Sepanjang perjalanan ke dari rumah sakit, aku hanya menatap keluar jendela. Semua perhatian Gabriel membuat aku bingung bagaimana harus bersikap senormal mungkin. Belum lagi pikiranku yang dipenuhi oleh rumah yang akan dijual oleh Tuan Marcus. Ini adalah kesempatan langka bagiku. Membayangkan mama dan papa keluar dari rumah sakit dan kembali berkumpul di rumah yang nyaman dan tenang, itu adalah impianku saat ini.“Kok diam aja? Lagi melamun apa?” tanya Gabriel memecah kesunyian panjang di antara kami berdua.Aku tidak langsung menjawab, tapi menatap wajah pria tampan itu yang sedang sibuk mengendalikan laju mobilnya dengan lincah dan cekatan. “Ceritakan padaku, Grace. Siapa tahu aku bisa membantumu.” Suara Gabriel terdengar begitu lembut dan penuh perhatian, sehingga itu membuat keragu-raguan yang menghampiriku kini mulai berangsur hilang.“Grace, apa pun masalah yang kita hadapi, pasti akan selalu ada jalan keluarnya. Kamu percaya kan akan hal itu?”Aku mengangguk, tapi menyadari ba
“Terima kasih, Grace, karena kamu sudah mau terbuka padaku. Kapan kamu mulai bekerja di perusahaanku? Aku sudah tidak sabar lagi melihatmu memimpin tim IT yang aku punya.”Aku menatap Gabriel dalam-dalam, kemudian tersenyum lembut.“Aku bisa mulai kapan saja kamu mau, tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu.”“Katakan saja," ucap Gabriel sambil memicingkan kedua matanya.“Rumah yang ingin aku beli adalah rumah yang sudah aku jual. Itu bukan rumahku, tapi rumah kedua orang tuaku.”“Hah? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Maaf kalau sudah membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaanku tadi.”“Tidak apa-apa. Aku takut kamu menolak meminjamkan uang padaku kalau aku mengatakan yang sebenarnya," ucapku nyaris berbisik.“Grace, look at me. Aku percaya padamu dan apa pun yang kamu minta, aku akan berusaha untuk memenuhinya.”“Terima kasih, Gabriel. Tapi, kenapa kamu begitu baik padaku? Aku bukan siapa-siapamu.”“Siapa bilang kamu bukan siapa-siapaku?” tanya Gabriel sambil men
Sambil merapikan barang-barangku yang tersisa, aku menyiapkan dress terbaik yang akan aku kenakan di acara makan malam nanti. Ada rasa gugup dan khawatir yang melandaku sejak beberapa hari yang lalu. Aku cemas kalau harga rumahnya terlalu mahal, takut kalau Gabriel tidak jadi memberikan uang pinjaman padaku. Semua hal itu membuatku tidak bisa tidur dengan lelap. Pling! Sebuah pesan singkat masuk ke dalam inboxku. ‘Hai, Grace! Aku akan menemanimu makan malam di rumah Marcus sore ini.’ Begitu pesan singkat dari Gabriel yang membuat jantungku berdebar dengan kencang. Sudah dua hari aku berhasil menghindar darinya dan ternyata itu tidak semudah yang aku bayangkan. Aku mengacuhkan pesan itu dan terus melanjutkan kegiatanku karena sebentar lagi aku akan mandi dan siap-siap berangkat. Kring …, ponselku berdering, dan ternyata Gabriel yang meneleponku karena aku mengacuhkan pesannya. ‘Kamu di mana sekarang?’ Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Gabriel. ‘Grace?’ ‘A
“Please, hentikan semua sebelum kita melangkah terlalu jauh, Gabriel.” Akal sehatku masih berfungsi walaupun nafsu sudah melanda sel-sel tubuhku.“Aku tidak bisa berhenti, Grace,” keluh Gabriel sambil meraup bibirku dengan rakus. Dengan penuh hasrat dia melumatku habis-habisan sampai kami berdua terengah-engah menahan luapan asmara yang ada. Suara kecupan Gabriel membuatku hasratku kembali bergejolak. Aku tidak kuat kalau dicumbu seintim ini. Terlalu nikmat dan memabukkan.Gabriel menautkan jari-jarinya di jari-jariku sehingga tindihan tubuhnya semakin menekan tubuhku ke bawah.“Aku sangat menginginkanmu, Grace. Ya, teramat sangat.”Kami saling bertatapan dan aku melihat luapan nafsu yang liar di kilatan matanya.“Kita harus berangkat sekarang,” ucapku seolah-olah mengacuhkan hasrat Gabriel yang sedang membara.“Haruskah kita berangkat sekarang?” tanyanya seperti orang linglung.Aku tersenyum lebar. “Ya, Gabriel, aku tidak mau kita datang terlambat.”Gabriel mencebikkan bibirnya dan d
