Ariella menghirup udara pagi yang segar, meskipun hati dan pikirannya masih diselimuti ketidakpastian. Dia berpindah dari jendela ke meja rias yang juga terbuat dari kayu mahoni, mengamati cermin yang memantulkan sosoknya yang tak berdaya.
Dengan segala perubahan yang terjadi, dia merasa sulit untuk mengenali dirinya sendiri. Di luar, suara burung yang berkicau merdu menambah suasana tenang, tetapi tetap saja, di dalam hatinya, suasana itu terasa sangat bertentangan.
Mira muncul kembali, kali ini membawa secangkir teh hangat. “Nona, ini untuk Anda. Teh herbal bisa membantu menenangkan pikiran,” ucap Mira sambil menyodorkan cangkir tersebut.
Ariella tersenyum tipis. “Terima kasih, Mira. Aku akan mencobanya.”
Setelah Mira pergi, Ariella menyentuh cangkir itu, tetapi tidak segera meminumnya. Dia kembali merenung. Perasaannya campur aduk─antara harapan dan ketakutan. Kehidupan baru di Istana Valdenor bukanlah yang dia inginkan, tetapi di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang menggelitik, yang mendorongnya untuk menjelajahi setiap sudut istana yang megah ini.
Sementara itu, di ruang kerja Dionel, suasana terasa jauh lebih serius. Dionel bersiap untuk menghadiri rapat penting dengan Dewan Kerajaan. Sebagai panglima perang, dia tahu betapa besar tanggung jawabnya dalam menjaga kestabilan Kerajaan Thalessia. Keberadaan Ariella di sampingnya seharusnya menjadi keuntungan baginya, tetapi dia tahu betapa sulit mengubah pandangan orang-orang di sekitarnya.
“Apakah Anda siap, Tuan?” tanya Elian, pelayan pribadi Dionel.
“Siap, tapi aku merasa ada banyak hal yang masih belum terungkap,” jawab Dionel, matanya tertuju ke arah peta yang terhampar di meja, memikirkan strategi yang harus diambil untuk menghadapi situasi rumit di dalam istana.
“Apakah Anda sudah memikirkan tentang peran Nyonya Ariella di sini setelah bertemu dengannya?” tanya Elia, menempatkan dokumen di hadapan Dionel.
Dionel mengangguk, teringat betapa ringkih Ariella terlihat di pagi yang sunyi itu. “Aku harus memberinya waktu. Dia baru saja menjalani pernikahan yang tidak diinginkannya. Aku ingin dia merasa nyaman di sini terlebih dahulu sebelum membicarakan tugas-tugas yang menunggunya.”
Sementara itu, Mira dan Nia sudah tiba di kamar Ariella. Nia, kepala pelayan di Istana Veldanor, dikenal akan sifatnya yang lembut namun tegas. Usianya yang terbilang jauh lebih dewasa dan pengalaman panjang dalam melayani keluarga bangsawan memberinya sikap wibawa alami.
Dia bukan hanya seorang pengatur urusan rumah tangga, tetapi juga penjaga harmoni di istana. Dengan sifat keibuannya, Nia mampu meredam konflik kecil di antara pelayan-pelayan lain dan memastikan bahwa semuanya berjalan lancar. Dia bijaksana, penuh perhatian, dan selalu peka terhadap kebutuhan orang lain, tak terkecuali Ariella yang kini berada di lingkungan baru.
“Selamat pagi, Nona Ariella,” sapanya lembut. “Hari ini kita akan membahas beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentang istana ini.”
Ariella menyambut keduanya dengan ragu. “Baiklah, aku siap mendengarnya.”
Nia mulai menjelaskan dengan jelas dan terstruktur. “Di istana ini, kami memiliki beberapa aturan dan tradisi yang perlu Anda ketahui. Selain itu, ada juga beberapa orang yang bertanggung jawab atas berbagai aspek kehidupan sehari-hari.”
Mira berdiri di samping Ariella, mengamati setiap reaksi dari majikannya. Dia bisa merasakan bahwa Ariella perlahan mulai membuka diri, meskipun masih ada dinding tebal yang perlu dirobohkan.
Nia melanjutkan, “Saya yakin Anda sudah tahu bahwa Anda sekarang adalah Nyonya dari Istana Valdenor, dan kami semua ada di sini untuk membantu Anda. Kami berharap Anda dapat memimpin dengan bijak dan memberikan arahan kepada staf lain nantinya. Kami semua merindukan kehadiran pemimpin yang bijaksana.”
Ariella menunduk, berusaha mencerna semua informasi itu. “Terima kasih, Nia. Namun, aku masih belajar bagaimana menjalani semua ini,” jawab Ariella, suaranya rendah.
Nia tersenyum. “Itulah mengapa kami ada di sini. Kami akan membantu Anda menyesuaikan diri. Jika ada yang tidak Anda mengerti, tanyakan saja.”
Mira menambahkan, “Kami semua ingin Anda merasa diterima di sini, Nona. Anda tidak sendiri. Dan jika Anda ingin menjalani istana, kami bisa menemani Anda.”
