Langit malam di luar jendela istana dipenuhi bintang, cahayanya berpendar lembut menembus kaca-kaca jendela kamar. Di dalam ruangan yang mewah itu, meski suasananya seharusnya dipenuhi kebahagiaan setelah pernikahan berlangsung, ada keheningan yang menggantung tebal, layaknya tirai berat yang membatasi penghuninya.
Ruangan luas itu sunyi senyap saat Ariella melangkah masuk. Kamar tidur yang kini miliknya dan Dionel itu adalah sebuah ruangan besar dengan dekorasi elegan. Namun, keindahan dekorasi dan kemegahan ruangan itu tidak dapat menghilangkan suasana dingin di dalamnya.
Tempat tidur megah yang terbuat dari kayu mahoni berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tirai sutra tebal yang menggantung di keempat sisinya. Cahaya lilin yang berkelap-kelip redup memberikan bayangan lembut di dinding, tetapi masih tidak mampu mengusir kegelapan dan kehampaan yang menyelimuti hati Ariella.
Belum lagi fakta bahwa saat ini dia tinggal di kediaman Dionel, Istana Valdenor. Dinding-dinding megah dan halamannya yang luas itu terasa asing baginya, tak seperti istana tempat dia tumbuh besar. Setiap sudut mengingatkan bahwa kini dia berada di wilayah yang sepenuhnya berbeda, jauh dari kehangatan yang pernah dia kenal.
Ariella berdiri di ambang pintu, menatap tempat tidur yang kini akan menjadi miliknya bersama dengan pria yang baru saja menjadi suaminya. Sebuah kenyataan yang masih tidak terasa nyata.
“Ini bukan sesuatu yang kuinginkan,” batin Ariella. Meskipun telah berusaha keras untuk menyiapkan dirinya secara mental, Ariella tidak dapat menahan perasaan terperangkap dalam situasi yang tidak dipilihnya itu.
Pikiran Ariella melayang jauh ke masa lalu, mengingat hari-hari sebelum semuanya berubah menjadi kekacauan ini. Di balik segala kemewahan yang melingkupinya, ada perasaan marah yang terus menyala di hatinya─amarah yang ditujukan kepada keluarnya, kepada sistem yang menjeratnya, dan kepada pria yang harus dia sebut sebagai suaminya.
Pernikahan ini, meski dianggap sah dan disambut oleh seluruh kerajaan, tetap saja terasa seperti perangkap dengan sebuah ikatan yang lebih erat dari rantai.
Beberapa saat hanyut dalam pikirannya sendiri, Ariella tiba-tiba mendengar pintu di belakangnya terbuka. Langkah berat terdengar olehnya, menandakan kedatangan Dionel. Sang Putri menoleh sedikit, cukup untuk melihat sosoknya dalam bayangan.
Pria itu berjalan mendekat dengan sikap yang tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengucap janji suci pernikahan. Suasana tegang terasa begitu kental di antara mereka, seolah ada dua kekuatan tak terlihat sedang saling tarik-menarik memenuhi ruangan.
“Jadi, ini rumahmu sekarang,” ucap Dionel dengan suara rendah, hampir terdengar seperti gumaman. Ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Ariella sulit memahami apakah dia menyindir atau menyatakan fakta.
“Rumah?” Ariella hampir tertawa sinis. Bagaimana tempat yang begitu asing baginya disebut rumah? “Aku tidak pernah meminta ini, aku tidak pernah ingin tinggal di sini,” jawabnya tanpa menoleh.
Dionel berhenti di belakangnya, cukup dengan hingga Ariella bisa merasakan kehadirannya, tetapi cukup jauh untuk menjaga jarak. “Takdir sering kali tidak memberi kita pilihan, Ariella,” katanya dingin. “Ini adalah kehidupan yang harus kita jalani sekarang, mau tidak mau.”
Lagi-lagi, ucapan Dionel menusuk hati Ariella. Bagaimana mungkin ada begitu mudah menerima takdirnya, sementara Ariella merasa hancur? Atau mungkin ... dia juga tidak menerima sepenuhnya? Tatapan Dionel selalu sulit dibaca, menutupi segala rahasia yang disimpan di balik wajahnya yang tegas.
Dalam keheningan itu, Dionel tidak berbalik dan mulai membuka jubahnya, membiarkan gaun formal pernikahan berat yang dikenakannya itu jatuh ke lantai. Ariella berdiri diam, dadanya berdebar keras. Dia tahu apa yang akan terjadi, atau setidaknya dia menduganya.
Malam pernikahan. Suatu hal yang tidak bisa dia hindari, meskipun pikirannya dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan.
“Dionel,” panggil Ariella dengan suara yang terdengar bergetar meskipun dia berusaha keras untuk terdengar tegas. “Apakah ini satu-satunya alasan kau menikahiku? Hanya untuk mendapatkan seorang istri yang bisa kau kendalikan?”
Pria itu berhenti sejenak, tatapannya beralih padanya. Mata mereka bertemu, dan Ariella bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sikap dingin atau ketidakpedulian di mata pria itu─sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tidak pernah dia duga.
