“Aku akan mengantarkanmu.”“Tidak apa-apa, Gabriel. Aku sudah memesan taksi.” Kutarik koperku yang tiba-tiba terasa berat. 'Aku harus pergi dari sini sekarang juga sebelum hatiku semakin remuk redam.'Gabriel hanya diam, berdiri membatu. Ketika aku akhirnya membuka pintu dan melangkah ke luar, hujan turun perlahan membasahi rambut dan bahuku. Namun, baru beberapa langkah, kudengar bunyi derap kaki seseorang di belakangku. Aku berbalik dan melihat Gabriel berlari sambil membawa sebuah payung yang besar dan lebar. Dia merangkul tubuhku yang ringkih dan berjalan bersamaku yang sudah lelah ini. “Apa pun alasanmu, aku akan mengantarkanmu, Grace,” desak Gabriel di tengah rintikan hujan yang terasa segar dan dingin. Namun, dekapan Gabriel yang hangat, terasa begitu nyaman saat hatiku sedang gundah seperti ini. ‘Tuhan, kenapa Gabriel harus membuat semua ini menjadi terasa sangat sulit untuk dilepas? Aku mohon, berikan aku kekuatan dan iman yang kuat untuk tidak jatuh dalam lubang yang sam
“Aku lelah bertengkar denganmu, Natalia.”“Kamu pikir aku tidak lelah melihat sepak terjang kalian berdua selama ini?”Gabriel menunduk dalam, entah apa yang ada dalam jalan pikirannya saat ini. Ingin rasanya aku bisa membaca isi hati pria itu. “Natalia, maaf, keputusanku sudah bulat, aku akan mengantarkan Grace ke rumah barunya.”“Apa yang baru saja kamu ucapkan?” sentak Natalia. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, matanya menatap tajam seolah bisa menembus Gabriel di depannya. Bibirnya bergetar, menarik napas cepat, seperti menahan sesuatu yang hampir saja pecah di dadanya. “Berani kamu melangkahkan kaki dari sini, maka aku tidak akan segan-segan merusak semua rencanamu.”Kulihat keraguan dia wajah Gabriel. Mungkin dia mengerti apa maksud di balik ucapan Natalia tadi. Jujur, aku tidak tahu apa itu.“Gabriel, tinggallah bersama Natalia, aku bisa berangkat sendiri,” ucapku pelan. Air hujan turun makin deras, menyusup ke dalam jaketku yang basah kuyup. Gabriel berusaha memayungiku, t
Kubayar taksi yang aku tumpangi begitu kami tiba di alamat yang tertera di atas kertas. Mataku langsung melebar ketika menatap rumah di depanku yang terlihat begitu megah. “Apakah aku salah alamat?” desisku pelan sambil meraih membuka pintu taksi dan melangkah keluar dengan ragu. Saking terpesona pada rumah di depanku, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada supir taksi yang sudah mengantarkanku dengan selamat sampai tujuan. Dengan tangan gemetar, aku membuka kantung kecil di tas yang menggantung di pundakku. “Tidak mungkin rumah sebagus ini diberikan padaku,” ucapku tak percaya. Kudekati pintu gerbang dan berusaha membukanya. Aku tersentak kaget, suara dentingan besi terdengar pelan, bergetar halus, tapi tegas. Gerbang perlahan bergerak, memulai dengan desisan rendah seperti mesin yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. “Maaf, Nona Grace. Saya tidak sempat membuka pintu karena tidak tahu kalau Nona akan tiba jam segini.” Seorang pemuda berbadan kekar menyapaku, tubuh
“Jam berapa sekarang?” tanyaku pada diriku sendiri.Kulirik jam yang berdetak di dinding., waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. “Mungkin sebaiknya aku bangun sekarang.” Kuputuskan untuk membersihkan wajahku dan menemui Bik Mirna dan Bik Darmi, setelah aku selesai dengan ritual pagiku. Aku bahkan tidak punya keinginan untuk memeriksa ponselku, karena menurutku, sekarang saatnya aku menikmati hidup ini. Sudah cukup selama berbulan-bulan aku ditindas dan diperlakukan semena-mena.Begitu kakiku melangkah keluar dari pintu kamar, netraku disuguhkan dengan pemandangan mansion yang luar biasa. Di ruang tengah, terdapat jendela-jendela kaca lebar, yang langsung menyuguhkan pemandangan ke arah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga cantik. Di samping kiri taman, terdapat sebuah kolam renang yang sangat besar.“Wow, selera Ibu Ariani memang luar biasa dan klasik.”Aku melangkah pelan memasuki dapur, mataku tak lepas dari setiap detail yang tertata sempurna di ruang itu. Rongga hidungku langsun
