Malam itu, angin berbisik di antara pepohonan di halaman istana. Namun, di dalam dinding-dinding megah Kerajaan Thalessia, suasana terasa menyesakkan.
Putri Ariella duduk di depan meja riasnya, menatap cermin dengan mata yang kosong. Gaun pengantin yang indah dan rumit itu menjuntai di sekelilingnya, dikelilingi oleh sentuhan sutra halus dan bordiran emas. Sayangnya, itu semua tidak ada yang bisa menyembunyikan kengerian yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran sang Putri.
Ariella menjalani hidupnya dalam penjara emas, dilatih untuk menjadi seorang putri yang ideal. Namun, tidak pernah terpikir olehnya, bahkan dalam mimpinya, bahwa dia akan dijadikan sebagai alat politik dalam permainan kekuasaan.
Keluarganya, pihak yang seharusnya melindunginya, malah menjadikannya sebuah barang dagangan untuk memperkuat aliansi dengan kerajaan lainnya. Malam ini, dia akan dinikahi oleh seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui─Dionel, seorang panglima perang terkenal yang dikenal dengan kebengisannya.
Ariella mengingat kembali percakapan yang terjadi sebelum hari ini. Saat ayahnya, Raja Alaric, memanggilnya ke ruang kerja.
“Ariella, ini adalah kesempatan terbaik untuk kerajaan kita. Melalui pernikahan ini, kita akan mendapatkan sekutu yang kuat,” ucapnya saat itu dengan suara dingin. “Kau tidak punya pilihan lain. Ini adalah tugasmu.”
Perkataan itu bergema dalam ingatannya, membuat perutnya serasa berbalik. “Tugas?” pikir Ariella, “Apakah aku hanya sekadar tugas?”
Dia tahu, mesti saat itu dia tidak berani bicara, bahwa dia tidak ingin menjadi pengantin yang dijual demi keuntungan politik. Keinginannya untuk mencintai dan dicintai dengan tulus sirna begitu saja seiring dengan keputusan yang diambil keluarganya.
Ariella menatap refleksinya, seolah berharap menemukan keberanian dalam wajahnya. Rambutnya yang panjang dan hitam itu berkilau, dibiarkan tergerai di punggungnya dalam gelombang lembut. Tangannya meraih setangkai mawar putih yang tergantung di sampingnya, menghirup aroma yang menyegarkan itu dalam-dalam. Sayangnya, bau harum itu seolah hanya menegaskan rasa pahit yang mengalir dalam hatinya.
“Mengapa ini terjadi?” tanya Ariella pada dirinya sendiri. Dia merasakan air mata mengancam di pelupuk matanya, tetapi dia berusaha menepisnya. ”Aku tidak akan menangis.”
Sebelum melangkah ke dunia baru ini, sang Putri bertekad untuk menantang nasib yang tampak ditentukan untuknya. Dia memikirkan cara untuk membalas dendam pada keluarganya─meski hal itu tampak mustahil.
Waktu berlalu. Suara riuh pesta pernikahan mulai terdengar di luar. Suara musik yang menggembirakan, tawa, dan sorak-sorai para tamu menggema di dinding istana, seolah-olah tidak ada yang mengkhawatirkan apa pun.
Ariella menggeram pelan. “Apa yang mereka rayakan?” pikirnya. “Kebahagiaan atau pengkhianatan?”
Setelah beberapa saat, seorang pelayan memasuki ruangan. “Putri Ariella, waktunya telah tiba,” ucapnya penuh dengan nada hormat. Tanpa adanya pilihan lain, Ariella mengangguk.
Dia kemudian berdiri dan meluruskan gaun putihnya yang sedikit mengembang. Ariella merasakan beratnya harapan dan kebencian sekaligus. Dalam sekejap, dia meninggalkan ruangan itu, melangkahkah kakinya menuju koridor yang dipenuhi cahaya lilin yang berkelap-kelip.
