‘Aku berdiri di depan rumah barumu, tapi penjaga tidak mengijinkan aku masuk.’Sontak rasa kantuk, lelah dan mual dalam diriku langsung hilang entah ke mana. Bergegas aku berjalan ke arah jendela. “Sialan? Dari mana dia bisa mendapatkan alamatku?” gerutuku cemas. Aku berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan bingung, antara hendak menghampiri Gabriel atau bersembunyi di sini.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku sambil kembali mengintip dari balik gorden. Kakiku ingin melangkah ke luar dan menyapa Gabriel, tapi otakku melarang. Masih teringat kata-kata Ibu Ariani yang sudah me-wanti-wanti agar aku tidak boleh berhubungan dengan Gabriel lagi. Ponselku kembali berdering dengan kencang, membuat jantungku berdegup lebih kencang lagi. Nama Gabriel tertera di layar ponsel, dengan tangan gemetar, aku menekan tombol hijau. Kutahan napas dan mendengar suara Gabriel di ujung sana.‘Hello? Grace? Aku di depan rumah barumu? Kamu ada di rumah ‘kan?’‘M-maksud kamu?’ tanyaku pura-
Suara gunting yang beradu dengan kain di dalam ruang kerja Natalia memenuhi ruangan, memecah keheningan dengan irama tajam yang konsisten. Saking sibuknya dia memotong kain, suara ketukan dari arah pintu tidak didengarnya. Memang, setelah musibah yang menimpanya hari ini, mau tidak mau, Natalia harus lembur. Namun, dia memilih untuk mengerjakan tugasnya di mansion saja karena ingin makan malam bersama Gabriel.Kini kembali terdengar ketukan yang sama di daun pintu.“Masuk!” seru Natalia sambil terus berkonsentrasi pada pekerjaannya.Dari balik pintu, terlihat Bik Sumi yang celingak celinguk mencari majikannya. “Maaf, Nyonya. Makan malam sudah siap. Apakah Nyonya ingin makan sekarang?” “Suamiku sudah pulang?” Natalia balik bertanya sambil meletakkan gunting yang terlihat sangat tajam itu di atas meja.“Belum, Nyonya. Mungkin Tuan sedang lembur.”“Kalau begitu, aku tunggu sampai Gabriel pulang saja, Bik.”“Baik, Nyonya.”Begitu Bik Sumi menghilang di balik pintu, Natalia meraih ponse
Natalia terus memacu dirinya untuk bekerja, di matanya, gaun itu tidak hanya akan terlihat cantik, tetapi juga akan memancarkan jiwanya yang selalu terpaut dengan dunia mode.Lalu sebuah ketukan di pintu ruang kerjanya, kembali memecah konsentrasinya.“Pasti Gabriel sudah pulang,” cetus Natalia dengan riang. Bergegas dia membuka pintu ruang kerjanya.“Kenapa kamu baru pul ….” Kalimat Natalia menggantung di udara begitu melihat Bik Tutik yang ada di depannya.“Mana suamiku?” tanya Natalia dengan alis berkerut. Terlihat sekali dia kecewa karena Gabriel belum juga pulang.“M-maaf, Nyonya. Tuan sudah pulang, tapi Tuan langsung naik ke atas, katanya mau mandi dulu.”“Oh, yaudah, panaskan saja dulu makanannya.”“Baik, Nyonya.”Natalia menutup pintu ruang kerjanya dan segera naik ke atas untuk menemui Gabriel. Begitu tiba di kamar, sosok Gabriel tidak ada di sana. Namun, terdengar bunyi gemericik air dari arah kamar mandi. Natalia tersenyum simpul, lalu tiba-tiba, ada ide nakal yang muncul
Di lorong rumah sakit Harapan Sehat, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan dering alat medis yang monoton berpadu menjadi simfoni kesedihan yang menghujam hatiku. Di tengah kegaduhan itu, aku berdiri terpaku di depan pintu kamar perawatan. Wajah pucat, mata merah dan sembab akibat tangisan yang tak kunjung berhenti sejak mendengar berita tentang kecelakaan maut yang dialami mama dan papa dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Aku yang saat itu sedang sibuk mempersiapkan pesta untuk menyambut kepulangan mama dan papa, langsung berangkat ke rumah sakit. Jantungku terasa berhenti berdetak. Hatiku hancur melihat kondisi mama dan papa yang biasanya penuh energi dan senyuman kini terbaring tak berdaya. "Ma ... Pa ..." bisikku lirih. Suaraku hampir tenggelam dalam isak tangis yang tak tertahan. Aku berusaha untuk tetap kuat walaupun kondisi mama dan papa sangat memprihatinkan “Maaf, apakah ini dengan Nona Grace?” sapa seorang dokter muda yang baru saja memasuki ruangan. “
