Begitu duduk di dalam taksi, aku memutuskan untuk menelpon Gabriel. Nada sambung pertama pun terhubung dari ujung sana, lalu terdengar suara Gabriel yang hampir berteriak, menyapaku. “Hello, Grace? Grace? Kamu di mana? Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjawab pesanku?” Aku terbatuk kecil sambil menjauhkan speaker ponsel dari telingaku. Suara Gabriel memekakkan telingaku. “Grace? Cepat katakan posisi kamu sekarang!” “Aku dalam perjalanan pulang,” ucapku pelan karena tidak ingin menambah kekhawatiran untuknya. “Di mana? Apakah kamu baik-baik saja? Kamu sedang dengan siapa sekarang? Naik apa? Jam berapa sampai rumah?” “Gabriel? Relax, tarik napas yang panjang …, aku baik-baik saja.” Terdengar dengusan napas kesal dari ujung telepon menandakan bahwa Gabriel benar-benar panik. “Aku tunggu kamu di depan pintu gerbang.” “Jangan! Aku bisa masuk sendir ….” Sambungan terputus. “Astaga, dia benar-benar marah besar kali ini,” cetusku sambil mengunci kembali ponse
“Berputarlah dan menghadap cermin,” pinta Gabriel lembut. Karena penasaran, aku segera membalikkan tubuhku. Dari dalam cermin, aku melihat tangan Gabriel membelai leherku dan daerah sekitar tulang selangka. Karena tidak kuat, aku menggigit bibir bawahku menahan hasrat yang ada.“Nah, lakukan sekali lagi,” pinta Gabriel sambil menempelkan dagunya di bahuku. Bibirnya mengecup leherku dan meninggalkan jejak cinta di sana. “A-apa yang harus aku lakukan?” rintihku sambil menekan kepala Gabriel agar dia semakin memperdalam ciumannya.“Gigit bibir bawahmu dan lihat bayanganmu sendiri di dalam cermin.”“Hah?" tanyaku bingung. "Aku tidak mau,” protesku cepat setelah kewarasanku kembali.“Lakukan hal itu tanpa kamu sadari,” goda Gabriel sambil meremas sesuatu di dadaku dengan tiba-tiba. Aku melonjak kaget dan tanpa sadar menggigit bibir bawahku karena kenikmatan dari sentuhan Gabriel. “Kau membuat aku gila, saat sedang terbuai, dan caramu menggigit bibirmu bisa membuat pria mana saja tergoda
Hari kepindahanku dari mansion Gabriel dan Natalia kini sudah semakin mendekati hari H. Beberapa persiapan sudah aku lakukan termasuk dengan mengepak semua barang-barang pribadiku. Kunjungan ke rumah sakit pun terpaksa aku batasi karena aku harus packing-packing, dan hari Sabtunya, aku akan menghadiri acara makan malam di keluarga Tuan Marcus. “Nona, apakah Nona mau makan ikan bakar?” tawar Bik Sumi yang begitu bersemangat sore ini. Dia senang karena aku pulang lebih awal dan akan menemaninya makan malam. “Suka, Bik. Aku doyan semua jenis makanan yang berbahan jenis ikan.” “Yaudah, saya siapkan semuanya dulu ya, Non” “Siap, Bik! Jangan lupa sambal yang pedas,” celetukku dengan air liur yang hampir meleleh. Bagaimana tidak, aku jadi sering lapar akhir-akhir ini. Beruntungnya, aku tidak mengalami morning sickness seperti yang dialami beberapa wanita yang hamil muda. “Siap, Nona. Saya akan buatkan sambal seperti yang Nona suka.” “Terima kasih, Bik.” “Sama-sama.” Aku kembali sibuk
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Gabriel sambil mengulurkan tangannya ke arahku. “Tapi ini hanya luka kecil, Gabriel.” “Itu bukan luka kecil, daging di jari telunjuk-mu perlu dijahit agar tidak terjadi infeksi.” Karena tidak mau bertengkar di depan Bik Sumi dan Bik Tutik, dengan berat hati, aku pun mengikuti langkah kaki Gabriel menuju garasi. “Masuk,” perintah Gabriel sambil membuka pintu mobil. Kalau sudah seperti itu, aku jadi seperti kerbau dicucuk hidung. Kuturuti permintaan Gabriel, lalu duduk di bangku depan. Ini untuk pertama kalinya aku duduk di samping Gabriel. Tanpa meminta persetujuanku, dia mendorong tubuhnya melewatiku dan memasang sabuk pengaman. Aku menahan napas, berusaha untuk tidak menghirup aroma Gabriel yang kadang sangat menggoda. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Gabriel lembut. Wajah kami begitu dekat, napas kami saling bertabrakan di udara saking dekatnya posisi kami berdua. “Ini hanya luka kecil, Gabriel. Aku baik-baik saja.” “Aku tahu, tapi luka