Setiap langkah kakinya terasa seperti perjalanan menuju eksekusi. Saat dia melangkah menuju altar, wajah para tamu menatapnya dengan berbagai ekspresi─beberapa menunjukkan wajah penuh harap, yang lainnya penuh akan kepuasan.
Di sisi altar, berdirilah Dionel, dengan sosoknya yang tinggi dengan aura kuat yang memancar. Pria itu mengenakan pakaian perang yang dihiasi lambang kerajaan serta manik-manik dan bros yang menambah kesan elegan. Walau begitu, matanya tampak tajam dan dingin, layaknya senjata yang siap membunuh.
Ariella bisa merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Dia tidak bisa memikirkan apa pun kecuali keinginan untuk melarikan diri. “Jika aku bisa melarikan diri dari sini, aku akan melakukan apa pun untuk menyingkirkan pengkhianatan ini,” batinnya.
Mereka bertemu pandang. Untuk sejenak, Ariella melihat kilas sesuatu di mata Dionel─entah itu keinginan atau rasa penasaran. Namun, pada detik selanjutnya, wajah pria itu kembali datar, menampakkan ketidakpedulian yang membuat Ariella merasa terasingkan.
“Apa yang kulakukan di sini?” tanya Ariella kepada dirinya sendiri kesekian kalinya.
Prosesi pernikahan akhirnya dimulai, dan kata-kata uang dilafalkan oleh pendeta yang memimpin terdengar seperti mantra. “Apakah ada yang ingin diungkapkan?” tanya pendeta kepada Ariella, memberinya kesempatan untuk melawan takdirnya. Namun, mulutnya terasa terikat. Dia tidak bisa mengatakan apa pun; hanya kebisingan hati yang berteriak di telinganya.
“Aku menerimanya,” ucap Ariella terpaksa. Jawabannya itu seolah-olah sebagai penyerahan diri pada takdir yang tidak diinginkannya.
Saat Dionel mengucapkan janji yang sama, sang Putri merasa seakan hidupnya meluncur dari kendali. Dengan janji itu, hidupnya menjadi milik pria yang sama sekali tak dikenalnya.
“Dengan ini, Dionel Ardent Ariella Celestine resmi menjadi pasangan suami-istri.” Sorak-sorai para tamu undangan memenuhi ruangan. Sedangkan Ariella memejamkan matanya erat, pasrah akan apa yang terjadi.
Sang Putri tiba-tiba merasakan tangan pria di sampingnya menyentuh pipinya, membuatnya sedikit tersentak. Tangan besar Dionel menarik Ariella perlahan, membuat sang Putri kebingungan.
Detik selanjutnya bibir Dionel menyentuh bibir ranum Ariella. Saat bibir mereka bertemu, Ariella merasakan sesuatu yang aneh.
“Apakah ini cinta atau kebencian yang tersembunyi di antara kita?” Ariella berpikir sejenak, tetapi pertanyaan tadi segera terabaikan. Malam itu, semua harapan untuk menemukan cinta sejati seolah sirna; hanya ada kebencian dan rasa ingin menghancurkan yang tersisa.
Setelah upacara pernikahan, pesta pun dimulai. Tawa kegembiraan memenuhi ruangan, tetapi Ariella yang berdiri di samping Dionel tidak ikut merasakannya. Dia merasakan pergelangan tangannya dijepit oleh tangan kuat Dionel.
“Kita harus tampil sempurna bersama di depan para tamu undangan,” ucap Dionel dengan suara dingin.
Ariella hanya mengangguk, merasakan hatinya kembali bergetar. Dia kemudian berjanji pada dirinya sendiri, “Aku tidak akan membiarkan ini berlangsung lama.”
Dalam keramaian, Ariella menyaksikan bagaimana Dionel berinteraksi dengan para tamu. Dia terlihat penuh percaya diri dan berbicara dengan ketegasan yang membuat orang lain terpesona. Namun, di balik senyuman itu, Ariella bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam─sebuah rahasia yang Dionel coba sembunyikan.
“Dionel,” panggil Ariella ketika dia bisa menemukan kesempatan untuk berbicara. “Apakah kau selalu seperti ini? Atau kau melakukannya hanya untuk pernikahan kita saja?”