Bab 2. PerjanjianMasih dalam keadaan panik, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci diri di kamar mandi. “Ini benar-benar penipuan! Mereka telah mejebakku,” ucapku geram. Kupandangi email dari Pak Ronald dan mulai membacanya lagi dengan pelan-pelan.“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanda tanganku sudah tertera di sini.” Kepanikan melandaku.“Bodoh! Kenapa aku mempercayai omongan mereka begitu saja?”Aku menyalakan kran air dan mencoba untuk membasuh wajahku, dan berharap dengan cara itu aku bisa menjernihkan pikiranku yang kalut.“Cara mereka sangat licik untuk menjeratku. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya.”Dengan cepat, aku mencari kartu nama yang diberikan oleh ibu Ariani. ‘Hallo, bisa bicara dengan ibu Ariani?’ sapaku dengan suara yang aku buat senormal mungkin.‘Hallo, ini dengan Ariani. Maaf, ini dengan siapa?’‘Ini dengan Grace.’‘Oh, hello Nona Grace. Apa kabar?’Aku mencengkram pinggiran wastafel dengan kencang.‘Berani-beraninya mereka menanyakan k
“Mama telah mengundang seseorang untuk makan malam bersama kita,” ucap Ibu Arinia sambil menata beberapa peralatan piring di atas meja.Gariel dan Natalia yang baru saja tiba, saling berpandang dengan wajah kebingungan. “Siapa yang akan makan malam bersama kita, Ma?” “Seorang yang akan aku perkenalkan pada kalian berdua.“Oh ya? Apakah aku kenal orangnya?” tanya Natalia ikut nimbrung sambil meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Lalu dengan santai, dia duduk dan mulai meneguk air putih dalam gelasnya.“Tidak, kalian tidak mengenalnya sama sekali, tapi orang yang mama undang, akan membawa perubahan dalam keluarga kita.”Gabriel mengangkat alisnya mengharapkan penjelasan yang lebih lagi, tapi kata-kata yang keluar dari bibir Ibu Ariani, sang mama, membuat Gabriel dan Natalia langsung terdiam.“Mama dan papa sudah sangat merindukan cucu, dan kami tidak tahu sampai kapan kalian membuat mama dan papa menunggu kedatangan cucu dalam keluarga ini.”Pak Ronald, papa dari Gabrie
“Gabriel, Natalia! Perkenalkan, ini Grace Anjelita. Dia wanita yang mama maksud tadi.”Aku tersenyum kepada pasangan di depanku. Gabriel menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, sedangkan Natalia membuang wajahnya dengan sikap acuh tak acuh.Kuulurkan tanganku dan mengajak mereka berkenalan, tapi rupanya bendera perang sudah berkibar di antara kami sejak kedatanganku. Mereka hanya menyentuh tanganku tanpa benar-benar menggenggamnya.“Hello, Nona Grace. Selamat datang di tempat kediaman kami.”Pak Ronald menyambutku itu dengan hangat dan itu sudah cukup membuatku terhibur.Gabriel berdiri dengan resah. Dia tidak pernah melihat papa menyambut Natalia sehangat itu. Well, mungkin pernah, tapi itu sudah lama sekali. Sejak Natalia menolak untuk memberikan cucu bagi mereka, sikap mama dan papa sudah tidak sehangat dulu lagi terhadap Natalia.“Keputusan mama dan papa sudah bulat. Grace adalah wanita yang tepat untuk memberikan cucu yang kami inginkan.”Gabriel menahan emosinya sekuat tenaga
“Kamu tidak perlu tahu kenapa aku melakukan hal ini. Tugasku adalah melahirkan seorang cucu bagi keluargamu," jawabku pelan tapi syarat dengan sindiran.“Dengan menjual tubuhmu, begitu ‘kah?” tanya Gabriel sinis. Gabriel tidak bisa menyembunyikan pandangan benci dan muak melihat wajahku.“Kalau kau menyebut itu sebagai ‘jual diri,’ ucapku sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengah seperti tanda kutip dua. “Silahkan saja, Tuan sombong dan angkuh.”Wajah Gabriel memerah mendengar aku menyebutnya sebagai Tuan sombong dan angkuh.“Sebutkan saja berapa jumlah uang yang kamu terima dari mama?”“Maaf, aku tidak bisa.”Hilang sudah kesabaran Gabriel. Dia mencekal lenganku dan menarikku dengan kasar mendekat ke arahnya.“Heh! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi sehingga kamu melakukan perbuatan ini dan merusak kebahagiaan kami?”Aku merasa mataku mulai berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha keras untuk tidak menangis di depan pria songok satu ini.“Dasar perempuan murahan!”