Malam itu, angin berbisik di antara pepohonan di halaman istana. Namun, di dalam dinding-dinding megah Kerajaan Thalessia, suasana terasa menyesakkan.Putri Ariella duduk di depan meja riasnya, menatap cermin dengan mata yang kosong. Gaun pengantin yang indah dan rumit itu menjuntai di sekelilingnya, dikelilingi oleh sentuhan sutra halus dan bordiran emas. Sayangnya, itu semua tidak ada yang bisa menyembunyikan kengerian yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran sang Putri.Ariella menjalani hidupnya dalam penjara emas, dilatih untuk menjadi seorang putri yang ideal. Namun, tidak pernah terpikir olehnya, bahkan dalam mimpinya, bahwa dia akan dijadikan sebagai alat politik dalam permainan kekuasaan.Keluarganya, pihak yang seharusnya melindunginya, malah menjadikannya sebuah barang dagangan untuk memperkuat aliansi dengan kerajaan lainnya. Malam ini, dia akan dinikahi oleh seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui─Dionel, seorang panglima perang terkenal ya
Langit malam di luar jendela istana dipenuhi bintang, cahayanya berpendar lembut menembus kaca-kaca jendela kamar. Di dalam ruangan yang mewah itu, meski suasananya seharusnya dipenuhi kebahagiaan setelah pernikahan berlangsung, ada keheningan yang menggantung tebal, layaknya tirai berat yang membatasi penghuninya.Ruangan luas itu sunyi senyap saat Ariella melangkah masuk. Kamar tidur yang kini miliknya dan Dionel itu adalah sebuah ruangan besar dengan dekorasi elegan. Namun, keindahan dekorasi dan kemegahan ruangan itu tidak dapat menghilangkan suasana dingin di dalamnya.Tempat tidur megah yang terbuat dari kayu mahoni berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tirai sutra tebal yang menggantung di keempat sisinya. Cahaya lilin yang berkelap-kelip redup memberikan bayangan lembut di dinding, tetapi masih tidak mampu mengusir kegelapan dan kehampaan yang menyelimuti hati Ariella.Belum lagi fakta bahwa saat ini dia tinggal di kediaman Dionel, Istana Valdenor. D
Fajar mulai menyapa saat sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar tidur Ariella dan Dionel. Udara dingin musim gugur terasa menusuk kulit, tetapi hal itu bukan yang membuat Ariella menggigil saat ini.Wanita muda itu duduk di tepi tempat tidur dengan punggung tegak, tetapi tangannya menggenggam seprai erat seolah-olah hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dunia yang mulai terasa semakin jauh dari genggamannya.Semalam berlalu dengan keheningan yang menusuk. Dionel, setelah memberikan kata-kata penuh makna, tidur di sisi lain tempat tidur tanpa ada interaksi lebih lanjut. Itu bukan sesuatu yang Ariella sangka─meskipun dia tahu bahwa suaminya adalah sosok dingin dan penuh rahasia, dia tetap tidak bisa memahami mengapa Dionel tidak mendekatinya lebih jauh, apalagi menyentuhnya.Apakah dia melakukannya karena tahu bahwa Ariella tidak menginginkan semua ini? Atau mungkin, dia memang memiliki rencana
Ariella masih berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandang keluar tanpa fokus. Ruangan yang sunyi itu mengingatkan bahwa Dionel telah meninggalkannya sendiri di kamar luas itu. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami-istri, jarak di antara mereka masih saja terasa jauh, layaknya jurang yang sulit dijelaskan.Tirai tebal bergoyang ringan, tertiup angin sepoi yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Matahari semakin naik, tetapi hati Ariella tetap tenggelam dalam kegelapan pikirannya. Rasa terperangkap yang menemaninya sejak pernikahan itu masih menguasai benaknya, dan kini ada tambahan beban baru─Dionel.Suara ketukan lembut, di pintu memecah keheningan kamar. “Masuk,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun tubuhnya masih terasa berat oleh pikiran.Mira, pelayan setianya, melangkah masuk dengan gerakan yang anggun namun penuh hormat. Wajahnya selalu tenang tampak sedikit khawatir. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona?” tanya Mir
Ariella menghirup udara pagi yang segar, meskipun hati dan pikirannya masih diselimuti ketidakpastian. Dia berpindah dari jendela ke meja rias yang juga terbuat dari kayu mahoni, mengamati cermin yang memantulkan sosoknya yang tak berdaya.Dengan segala perubahan yang terjadi, dia merasa sulit untuk mengenali dirinya sendiri. Di luar, suara burung yang berkicau merdu menambah suasana tenang, tetapi tetap saja, di dalam hatinya, suasana itu terasa sangat bertentangan.Mira muncul kembali, kali ini membawa secangkir teh hangat. “Nona, ini untuk Anda. Teh herbal bisa membantu menenangkan pikiran,” ucap Mira sambil menyodorkan cangkir tersebut.Ariella tersenyum tipis. “Terima kasih, Mira. Aku akan mencobanya.”Setelah Mira pergi, Ariella menyentuh cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia kembali merenung. Perasaannya campur aduk─antara harapan dan ketakutan. Kehidupan baru di Istana Valdenor bukanlah yang dia inginkan, tetapi
Matahari sore perlahan meredup di balik dinding Istana Valdenor. Cahaya keemasan yang menyelinap melalui jendela tinggi menciptakan siluet indah memanjang di lantai marmer yang dingin pada itu.Ariella duduk di salah satu kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada hamparan kebun yang membentang luas di area istana. Meskipun pemandangan yang disaksikannya itu indah, tidak ada perubahan akan apa yang dirasakannya. Perasannya masih tetap sama; dingin, asing, dan sepi.Dia menghela napas panjang. Minggu-minggu setelah pernikahannya terasa seperti berjalan begitu lambat, seakan waktu berhenti di balik tembok istana yang megah ini. Meski Dionel telah mencoba berbicara dengannya dan menunjukkan kebaikan di balik sikap dinginnya, Ariella masih tetap merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka berdua. Hubungan mereka masih kaku dan canggung, penuh dengan rasa ketidakpastian.Pikirannya kembali melayang pada kehidupannya saat masih di Thalessia. Istana tempat dia dibesarkan itu selalu