Fajar mulai menyapa saat sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar tidur Ariella dan Dionel. Udara dingin musim gugur terasa menusuk kulit, tetapi hal itu bukan yang membuat Ariella menggigil saat ini.
Wanita muda itu duduk di tepi tempat tidur dengan punggung tegak, tetapi tangannya menggenggam seprai erat seolah-olah hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dunia yang mulai terasa semakin jauh dari genggamannya.
Semalam berlalu dengan keheningan yang menusuk. Dionel, setelah memberikan kata-kata penuh makna, tidur di sisi lain tempat tidur tanpa ada interaksi lebih lanjut. Itu bukan sesuatu yang Ariella sangka─meskipun dia tahu bahwa suaminya adalah sosok dingin dan penuh rahasia, dia tetap tidak bisa memahami mengapa Dionel tidak mendekatinya lebih jauh, apalagi menyentuhnya.
Apakah dia melakukannya karena tahu bahwa Ariella tidak menginginkan semua ini? Atau mungkin, dia memang memiliki rencana lain yang lebih besar dari yang Ariella bayangkan?
Ariella menarik napas panjang, mencoba menenangkan kekacauan yang berputar di pikirannya. Di satu sisi, dia merasa legar bahwa tidak ada paksaan di malam pertama mereka. Namun, di sisi lain, ada perasaan hampa dan ketidakpastian yang kini menghantui.
“Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?” pikirnya, lebih pada kebingungan yang tak kunjung reda daripada rasa penasaran murni. Situasi ini terasa seperti jebakan yang direncanakan oleh takdir untuk mempermainkannya. Menikah dengan seorang pria yang hampir tak dia kenal, yang baginya hanya terlihat sebagai batu pijakan untuk kepentingan keluarganya─walau itulah kenyataan pahit yang harus dilalui Ariella.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar di pintu kamar. Sebelum Ariella sempat menjawab, pintu terbuka dan salah satu pelayan pribadi masuk dengan membawa nampan sarapan. Pelayan itu menunduk hormat, meletakkan nampan di meja dekat jendela sebelum melirik sekilas ke arah Dionel yang masih tertidur. Tanpa sepatah kata pun, di keluar kamar, meninggalkan Ariella dengan pikirannya yang semakin kacau.
Ariella berdiri perlahan, menatap sosok suaminya yang masih terbaring dalam ketenangan. Wajah Dionel terlihat damai saat tidur, hampir seolah-olah dia bukanlah pria yang memiliki begitu banyak rahasia maupun ambisi.
Dalam diam, Ariella merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada sisi Dionel yang membuatnya takut, tetapi di saat yang sama, ada ketertarikan aneh yang mulai tumbuh di dalam dirinya─sesuatu yang tidak dia mengerti sepenuhnya.
Ariella merasa terjebak. Di antara kehidupan yang dia tinggalkan dan pernikahan yang dia jalani, tak ada pilihan yang benar-benar dia inginkan. Dia berada di antara kehancuran yang perlahan mendekat dan satu-satunya jalan yang dipenuhi ketidakpastian.
Mengingat hal itu, pikirannya melayang kembali ke rencana yang pernah dia buat─rencana terakhir yang melibatkan kepergiannya dari dunia ini. Sebuah kematian yang akan membawa aib pada keluarganya, tetapi juga sekaligus satu0satunya bentuk kendali atas hidupnya.
“Aku harus kuat,” bisiknya pelan, mencoba menguatkan hatinya di tengah kekacauan yang dirasakannya. “Setidaknya aku masih punya sesuatu untuk diperjuangkan. Jika ini jalanku untuk membalas dendam, aku akan jalani ini sampai akhir.”
Akan tetapi, sebuah ketukan kecil pada cawan teh membuatnya tersadar. Dionel mulai bergerak di tempat tidur. Sosoknya yang tinggi dan kuat menggeliat pelan, lalu dia duduk dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan. Tanpa memandang Ariella, dia meregangkan tubuhnya dengan santai sebelum akhirnya bangkit dan menuju meja sarapan.
“Pagi yang dingin,” ucap Dionel, dengan suaranya yang lembut tetapi penuh dengan ketenangan yang menyiratkan keraguan. Ada sesuatu yang berbeda dalam intonasinya─sesuatu yang tak Ariella pahami sepenuhnya.
Ariella mengangguk kecil, tak berani memulai percakapan. Seperti yang telah terjadi sejak pernikahan mereka dimulai, keheningan menjadi penghalang di antara mereka.
Keduanya hanya duduk, menikmati sarapan dalam kesunyian yang hampir mencekik. Denting sendok dan garpu menjadi satu0satunya suara yang mengisi seisi ruangan, sementara pikiran Ariella terpecah-belah, mencoba memahami situasi ini.