Mendengar kalimat itu, hati Ariella terasa hangat. Untuk pertama kalinya, dia merasa sedikit lebih diakui di tempat baru ini. Mungkin saja, perlahan-lahan, dia bisa menemukan tempatnya di Istana Valdenor.
Di sisi lain istana, Dionel menyelesaikan rapatnya dengan para Dewan. Dia merasakan tatapan penuh perhatian dan harapan dari para anggota dewan. “Saya akan bekerja sama dengan Nyonya Ariella untuk merumuskan program-program yang dapat meningkatkan stabilitas kerajaan,” ungkapnya dengan suara tegas dan mantap.
Anggota dewan saling berbisik, mendiskusikan bagaimana kehadiran Ariella yang tidak biasa dalam percakapan ini. Namun, Dionel tidak peduli dengan pandangan mereka. Baginya, penting untuk memberikan kesempatan kepada Ariella, meskipun dia sendiri belum sepenuhnya mengerti perasaannya terhadap wanita itu.
***
Di suatu malam, saat duduk di ruang keluarga yang elegan, Ariella merenung. “Apakah ini adalah rumah baruku?” tanyanya dalam hati. Sambil menatap ke luar jendela yang menghadap ke arah taman, dia berdoa agar segala sesuatu berjalan dengan baik.
Dia melihat para pelayan yang bercengkerama di taman. Dari ruangan itu, Ariella bisa merasakan suasana kebersamaan yang hangat. Sebuah kerinduan akan kebahagiaan masa kecilnya muncul kembali.
Dionel kembali ke kamar mereka setelah rapat yang panjang. Melihat Ariella yang tenggelam dalam pikirannya, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda. “Ariella,” panggilnya lembut.
Ariella berbalik, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu pandang. Dia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu dalam diri Dionel yang membuatnya merasa tidak sepenuhnya terancam. “Apa yang kau inginkan, Dionel?” tanyanya, lagi-lagi mencoba untuk tetap tegas meskipun hatinya bergetar.
“Aku hanya ingin memastikan bawa kau baik-baik saja,” jawab Dionel melangkah lebih dekat. “Kita perlu bicara tentang bagaimana kira akan bekerja sama di sini.”
Ariella menunduk, berusaha mengabaikan ketegangan yang membara di antara mereka. “Aku tidak ingin berbicara tentang itu sekarang. Aku butuh waktu.”
“Waktu adalah sesuatu yang bisa aku beri. Tapi, ingatlah, kia harus saling mendukung dalam hal apa pun,” Dionel menjawab, menegaskan komitmennya.
Mendengar ucapan barusan, Ariella merasakan campuran rasa antara keraguan dan ketertarikan di saat yang sama. Mungkin, ada harapan untuk mendapatkan kembali kendali atas hidupnya, meskipun itu berarti berurusan dengan Dionel.
Saat malam semakin larut, Ariella memutuskan untuk menjelajahi istana. Dia menuruni tangga perlahan, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang tempat yang menjadi kediaman barunya ini.
Di lorong yang gelap, dia menemukan lukisan-lukisan indah yang menggambarkan sejarah Thalessia. Setiap lukisan bercerita, dan untuk pertama kalinya, Ariella merasa terhubung dengan tempat ini, seolah-olah dia menemukan bagian dirinya yang hilang.
Setelah melalui lorong gelap penuh lukisan ini, Ariella tersadar. Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan jalan di depan akan penuh tantangan. Namun, dengan setiap hari yang berlalu, Ariella mulai memahami bahwa tidak semua dalam hidup ini adalah tentang balas dendam. Terkadang, ada kesempatan untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga─sebuah harapan baru. [*]
Matahari sore perlahan meredup di balik dinding Istana Valdenor. Cahaya keemasan yang menyelinap melalui jendela tinggi menciptakan siluet indah memanjang di lantai marmer yang dingin pada itu.Ariella duduk di salah satu kursi dekat jendela. Matanya tertuju pada hamparan kebun yang membentang luas di area istana. Meskipun pemandangan yang disaksikannya itu indah, tidak ada perubahan akan apa yang dirasakannya. Perasannya masih tetap sama; dingin, asing, dan sepi.Dia menghela napas panjang. Minggu-minggu setelah pernikahannya terasa seperti berjalan begitu lambat, seakan waktu berhenti di balik tembok istana yang megah ini. Meski Dionel telah mencoba berbicara dengannya dan menunjukkan kebaikan di balik sikap dinginnya, Ariella masih tetap merasa ada dinding yang tak terlihat di antara mereka berdua. Hubungan mereka masih kaku dan canggung, penuh dengan rasa ketidakpastian.Pikirannya kembali melayang pada kehidupannya saat masih di Thalessia. Istana tempat dia dibesarkan itu selalu