‘Ma!’ sentak Gabriel kesal. Dia menggenggam ponselnya dengan kuat sehingga buku-buku tangannya memutih. Sudah hampir sepuluh menit dia membujuk Ibu Ariani untuk memberitahu di mana gerangan Grace berada. ‘Tolong, Ma. Kasih tahu aku di mana alamat Grace sekarang.'‘Biarkan wanita itu tenang selama masa kehamilannya.’ Terdengar suara tegas Ibu Ariani di ujung telepon.‘Tapi dia lagi hamil muda, Ma. Aku berhak tahu di mana dia tinggal.’‘Gabriel, dia memang hamil anakmu, tapi dia bukan istri sahmu. Kamu harus ingat akan hal itu!’Gabriel mendengus kesal, kalau saja mamanya tahu bahwa dia sudah jatuh cinta pada wanita yang sedang mengandung anaknya sekarang, entah apa pendapat sang bunda.‘Kenapa sih Mama harus merahasiakan tempat tinggal Grace yang sekarang?’ protes Gabriel yang masih belum menyerah juga. Kalau sudah masalah Grace, dia tidak akan pernah menyerah. Wanita itu harus ia temukan. Membayangkan hidupnya tanpa bertemu Grace saja, sudah membuatnya hampir gila sepanjang hari. Semu
Gabriel meraih secarik kertas di depan dan segera mencatat plat nomor dari taksi yang dikendarai Grace sore itu setelah melihat hasil rekaman CCTV yang telah dikirim oleh Benny.“Yes! Mama boleh menyembunyikan Grace dariku, tapi aku akan melakukan berbagai cara untuk mencari Grace.”Tanpa menunggu lama, Gabriel segera menelpon kantor pusat dari taksi tersebut. Ia pun meminta data tentang supir taksi, tapi rupanya, itu tidak segampang yang dia pikirkan. Kantor pusat perusahaan transport itu mempunyai kebijakan sendiri, yaitu tidak memberikan informasi tentang karyawannya kepada orang lain.Gabriel yang sudah kesal, kini semakin panas hatinya. Dia segera menghubungi temannya yang bekerja di kantor kepolisian bagian pendataan nomor-nomor plat kendaraan roda empat. Tak lama kemudian, nama, alamat, dan nomor telepon supir taksi tersebut sudah dikantonginya. Gabriel kini bisa tersenyum puas. Dia sudah tidak sabar lagi untuk mengunjungi Grace. Dengan langkah cepat, dia menuju ke tempat parki
Sarah dan Natalia segera menuju ruang kantor Natalia yang berada di bagian tengah. Begitu mereka tiba di sana, Natalia mendorong pintu kerjanya dengan pelan. Ia dan Sarah melangkah masuk dengan tawa ringan. Dari wajahnya, Sarah yang sudah tidak sabar lagi ingin melihat dan mencoba rancangan mahakarya rekan sekerjanya. Sedangkan Natalia terlihat lega setelah melewati hari-hari yang panjang. Mulai dari drama kehidupan rumah tangganya, serta proses pembuatan gaun yang memang menghabiskan waktu yang cukup lama. Bukan tanpa alasan Natalia menggunakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membuat gaun itu. Selain karena tingkat kesulitan pada gaun tersebut yang cukup tinggi, dia juga terluka akibat tindakan Gabriel yang selalu membela Grace. Namun, sekarang Grace sudah pergi jauh dari kehidupannya bersama Gabriel.Tapi saat Natalia menoleh ke arah sudut ruangan, tawanya terhenti mendadak. Terdengar jeritan yang cukup keras dari bibirnya. Napasnya tercekat, matanya membelalak tak percaya. Di
‘Hello, Ma!’ sapaku begitu wanita paruh baya itu mengangkat panggilan teleponku. Memang masih agak kaku rasanya memanggil Ibu Ariani dengan sebutan ‘mama,’ tapi itu permintaan beliau sendiri. Sudah dari pagi aku berencana menghubunginya untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih-ku atas hadiah yang telah ia berikan. ‘Hello, Grace! Bagaimana kabarmu? Mama harap, hadiah yang kamu terima sesuai dengan apa yang kamu inginkan.’‘Terima kasih, Ma. Mansion ini sangat indah dan mewah. Tapi, apakah ini tidak berlebihan, Ma?’ tanyaku dengan nada khawatir.‘Berlebih? Tidak sama sekali, Nak Grace. Kamu akan memberikan apa yang telah kami nantikan selama bertahun-tahun. Jadi, Mama dan Papa sudah sepantasnya memberikan yang terbaik untukmu.’Ada rasa haru dan khawatir secara bersamaan. Jujur, aku tidak mau terikat begitu kuat dengan keluarga ini. Aku juga tidak mau memanfaat kebaikan mereka karena telah memberikan seorang cucu yang mereka inginkan. Ah, entahlah, rasa haru dan gelisah bercampur