Sepanjang perjalanan ke dari rumah sakit, aku hanya menatap keluar jendela. Semua perhatian Gabriel membuat aku bingung bagaimana harus bersikap senormal mungkin. Belum lagi pikiranku yang dipenuhi oleh rumah yang akan dijual oleh Tuan Marcus. Ini adalah kesempatan langka bagiku. Membayangkan mama dan papa keluar dari rumah sakit dan kembali berkumpul di rumah yang nyaman dan tenang, itu adalah impianku saat ini.“Kok diam aja? Lagi melamun apa?” tanya Gabriel memecah kesunyian panjang di antara kami berdua.Aku tidak langsung menjawab, tapi menatap wajah pria tampan itu yang sedang sibuk mengendalikan laju mobilnya dengan lincah dan cekatan. “Ceritakan padaku, Grace. Siapa tahu aku bisa membantumu.” Suara Gabriel terdengar begitu lembut dan penuh perhatian, sehingga itu membuat keragu-raguan yang menghampiriku kini mulai berangsur hilang.“Grace, apa pun masalah yang kita hadapi, pasti akan selalu ada jalan keluarnya. Kamu percaya kan akan hal itu?”Aku mengangguk, tapi menyadari ba
“Terima kasih, Grace, karena kamu sudah mau terbuka padaku. Kapan kamu mulai bekerja di perusahaanku? Aku sudah tidak sabar lagi melihatmu memimpin tim IT yang aku punya.”Aku menatap Gabriel dalam-dalam, kemudian tersenyum lembut.“Aku bisa mulai kapan saja kamu mau, tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu.”“Katakan saja," ucap Gabriel sambil memicingkan kedua matanya.“Rumah yang ingin aku beli adalah rumah yang sudah aku jual. Itu bukan rumahku, tapi rumah kedua orang tuaku.”“Hah? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Maaf kalau sudah membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaanku tadi.”“Tidak apa-apa. Aku takut kamu menolak meminjamkan uang padaku kalau aku mengatakan yang sebenarnya," ucapku nyaris berbisik.“Grace, look at me. Aku percaya padamu dan apa pun yang kamu minta, aku akan berusaha untuk memenuhinya.”“Terima kasih, Gabriel. Tapi, kenapa kamu begitu baik padaku? Aku bukan siapa-siapamu.”“Siapa bilang kamu bukan siapa-siapaku?” tanya Gabriel sambil men
Sambil merapikan barang-barangku yang tersisa, aku menyiapkan dress terbaik yang akan aku kenakan di acara makan malam nanti. Ada rasa gugup dan khawatir yang melandaku sejak beberapa hari yang lalu. Aku cemas kalau harga rumahnya terlalu mahal, takut kalau Gabriel tidak jadi memberikan uang pinjaman padaku. Semua hal itu membuatku tidak bisa tidur dengan lelap. Pling! Sebuah pesan singkat masuk ke dalam inboxku. ‘Hai, Grace! Aku akan menemanimu makan malam di rumah Marcus sore ini.’ Begitu pesan singkat dari Gabriel yang membuat jantungku berdebar dengan kencang. Sudah dua hari aku berhasil menghindar darinya dan ternyata itu tidak semudah yang aku bayangkan. Aku mengacuhkan pesan itu dan terus melanjutkan kegiatanku karena sebentar lagi aku akan mandi dan siap-siap berangkat. Kring …, ponselku berdering, dan ternyata Gabriel yang meneleponku karena aku mengacuhkan pesannya. ‘Kamu di mana sekarang?’ Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Gabriel. ‘Grace?’ ‘A
“Please, hentikan semua sebelum kita melangkah terlalu jauh, Gabriel.” Akal sehatku masih berfungsi walaupun nafsu sudah melanda sel-sel tubuhku.“Aku tidak bisa berhenti, Grace,” keluh Gabriel sambil meraup bibirku dengan rakus. Dengan penuh hasrat dia melumatku habis-habisan sampai kami berdua terengah-engah menahan luapan asmara yang ada. Suara kecupan Gabriel membuatku hasratku kembali bergejolak. Aku tidak kuat kalau dicumbu seintim ini. Terlalu nikmat dan memabukkan.Gabriel menautkan jari-jarinya di jari-jariku sehingga tindihan tubuhnya semakin menekan tubuhku ke bawah.“Aku sangat menginginkanmu, Grace. Ya, teramat sangat.”Kami saling bertatapan dan aku melihat luapan nafsu yang liar di kilatan matanya.“Kita harus berangkat sekarang,” ucapku seolah-olah mengacuhkan hasrat Gabriel yang sedang membara.“Haruskah kita berangkat sekarang?” tanyanya seperti orang linglung.Aku tersenyum lebar. “Ya, Gabriel, aku tidak mau kita datang terlambat.”Gabriel mencebikkan bibirnya dan d