Ariella terbangun, masih dengan perasaan berat di dada. Perasaan asing dengan keheningan Istana Valdenor saat pagi menjelang masih kental dirasakannya. Walau beberapa minggu telah berlalu sejak pernikahan mereka, perasaan sunyi dan kesendirian di istana megah ini belum juga pudar. Dia masih merasa sebagai orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah barunya itu.Melangkah ke arah balkon, Ariella memandangi taman yang terhampar luas di bawahnya, dengan dikelilingi tembok-tembok tinggi istana. Udara pagi yang dingin menyentuh kulit wajahnya, namun masih tak mampu meredam kebisingan di hati dan pikirannya yang penuh kebimbangan.Apakah dia akan pernah menganggap tempat ini sebagai rumah? Apakah akan tiba masa di mana dia akan menganggap istana ini adalah rumahnya?Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Ariella, membuyarkan pikirannya yang berputar-putar. “Masuk,” jawabnya pelan.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Nia yang penuh dengan senyum lembutnya yang menenangkan. “Non
Malam itu, angin berbisik di antara pepohonan di halaman istana. Namun, di dalam dinding-dinding megah Kerajaan Thalessia, suasana terasa menyesakkan.Putri Ariella duduk di depan meja riasnya, menatap cermin dengan mata yang kosong. Gaun pengantin yang indah dan rumit itu menjuntai di sekelilingnya, dikelilingi oleh sentuhan sutra halus dan bordiran emas. Sayangnya, itu semua tidak ada yang bisa menyembunyikan kengerian yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran sang Putri.Ariella menjalani hidupnya dalam penjara emas, dilatih untuk menjadi seorang putri yang ideal. Namun, tidak pernah terpikir olehnya, bahkan dalam mimpinya, bahwa dia akan dijadikan sebagai alat politik dalam permainan kekuasaan.Keluarganya, pihak yang seharusnya melindunginya, malah menjadikannya sebuah barang dagangan untuk memperkuat aliansi dengan kerajaan lainnya. Malam ini, dia akan dinikahi oleh seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui─Dionel, seorang panglima perang terkenal ya
Langit malam di luar jendela istana dipenuhi bintang, cahayanya berpendar lembut menembus kaca-kaca jendela kamar. Di dalam ruangan yang mewah itu, meski suasananya seharusnya dipenuhi kebahagiaan setelah pernikahan berlangsung, ada keheningan yang menggantung tebal, layaknya tirai berat yang membatasi penghuninya.Ruangan luas itu sunyi senyap saat Ariella melangkah masuk. Kamar tidur yang kini miliknya dan Dionel itu adalah sebuah ruangan besar dengan dekorasi elegan. Namun, keindahan dekorasi dan kemegahan ruangan itu tidak dapat menghilangkan suasana dingin di dalamnya.Tempat tidur megah yang terbuat dari kayu mahoni berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tirai sutra tebal yang menggantung di keempat sisinya. Cahaya lilin yang berkelap-kelip redup memberikan bayangan lembut di dinding, tetapi masih tidak mampu mengusir kegelapan dan kehampaan yang menyelimuti hati Ariella.Belum lagi fakta bahwa saat ini dia tinggal di kediaman Dionel, Istana Valdenor. D
Fajar mulai menyapa saat sinar matahari pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai tebal di kamar tidur Ariella dan Dionel. Udara dingin musim gugur terasa menusuk kulit, tetapi hal itu bukan yang membuat Ariella menggigil saat ini.Wanita muda itu duduk di tepi tempat tidur dengan punggung tegak, tetapi tangannya menggenggam seprai erat seolah-olah hanya itu satu-satunya pegangan yang bisa dia temukan di dunia yang mulai terasa semakin jauh dari genggamannya.Semalam berlalu dengan keheningan yang menusuk. Dionel, setelah memberikan kata-kata penuh makna, tidur di sisi lain tempat tidur tanpa ada interaksi lebih lanjut. Itu bukan sesuatu yang Ariella sangka─meskipun dia tahu bahwa suaminya adalah sosok dingin dan penuh rahasia, dia tetap tidak bisa memahami mengapa Dionel tidak mendekatinya lebih jauh, apalagi menyentuhnya.Apakah dia melakukannya karena tahu bahwa Ariella tidak menginginkan semua ini? Atau mungkin, dia memang memiliki rencana
Ariella masih berdiri di depan jendela besar kamarnya, memandang keluar tanpa fokus. Ruangan yang sunyi itu mengingatkan bahwa Dionel telah meninggalkannya sendiri di kamar luas itu. Meskipun mereka telah resmi menjadi suami-istri, jarak di antara mereka masih saja terasa jauh, layaknya jurang yang sulit dijelaskan.Tirai tebal bergoyang ringan, tertiup angin sepoi yang menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Matahari semakin naik, tetapi hati Ariella tetap tenggelam dalam kegelapan pikirannya. Rasa terperangkap yang menemaninya sejak pernikahan itu masih menguasai benaknya, dan kini ada tambahan beban baru─Dionel.Suara ketukan lembut, di pintu memecah keheningan kamar. “Masuk,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun tubuhnya masih terasa berat oleh pikiran.Mira, pelayan setianya, melangkah masuk dengan gerakan yang anggun namun penuh hormat. Wajahnya selalu tenang tampak sedikit khawatir. “Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona?” tanya Mir