“Kenalkan, ini istriku, Sara,” ucap Marcus dengan senyuman bangga. ‘Sepertinya mereka keluarga yang bahagia,’ pikirku sambil menyambut uluran tangan wanita cantik yang bernama Sara. Tak lupa aku memperkenalkan Gabriel kepadanya.“Senang berkenalan dengan kalian, pasangan yang sangat serasi,” puji Sara yang juga begitu ramah dan sangat welcome. Lagi-lagi orang mengira kami berdua adalah sepasang kekasih.“Ayo, silahkan duduk,” lanjut Sara. Clara anak perempuan mereka yang baru berusia delapan tahun, menatapku dengan bola matanya yang bulat seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku.Aku berjongkok dan mensejajarkan tubuhku dengan Clara.“Kakak, aku boleh duduk di samping, Kakak?” tanyanya sopan membuatku meleleh menatap wajah mungilnya.“Tentu saja!” dengan cekatan aku menarik sebuah kursi untuknya, gadis cilik itu langsung duduk manis.“Silahkan, sayang,” ucap Gabriel yang membuat leherku tiba-tiba terasa kering. Dengan gentle, dia menarik sebuah kursi untukku. Ingin rasanya aku meng-
“Loh, kita mau ke mana?” tanyaku begitu menyadari bahwa Gabriel tidak memilih jalur yang biasa kami lewati.“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Tapi ini sudah malam, Gabriel. Natalia pasti akan mencarimu begitu dia pulang.”“Natalia sedang sibuk dengan perlombaan yang sebentar lagi akan dilaksanakan.”Aku akhirnya diam dan mengikuti kemauan Gabriel. Mobil Gabriel terus melaju menembus kegelapan malam. Tidak lama kemudian, kami tiba di suatu tempat yang, ya sangat indah. Sebuah danau yang begitu tenang, jauh dari kesibukan sehari-hari dan keramaian kota yang gemerlap.Sinar lampu jalan memantulkan cahaya ke dalam mobil yang terparkir, menambah keindahan yang ada.“Indah sekali tempat ini,” celetukku sambil menikmati panorama yang ada. Dari sini, aku bisa melihat lampu kelap-kelip di perkotaan.“Selain rooftop, ini adalah tempat favoritku,” timpal Gabriel. “Di sini, kamu bisa merenung, atau sekedar mengalihkan pikiran dari segala kesibukan hidup sehari-hari.Aku duduk dengan kepala
Beberapa hari telah berlalu sejak aku dan Gabriel menghabiskan waktu bersama di tepi danau itu. Sekuat tenaga kami menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam jurang kenikmatan. Malam itu pun berakhir dengan ciuman yang nikmat, pegangan tangan dan pelukan. Kami tidak melakukan lebih dari itu karena aku terus mengingatkan Gabriel untuk tidak melakukannya. Dia menyetujui walaupun itu sangat sulit baginya untuk tidak menyentuhku. Beberapa kali dia memelas dengan putus asa, tapi aku tetap tidak mengijinkannya.“Aku tidak mau tahu! Pokoknya kamu harus mengantarkanku hari ini!” Kudengar teriakan Natalia dari arah tangga, disertai langkah kaki yang dihentakkan. Aku yang masih malas-malasan di tempat tidur, langsung tersentak kaget.“Tapi aku tidak bisa, Natalia!” Kini terdengar suara Gabriel yang cukup keras. Kuraih sebuah bantal dan menutup kupingku. “Tahan, sabar, besok aku akan pindah dari sini,” bisik kepada diriku sendiri. Pagi ini aku malas sekali bangun. Yang kuinginkan hanya satu, yai
Warna segar dan basah karena hujan tipis yang baru saja turun, menambah kesedihan di hatiku. Aku berdiri memandangi koper yang berjejer rapi di sudut ruangan. Ya, hari ini aku akan pindah dari mansion Gabriel dan Natalia. Setelah berbulan-bulan tinggal bersama mereka, kini saatnya aku hidup bebas dan menentukan jalan hidupku sampai bayi di dalam kandunganku lahir dalam beberapa bulan lagi.Jemariku yang lentik, gemetar menahan rasa yang campur aduk di dada ini. Kuelus perutku yang mulai membuncit, sebuah kehidupan kecil berdenyut dalam diriku, mengingatkanku bahwa ada ikatan yang masih terasa hangat antara aku dan Gabriel, walau kini harus aku lepaskan.Kudengar langkah kaki mendekat. Sesuatu bergetar dalam diriku saat Gabriel masuk ke kamar, melangkah pelan seperti menahan napas, seolah tiap bunyi langkahnya bisa merusak keheningan yang telah menutupi kebersamaan kami berdua selama. Kulihat cahaya di matanya yang meredup dan ada bayangan mendung, sama seperti langit di luar jendela y