“Kendalikan?” Dionel mengangkat alisnya, kemudian senyum tipis yang samar muncul di bibirnya. “Aku tidak membutuhkan seorang istri untuk kukendalikan. Aku membutuhkan seorang sekutu.”
Sekutu? Ariella terdiam, kebingungan memenuhi pikirannya. Seorang sekutu? Bukankah pernikahan ini hanya soal politik dan kekuasaan? Namun, nada Dionel mengatakan lebih dari itu. Di balik semua sikap dinginnya, ada tujuan lain, alasan yang belum terungkap yang masih Ariella cari.
Sebelum sang Putri bisa mengajukan pertanyaan lain, Dionel mendekat. Tangan besarnya mengangkat dagu Ariella dengan lembut. “Kamu mungkin berpikir aku adalah monster,” bisiknya, dengan suara yang terdengar seperti racun yang manis, “tapi aku akan menunjukkan kepadamu bahwa kita bisa lebih dari sekadar alat politik.”
Ariella tidak bisa mengelak dari kontak yang kini begitu dekat. Napas Dionel yang hangat menyapu kulitnya. Dan untuk sesaat, seluruh dunia terasa seakan berhenti berputar. Dia ingin mundur, ingin berlari, tetapi tubuhnya menolak, seolah membeku di tempat.
“Kau tidak tahu apa yang akan terjadi, Tuan Putri,” lanjut Dionel dengan nada yang lebih lembut. “Tapi aku janji, ini bukanlah akhir untukmu. Ini hanyalah sebuah permulaan.”
Tanpa peringatan, Dionel menunduk dan bibirnya menyentuh bibir Ariella dengan lembut. Kejutan itu membuat Ariella terdiam, hatinya bergejolak antara kebingungan dan keinginan untuk melawan. Bibirnya, yang pada awalnya dingin, mulai melunak di bawah sentuhan Dionel yang penuh kendali.
Akan tetapi, di balik setiap ciuman, Ariella merasa ada sesuatu yang lain. Ada kekuatan yang mengalir, bukan hanya antara mereka sebagai dua individu, tetapi juga sebagai dua orang yang terjebak dalam situasi yang rumit dan tak terelakkan.
Ariella, menutup matanya, membiarkan dirinya terseret dalam arus emosi yang begitu asing dan tak terduga itu. Dia tahu bahwa dunia yang baru saja dia masuki ini penuh dengan bahaya dan tipu daya
Akan tetapi, dalam pelukan Dionel, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya, apakah ini benar-benar takdir yang tidak bisa dia ubah, atau apakah dia memiliki kekuatan untuk mengendalikan nasibnya sendiri seperti yang dia inginkan?
Ketika Dionel menarik diri, mereka berdua terdiam. Tak ada satu kata pun yang terucap, tetapi udara di antara mereka terasa penuh akan percikan yang belum sepenuhnya padam. Mata Dionel kembali tenang, meskipun Ariella tahu ada sesuatu yang mendidih di balik wajahnya yang tak tertebak.
“Tidurlah, Ariella,” ujar Dionel akhirnya, sambil berbalik menuju sisi tempat tidur. “Kita punya banyak hal lain yang harus kita hadapi mulai besok.”
Ariella berdiri diam sejenak, merasakan gemetar lemah pada tubuhnya. Bukan karena kekuatan, tetapi karena kebingungan yang mendalam.
Dia tahu bahwa pria di depannya adalah seseorang yang penuh akan rahasia. Namun, kini, untuk pertama kalnya, dia mulai merasakan bahwa mungkin─hanya mungkin─pernikahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Mungkin saja ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Dengan hari yang masih penuh akan keraguan, Ariella akhirnya melangkah menuju tempat tidurnya. Satu hal yang dia tahu pasti─malam ini, sebuah bab baru dalam hidupnya telah dimulai, dan takdir kiri ada di genggaman tangannya. [*]
Fajar mulai menyapa saat sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar tidur Ariella dan Dionel. Udara dingin musim gugur terasa menusuk kulit, tetapi hal itu bukan yang membuat Ariella menggigil saat ini.Wanita muda itu duduk di tepi tempat tidur dengan punggung tegak, tetapi tangannya menggenggam seprai erat seolah-olah hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dunia yang mulai terasa semakin jauh dari genggamannya.Semalam berlalu dengan keheningan yang menusuk. Dionel, setelah memberikan kata-kata penuh makna, tidur di sisi lain tempat tidur tanpa ada interaksi lebih lanjut. Itu bukan sesuatu yang Ariella sangka─meskipun dia tahu bahwa suaminya adalah sosok dingin dan penuh rahasia, dia tetap tidak bisa memahami mengapa Dionel tidak mendekatinya lebih jauh, apalagi menyentuhnya.Apakah dia melakukannya karena tahu bahwa Ariella tidak menginginkan semua ini? Atau mungkin, dia memang memiliki rencana