Di dalam kepalanya, dia bertanya-tanya. Apakah ini memang takdirnya─hidup dalam diam bersama pria yang nyaris tak dia kenal? Seberapa lama dia bisa bertahan dalam keadaan ini sebelum segalanya runtuh?
“Kau pasti merasa tersesat,” suara Dionel akhirnya memecah kesunyian. “Tapi ada alasan mengata kita menikah Ariella. Meski kau tidak menginginkannya, kau harus tahu satu hal,” Dionel berhenti sesaat sebelum melanjutkan, “aku tidak berniat menjadikanmu pion dalam permainan ini.”
Kata-kata itu menusuk Ariella. Seolah Dionel tahu persis apa yang dipikirkannya, bahkan sebelum dia sempat menyuarakan kekhawatirannya. “Pion?” gumam Ariella, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dionel.
Dionel mengangguk pelan, ekspresinya tetap datar namun matanya menunjukkan kilatan yang serius. “Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan politik. Ada hal yang jauh lebih besar yang sedang terjadi. Dan meskipun kau tidak memahaminya sekarang, kau akan segera mengetahuinya nanti.”
Suara Dionel terdengar seperti janji yang sarat akan makna. Namun, bagi Ariella, hal itu lebih terdengar seperti ancaman. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik kata-katanya, dan meskipun Ariella belum memahaminya, dia tahu bahwa pria di hadapannya tidak sesederhana yang terlihat.
Dionel bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela dan menatap ke luar. Tatapannya menembus cakrawala, seolah-olah dia tengah mengamati sesuatu yang tak bisa dilihat oleh Ariella.
“Kau akan tahu pada waktunya,” ucapnya, masih dengan nada tenang. “Tapi untuk saat ini, kita berdua punya peran untuk dimainkan.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Ariella merasakan dadanya semakin berat, seolah-olah kata-kata Dionel menambah beban pada semua yang sudah dia bawa. Namun, sebelum dia sempat merespons, Dionel sudah melangkah menuju pintu kamar.
Aku haris pergi,” katanya, dengan nada yang nyaris tak berperasaan. ” Ada urusan kerajaan yang harus kuselesaikan. Kita akan bicara lebih banyak nanti.”
Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan Ariella sendirian di dalam ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sepi. Dia memandang pintu itu dengan perasaan campur aduk─marah, bingung, dan ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.
Di balik semua keheningan yang menghantui pernikahan ini, ada perasaan aneh yang tumbuh di hatinya. Mungkin itu adalah rasa takut. Atau mungkin, sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Setelah beberapa saat, Ariella bangkit dari kursinya dan berjalan ke dekat jendela tempat Dionel tadi berdiri. Udara dingin pagi menyapa kulitnya, membuatnya merinding.
Dia menatap ke luar, ke arah kerajaan yang mulai hidup di bawah sinar matahari pagi. Semua ini seharusnya menjadi hidupnya sekarang─kerajaan, kekuasaan, kekayaan─tetapi kenapa semua itu terasa begitu kosong?
Ariella menarik napas dalam, mencoba mencari jawaban di tengah keheningan yang melingkupi dirinya. Ariella semakin yakin bahwa ini bukanlah akhir baginya. Jika Dionel punya rencana besar, maka dia akan membuat rencananya sendiri. Dan dia akan memastikan bahwa apapun yang terjadi, dia tidak akan menjadi pion dalam permainan siapa pun. [*]
Ariella masih berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandang keluar tanpa fokus. Ruangan yang sunyi itu mengingatkan bahwa Dionel telah meninggalkannya sendiri di kamar luas itu. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami-istri, jarak di antara mereka masih saja terasa jauh, layaknya jurang yang sulit dijelaskan.Tirai tebal bergoyang ringan, tertiup angin sepoi yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Matahari semakin naik, tetapi hati Ariella tetap tenggelam dalam kegelapan pikirannya. Rasa terperangkap yang menemaninya sejak pernikahan itu masih menguasai benaknya, dan kini ada tambahan beban baru─Dionel.Suara ketukan lembut, di pintu memecah keheningan kamar. “Masuk,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun tubuhnya masih terasa berat oleh pikiran.Mira, pelayan setianya, melangkah masuk dengan gerakan yang anggun namun penuh hormat. Wajahnya selalu tenang tampak sedikit khawatir. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona?” tanya Mir
