau beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahan mereka, perasaan sunyi dan kesendirian di istana megah ini belum juga pudar. Dia masih merasa sebagai orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah barunya itu.Melangkah ke arah balkon, Ariella memandangi taman yang terhampar luas di bawahnya, dengan dikelilingi tembok-tembok tinggi istana. Udara pagi yang dingin menyentuh kulit wajahnya, namun masih tak mampu meredam kebisingan di hati dan pikirannya yang penuh kebimbangan.Apakah dia akan pernah menganggap tempat ini sebagai rumah? Apakah akan tiba masa di mana dia akan menganggap istana ini adalah rumahnya?Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Ariella, membuyarkan pikirannya yang berputar-putar. “Masuk,” jawabnya pelan.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Nia yang penuh dengan senyum lembutnya yang menenangkan. “Non
Malam itu, angin berbisik di antara pepohonan di halaman istana. Namun, di dalam dinding-dinding megah Kerajaan Thalessia, suasana terasa menyesakkan.Putri Ariella duduk di depan meja riasnya, menatap cermin dengan mata yang kosong. Gaun pengantin yang indah dan rumit itu menjuntai di sekelilingnya, dikelilingi oleh sentuhan sutra halus dan bordiran emas. Sayangnya, itu semua tidak ada yang bisa menyembunyikan kengerian yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran sang Putri.Ariella menjalani hidupnya dalam penjara emas, dilatih untuk menjadi seorang putri yang ideal. Namun, tidak pernah terpikir olehnya, bahkan dalam mimpinya, bahwa dia akan dijadikan sebagai alat politik dalam permainan kekuasaan.Keluarganya, pihak yang seharusnya melindunginya, malah menjadikannya sebuah barang dagangan untuk memperkuat aliansi dengan kerajaan lainnya. Malam ini, dia akan dinikahi oleh seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui─Dionel, seorang panglima perang terkenal ya
Langit malam di luar jendela istana dipenuhi bintang, cahayanya berpendar lembut menembus kaca-kaca jendela kamar. Di dalam ruangan yang mewah itu, meski suasananya seharusnya dipenuhi kebahagiaan setelah pernikahan berlangsung, ada keheningan yang menggantung tebal, layaknya tirai berat yang membatasi penghuninya.Ruangan luas itu sunyi senyap saat Ariella melangkah masuk. Kamar tidur yang kini miliknya dan Dionel itu adalah sebuah ruangan besar dengan dekorasi elegan. Namun, keindahan dekorasi dan kemegahan ruangan itu tidak dapat menghilangkan suasana dingin di dalamnya.Tempat tidur megah yang terbuat dari kayu mahoni berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tirai sutra tebal yang menggantung di keempat sisinya. Cahaya lilin yang berkelap-kelip redup memberikan bayangan lembut di dinding, tetapi masih tidak mampu mengusir kegelapan dan kehampaan yang menyelimuti hati Ariella.Belum lagi fakta bahwa saat ini dia tinggal di kediaman Dionel, Istana Valdenor. D
Fajar mulai menyapa saat sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar tidur Ariella dan Dionel. Udara dingin musim gugur terasa menusuk kulit, tetapi hal itu bukan yang membuat Ariella menggigil saat ini.Wanita muda itu duduk di tepi tempat tidur dengan punggung tegak, tetapi tangannya menggenggam seprai erat seolah-olah hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dunia yang mulai terasa semakin jauh dari genggamannya.Semalam berlalu dengan keheningan yang menusuk. Dionel, setelah memberikan kata-kata penuh makna, tidur di sisi lain tempat tidur tanpa ada interaksi lebih lanjut. Itu bukan sesuatu yang Ariella sangka─meskipun dia tahu bahwa suaminya adalah sosok dingin dan penuh rahasia, dia tetap tidak bisa memahami mengapa Dionel tidak mendekatinya lebih jauh, apalagi menyentuhnya.Apakah dia melakukannya karena tahu bahwa Ariella tidak menginginkan semua ini? Atau mungkin, dia memang memiliki rencana