Dionel menoleh untuk menatapnya. Matanya bak dua bilah pedang. “Aku menjadi seperti yang dibutuhkan saat ini. Dan kau, Tuan Putri, yang harusnya belajar untuk menyesuaikan diri.” Kalimat yang barusan terasa belati yang menusuk hati Ariella, membuatnya merasa terpuruk.
“Menyesuaikan diri?” Ariella ingin membalas demikian, tetapi dia kembali terdiam. Dia tak ingin membiarkan pria ini merendahkan martabatnya. “Suatu hari, aku akan mendapatkan kembali kehidupanku,” janjinya dalam hati.
Saat pesta berlangsung, Ariella melihat sekelilingnya. Dia menyadari bawa semua orang mengawasinya, seolah menunggu momen di mana dia gagal. Rasa terasingkan yang mencekik itu menyelimuti hatinya. Dalam perjalanan hidup di mana seharusnya dia merasakan kebahagiaan, Ariella hanya merasakan kegelapan.
Malam itu, saat musik dan tawa semakin memudar, Ariella tahu bahwa sebuah perjalanan panjang menantinya. Dia tidak akan menjadi sekadar pengantin yang dijual; dia akan menjadi pencipta dari takdirnya sendiri. “Aku akan menantang takdirku,” ujarnya dalam hati, membulatkan tekadnya.
Dengan semangat baru itu, Ariella melangkah lebih jauh, bersiap untuk menghadapi segala rintangan di depannya. Dalam hatinya, kobar api balas dendam mulai menyala. Dia bertekad untuk tidak menjadi korban, tetapi untuk menjadi ratu dalam hidupnya sendiri─meski itu berarti menghancurkan segala sesuatu yang menghalanginya. [*]
Langit malam di luar jendela istana dipenuhi bintang, cahayanya berpendar lembut menembus kaca-kaca jendela kamar. Di dalam ruangan yang mewah itu, meski suasananya seharusnya dipenuhi kebahagiaan setelah pernikahan berlangsung, ada keheningan yang menggantung tebal, layaknya tirai berat yang membatasi penghuninya.Ruangan luas itu sunyi senyap saat Ariella melangkah masuk. Kamar tidur yang kini miliknya dan Dionel itu adalah sebuah ruangan besar dengan dekorasi elegan. Namun, keindahan dekorasi dan kemegahan ruangan itu tidak dapat menghilangkan suasana dingin di dalamnya.Tempat tidur megah yang terbuat dari kayu mahoni berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tirai sutra tebal yang menggantung di keempat sisinya. Cahaya lilin yang berkelap-kelip redup memberikan bayangan lembut di dinding, tetapi masih tidak mampu mengusir kegelapan dan kehampaan yang menyelimuti hati Ariella.Belum lagi fakta bahwa saat ini dia tinggal di kediaman Dionel, Istana Valdenor. D
Fajar mulai menyapa saat sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar tidur Ariella dan Dionel. Udara dingin musim gugur terasa menusuk kulit, tetapi hal itu bukan yang membuat Ariella menggigil saat ini.Wanita muda itu duduk di tepi tempat tidur dengan punggung tegak, tetapi tangannya menggenggam seprai erat seolah-olah hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dunia yang mulai terasa semakin jauh dari genggamannya.Semalam berlalu dengan keheningan yang menusuk. Dionel, setelah memberikan kata-kata penuh makna, tidur di sisi lain tempat tidur tanpa ada interaksi lebih lanjut. Itu bukan sesuatu yang Ariella sangka─meskipun dia tahu bahwa suaminya adalah sosok dingin dan penuh rahasia, dia tetap tidak bisa memahami mengapa Dionel tidak mendekatinya lebih jauh, apalagi menyentuhnya.Apakah dia melakukannya karena tahu bahwa Ariella tidak menginginkan semua ini? Atau mungkin, dia memang memiliki rencana