Ariella menghirup udara pagi yang segar, meskipun hati dan pikirannya masih diselimuti ketidakpastian. Dia berpindah dari jendela ke meja rias yang juga terbuat dari kayu mahoni, mengamati cermin yang memantulkan sosoknya yang tak berdaya.Dengan segala perubahan yang terjadi, dia merasa sulit untuk mengenali dirinya sendiri. Di luar, suara burung yang berkicau merdu menambah suasana tenang, tetapi tetap saja, di dalam hatinya, suasana itu terasa sangat bertentangan.Mira muncul kembali, kali ini membawa secangkir teh hangat. “Nona, ini untuk Anda. Teh herbal bisa membantu menenangkan pikiran,” ucap Mira sambil menyodorkan cangkir tersebut.Ariella tersenyum tipis. “Terima kasih, Mira. Aku akan mencobanya.”Setelah Mira pergi, Ariella menyentuh cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia kembali merenung. Perasaannya campur aduk─antara harapan dan ketakutan. Kehidupan baru di Istana Valdenor bukanlah yang dia inginkan, tetapi
Matahari sore perlahan meredup di balik dinding Istana Valdenor. Cahaya keemasan yang menyelinap melalui jendela tinggi menciptakan siluet indah memanjang di lantai marmer yang dingin pada itu.Ariella duduk di salah satu kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada hamparan kebun yang membentang luas di area istana. Meskipun pemandangan yang disaksikannya itu indah, tidak ada perubahan akan apa yang dirasakannya. Perasannya masih tetap sama; dingin, asing, dan sepi.Dia menghela napas panjang. Minggu-minggu setelah pernikahannya terasa seperti berjalan begitu lambat, seakan waktu berhenti di balik tembok istana yang megah ini. Meski Dionel telah mencoba berbicara dengannya dan menunjukkan kebaikan di balik sikap dinginnya, Ariella masih tetap merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka berdua. Hubungan mereka masih kaku dan canggung, penuh dengan rasa ketidakpastian.Pikirannya kembali melayang pada kehidupannya saat masih di Thalessia. Istana tempat dia dibesarkan itu selalu
Ariella terbangun, masih dengan perasaan berat di dada. Perasaan asing dengan keheningan Istana Valdenor saat pagi menjelang masih kental dirasakannya. Walau beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahan mereka, perasaan sunyi dan kesendirian di istana megah ini belum juga pudar. Dia masih merasa sebagai orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah barunya itu.Melangkah ke arah balkon, Ariella memandangi taman yang terhampar luas di bawahnya, dengan dikelilingi tembok-tembok tinggi istana. Udara pagi yang dingin menyentuh kulit wajahnya, namun masih tak mampu meredam kebisingan di hati dan pikirannya yang penuh kebimbangan.Apakah dia akan pernah menganggap tempat ini sebagai rumah? Apakah akan tiba masa di mana dia akan menganggap istana ini adalah rumahnya?Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Ariella, membuyarkan pikirannya yang berputar-putar. “Masuk,” jawabnya pelan.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Nia yang penuh dengan senyum lembutnya yang menenangkan. “Non
Malam itu, angin berbisik di antara pepohonan di halaman istana. Namun, di dalam dinding-dinding megah Kerajaan Thalessia, suasana terasa menyesakkan.Putri Ariella duduk di depan meja riasnya, menatap cermin dengan mata yang kosong. Gaun pengantin yang indah dan rumit itu menjuntai di sekelilingnya, dikelilingi oleh sentuhan sutra halus dan bordiran emas. Sayangnya, itu semua tidak ada yang bisa menyembunyikan kengerian yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran sang Putri.Ariella menjalani hidupnya dalam penjara emas, dilatih untuk menjadi seorang putri yang ideal. Namun, tidak pernah terpikir olehnya, bahkan dalam mimpinya, bahwa dia akan dijadikan sebagai alat politik dalam permainan kekuasaan.Keluarganya, pihak yang seharusnya melindunginya, malah menjadikannya sebuah barang dagangan untuk memperkuat aliansi dengan kerajaan lainnya. Malam ini, dia akan dinikahi oleh seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui─Dionel, seorang panglima perang terkenal ya
Langit malam di luar jendela istana dipenuhi bintang, cahayanya berpendar lembut menembus kaca-kaca jendela kamar. Di dalam ruangan yang mewah itu, meski suasananya seharusnya dipenuhi kebahagiaan setelah pernikahan berlangsung, ada keheningan yang menggantung tebal, layaknya tirai berat yang membatasi penghuninya.Ruangan luas itu sunyi senyap saat Ariella melangkah masuk. Kamar tidur yang kini miliknya dan Dionel itu adalah sebuah ruangan besar dengan dekorasi elegan. Namun, keindahan dekorasi dan kemegahan ruangan itu tidak dapat menghilangkan suasana dingin di dalamnya.Tempat tidur megah yang terbuat dari kayu mahoni berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tirai sutra tebal yang menggantung di keempat sisinya. Cahaya lilin yang berkelap-kelip redup memberikan bayangan lembut di dinding, tetapi masih tidak mampu mengusir kegelapan dan kehampaan yang menyelimuti hati Ariella.Belum lagi fakta bahwa saat ini dia tinggal di kediaman Dionel, Istana Valdenor. D