Ariella masih berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandang keluar tanpa fokus. Ruangan yang sunyi itu mengingatkan bahwa Dionel telah meninggalkannya sendiri di kamar luas itu. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami-istri, jarak di antara mereka masih saja terasa jauh, layaknya jurang yang sulit dijelaskan.Tirai tebal bergoyang ringan, tertiup angin sepoi yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Matahari semakin naik, tetapi hati Ariella tetap tenggelam dalam kegelapan pikirannya. Rasa terperangkap yang menemaninya sejak pernikahan itu masih menguasai benaknya, dan kini ada tambahan beban baru─Dionel.Suara ketukan lembut, di pintu memecah keheningan kamar. “Masuk,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun tubuhnya masih terasa berat oleh pikiran.Mira, pelayan setianya, melangkah masuk dengan gerakan yang anggun namun penuh hormat. Wajahnya selalu tenang tampak sedikit khawatir. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona?” tanya Mir
Ariella menghirup udara pagi yang segar, meskipun hati dan pikirannya masih diselimuti ketidakpastian. Dia berpindah dari jendela ke meja rias yang juga terbuat dari kayu mahoni, mengamati cermin yang memantulkan sosoknya yang tak berdaya.Dengan segala perubahan yang terjadi, dia merasa sulit untuk mengenali dirinya sendiri. Di luar, suara burung yang berkicau merdu menambah suasana tenang, tetapi tetap saja, di dalam hatinya, suasana itu terasa sangat bertentangan.Mira muncul kembali, kali ini membawa secangkir teh hangat. “Nona, ini untuk Anda. Teh herbal bisa membantu menenangkan pikiran,” ucap Mira sambil menyodorkan cangkir tersebut.Ariella tersenyum tipis. “Terima kasih, Mira. Aku akan mencobanya.”Setelah Mira pergi, Ariella menyentuh cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia kembali merenung. Perasaannya campur aduk─antara harapan dan ketakutan. Kehidupan baru di Istana Valdenor bukanlah yang dia inginkan, tetapi
Matahari sore perlahan meredup di balik dinding Istana Valdenor. Cahaya keemasan yang menyelinap melalui jendela tinggi menciptakan siluet indah memanjang di lantai marmer yang dingin pada itu.Ariella duduk di salah satu kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada hamparan kebun yang membentang luas di area istana. Meskipun pemandangan yang disaksikannya itu indah, tidak ada perubahan akan apa yang dirasakannya. Perasannya masih tetap sama; dingin, asing, dan sepi.Dia menghela napas panjang. Minggu-minggu setelah pernikahannya terasa seperti berjalan begitu lambat, seakan waktu berhenti di balik tembok istana yang megah ini. Meski Dionel telah mencoba berbicara dengannya dan menunjukkan kebaikan di balik sikap dinginnya, Ariella masih tetap merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka berdua. Hubungan mereka masih kaku dan canggung, penuh dengan rasa ketidakpastian.Pikirannya kembali melayang pada kehidupannya saat masih di Thalessia. Istana tempat dia dibesarkan itu selalu
Ariella terbangun, masih dengan perasaan berat di dada. Perasaan asing dengan keheningan Istana Valdenor saat pagi menjelang masih kental dirasakannya. Walau beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahan mereka, perasaan sunyi dan kesendirian di istana megah ini belum juga pudar. Dia masih merasa sebagai orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah barunya itu.Melangkah ke arah balkon, Ariella memandangi taman yang terhampar luas di bawahnya, dengan dikelilingi tembok-tembok tinggi istana. Udara pagi yang dingin menyentuh kulit wajahnya, namun masih tak mampu meredam kebisingan di hati dan pikirannya yang penuh kebimbangan.Apakah dia akan pernah menganggap tempat ini sebagai rumah? Apakah akan tiba masa di mana dia akan menganggap istana ini adalah rumahnya?Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Ariella, membuyarkan pikirannya yang berputar-putar. “Masuk,” jawabnya pelan.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Nia yang penuh dengan senyum lembutnya yang menenangkan. “Non
Malam itu, angin berbisik di antara pepohonan di halaman istana. Namun, di dalam dinding-dinding megah Kerajaan Thalessia, suasana terasa menyesakkan.Putri Ariella duduk di depan meja riasnya, menatap cermin dengan mata yang kosong. Gaun pengantin yang indah dan rumit itu menjuntai di sekelilingnya, dikelilingi oleh sentuhan sutra halus dan bordiran emas. Sayangnya, itu semua tidak ada yang bisa menyembunyikan kengerian yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran sang Putri.Ariella menjalani hidupnya dalam penjara emas, dilatih untuk menjadi seorang putri yang ideal. Namun, tidak pernah terpikir olehnya, bahkan dalam mimpinya, bahwa dia akan dijadikan sebagai alat politik dalam permainan kekuasaan.Keluarganya, pihak yang seharusnya melindunginya, malah menjadikannya sebuah barang dagangan untuk memperkuat aliansi dengan kerajaan lainnya. Malam ini, dia akan dinikahi oleh seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui─Dionel, seorang panglima perang terkenal ya