Ariella masih berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandang keluar tanpa fokus. Ruangan yang sunyi itu mengingatkan bahwa Dionel telah meninggalkannya sendiri di kamar luas itu. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami-istri, jarak di antara mereka masih saja terasa jauh, layaknya jurang yang sulit dijelaskan.Tirai tebal bergoyang ringan, tertiup angin sepoi yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Matahari semakin naik, tetapi hati Ariella tetap tenggelam dalam kegelapan pikirannya. Rasa terperangkap yang menemaninya sejak pernikahan itu masih menguasai benaknya, dan kini ada tambahan beban baru─Dionel.Suara ketukan lembut, di pintu memecah keheningan kamar. “Masuk,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun tubuhnya masih terasa berat oleh pikiran.Mira, pelayan setianya, melangkah masuk dengan gerakan yang anggun namun penuh hormat. Wajahnya selalu tenang tampak sedikit khawatir. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona?” tanya Mir
Ariella menghirup udara pagi yang segar, meskipun hati dan pikirannya masih diselimuti ketidakpastian. Dia berpindah dari jendela ke meja rias yang juga terbuat dari kayu mahoni, mengamati cermin yang memantulkan sosoknya yang tak berdaya.Dengan segala perubahan yang terjadi, dia merasa sulit untuk mengenali dirinya sendiri. Di luar, suara burung yang berkicau merdu menambah suasana tenang, tetapi tetap saja, di dalam hatinya, suasana itu terasa sangat bertentangan.Mira muncul kembali, kali ini membawa secangkir teh hangat. “Nona, ini untuk Anda. Teh herbal bisa membantu menenangkan pikiran,” ucap Mira sambil menyodorkan cangkir tersebut.Ariella tersenyum tipis. “Terima kasih, Mira. Aku akan mencobanya.”Setelah Mira pergi, Ariella menyentuh cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia kembali merenung. Perasaannya campur aduk─antara harapan dan ketakutan. Kehidupan baru di Istana Valdenor bukanlah yang dia inginkan, tetapi
Matahari sore perlahan meredup di balik dinding Istana Valdenor. Cahaya keemasan yang menyelinap melalui jendela tinggi menciptakan siluet indah memanjang di lantai marmer yang dingin pada itu.Ariella duduk di salah satu kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada hamparan kebun yang membentang luas di area istana. Meskipun pemandangan yang disaksikannya itu indah, tidak ada perubahan akan apa yang dirasakannya. Perasannya masih tetap sama; dingin, asing, dan sepi.Dia menghela napas panjang. Minggu-minggu setelah pernikahannya terasa seperti berjalan begitu lambat, seakan waktu berhenti di balik tembok istana yang megah ini. Meski Dionel telah mencoba berbicara dengannya dan menunjukkan kebaikan di balik sikap dinginnya, Ariella masih tetap merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka berdua. Hubungan mereka masih kaku dan canggung, penuh dengan rasa ketidakpastian.Pikirannya kembali melayang pada kehidupannya saat masih di Thalessia. Istana tempat dia dibesarkan itu selalu
Ariella terbangun, masih dengan perasaan berat di dada. Perasaan asing dengan keheningan Istana Valdenor saat pagi menjelang masih kental dirasakannya. Walau beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahan mereka, perasaan sunyi dan kesendirian di istana megah ini belum juga pudar. Dia masih merasa sebagai orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah barunya itu.Melangkah ke arah balkon, Ariella memandangi taman yang terhampar luas di bawahnya, dengan dikelilingi tembok-tembok tinggi istana. Udara pagi yang dingin menyentuh kulit wajahnya, namun masih tak mampu meredam kebisingan di hati dan pikirannya yang penuh kebimbangan.Apakah dia akan pernah menganggap tempat ini sebagai rumah? Apakah akan tiba masa di mana dia akan menganggap istana ini adalah rumahnya?Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Ariella, membuyarkan pikirannya yang berputar-putar. “Masuk,” jawabnya pelan.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Nia yang penuh dengan senyum lembutnya yang menenangkan. “Non